by Cristian Rahadiansyah 11 May, 2021
Kenapa Bintan Lebih Terkenal di Luar Negeri—dan Bagaimana Pandemi Mengubahnya
Bagaikan sopir bus malam, Ruth Siagian memacu buggy dengan gesit di padang rumput Ria Bintan Golf Club. Saya duduk di sampingnya, berpegangan erat, seraya menyimak keluhannya. Kata Ruth, perantau asal Medan yang bekerja di sini sejak 2014, hanya segelintir warga Indonesia yang mengenal Ria Bintan. Padahal, padang golf ini sangat kondang di luar negeri.
Matahari menyala terik di awal kemarau. Dari Laut Cina Selatan, angin lembap berembus membawa uap asin. Buggy masih melaju, menembus hutan, melewati beberapa ekor monyet yang tengah berteduh. Di tepi padang rumput, pasir putih melengkung ditumbuhi bebatuan besar.
Saya tak paham golf. Tapi saya bisa memahami kenapa Ria Bintan punya pamor internasional. Selain rutin menyabet penghargaan, termasuk The Best Luxury Golf Club in Indonesia, padang golf ini punya keindahan sekelas tempat foto pranikah. Ruth bingung kenapa tak banyak orang Indonesia yang mengenalnya. Lebih dari 90 persen anggota klubnya beralamat di Singapura.
“Mungkin karena banyak orang Indonesia belum mengenal Bintan,” saya coba menimpali keluhannya. “Teman saya pernah mau terbang ke Tanjungpinang, malah mendarat di Pangkalpinang.”
“Wah itu sering terjadi, Pak,” Ruth menyambar secepat buggy. “Pernah ada grup 12 orang dari Jakarta juga nyasar. Mereka telepon saya, kasih tahu sudah sampai Pangkalpinang dan minta dijemput. Saya bilang ke dia, ‘bapak ngapain di sana, bandara Bintan adanya di Tanjungpinang’.”
Buggy menepi ke lubang nomor sembilan, tempat favorit pegolf. Di kejauhan terlihat samar daratan Jiran. Dari Johor, Bintan hanya terpisah 2,5 jam naik feri. Dari Singapura, durasinya lebih singkat, 50 menit. Berkat kedekatan inilah Bintan marak disatroni turis dari kedua tetangga itu. Tapi mungkin karena kedekatannya terlalu intim, Bintan justru terasa jauh dari orang Indonesia.
“Pernah ada ibu-ibu dari Medan mau datang ke sini malah tanya-tanya soal paspor; dia pikir Bintan ini bagian dari Singapura,” Ruth kian sewot dan buggy pun terasa kian cepat. “Itu juga Luna Maya belum lama ke Bintan; di IG-nya ditulis Bintan dalam kurung Batam! Ih kasihan kali ini Bintan.”
Tur berakhir, emosi Ruth mereda, saya kembali ke hotel. Di dalam mobil, saya mengunggah foto Ria Bintan di Instagram. Ketika akan membubuhkan tag lokasi, muncul tulisan “Pulau Bintan (Batam).” Saya jadi merasa berdosa sempat meragukan wawasan Luna Maya. Dia ternyata hanyalah korban dari kesalahan Instagram.
Ini kunjungan pertama saya ke Bintan, pulau berbentuk tapal kuda di barat Indonesia, persis di samping Batam. Layaknya orang yang melawat tempat baru, saya datang penuh semangat. Laptop berisi riset panjang seputar tempat-tempat menarik. Google Map di telepon genggam memuat target-target lokasi. Bintan menyandarkan pendapatannya pada pariwisata, dan saya berharap bisa melihat sebanyak mungkin aset wisatanya.
Akan tetapi, begitu tiba di sini, saya justru menemukan kisah yang berbeda. Bintan ternyata masih asing di telinga banyak orang Indonesia. Aneh memang. Pulau ini sudah bergabung ke pangkuan RI sejak 1950. Lebih aneh lagi, ia masuk grup lima besar sumur devisa pariwisata.
