by Cristian Rahadiansyah 12 October, 2021
Kota di Asia dengan Restoran Terbaik Paling Banyak
Saat pertama kali dilansir pada 2013, Asia’s 50 Best Restaurants memuat restoran di 15 kota. Kala itu, Narisawa (Tokyo) bertengger di puncak klasemen, dibuntuti oleh Nihonryori RyuGin (Tokyo) dan Nahm (Bangkok).
Melompat tujuh tahun ke 2021, ada 16 kota yang memiliki wakil dalam Asia’s 50 Best Restaurants. Pada jilid ini, The Chairman (Hong Kong) berjaya, disusul oleh Odette (Singapura) dan Den (Tokyo).
Daftar elite Asia’s 50 Best Restaurants disusun oleh Asia’s 50 Best Restaurants Academy, lembaga berisi sekitar 300 pakar kuliner, termasuk kritikus, koki, serta pemilik restoran. Lembaga ini sendiri bernaung di bawah William Reed Business Media yang berpusat di Inggris.
William Reed juga menyusun daftar serupa untuk tingkat dunia, yang juga dilansir saban tahun. Namanya World’s 50 Best Restaurants. Penghargaan ini begitu bergengsi, sampai-sampai dijuluki “Piala Oscar khusus dunia kuliner.”
Kembali ke wilayah Asia, daftar resto terbaik selalu didominasi empat kota, yakni Tokyo, Bangkok, Singapura, serta Hong Kong. Pada tahun ini misalnya, Hong Kong memiliki 11 wakil, disusul oleh Singapura (8), Tokyo (7), lalu Bangkok (6).
Bagaimana dengan kota di Indonesia? Bisa dibilang, prestasinya cukup minim. Hingga kini, hanya tiga restoran di Indonesia yang pernah masuk daftar Asia’s 50 Best Restaurants—dan semuanya beralamat di Bali. Mereka adalah Mozaic (tercantum di edisi perdana 2013), Sarong (2014), kemudian Locavore (2016-2020).
Minimnya prestasi Indonesia bukan karena negeri ini kekurangan restoran berkualitas. Alih-alih, Indonesia tak memiliki cukup banyak restoran yang memenuhi kriteria yang disyaratkan William Reed.
Membaca riwayat penghargaan ini, pilihan dewan juri umumnya jatuh pada restoran kontemporer berdesain mewah, dengan harga menu yang relatif mahal untuk standar umum.
Menyimak daftarnya lebih cermat, tempat-tempat pilihan juri juga umumnya diasuh koki beraliran progresif, atau bahkan dekonstruktif, dalam konsep dan presentasi hidangan. Jadi, jangan terkejut jika tampilan masakan mereka tak mencerminkan rasanya—dan jangan terkejut pula bila harganya menambah rasa terkejut Anda.
Itulah mungkin sebabnya banyak orang tak sepakat dengan keputusan juri. Di sejumlah media, penulis kuliner mengkritisi predikat “terbaik” dari William Reed. Ada pula yang menyarankan stempel itu diganti istilah lain, misalnya “modern” atau “progresif,” karena memang restoran jenis ini yang dipilih oleh juri.
Untuk mengilustrasikan perdebatan itu, ambil contoh Bali. Di sini, restoran yang memenuhi kriteria “terbaik” versi William Reed hanyalah Mozaic, Sarong, atau Locavore. Padahal, Cafe Batujimbar atau Mak Beng mungkin juga layak dapat predikat serupa.—Cristian Rahadiansyah