by Cristian Rahadiansyah 11 May, 2020
Indonesia Defisit 1,1 Juta Turis di Awal Tahun
Upaya pemerintah mengejar target kunjungan turis akan kian berat. Tahun lalu, dari target 18 juta, Indonesia hanya mampu membukukan 16 juta kunjungan. Tahun ini, pemerintah mematok target 17 juta, tapi kemudian Covid-19 datang dan memukul sektor pariwisata.
Statistik awal tahun dari Badan Pusat Statistik (BPS) bisa jadi rujukan untuk merevisi proyeksi. Secara kumulatif dari Januari-Maret 2020, arus wisatawan mancanegara (wisman) turun sekitar 30 persen dibandingkan kurun yang sama pada 2019 yang mencapai 3,76 juta kunjungan. Itu artinya ada defisit sebesar 1.150.000 kunjungan—cukup untuk memenuhi seluruh kamar hotel di Indonesia selama tiga hari.
Berdasarkan destinasinya, jumlah penurunan terparah dicatatkan oleh Bali, magnet wisata utama di Indonesia. Walau Bandara I Gusti Ngurah Rai tetap menjadi gerbang turis tersibuk pada triwulan pertama 2020, jumlah kunjungan wisman susut hampir 300.000 dibandingkan periode yang sama pada 2019.
Di luar penurunan, komposisi sumber turis Indonesia tidak banyak berubah, terutama di klasemen atas. Dari Januari-Maret 2020, pemasok tersubur ialah Malaysia (483.900 kunjungan), disusul oleh Timor-Leste (277.400), Singapura (263.100), dan Australia (248.900). Tiongkok, eksportir pelancong terbesar sejagat, bertengger di posisi kelima, di atas India. Secara persentase, Hong Kong mencatatkan penurunan angka kunjungan terbesar, yakni 90,87 persen. Kendati begitu, jumlah riil wisatawan dari Hong Kong sangatlah kecil.
Data awal 2020 juga memperlihatkan beberapa anomali. Secara kumulatif, meski tren bulanannya menurun, turis dari Vietnam dan Arab Saudi masihlah positif jika dibandingkan triwulan pertama 2019. Juga unik, kunjungan dari Timor-Leste meningkat, dari 80.700 di Februari menjadi 86.300 di Maret 2020. Anomali lain dalam grafik turis ialah Aceh. Kontradiktif dari seluruh bandara lain di Indonesia, Bandara Sultan Iskandar Muda justru membukukan kenaikan drastis kunjungan wisman hingga 86 persen dibandingkan kurun awal 2019.
Perhotelan adalah salah satu sektor yang terpukul oleh pandemi Covid-19. Pada Maret 2020, tingkat penghunian kamar (TPK) hotel di Indonesia rata-rata hanya 32 persen, turun dibandingkan periode yang sama pada tahun lalu yang mencapai 52 persen. Hotel-hotel di Papua Barat menikmati TPK paling tinggi, 45,75 persen. Sementara Bali hanya 25 persen, artinya hanya sekitar 13.000 kamar yang terisi dari total 52.000 kamar.
Angka TPK versi BPS itu didasarkan pada jumlah hotel keseluruhan, tanpa memperhitungkan hotel yang sudah ditutup akibat pandemi. Menurut Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI), setidaknya sudah 1.139 hotel di Indonesia ditutup sementara. Mengutip statistik terakhir versi BPS, Indonesia mengoleksi 3.314 hotel pada 2018.
Baca juga: Juara Sayembara Pemulihan Pariwisata Dunia
Provinsi dengan hotel terbanyak akan lebih cemas menghadapi meroketnya angka pengangguran. Di kelompok tiga teratas, ada Bali (551 hotel), Jawa Barat (463), dan Jakarta (326). Sementara di dasar klasemen, ada Sulawesi Barat (5), Maluku Utara (2), dan Kalimantan Utara (1).
Berkaca pada kasus-kasus sebelumnya yang juga memukul tingkat hunian, misalnya erupsi gunung atau serangan teroris, hotel biasanya memulai proses pemulihan dengan membidik turis domestik. Tahun ini, banyak properti menawarkan tarif menginap jangka panjang dengan diskon luar biasa miring. The Papandayan Bandung misalnya, memasang tarif Rp5.500.000 untuk tujuh malam, sementara Artotel Sanur menawarkan paket menginap 30 hari seharga Rp6.999.000.
Terobosan kreatif lainnya ialah promo “book now, stay later.” Promo semacam ini ditawarkan oleh banyak hotel di banyak daerah, contohnya di Bali dan Bandung. Merek waralaba dari grup kakap global terlihat menjalankannya dengan lebih gesit dan rapi, contohnya Marriott yang meluncurkan kampanye bertajuk “Terima Kasih Indonesia” di seluruh propertinya yang masih beroperasi. —Cristian Rahadiansyah