Keanehan itu juga sudah saya rasakan semenjak bertolak dari Jakarta. Di Bandara Soekarno-Hatta, petugas loket validasi tes Covid-19 menanyakan tujuan saya, dan saya pun menjawab singkat, “Ke Bintan.” Dengan paras bingung, dia menengok rekannya, lalu kembali bertanya “Bintan ada di mana?” Kini giliran saya yang bingung. Usai tertegun beberapa detik, saya iseng menjawab, “Di sebelah Batam.” Jawaban yang manjur.
Di Bintan, saya menginap di daerah Lagoi, sisi utara pulau. Dari Bandara Raja Haji Fisabilillah di Tanjungpinang, jaraknya sekitar 60 kilometer, setara Jakarta-Bogor, tapi jalannya bebas macet. Menuju Lagoi, mobil meniti jalan lengang, membelah hutan dan semak, menyisir pesisir. Sepi, hening, dan lancar. Jarak satu desa ke desa lain berjauhan. Hanya ada dua lampu merah selama sejam berkendara.
Penginapan saya, The Sanchaya, bersemayam di teluk berpasir putih. Desainnya terilhami rumah-rumah adat Asia Tenggara. Konsepnya rumah liburan keluarga, atau lebih tepatnya rumah liburan keluarga dalam daftar miliuner Forbes. Sanchaya adalah salah satu resor termewah dan termahal di Indonesia. Di buku tamunya, ada nama selebriti Anil Kapoor dan Dev Patel. Tak heran, resor ini kadang dijuluki “Aman versi Bintan.”
Sanchaya, tentu saja, bukanlah satu-satunya penginapan di Bintan. Tak jauh dari sini, ada Banyan Tree, Angsana, serta Natra. Di belahan timur pulau, ada Cempedak dan Nikoi. Teman saya, Trinity, penulis serial The Naked Traveler, pernah mengatakan Bintan sangat menarik jika kita gemar leyeh-leyeh di resor—dan pulau ini punya beragam opsi untuk menyalurkan hobi itu. Tapi kenapa, di luar Trinity dan Luna Maya, banyak orang Indonesia belum mengenal Bintan?
“Problemnya akses,” jawab Dwi Noer Kumalasari, hotelier yang pernah bekerja di Bintan. “Penerbangan ke sini sangat terbatas.” Sari, yang memiliki tanah di Bintan, tak cuma bicara soal minimnya frekuensi penerbangan, tapi juga terbatasnya trayek. Bandara di Tanjungpinang terkoneksi hanya ke tiga destinasi: Jakarta, Pekanbaru, dan Batam. (Ini pun dengan catatan: di antara para penumpangnya, beberapa salah mendarat di Pangkalpinang.)
Membuka data pariwisata, ketimpangan turis di Bintan terlihat gamblang. Pada 2019, pulau ini membukukan hampir 1,1 juta pelancong, di mana lebih dari 70 persennya membawa paspor. Selaris-larisnya sebuah destinasi, termasuk Bali sekalipun, jumlah turis domestik selalu lebih besar. Di luar Bintan, barangkali hanya Raja Ampat yang mencatatkan anomali serupa, tapi disparitas antara turis domestik dan asing di sana hanyalah lima persen.
“Kita mesti melihat sejarah pariwisata Bintan,” jelas Julius Kensan, pria asal Bintan, tentang pangkal penyebab rendahnya pasokan turis lokal. “Pusat wisata di Lagoi, jaraknya dulu tiga jam dari Tanjungpinang. Dan Lagoi sejak awal dikembangkan oleh perusahaan Singapura untuk melayani turis asing.”
Bicara sejarah, Lagoi adalah anak kandung kemitraan Sijori (Singapura-Johor-Riau) di masa Orde Baru. Kala itu, Singapura (dan Johor) butuh tempat liburan untuk warganya, sementara Indonesia ingin mengail devisa pariwisata. Klop. Dari sinilah lahir megaproyek Bintan Resorts pada 1990 di Lagoi. Konsepnya mirip ITDC Nusa Dua, tapi lahannya seluas Kota Tangerang. Properti debutnya, Bintan Lagoon Resort, diresmikan oleh Presiden Soeharto dan Perdana Menteri Singapura Goh Chok Tong.
