Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Festival Budaya Tua di Buton

Pentas kolosal Festival Budaya Tua.
Pentas kolosal Festival Budaya Tua.

Oleh Cristian Rahadiansyah
Foto oleh Danang Tri

Di depan saya, seorang gadis bersimpuh menyuguhkan 13 jenis makanan. Wajahnya menor. Busananya berkilau. Saya menunjuk-nunjuk makanan di atas tampah dan sang gadis dengan ramah mengambilkannya.

Kami juga berbincang, berbasa-basi, mencoba akrab. Jikalau gayung bersambut, kami boleh bertukar nama, nomor telepon, dan mungkin janji-janji untuk kelak bertemu kembali.

Kendati mirip speed dating, Pekande-Kandea sejatinya sebuah tradisi pascapanen yang melambangkan rasa syukur. Jamuan ini bermula di masa pra-Islam, kala Buton masih diperintah seorang ratu. Hari ini, setelah takhta ratu diwariskan bupati, Pekande-Kandea tampil sebagai atraksi wisata, bagian dari ajang Festival Budaya Tua yang bergulir akhir Agustus 2016.

Buton, pulau di kaki Sulawesi Tenggara, selama ini lebih dikenal sebagai lumbung aspal nasional. Dari hasil buminya lahir jalan raya yang menghubungkan banyak daerah di Indonesia, sebut saja Jakarta-Cirebon dan Cimahi-Padalarang. Dari hasil bumi itu pula muncul segelintir jutawan daerah yang menjadikan Buton pasar basah bagi importir Hummer.

Fasad Masjid Agung Wolio, salah satu daya tarik wisata di Buton.
Fasad Masjid Agung Wolio, salah satu daya tarik wisata di Buton.
Bastion di Benteng Wolio, aset wisata paling terkenal di Buton.
Bastion di Benteng Wolio, aset wisata paling terkenal di Buton.

Tapi Buton kini ingin menjala turis. Dalam beberapa tahun terakhir, pulau ini giat menggenjot sektor pariwisata. Pemerintah daerahnya berpartisipasi dalam bursa wisata di Bali dan Jakarta. Mereka juga menyewa sejumlah penyelam gaek untuk memetakan gua-gua di rahim laut. Belum lama, mereka menetapkan sebidang lahan pesisir sebagai zona khusus pariwisata. “Nantinya bisa dipakai untuk mendirikan resor,” kata Bupati Buton, Umar Samiun.

Festival Budaya Tua adalah contoh lain dari ambisi tersebut. Usai sesi santap massal yang melibatkan 2.000 gadis, saya diajak menonton pentas kolosal yang menampilkan 10.000 penari. Mayoritas pesertanya anak-anak dan remaja. Di alun-alun lapang di tepi Teluk Pasarwajo, mereka membawakan empat nomor tari dengan koreografi yang terinspirasi kehidupan warga sebelum mesin-mesin tambang melubangi bumi.

Suguhan yang menggetarkan ini mungkin mengingatkan kita pada Festival Arirang di Korea Utara. Bedanya, di Buton, tingkat disiplinnya lebih longgar dan para penarinya lebih sering tertawa.

Di akhir pentas, seluruh penari dan panitia berkerumun di alun-alun, melebur dalam lautan manusia, kemudian berjoget dan menyanyikan Rondeana, tembang berbahasa lokal. “Aku pulang malam ini karena rindu,” begitu bunyi baris pertama liriknya kata seorang warga.

Festival Budaya Tua sukses menyatukan warga dalam tawa dan euforia, tapi pergelaran ini sejatinya belum menjadi magnet yang menyedot wisatawan. Di episode keempatnya, ajang ini hanya dikunjungi oleh segelintir turis. Festival Budaya Tua sepertinya lebih dikemas sebagai sarana promosi, karena itu pemilihan harinya disesuaikan dengan jadwal siaran langsung salah satu stasiun televisi swasta.

 

Semburat senja di Baubau.
Semburat senja di Baubau.

Rabu malam, Festival Budaya Tua memasuki menit-menit terakhirnya. Saya kembali ke penginapan melalui jalan-jalan mulus yang kelewat lebar untuk sebuah daerah pelosok, sementara ribuan warga meluncur ke alun-alun guna menonton konser penutup yang menampilkan grup musik D’Masiv. Malam ini, Buton adalah pulau yang paling bersinar, gaduh, barangkali juga berbahagia.

“Masih banyak yang bisa diperbaiki dari festival,” ujar Ukus Kuswara, Sekretaris Kementerian Pariwisata, yang turut membuka festival, “tapi acara ini pastinya berhasil meningkatkan indeks kebahagiaan warga.” Dari aspal, Buton melapisi banyak jalan di Indonesia. Dari uang aspal, pulau ini beriktikad memuluskan jalannya menjadi destinasi wisata.

Dipublikasikan perdana di majalah DestinAsian Indonesia edisi November/Desember 2016.