Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Kebijakan Langka Pariwisata Dubrovnik: Batasi Jumlah Turis

Benteng Lovrijenac difoto dari bagian atas benteng Stari Grad.

Oleh Cristian Rahadiansyah
Foto Atet Dwi Pramadia

Stari Grad adalah masa lalu yang diserbu. Di dekat gerbangnya, orang-orang tumpah dari pintu-pintu bus, memenuhi jalan dan pelataran. Di antara mereka, bendera-bendera grup tur berkibar di ujung antena, berkelindan dengan tongkat-tongkat swafoto. Saya dikepung turis. Robert, sopir saya, dihardik sopir lain yang memintanya lekas memindahkan kendaraan. Macet membentang sejauh mata memandang. Ini Senin pagi di ujung musim gugur. Sulit membayangkan riuhnya tempat ini di musim panas.

Bersama ratusan turis, saya memasuki Stari Grad seperti orang yang menghadiri hajatan pejabat: beriringan, berimpitan, berdesakan. Tiba di sebuah plaza, pantomim beraksi, pramusaji merayu, pengamen berdendang, pemandu merapal sejarah, manula kebingungan akibat salah jalan. Teman-teman saya, mayoritas dari Indonesia, tampak tak terganggu. Di Indonesia, orang sudi mengantre berjam-jam demi banyak hal, mulai dari cave tubing hingga obral sandal.

Kiri-kanan: Kolam renang di Hotel Kompas dengan latar Laut Adriatik; Ivan Vukovic, seorang pemandu lokal, di dermaga yang melayani tur ke Pulau Lokrum.

“Jika ingin melihat surga di muka bumi,” kata dramawan George Bernard Shaw, “datanglah ke Dubrovnik.” Itu kata-kata pada 1929, ketika Dubrovnik masih berada dalam pangkuan Kerajaan Yugoslavia. Kala itu, tentu saja, tidak ada pariwisata massal, tidak ada tongkat swafoto, barangkali juga tidak ada turis asal Indonesia seperti saya. Saya tak tahu seberapa jauh pujian Shaw bergema, tapi dunia mendengarnya, juga memercayainya. Dubrovnik kini merupakan salah satu destinasi wisata terlaris di Kroasia. Pada 2016, kota ini disatroni lebih dari sejuta pelancong. Bukan angka yang kelewat mencengangkan sebenarnya, tapi dalam kenyataannya terasa “kelewatan” lantaran semua turis praktis datang hanya untuk satu tujuan dan terkonsentrasi hanya di satu lokasi: Stari Grad, kawasan Kota Tua Dubrovnik.

Saya menembus “surga” itu lebih dalam. Stari Grad sejatinya hanyalah sebuah desa yang dikurung benteng. Di tepi bulevar utamanya, gedung-gedung batu bergandengan tangan. Usia mereka ratusan tahun, tapi parasnya mulus seperti baru kemarin diresmikan. Berjalan lebih jauh, saya menemukan istana, biara, kuil, beragam relikui. Mendaki beberapa anak tangga, sebuah katedral menjulang perkasa. Persis di tengah hari, lonceng berdentang lantang dari puncak menara kota, memantul-mantulkan gema pada dinding benteng.

Kiri-kanan: Antrean turis menuju bagian atas Stari Grad; Turis Indonesia berpose sebelum mengikuti tur perahu.

Stari Grad adalah jendela ke masa lalu. Tempat ini membawa kita ke periode ketika bangunan tak cukup hanya berfungsi, tapi juga harus memukau. Dalam proses itu, kita diajak larut dalam nostalgia arsitektural yang asyik ke babak-babak yang berbeda: dari gotik ke renaisans ke barok. Banyak bangunan di sini merupakan warisan dari zaman ketika Dubrovnik berstatus Ibu Kota Republik Ragusa, sebuah kekuatan maritim yang disegani pada abad ke-13. Begitu harum pamornya sampai-sampai kamus Barat mengenal istilah “argosy” (“kapal Ragusa”), sepatah kata yang dipopulerkan oleh Shakespeare lewat The Taming of the Shrew.

Tapi bukan cuma karena gedung Stari Grad ramai manusia. Kota ziarah ini juga diuntungkan oleh lokasinya. Bersemayam di tepi Laut Adriatik, Stari Grad memadukan apik kecantikan alam Mediterania dan kemegahan benteng Abad Pertengahan. “Mutiara Adriatik,” begitu pujangga Lord Byron merangkum keindahannya. Berkat lokasinya pula, Stari Grad bisa dijangkau lewat jalur laut. Hampir setiap kapal pesiar yang melayani trayek Mediterania berlabuh di sini. Stari Grad adalah masa lalu yang mudah dikunjungi.