Julius, yang menjabat pimpinan redaksi Manual Jakarta, masih ingat masa-masa awal pertumbuhan pariwisata itu. Lagoi, yang terpisah 40 kilometer dari Singapura dan 800 kilometer dari Jakarta, dipromosikan sebagai “playground on Singapore’s doorstep.” Wajar saja, tempat ini didesain familiar bagi orang Singapura. Singlish jadi basantara. Soket di kamar hotel bertipe tiga lubang pipih. “Beberapa hotel dulu bahkan hanya menerima dolar Singapura dan Amerika,” tambah Julius.
Memang, kondisinya kini sudah berubah. Setidaknya hotel-hotel generasi baru memakai soket universal. Jalan baru sudah terbentang dari Tanjungpinang, menyunat durasi tempuh menjadi hanya sejam. Belakangan, Bintan mulai melirik segmen domestik. Sebuah panduan wisata halal berbahasa Indonesia telah diterbitkan. Sayangnya, belum sempat merek Bintan tertanam di benak lokal, virus menjalar ganas.
Pagi-pagi sekali, laut surut di depan Sanchaya. Ombak menggapai pesisir seperti perenang yang kelelahan. Di kejauhan, kapal kargo dan tanker hilir mudik. Sesekali terdengar pompong nelayan yang kembali dari mencari ikan. Laut Cina Selatan terlihat lebih ramai ketimbang jalan-jalan di Bintan.
Hari ini, saya menyusuri pesisir barat pulau. Mobil kembali mengarungi jalan-jalan sepi. Luas Bintan dua kali Jakarta, tapi populasinya tak sampai 400.000 jiwa. Macet adalah berita nasional di sini, dan pemicunya biasanya bukan kepadatan kendaraan, melainkan bencana alam. Di beberapa ruas jalan, tersisa longsor akibat badai besar di akhir 2020. Pada lapisan tanah merah tampak noda-noda gelap kandungan bauksit. Dulu, bahan baku aluminium ini merupakan komoditas andalan Bintan.
Memasuki Desa Busung, mobil diparkir di tepi lahan paling ajaib di Bintan. Menyapu cakrawala, padang pasir bergelombang seperti bukit-bukit Sahara. Di sekitarnya, telaga-telaga pirus terhampar laksana oasis. Lanskap tempat ini tampak sureal, walau saya sebenarnya sedang menatap “fatamorgana.” Gurun Pasir Busung adalah bekas tambang pasir yang bertransformasi menjadi objek wisata.
Gurun ini mulai populer sekitar empat tahun silam. Biang keladinya ialah Instagram. Orang-orang berdatangan untuk berswafoto, membuat lahan terbengkalai ini justru merekah jadi sumber kas desa. Warga menjual tiket, berdagang jajanan, sesekali menyambi sebagai kru foto. Maklum, padang ilusi ini juga digemari calon pengantin. Govinda Rumi, pendiri agensi Terralogical, bahkan menempatkannya dalam daftar lokasi foto pranikah favoritnya.
Tak cuma turis lokal, Gurun Pasir Busung juga masuk radar pelancong asing, terutama asal Tiongkok. Royal Caribbean dan Dream Cruises, dua operator pesiar yang memiliki rute reguler ke Bintan, mencantumkan gurun ini dalam land tour penumpang. Kehadiran mereka tak lepas dari popularitas Bintan di luar negeri.
“Rombongan Tiongkok bisa habiskan 200 kelapa muda sehari,” ujar Ibu Nora, satu-satunya pedagang yang bertahan di masa paceklik. Begitu banyak turis Tiongkok, dia berhasil menguasai bahasa Mandarin bermodalkan pengalaman negosiasi. Saat saya menyeruput kelapa muda, Ibu Nora unjuk kebolehan menerjemahkan nama-nama buah. “Sudah setahun gak ada turis, agak lupa-lupa dikit bahasanya.”
