by Kenny Santana 27 April, 2018
Kiat Memilih Kartu Kredit Travel
Oleh Kenny Santana
Saat diluncurkan pada 2012, kartu kredit kolaborasi BCA-Singapore Airlines langsung menjadi pergunjingan. Maklum, kala itu, kartu kredit yang membidik pelancong masih langka di Indonesia, apalagi kartu yang berafiliasi dengan maskapai.
Selain menggoda nasabah untuk rajin bepergian, kartu yang lazim disingkat BCA SQ ini membuat pemiliknya keranjingan menghadiri bursa wisata—ajang promo yang menyuguhkan banyak privilese, misalnya bonus KrisFlyer tiga kali lipat, cashback jutaan rupiah, hingga bunga cicilan nol persen. “Beberapa promo untuk diskon kuliner dan belanja, serta kemudahan flight redemption SQ, menambah daya tarik kartu kredit ini,” jelas Felicia Maringka, Assistant Vice President BCA.
Kini, kartu kredit travel cukup marak. Selain kartu BCA SQ, kita bisa menemukan antara lain Citi PremierMiles, MegaTravel Card, AirAsia-HSBC Card, serta Danamon World. Segmennya beragam, mulai dari affluent traveler hingga millennial. Beda segmen, beda keuntungan yang ditawarkan.
Di banyak negara maju, kartu kredit travel telah menjadi amunisi jamak pelancong. Banyak orang memakainya guna mendapatkan tiket kelas satu atau kelas bisnis dengan harga miring. Banyak bank pun royal memberikan bonus bagi pengguna baru kartu, umpamanya miles instan yang jumlahnya setara dengan penerbangan jarak jauh dengan kelas bisnis.
Satu yang penting diketahui, kartu kredit travel bukan didesain semata untuk membeli tiket. Sebagaimana kartu kredit reguler, ia bisa dipakai untuk beragam keperluan lain. Bedanya, tiap transaksi memakai kartu kredit travel bisa dimanfaatkan untuk menambah pundi miles. Dengan berbelanja senilai Rp3.750 hingga Rp10.500 misalnya, pemilik mendapatkan satu mile. Jika telah mengumpulkan 7.500 miles, maka ia bisa membarternya dengan tiket pesawat Jakarta-Singapura.
Bonus miles memang magnet terkuat kartu kredit travel. Rumus yang diajukan pihak bank cukup simpel: makin sering kartu dipakai bertransaksi, makin banyak miles yang dikoleksi. Seorang kenalan saya, Hendra Gunawan, telah memakai kartu BCA SQ sejak 2012. Bermodalkan miles yang dikumpulkannya, dia pernah terbang ke Singapura, Cape Town, juga mendapatkan tiket khusus dari program Star Alliance Round The World. “Kurang lebih 180 ribu miles saya tukarkan untuk trip keliling dunia itu. Semua hasil akumulasi perbelanjaan saya sehari-hari,” jelasnya.
Manfaat tabungan miles akan lebih terasa saat pihak maskapai menggelar bursa wisata atau pesta diskon penukaran miles. Dua tahun lalu misalnya, Garuda memberi diskon 90 persen penukaran GarudaMiles. Para pemegang kartu kredit travel pun berduyun-duyun memanfaatkan promo menggiurkan tersebut. Saya sendiri mendapatkan tiket kelas satu Jakarta-London dengan menukarkan hanya 19.000 miles dari jumlah normal 190.000 miles.
Tapi bonus miles bukan lagi satu-satunya tawaran andalan kartu kredit travel. Berkat ketatnya persaingan menjala nasabah, banyak bank menawarkan insentif yang kian variatif dan kian muluk. Nasabah kini bisa mendapatkan pula serangkaian keuntungan tambahan, misalnya kopi dan camilan gratis di kedai kopi bandara, akses ke lounge, asuransi perjalanan, hingga poin keanggotaan jaringan hotel.
Banyak bank menerbitkan kartu kredit travel karena produk ini memang memberikan kontribusi finansial yang cukup signifikan. Berdasarkan data dari Margareta Wong, Head of Card Product Management Citi Indonesia, populasi pemilik kartu kredit travel Citibank hanyalah 12 persen dari total pemilik kartu kredit. Akan tetapi, transaksi yang mereka bukukan mencapai 23 persen dari total volume transaksi seluruh kartu kredit terbitan Citibank.
Kontribusi itu terlihat antara lain dari catatan transaksi di luar negeri. “Transaksinya mencapai 32 persen dari total transaksi luar negeri dari seluruh kartu kredit yang kami terbitkan,” ungkap Margareta. Statistik ini tak cuma mencerminkan kebiasaan lumrah pelancong untuk berbelanja saat berwisata, tapi juga menunjukkan kesuksesan jurus promosi pihak bank. Banyak nasabah kini mengalihkan mayoritas transaksinya ke kartu kredit travel, dengan begitu mereka bisa mengumpulkan lebih banyak miles.
Isu yang krusial kemudian ialah menentukan kartu yang cocok. Penting diingat, meski menjanjikan aneka keuntungan, kartu kredit travel mematok bea tahunan yang lebih tinggi. Seiring kian maraknya kartu kredit travel, spesifikasi kartu pun kian kompleks, hingga menuntut kejelian saat mencerna tawarannya, juga syarat dan ketentuannya.
Beberapa maskapai tidak terikat eksklusif dengan satu kartu, misalnya Garuda yang bekerja sama dengan berbagai bank sekaligus. Di sisi lain, sejumlah bank mengeluarkan kartu kredit travel tanpa embel-embel maskapai. Citi PremierMiles misalnya, menawarkan transaksi yang poinnya dapat ditukar dengan tiket dari 60-an maskapai.
Bonus miles yang menggiurkan juga perlu disikapi dengan bijak. Pengumpulan miles menuntut ketekunan bertransaksi, dan obsesi mengejar miles rawan memicu perilaku konsumtif. Saya pernah menukarkan 88.000 miles dengan tiket kelas bisnis Jakarta-San Francisco. Jika tiket itu berharga, sebut saja, Rp20 juta, maka satu mile-nya setara Rp227. Dengan asumsi tiap pembelanjaan senilai Rp3.750 berbuah satu mile (menurut Standard Chartered WorldMiles), itu berarti demi mendapatkan tiket bisnis tadi diperlukan pembelanjaan senilai Rp330 juta—cukup untuk membeli setidaknya tiga lembar tiket keliling dunia.
Hendra, yang menggunakan pula kartu Danamon World, memberikan dua saran agar tak salah melangkah dalam menggunakan kartu kredit travel. Pertama, tentukan satu atau maksimal dua kartu kredit yang dipakai untuk mengumpulkan miles agar poin tidak tercecer. Kedua, dalam memilih kartu kredit, cek pengeluaran pribadi yang paling banyak mendulang miles, lalu gunakan kartu kredit travel sebagai alat pembayarannya. (HSBC Visa Signature misalnya, menawarkan program empat kali point reward untuk transaksi yang terkait travel dan makan.)
Tren kartu kredit travel akan berlanjut. Peminatnya, jelas Margareta, terus tumbuh. Pada 2017, jumlah pendaftarnya mencapai 40 persen dari total pemohon kartu kredit baru. Tren ini tentu saja merefleksikan realitas kontemporer: tingginya hasrat berwisata. Pada 2016, warga Indonesia mencatatkan lebih dari delapan juta trip ke mancanegara. “Liburan sudah menjadi kebutuhan dasar,” jelas Margareta.
Dipublikasikan perdana di majalah DestinAsian Indonesia edisi April/Juni 2018 (“Kartu Kelana”).