Tangga yang dijadikan lokasi adegan Walk of Shame karakter Cersei Lannister dalam Game of Thrones.

Sayang, “masa lalu” ini kini mulai kewalahan. Di balik gemuruh mesin pariwisata, Stari Grad menderita beragam masalah pelik. Akibat banjir turis, problem lingkungan dan sosial bermunculan. Macet menjadi pemandangan rutin. Warga lokal kesulitan beraktivitas. Sebuah pasar ikan langganan mereka bahkan telah direlokasi. Sebagai industri, pariwisata memang punya efek samping.

Baca Juga: Wisata Film di Dubrovnik

Problemnya juga bertambah lantaran Stari Grad kian mahal. Investor berdatangan. Penginapan dan restoran menjamur. Harga properti melambung, diikuti oleh merangkaknya biaya kebutuhan harian. Di Stari Grad, secangkir kopi atau sepiring risotto hitam, menu khas lokal, dibanderol tiga kali lebih mahal dibandingkan di Zagreb, Ibu Kota Kroasia. Turis sepertinya tak keberatan, tapi warga lokal terbebani, walau di saat yang sama juga diuntungkan. Setidaknya kini mereka lebih memiliki insentif finansial untuk eksodus ketimbang menetap. “Uang yang mereka dapat dari menyewakan rumah per hari di sini cukup untuk membayar kontrakan rumah selama sebulan di luar Stari Grad,” ujar Ivan Vukovic, pria kelahiran Dubrovnik.

Kiri-kanan: Turis berpose di replika Iron throne serial Game of Thrones yang terpajang di Pulau Lokrum; Kapal bergaya klasik merapat di Pelabuhan Dubrovnik.

Menaiki perahu kayu, saya meluncur selama 15 menit ke Pulau Lokrum. Usai mendarat di dermaganya, saya menyusuri jalan setapak yang membelah taman rindang. Lokrum adalah pulau yang sarat cerita. Di sini tersimpan sebuah benteng Prancis dari abad ke-19. Menarik waktu lebih jauh, Lokrum pernah disinggahi Raja Inggris Richard dalam perjalanan mudik dari Perang Salib. Konon katanya, pulau ini juga dihuni nude beach, tapi saya tak menemukannya. Hari ini, satu-satunya yang bugil hanyalah burung merak yang berkeliaran di antara pepohonan.

Kini, Lokrum terkenal sebagai suaka bagi turis yang ingin sejenak meninggalkan kelimun manusia di Stari Grad. Akan tetapi, sejak 2015, tempat ini pun berangsur ramai, dan penyebabnya, uniknya, hanyalah sebuah kursi.

Di dalam gedung batu Benedictine Monastery, orang-orang tertib mengantre di depan sebuah kursi yang dirangkai dari hampir 200 bilah pedang. Satu per satu turis mendudukinya, berpose, lalu berfoto. Dalam sekejap, berkat koneksi internet gratis, foto-foto mereka menyebar melalui media sosial. Kursi itu begitu memikat karena merupakan replika Iron Throne yang dipakai dalam Game of Thrones, serial yang tahun lalu mendulang 31 juta penonton per episodenya. Sejak kehadiran singgasana keramat itu, jumlah pengunjung Lokrum pun meroket.

Kiri-kanan: Bulevar yang membelah Stari Grad; Toko yang menjajakan suvenir bertema Games of Thrones, serial yang melambungkan pamor Dubrovnik.

Kroasia tak punya tradisi gemilang dalam industri sinema, tapi Dubrovnik memiliki magnet yang kuat di mata banyak produser. Bangunan-bangunan renta di Stari Grad menawarkan latar yang ideal bagi adegan kolosal bertema kerajaan. Dalam Game of Thrones, Lokrum dipakai sebagai latar kota Qarth, sementara Stari Grad menjadi King’s Landing. Sebelum lawatan saya, Stari Grad dijadikan lokasi syuting Star Wars, disusul oleh Robi Hood. Begitu kuat reputasinya sebagai lokasi syuting sampai-sampai Dubrovnik pun memiliki festival filmnya sendiri. Prestasi yang membanggakan untuk sebuah kota yang hanya mengandalkan masa lalu.