Meninggalkan satu-satunya gurun di khatulistiwa, saya bergeser ke selatan pulau. Pohon-pohon berkelebat di balik jendela. Kebun karet terselip di antara rimba. Memasuki interior pulau, Gunung Bintan menjulang rindang. Di kakinya, kios-kios buah berbaris kosong, menanti musim durian jatuh di pertengahan tahun.
Setelah hampir sejam, mobil menggapai Tanjungpinang, jantung kehidupan pulau. Hutan kini digantikan barisan toko. Kicau burung ditelan klakson. Baliho pejabat menjulang di perempatan. Untuk pertama kalinya semenjak mendarat di Bintan, saya melihat tukang parkir.
Tanjungpinang adalah kota yang sibuk. Lebih dari separuh penduduk Bintan bermukim di sini. Dan layaknya kota utama, Tanjungpinang juga berperan sebagai gerbang lalu lintas barang, manusia, juga budaya. Dari sinilah Bintan mengirimkan produk-produk terbaiknya, dari bauksit, karet, hingga Vira Yuniar. Dari sini pula duta-duta globalisasi berdatangan. Tanjungpinang adalah satu-satunya tempat di Bintan yang memiliki KFC, Pizza Hut, juga bioskop dan mal. Yang terakhir ini agaknya dipandang monumental. Legendanya masuk peta wisata di bandara.
Mungkin karena kota ini minim “hiburan modern,” banyak anak muda setempat doyan kelayapan ke Singapura. Jika dipikir-pikir, Bintan dan Singapura sebenarnya menerapkan asas resiprokal pariwisata. Singapura mengirim turis yang mencari ketenangan alam. Bintan mengekspor remaja yang mendambakan keriuhan metropolis. Impas.
Di tepian kota, mobil memasuki kawasan pelabuhan. Di sini, Tanjungpinang memperlihatkan denyutnya sebagai kota bandar. Hampir tiap jengkal tanah dihuni pertokoan. “Dari 10 toko orang Tionghoa, pasti ada satu toko milik orang Padang,” Jun, sopir saya, berkelakar. Tapi kata-katanya ada benarnya. Kota ini memang dihuni banyak orang Tionghoa. Anastasia Wiwik Swastiwi, peneliti dari Balai Pelestarian Nilai Budaya Kepulauan Riau, bahkan mengklaim Tanjungpinang pernah menjadi kota dengan komposisi etnis Tionghoa terbesar di Indonesia.
Fakta demografis itu jugalah yang melatari kelahiran banyak rumah ibadah Buddha. Tanjungpinang, kota seukuran Jakarta Barat, mengoleksi lebih dari 20 wihara, beberapa berukuran gigantik. Tak heran, kota ini masuk sirkuit ziarah umat Buddha dunia. Jun sempat mengajak saya melawat wihara berisi 500 patung lohan, namun saya lebih memilih menikmati efek terbaik dari besarnya populasi etnis Tionghoa—Chinese food autentik.
Di antara toko renta, saya mampir di sebuah kedai kopitiam, warisan terbaik first wave coffee movement. Dapurnya diletakkan di teras. Interiornya temaram. Di mejanya, tak ada buku menu. Ini tipikal kedai untuk warga lokal yang sudah tahu mau pesan apa dan berapa harganya. Sambil dipelototi pramusaji, saya memesan es kopi dan kwetiau goreng. Pesanan lalu diteruskan kepada sang koki dalam bahasa yang tak saya pahami. Barangkali Hokkien, atau mungkin Teochew. Tak lama, hidangan datang dan rasanya sesuai harapan.
Kuliner bukan satu-satunya magnet Tanjungpinang. Di lepas pantainya, kota ini memiliki pulau bersejarah yang menyimpan kisah imperium Melayu masa silam. Dari dermaga kusam di balik pertokoan, saya menggapainya dengan menaiki pancung.
Perahu kayu merandai ombak kalem di awal Mei. Mesin tempel di buritannya sangat bising, memaksa penumpang duduk dalam diam, kalau bisa tak bergerak sama sekali. Pancung adalah perahu ramping yang rentan bergoyang jika penumpang menggeser pantatnya.
