by Cristian Rahadiansyah 08 April, 2013
Glokalisasi Tanah Datar
Bumi Datar
Hotel-hotel asing umumnya dicirikan dengan jaringan yang luas, kapital yang tebal untuk berekspansi, dan standar operasional yang berlaku lintas-negara. Merek semacam The Ritz-Carlton dan Conrad sudah terbentuk di pasar. Nama-nama bonafide tersebut merefleksikan kualitas dan pengalaman yang panjang. Untuk mengimbangi pamor mereka, terutama di tengah persaingan yang runcing, hotel lokal cuma punya dua opsi solusi: terobosan kreatif atau anggaran promosi yang kolosal. Dalam tiga tahun terakhir, Santrian, Komaneka, dan Villa de daun memilih opsi yang pertama—pilihan yang dimungkinkan berkat kehadiran entitas bisnis abad ke-21 bernama online booking.
Selain rajin mengikuti tradeshow di dalam dan luar negeri (Santrian menggunakan sekitar enam persen pendapatan untuk promosi), hotel-hotel lokal bergerilya lewat situs semacam Expedia, TripAdvisor, dan Agoda. Mereka mengundang para tamu untuk menuliskan pengalaman mereka, lalu menceritakannya kepada dunia.
Strategi promosi itu bukan hanya murah, tapi juga punya kredibilitas yang relatif tinggi. Komunitas Netizen tidak menyandarkan pilihan akomodasi hanya pada brosur atau iklan. Mereka juga tidak silau pada nama-nama besar. Alih-alih, untuk menilai kualitas sebuah hotel, golongan konsumen kritis ini sangat mempertimbangkan referensi pengguna. “Berkat komentar positif di internet, banyak tamu ‘baru’ berdatangan, misalnya dari Singapura,” ungkap Made Suardana, Executive Assistant Manager Santrian. “Online booking menyumbang 33-35 persen tamu di 2012.”
Komentar di online booking memang tidak selamanya akurat. Ulasan bisa dimanipulasi. Pujian dapat direkayasa. Namun, terlepas dari kekurangan tersebut, online booking telah membuat dunia—meminjam istilah Thomas Friedman—menjadi datar. Hotel lokal dan asing bisa bertarung di koliseum yang adil. Dominasi didasarkan pada kualitas dan jejak rekam, bukan hanya nama besar.
“Online booking memberi peluang yang adil bagi merek lokal untuk bersaing dengan merek internasional,” ujar Yusuf Ijsseldijk, Managing Director & CEO GoIndonesia.
Lewat internet, sebuah merek bisa dibangun dalam semalam, tapi di sisi yang lain, juga bisa luluh dalam hitungan detik. Predikat harum atau suram bisa menyebar dengan velositas yang sama cepat. Di medan datar semacam itu, hotel lokal harus berkeringat lebih banyak untuk memelihara reputasi. Cacat di hotel asing bisa dinilai sebagai eror kasuistik, sebab standar prosedur mereka paripurna, teruji oleh waktu, dan nyaris tanpa ruang untuk alpa. Kondisinya kontras dari hotel lokal yang tak punya kredensial merek kecuali identitas yang mereka bangun secara mandiri.
Pengadopsian khazanah adat terbukti sanggup menjadi nilai jual bagi merek-merek lokal, sekaligus membuat mereka unik dan autentik. Meski begitu, ada konsekuensi yang harus ditanggung: merek hotel sulit diekspor ke daerah lain di Indonesia, apalagi ke negara lain. Autentisitas, sejatinya, memang tidak untuk diekspor. Itulah mengapa makanan Vietnam bercita rasa asli sukar ditemukan di luar Vietnam.