Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Jalan Papua Untuk Siapa 

Trans-Papua tak hanya membelah Papua, tapi juga membelah opini. Jalan ini dipandang vital untuk mobilitas manusia dan distribusi barang. Di sisi lain, infrastruktur ini dianggap berbahaya lantaran membuka akses lebih luas bagi penetrasi tentara dan eksploitasi alam. Lewat proyek fotonya, Albertus Vembrianto merekam polemik itu sejak 2015.

Bagian dari agenda pemerintah sejak era Presiden B. J. Habibie, Trans-Papua adalah salah satu proyek paling kolosal dalam sejarah Indonesia. Jalan ini lebih panjang dari Trans-Sumatera dan jauh melampaui Anyer-Panarukan yang dibangun Daendels pada abad ke-19. Trans-Papua membentang dari Sorong hingga Merauke dengan panjang menembus 4.000 kilometer. Konstruksinya bertahap, diselingi sejumlah konflik, diwarnai isu politik, dengan target rampung tahun ini.

Hingga kini, Vembri sudah mendokumentasikan ruas Trans-Papua di tujuh kabupaten, termasuk Mimika, Paniai, Deiyai, dan Yalimo. Dia tak sekadar memotret jalan, tapi juga mengkritisi logika dan konsekuensi dari kehadirannya. “Fokusnya adalah strategi pembangunan pemerintah di Papua,” jelas Vembri. “Pembangunan justru membuat orang asli Papua tersingkir dari tanah sendiri.”

Bagi Vembri, pria asal Sumatera Selatan yang menetap di Timika, pembangunan di Papua seharusnya dipimpin oleh orang Papua sendiri, bukan dikendalikan sepenuhnya oleh pusat. Pemerintah, katanya lagi, semestinya lebih fokus memperbaiki kondisi kesehatan dan pendidikan—dua problem yang lebih mendesak ketimbang jalan. “Jika kemampuan literasi, kemampuan berpikir, dan kualitas kesehatan orang Papua lebih baik,” tambah Vembri, “orang Papua akan merencanakan pembangunan di tanahnya sendiri.”

Proyek foto Trans-Papua adalah bagian dari dokumentasi Vembri tentang perubahan lanskap hidup orang Papua. Proyek yang dikerjakan secara mandiri ini ditargetkan kelar akhir 2019, untuk kemudian dibukukan. “Agar ada arsip terkait perubahan di Papua,” jelasnya.—CR

Proyek foto ini dipilih lewat proses seleksi oleh editor tamu Beawiharta dan telah diterbitkan dalam DestinAsian Indonesia edisi Juli-September 2019.

Albertus Vembrianto
Fotografer lepas asal Sumatera Selatan ini menetap di Timika dan aktif menggarap cerita bertema Papua. Karya-karyanya pernah dipamerkan dalam Asia-Pacific Rainforest Photo Summit 2016, Reclaim Photography Festival 2017, serta Humanity Photo Awards 2018. Tahun ini, Vembri terpilih untuk mengikuti 6×6 Global Talent Program garapan World Press Photo. albertusvembrianto.com.

Show CommentsClose Comments

Leave a comment

0.0/5