by Cristian Rahadiansyah 20 November, 2022
Empat Dekade Berkarier, Chef Degan Luncurkan Buku Biografi
Profesi koki, katanya, hanya untuk mereka yang bermental baja. Dibutuhkan disiplin ketat, dedikasi spartan, serta pengorbanan waktu di atas rata-rata. Sistem kerjanya juga seperti militer. Rantai komando dapur diterapkan kaku, menyisakan sedikit ruang untuk diskusi dan opini, kerap tanpa ampun untuk alpa dan eror.
Uniknya, walau tantangannya berat, profesi koki terus menuai peminat. Mungkin karena ganjarannya menggiurkan. Di hotel misalnya, gaji executive chef bisa menyamai, kadang melampaui, general manager. Dan ada bonus lainnya: berbeda dari GM, koki punya peluang untuk menjadi selebriti.
Buku biografi Degan Septoadji berangkat dari konteks itu. Banyak orang ingin menjadi koki, mungkin tergoda oleh prospek keuntungannya, tanpa benar-benar menyadari apa yang diperlukan untuk menyintasi jalur keras ini. Dengan berbagi kisah hidupnya, Degan ingin memperlihatkan realitas hidup seorang koki, termasuk soal tantangan kerja yang kerap luput dari layar televisi.
Judulnya Degan Septoadji Sebuah Perjalanan Kuliner: Behind the Chef. Buku ini diterbitkan tahun ini, sekaligus merayakan ulang tahun Degan ke-55. Peluncurannya digelar pada 13 November, dalam ajang Indonesia International Book Fair di Jakarta.
Sembilan bab pertama buku ini menyoroti aspek personal. Dibuka dengan kisah Sudjarwati, ibunda Degan, disambung dengan kisah sang ayah. Dari sini, pembaca diajak mengikuti masa kecil Degan di Jerman—episode hidup yang diselingi pilu dan berperan membentuk karakternya.
Bab-bab berikutnya fokus pada karier kuliner Degan. Ceritanya dimulai dari minat Degan pada profesi koki usai menonton proses kerja dapur kapal pesiar dalam sebuah acara televisi. Dari sini, garis hidupnya lurus di cabang kuliner. Dari staf magang sebuah hotel keluarga di Jerman, dia konsisten menapaki jenjang karier hingga menyabet titel executive chef.
Lima bab terakhir buku mengulas kegiatan “ekstrakurikuler” Degan di cabang diplomasi kuliner (memasak di acara kedutaan Indonesia di luar negeri), eksperimennya membuka restoran di Bali dan Jakarta, hingga merintis perusahaan katering dan mengasuh kanal YouTube.
Buku 315 halaman ini ditulis dengan sudut pandang orang ketiga. Dalam bagian epilog, penulisnya, Akmal Nasery Basral, mengklaim memakai bingkai jurnalisme sastrawi yang “menggabungkan akurasi data dan fakta dalam storytelling yang mengalir.”
Sebagai materi edukasi, yang notabene misi awal buku ini, biografi Degan layak dirujuk oleh mereka yang ingin bekerja di dunia dapur, terutama dapur hotel. Hampir empat dekade berkarier, portofolio Degan didominasi pekerjaan sebagai koki hotel, termasuk di Grand Hyatt Bali, Atlantis Bahamas, serta Banyan Tree Bangkok.
Buku terbitan Republika ini juga punya arti penting dalam literatur kuliner nasional. Koki yang menerbitkan kisah hidupnya adalah kasus langka di Indonesia. Mayoritas buku berkutat pada resep atau petualangan gastronomi.
Satu kritik terhadap buku ini barangkali kurangnya keberanian untuk menelanjangi “kejamnya” pekerjaan di dapur. Bacaan kuliner ini agaknya perlu tambahan bumbu. Kontras dari kisah-kisah dramatis dan vulgar dalam, misalnya, Kitchen Confidential atau The Devil in the Kitchen, dapur dalam buku Degan lebih mirip keluarga harmonis di mana mayoritas orang ramah dan rukun. —Cristian Rahadiansyah