Keberhasilan memikat rumah-rumah produksi besar memberikan Dubrovnik mesin uang baru: movie tourism. Dalam kasus tertentu, film juga membantu Dubrovnik melebarkan segmennya. Pada 2015 misalnya, Bollywood merekam sebagian adegan Fan di sini. Tak lama setelah film yang dibintangi Shah Rukh Khan itu tayang, Dubrovnik mulai kedatangan turis India. “Padahal dulu tidak ada turis India di sini,” kenang Ivan yang telah menekuni profesi pemandu selama 13 tahun.

Sebuah kapal pesiar melego jangkar di perairan Stari Grad, tak jauh dari Pulau Lokrum, lokasi syuting Game of Thrones.

Selasa pagi, saya kembali ke Stari Grad. Turis masih berkerumun di muka gerbangnya. Menatap bagian atas benteng, antrean manusia menjuntai panjang hingga ke dasar tangga. Kata sopir saya, ada dua kapal pesiar yang bersandar pagi ini.

Hari ini, saya mengarungi area lain Stari Grad. Saya menembus gang-gang cupet yang menanjak, penuh liku, lalu mendadak buntu terbentur dinding. Ada begitu banyak gang senggol, dan semuanya pasti berujung pada sebidang dinding besar setinggi 25 meter. Kadang tempat ini membuat saya merasa sedang berjalan jalan di dalam rantang. “Ini kunjungan pertama saya. Tidak menyangka tempatnya seindah ini,” ujar seorang nenek asal Inggris, yang  beristirahat di kaki benteng.

Kiri-kanan: Mara Pervan, biarawati di bangunan renta yang menampung museum dan Gereja Sigurata; Jejeran restoran yang mudah dijumpai di Stari Grad.

Menjelang siang, udara dingin berembus, menembus lorong-lorong, menggerayangi dinding-dinding tua. “Good food, good food my friend, come and see,” seorang pramusaji merajuk saat saya sedang mencari tempat makan siang. Saya menyusuri jalan di mana mejameja restoran tumpah hingga ke teras dan kaum remaja menjajakan paket tur bertema Game of Thrones. Melewati toko-toko suvenir, wajah Jon Snow terpampang pada kaus dan cangkir, bersanding dengan jubah Darth Vader dan stiker bertuliskan “the force was here.

Kian lama menghabiskan waktu di sini, saya kian merasa kota pusaka ini lebih menyerupai sebuah mal besar. Banyak bangunan telah beralih fungsi. Restoran dan kafe berjejer mulai dari tepian bulevar hingga ganggang buntu. Di antara mereka, kita bisa menemukan Irish pub, kedai gelato, toko suvenir, dan butik yang menjual barang impor, mulai dari busana Max Mara hingga parfum Sisley.

Kiri-kanan: Sepasang turis mengamati burung merak penghuni Pulau Lokrum; Lapangan bola basket terselip di Kota Tua.

Tak semua pihak berkenan dengan keadaan itu. Tahun lalu, UNESCO memperingatkan bahwa predikat Situs Warisan Dunia yang dipegang Stari Grad sedang dalam ancaman. Dubrovnik dianggap kurang mengindahkan daya dukung Kota Tua ini dalam menghadapi pertumbuhan pelancong. Agustus 2016 misalnya, lebih dari 10.000 orang memasuki Stari Grad dalam sehari, membuat situs ziarah seluas 13,38 hektare ini lebih mirip pasar kaget.

Banyak orang lupa, Stari Grad bukanlah Borobudur. Ia bukan candi yang lama terkubur dan kemudian dibangkitkan. Alih-alih, Stari Grad adalah sebuah ruang hidup yang punya roh dan budaya. Ini tempat biarawati berdoa dan umat bersembahyang. Ini juga tempat keluarga-keluarga nelayan hidup dan beranak pinak. Stari Grad, seberapa pun tuanya, masihlah sebuah desa di dalam benteng. Kegagalan menyadari fakta itu mendorongnya menjadi semacam taman rekreasi yang banal: banyak hiburan, kering kehidupan. Merujuk sensus, populasi Stari Grad telah susut dari 2.116 jiwa pada 2011 menjadi 1.557 pada 2016.

Turis mengamati rangkaian foto syuting Games of Thrones di Kinematografi Dubrovnik.

Setelah 800 tahun melindungi warganya dari perang, Stari Grad kini menghadapi tantangan baru yang sulit diatasi: invasi turis. Di tengah mara itulah kita mendengar hantu Venesia bergentayangan. Venesia, yang juga bersemayam di tepi Laut Adriatik, merupakan pelajaran penting tentang bahaya pariwisata massal. Di sana, warga lokal terus tersisih demi memberikan ruang bagi hotel, restoran, dan butik, sampai-sampai sekitar 1.000 orang minggat saban tahunnya. “Apa yang terjadi di Venesia memang mengkhawatirkan, dan kami tak ingin seperti itu,” ujar Ivona Bijac Nikolic dari Dubrovnik Riviera & Islands Tourist Board. “Karena itulah kami merumuskan manajemen baru pariwisata.”

