by Rony Zakaria 21 October, 2014
Flores dan Ritual Paskah Magis
Oleh Rony Zakaria
Flores menawarkan sosok yang sulit dihapus dari benak. Kebudayaannya eksotis dan bernyawa. Warganya murah senyum dan hangat. Alamnya relatif steril dari kontaminasi. Awal Juni silam, saya kembali mengunjunginya, kali ini untuk mengikuti Semana Santa di Larantuka, Flores Timur. Pergelaran umat Katolik ini ditujukan untuk mengenang wafat dan bangkitnya Yesus.
Ziarah adalah bagian integral dalam tradisi Katolik. Kita bisa menyaksikannya di banyak tempat religius, seperti kota suci Jerusalem, Lourdes di kawasan perbukitan Pyrenees di selatan Prancis, Fátima di Portugal, ataupun rute ziarah Santiago de Compostela di Spanyol yang menginspirasi novel populer The Pilgrimage karya Paulo Coelho. Di Indonesia, Semana Santa juga memikat peziarah dari penjuru bumi.
Daya tariknya bukan cuma terletak pada seremoninya yang kolosal, tapi juga riwayatnya yang mengandung nilai sejarah yang sangat penting. Larantuka punya ikatan kuat dengan drama penjajahan di Indonesia. Pada awal abad ke-16, kota ini menjadi salah satu tempat bermukimnya para pedagang dan misionaris Portugis. (Kata “Flores” diambil dari bahasa Portugis yang berarti “bunga.”) Walau pada awal abad ke-17 banyak orang Portugis meninggalkan Larantuka usai invasi VOC, pengaruh mereka telanjur tertanam di hati warga. Kita bisa menemukannya dalam nama-nama klan, misalnya da Costa, de Hornay, dan da Gomez. Dalam Semana Santa, jejak Portugis juga terpatri pada beragam aksesori dan istilah peribadatan.
Di Larantuka, Semana Santa dianggap lebih penting dari Natal. Salah satu suster di Larantuka mengatakan, Paskah merayakan kemenangan umat Katolik ketika Yesus bangkit dan menyelamatkan warga bumi. Ribuan orang melawat ke Larantuka demi mengenang peristiwa monumental tersebut. Di Kupang, para peziarah berebut tiket pesawat yang hanya beroperasi satu kali per hari ke Larantuka. Mereka yang tidak tertampung terpaksa menaiki kapal feri selama 15 jam dan menembus ombak Laut Sawu yang kerap ganas. Jika pelancong digerakkan oleh keinginan melihat dunia, peziarah disatukan oleh niat mendekati Sang Penguasa. Keduanya memancarkan militansi, tapi peziarah sepertinya lebih digerakkan oleh kekuatan di luar dirinya.>>