by Fatris MF 26 July, 2017
Rhun, 350 Tahun Usai Dibarter Manhattan
Oleh Fatris MF
Foto oleh Muhammad Fadli
Pada pengujung 2016, saya meringkuk dikebat rasa mual di atas sebuah perahu motor dengan mesin paling bising di jagat raya. Suaranya melebihi dengung mobil F1, padahal kecepatannya hanya setara pedati yang ditarik kerbau. Sejak bertolak dari Pulau Naira, Ibu Kota Kepulauan Banda, Musim Barat yang ganas membuat perahu ini dan seisi penumpangnya terhuyung-huyung. Sudah lebih dari dua jam saya duduk di dek bersama mama-mama dengan mulut yang tak kalah berisik dari deru mesin perahu. Sepanjang perjalanan, mereka tak henti berbicara, tertawa, berolok-olok. Salah satu sasaran olok-olok mereka adalah seorang penata rias, lelaki gempal dengan dandanan yang lebih menor dari wanita.
Perahu ini membawa saya menuju sebuah pulau yang dikepung Laut Banda. Penjelajah di masa lalu menyebutnya Puloroon, pulau yang dianggap penting berkat hasil buminya. Puloroon, Run, atau Rhun, adalah tanah yang sulit dilacak di atas peta. Daratan seluas 2×4 kilometer ini terselip dalam gugusan Kepulauan Banda, sekitar 2.700 kilometer dari Jakarta. Rhun dikelilingi laut dalam, diterjang ombak yang bersabung. Di perairannya, karang menyeruak tajam layaknya mata belati. Salah arah sedikit saja, lambung perahu pasti robek. Ada kalanya, Rhun mustahil didatangi. Di musim badai yang berlangsung berbulan-bulan lamanya, pulau ini sepenuhnya terisolasi, termasuk dari Pulau Naira yang sesungguhnya juga setengah terisolasi dengan hanya disinggahi kapal dua kali per pekan.
Diiringi tawa dan olok-olok, perahu saya akhirnya merapat selamat di dermaga Rhun. Saya menghela napas panjang, sementara mama-mama melambaikan salam perpisahan untuk kawan “sepelayaran.” Dengan perut bergejolak seperti ombak, saya menghampiri sebuah penginapan di dekat dermaga. Pemiliknya Abdulah Lapari, lelaki tua keturunan Buton, yang bermata lindap dan murah senyum. Nama penginapannya Manhattan, sebagaimana tertera jelas dalam huruf-huruf berukuran besar pada pelang di muka balkon. Saya agak terheran juga. Kenapa nama hotelmu Manhattan, Bapa Abdulah?
Abdulah menyalami saya dengan pelukan tangan yang hangat. “Pulau ini dulu ditukar dengan Manhattan. Itu Manhattan di Amerika, to? Makanya penginapan saya ini diberi saja nama Manhattan,” jelasnya. Abdulah mempersilakan saya memasuki Manhattan. Seketika aroma wangi purbawi menusuk hidung. Saya bertanya-tanya, adakah hotel seharum ini di Manhattan sana? Adakah hotel bernama Rhun di sana? Hotel Manhattan ini berdiri di tengah pulau berkarang yang terpisah hampir separuh jarak keliling bumi dari Manhattan di Amerika. Manhattan milik Abdulah menaungi empat kamar dengan ranjang yang dikungkung kelambu, ditambah ruang makan yang berbagi tempat dengan karung-karung penuh buah pala dan fuli (selaput tipis pembungkus biji pala yang menebar aroma wangi). Ahli botani sepakat menyebut buah ini Myristica fragrans. Aromanya membaur di interior hotel yang gerah. Pengunjung seperti bermandikan peluh dan parfum sekaligus.
Malam datang dan Hotel Manhattan terang-benderang oleh cahaya, setidaknya untuk beberapa jam. Menjelang waktu tidur, listrik padam dan segenap daratan Rhun dikurung gelap. Tidak hanya kegelapan, udara panas juga menyelimuti sekujur pulau. Setiap orang sepertinya telah terbiasa tidur sambil mandi keringat. Tidak ada kipas angin atau AC yang bisa dihidupkan. Listrik hanya mengalir singkat di sini. Cuma aroma fulilah yang terpacak sepanjang malam, sampai-sampai menghantui mimpi saya. Aroma inikah yang dulu membawa pelayaran akbar itu, Bapa Abdulah?