Manajemen baru itu sudah diterapkan. Di bawah wali kota baru Mato Franković, Dubrovnik meluncurkan serangkaian inisiatif guna mengendalikan jumlah turis. Tahun lalu, kuota turis ditetapkan. Per harinya, hanya 8.000 penumpang kapal pesiar yang dibolehkan memasuki Stari Grad. Rencananya, angkanya akan diturunkan menjadi 4.000 penumpang pada 2018. Demi memastikan regulasi itu dipraktikkan, Pemkot memasang 116 buah kamera pengawas yang bertugas memantau dan menghitung jumlah turis. (Stari Grad terbuka gratis, karena itu pengunjung tidak bisa dihitung berdasarkan penjualan tiket.)

Kiri-kanan: Pengamen jalanan dengan di salah satu sudut Stari Grad; Pantai Banje dengan latar Stari Grad.

Operasi penyelamatan Stari Grad menaruh fokusnya pada kapal pesiar karena moda inilah yang memasok turis terbanyak. Pada 2016 saja, Dubrovnik menerima 639 kunjungan kapal yang mengirimkan lebih dari 800.000 penumpang. Aturan baru lainnya bagi kapal pesiar adalah kewajiban bagi setiap penumpang untuk menghabiskan minimum enam jam di darat. Harapannya, mereka tak semata singgah untuk melihat-lihat, tapi juga menggelontorkan uang untuk makan. “Kontrakkontrak dengan operator kapal pesiar sudah diteken bertahap. Wali kota baru Dubrovnik pernah bekerja di marina, jadi dia tahu cara menghadapi mereka,” tambah Ivona.

Kebijakan itu terbilang berani. Dubrovnik mengambil langkah yang tidak populer: mengutamakan kualitas dibandingkan kuantitas. Tapi, bagi Kroasia, di mana pariwisata menyumbang 20 persen kas negara, Stari Grad memang aset yang terlalu berharga untuk dibiarkan rusak. Masa lalu kewalahan, dan kini ia melawan. Asa masih menyala untuk memulihkan kejayaan King’s Landing.

Kapal wisata siap bersandar di dermaga Pulau Lokrum.

PANDUAN
Rute
Dubrovnik berlokasi di pesisir selatan Kroasia. Dari Indonesia, penerbangan dengan durasi tersingkat ke kota ini dilayani oleh Turkish Airlines (turkishairlines.com) via Istanbul. Maskapai ini juga memiliki penerbangan ke Zagreb, Ibu Kota Kroasia. Road trip dari Zagreb menuju Dubrovnik menawarkan pengalaman yang berkesan. Anda bisa menyusuri pesisir Laut Adriatik dan singgah di banyak kota bersejarah seperti Zadar, Trogir, Split, dan Ston.

Penginapan
Di Stari Grad, mayoritas penginapan berbentuk apartemen. Hanya ada dua hotel di sini, salah satunya The Pucic Palace (Old Town Dubrovnik; 385-20/326-222; thepucicpalace.com; mulai dari Rp3.400.000). Di luar Kota Tua, hotel lebih mudah ditemukan, contohnya Hotel Kompas (Kardinala Stepinca 21; 385-20/299-000; adriaticluxuryhotels.com; mulai dari Rp1.200.000) yang berjarak 15 menit dari Stari Grad, serta Hotel Excelsior (Frana Supila 12; 385-20/353-000; adriaticluxuryhotels.com; mulai dari Rp2.100.000) yang baru dibuka kembali pada Mei 2017 usai direnovasi.

Aktivitas
Stari Grad terbuka gratis, tapi jika ingin mendaki bentengnya, kita mesti membayar 150 kuna (Rp300.000). Mata uang euro diterima sebagai alat pembayaran, tapi sebaiknya Anda mengambil kuna di ATM demi mendapatkan nilai tukar terbaik. Puncak turis berlangsung antara Juli dan Agustus, sementara para kru film umumnya menggelar syuting di musim dingin. Untuk informasi lain seputar objek wisata dan jadwal acara, kunjungi situs resmi Dubrovnik Tourist Board.

Dipublikasikan perdana di majalah DestinAsian Indonesia edisi Januari/Maret 2018 (“Menyelamatkan Surga”).

Show CommentsClose Comments

Leave a comment

0.0/5