Selang 10 menit, tujuan saya mulai terlihat. Di tepinya berjejer rumah-rumah panggung yang dicat kuning dengan sentuhan hijau Stabilo. Di interiornya, sebuah masjid agung menjulang dengan warna serupa. Saya merasa sedang berlayar menuju pulau fantasi Wes Anderson.
Pancung akhirnya merapat ke dermaga. Saya telah tiba Pulau Penyengat. Sebuah pulau yang dulu rutin disinggahi pelaut karena mengandung banyak sumur air tawar, tapi juga mengancam mereka lantaran didiami tawon-tawon penyengat. Namun hari tidak ada tawon. Saya justru disambut papan-papan berisi pantun yang digantung di langit-langit. Di ujung dermaga, beberapa pria menawarkan jasa keliling pulau menaiki moda khas lokal, bentor alias becak motor.
Beberapa puluh meter dari Masjid Sultan Riau, saya berkenalan dengan Raja Abdulrahman, seorang kakek yang juga aktor sejarah. Dia mengaku sebagai keturunan pujangga besar Raja Ali Haji. Tak hanya berdarah biru, kakek ini juga berstatus selebriti. Pada 2009, dia berperan sebagai figuran dalam Mata Pena Mata Hati Raja Ali Haji, biopik yang dibintangi Alex Komang.
Menaiki sepeda motor, Raja Abdulrahman membawa saya menjelajahi pulau. Pengalaman yang mendebarkan. Untuk pertama kalinya, saya dibonceng keturunan raja. “Raja itu sebenarnya mirip tengku. Bukan penguasa maksudnya,” jelas Pak Abdulrahman. “Orang-orang di sini biasa memanggil saya Om Man.”
Motor bebek menyusuri jalan makadam. Om Man memandu saya ke perigi-perigi tua, petilasan sisa perang, juga pusara para raja. Virginia Matheson, dalam makalah Pulau Penyengat: Nineteenth Century Islamic Centre of Riau, menulis pulau kecil ini pernah dijadikan pusat Kesultanan Riau-Lingga pada awal abad ke-19. Situs warisan masa lalu itu kini bertaburan menanti peziarah.
Berpindah ke selatan pulau, kami bertamu ke Balai Adat, bangunan megah yang memajang replika Gurindam Dua Belas karangan Raja Ali Haji. “Saya dulu yang menemukan naskahnya. Kertasnya sudah koyak,” kenang Om Man tentang magnum opus buyutnya itu. “Gurindam bukan pantun atau syair. Isinya nasihat-nasihat hidup.”
Saya membaca beberapa kalimatnya. Gurindam Dua Belas sarat metafora, disisipi tasawuf, dengan rima yang puitis. Karya didaktik bertarikh 1847 ini juga mengusung format yang baru di zamannya: ditulis dalam aksara Jawi, dua baris per pokok. Bintan, walau kurang dikenal turis Indonesia, ternyata punya jejak dalam perkembangan sastra Nusantara. Atas sumbangsihnya ini pula, Raja Ali Haji ditetapkan sebagai pahlawan nasional. Dia salah satu pahlawan pertama yang tak pernah angkat senjata.
Senja mengembang dan napak tilas ditutup. Om Man mengarahkan motor ke dermaga. Di bawah langit remang, saya meninggalkan Penyengat, sebuah pulau mungil yang tuntas dikelilingi dalam sehari, tapi dengan sejarah panjang yang melintang 200 tahun. Di atas pancung yang selalu bergoyang, saya teringat beberapa potong Gurindam Dua Belas.
Dengan ibu hendaklah hormat,
supaya badan dapat selamat
Dengan anak janganlah lalai,
Supaya boleh naik ke tengah balai
Rampung berkenalan dengan pulau yang kurang dikenal ini, saya menghabiskan waktu menikmati tawaran terbaiknya. Sesuai petuah Trinity, saya leyeh-leyeh di resor.
Memasuki restoran, empat bapak asal Batam sedang bermain remi. Terpisah beberapa meja, istri-istri mereka riuh berbincang. Di antara keduanya, ada satu keluarga asal Semarang. “Ingin liburan di Indonesia, tapi yang standarnya internasional,” ujar sang ibu tentang alasannya datang ke Bintan, walau harus repot terbang via Jakarta. Memanfaatkan musim tarif promo, keluarga ini menginap di Banyan Tree, lalu menutup akhir pekan di Sanchaya. “Kalau liburan di Bali sudah terlalu biasa. Mau coba yang lain,” tambahnya.