Pada pengujung 1616, beberapa hari sebelum Natal, Swan dan Defence berlayar mengarungi Laut Banda. Kedua kapal Inggris itu sarat amunisi, bedil, juga bala tentara. Nathaniel Courthope, sang kapten, mengan- tongi surat dinas dari East India Company (EIC), kongsi dagang Inggris, untuk membawa Swan dan Defence dalam sebuah misi yang mahal sekaligus berbahaya: mempertahankan sebuah pulau dengan segenap isinya.
Sebelumnya, Portugis berupaya menjalin hubungan dagang dengan penduduk Rhun, tapi gagal. Inggrislah yang paling sukses membeli pala di Rhun, hingga pulau ini pun dicatat sebagai koloni Inggris pertama pada abad ke-17. Tapi kesuksesan itu kemudian terancam oleh kehadiran VOC yang mengusung cita-cita yang lebih ambisius: menguasai seantero Kepulauan Banda. Di momen sulit itulah Courthope datang. EIC kehilangan tajinya di Banda. Di sisi lain, VOC telah menguasai enam pulau di sini. Hanya Rhun dan Nailaka yang masih terlepas dari cengkeramannya.
VOC dan EIC, dua perusahaan transnasional raksasa di masa itu, berseteru selama puluhan tahun. Rhun yang dikuasai Inggris merupakan batu sandungan terbesar bagi agenda monopoli VOC. Sengketa itu berlarut tanpa hasil, hingga kedua pihak pun memutuskan mencari solusi lewat meja perundingan. Demi mendapatkan Rhun, Belanda bersedia memberi daerah jajahannya di Benua Amerika, New Amsterdam (kini Lower Manhattan). Inggris setuju dengan proposal itu. Pada 31 Juli 1667 di Kota Breda, keduanya meneken salah satu kesepakatan tukar guling termahal dalam sejarah perdagangan internasional.
Dengan berpindahnya Rhun ke tangan VOC, babak baru monopoli pala yang brutal dimulai. Mesin dagang Belanda ini mengubah hubungan dagang menjadi penaklukan. Rhun dan seantero Banda menjadi ladang pengisapan. Semuanya demi satu alasan: pala. Sejarah Banda memang beranjak dari buah ajaib dengan aroma yang tak kalah ajaib itu. Menengok masa yang jauh lebih lampau, jauh sebelum Belanda dan Inggris datang, saudagar-saudagar dari Arab, Persia, dan India telah menjadikan Banda tujuan dagang. Mereka mengangkut rempah ke pasar-pasar utama di sekitar Laut Tengah. Dari tangan mereka jugalah orang Eropa kemudian dapat membeli dan menikmati rempah.
Alur niaga itu terputus setelah para penjelajah Barat berhasil menemukan jalurnya sendiri untuk mencapai sumber-sumber rempah. Mereka menemui langsung produsen dan memotong fungsi perantara. Seiring itu, lomba layar kolosal untuk berburu rempah ke Timur pun dimulai di Eropa. Dan ketika akhirnya menemukan Banda, para penjelajah itu bersaing untuk menguasainya.
Dari Banda, mereka mengapalkan pala dengan kapal-kapal yang bergerak mengikuti pola angin, melintasi ribuan pulau, membelah samudra demi samudra. Pada abad ke-17, pala, buah yang hanya tumbuh di Banda, adalah salah satu komoditas yang paling dicari Eropa selain cengkih dan kayu manis. Orang-orang rela bertaruh nyawa demi memperolehnya, begitu tulis Giles Milton dalam Nathaniel’s Nutmeg. Dan dalam pertarungan itu, Rhun adalah trofi yang paling diperebutkan. Pulau ini, tulis Des Alwi dalam Sejarah Banda Naira, merupakan penghasil pala tersubur.