Pandemi agaknya tak cuma membawa musibah, tapi juga membuka peluang baru. Akibat pintu-pintu perbatasan ditutup, hotel-hotel di Bintan dipaksa giat berpromosi ke pasar lokal. Tarif menginap mereka, yang sebelumnya berpatokan pada UMR Singapura, kini terasa lebih terjangkau bagi orang Indonesia.
Tapi insentif itu mungkin tak akan berlangsung lama. Tahun ini, Lagoi berniat menjalin “travel bubble” dengan Singapura. Demi menyongsongnya, program vaksinasi digulirkan dan sistem contact tracing diterapkan—dengan tingkat kedisiplinan standar Singapura. Dari hotel hingga pujasera karyawan, semua orang wajib check in dan check out, sambil diawasi satpam.
Menjelang petang, saya meninggalkan Lagoi, membelah pulau secara diagonal menuju bandara. Seperti hari-hari sebelumnya, jalanan sepi, dan saya menikmati tiap meternya sebelum kembali ke kemacetan Jakarta.
Mencerna karakternya, Bintan agak mirip Belitung. Selain bebas macet, pulau ini dibingkai pesisir berbatu, dikaruniai tradisi kopitiam, dan pernah menjadi sentra tambang. Ia mungkin hanya butuh Laskar Pelangi-nya sendiri untuk masuk mainstream. Dan sebelum itu terjadi, Bintan harus sabar menerima nasibnya kurang-lebih mirip Rich Brian: tenar di luar negeri, kurang laris di dalam negeri.
“Dari mana, Pak?” tanya sopir taksi, seorang pemuda asal Jambi, di Bandara Soekarno-Hatta. “Dari Bintan,” jawab saya.
“Oh, Batam…”
PANDUAN
Rute
Gerbang udara Bintan, Bandara Raja Haji Fisabilillah di Tanjungpinang, terkoneksi ke Pekanbaru, Batam, dan Jakarta. Penerbangan ke sini dilayani oleh Garuda Indonesia, Citilink, serta Lion Air. Bintan kini sedang membangun bandara baru di dekat Lagoi, yang diproyeksikan terkoneksi ke lebih banyak kota.
Penginapan
Bintan mengoleksi 87 hotel, mayoritas terkonsentrasi di tiga area: Kota Tanjungpinang di selatan; Pantai Trikora di timur; serta Lagoi di utara. Beberapa resor ikonisnya ialah The Sanchaya, Banyan Tree Bintan, Natra Bintan, serta Cempedak Private Island. Selama pandemi, paket promo ditawarkan oleh banyak properti, termasuk The Sanchaya, dengan tarif mulai dari Rp9.000.000, inklusif transfer bandara, tes antigen, sarapan, serta makan malam berisi tiga hidangan.
Kuliner
Di Tanjungpinang, kopitiam berserakan di kawasan belanja, terutama di Jalan Temiang. Kuliner khas lokal, keong laut gonggong, lazim disajikan di resto rumah panggung yang disebut kelong, salah satunya Kelong Ciuyong di tepi selat pemisah Bintan dan Pulau Pengujan. Di kawasan Lagoi, banyak orang umumnya makan di hotel, berhubung resto independen sangat minim. Tapi ada satu kedai sederhana di sini yang berhasil memikat tamu dari luar pulau—Lamak Basamo di Pujasera Lagoi.
Wisata
Ada banyak aktivitas wisata di Bintan, mulai dari mendaki gunung, tur bakau, snorkeling, hingga aneka kegiatan untuk anak-anak. Khusus pemburu foto pranikah, Gurun Pasir Busung punya banyak penggemar. Momen paling ramai untuk liburan di Bintan ialah saat pulau ini menggelar acara akbar, contohnya Bintan Marathon, Tour de Bintan, serta Festival Pulau Penyengat.