Rhun telah dibarter dengan Manhattan. Semua orang kini mengenal Manhattan, sebagian pernah mengunjunginya. Namun tidak dengan Rhun. Ketika pala tak lagi bernilai setara emas, pamor Rhun tenggelam. Ketika Manhattan ditumbuhi pencakar langit, Rhun belum tersentuh sinyal seluler. Dan ketika Manhattan menjadi tanah harapan bagi jutaan imigran, Rhun seakan dilupakan. Apa yang terjadi dengan masa depan, Kapten Courthope? Hari ini saya berada di masa depan Rhun: 400 tahun setelah Courthope menganeksasinya; 350 tahun setelah Pakta Breda ditandatangani. Bahkan di “masa depannya,” Rhun tak jauh beda dari masa lalunya. Orang-orang masih harus bertaruh nyawa untuk sekadar mengunjunginya. Berulang kali saya gagal mencapai Rhun akibat badai. Sebagaimana diakui banyak pelaut, Laut Banda adalah angkara murka yang membuat kita begitu dekat dengan pintu kematian. Anehnya, orang-orang di sini mengamini fakta tersebut dengan tawa dan lelucon-lelucon kematian yang janggal.
Suatu pagi, Abdulah, “General Manager” Hotel Manhattan, mengajak saya ke kebun pala miliknya. Kami meniti Jalan Eldorado, lalu mendaki tangga menuju bagian atas pulau yang dipenuhi pala. Anak-anak Abdulah disekolahkan bermodalkan buah yang kini telah kehilangan pamornya itu. Dari kebun pala, saya berpindah ke sisi lain pulau yang dibentengi tebing karang. Menghindari terik, saya duduk bersama beberapa pemuda di kaki pohon. Di depan kami teronggok sebuah bangunan semen yang menyerupai parit. “Mungkin benteng Belanda,” kata seorang pemuda. “Mungkin Portugis,” timpal yang lain. Tidak jelas. Masyarakat yang hidup dari pohon Myristica ini tak ambil pusing atas kehadiran bangunan aneh di kampung mereka. Catatan-catatan sejarah menyebutnya Benteng Swan atau Benteng Courthope.
Malam kembali berkelebat dan kegelapan yang pekat siap kembali menyergap. Di Hotel Manhattan, seorang turis baru saja pulang dari memanah ikan. “Ikan di sini mudah ditangkap,” kata Giorgios Kostoudis, pria jangkung asal Yunani. Hampir seminggu ia berlibur di Rhun. Saban sore ia membawakan kami ikan- ikan yang membuat orang Rhun ternganga. “Katong saja jarang mendapatkan ikan sebesar itu, tapi ini bule bisa kasi keluar itu ikan besar dari laut tiap hari,” celetuk seorang nelayan. Abdulah menyambut Giorgios, menerima ikan bawaannya, lalu membumbuinya. Kami makan malam bersama dengan menu utama ikan renyah, segar, dan besar dari rahim Laut Banda. Setelah itu, kami kembali dibuai gerah yang bercampur wangi pala.
Pada pagi yang lain, siswa-siswa SMP lewat di depan Hotel Manhattan. Mereka menyapa saya dengan ramah. Saya mengikuti langkah mereka menuju sekolah yang teronggok di tepi tebing. Pada sebuah ruangan, anak-anak mengamati seperangkat komputer: sebuah komputer bekas hasil rakitan. Seorang guru menerangkan fungsi komputer itu kepada mereka. Saat anak-anak di Manhattan sudah mengenakan wearable gadget, anak-anak di Rhun baru mempelajari fungsi dasar komputer. “Rhun hanya memiliki sekolah setingkat SMP,” kata guru tadi. “Bila ingin melanjutkan sekolah, mereka mesti mengarungi lautan.” Untuk melanjutkan sekolah, anak-anak Rhun mesti pindah ke Naira, pulau metropolis di Kepulauan Banda, di mana jaringan 3G telah tersedia dan hampir semua orang memiliki akun Facebook, termasuk mama-mama tua tukang sapu di penginapan.
Sari Lagua adalah salah seorang gadis asal Rhun yang melanjutkan pendidikan di Naira. Saya menemuinya ketika menginap di Hotel Delfika yang padat turis. Di pulau yang terpisah 20 kilometer dari Rhun ini, Sari bekerja paruh waktu di Hotel Delfika seraya berkuliah di STKIP Hatta-Sjahrir. Suatu kali, kapal besar merapat di Naira dan Sari bersama kawan-kawannya yang juga berasal dari Rhun bersiap berangkat. “Kami pergi wisata dulu,” katanya dengan wajah semringah. Mereka akan berwisata ke Ambon, barangkali juga ke Makassar, sementara saya dan seorang turis jangkung asal Yunani akan menuju ke sebuah pulau kecil dengan “bertaruh nyawa” di lautan ganas. Sebuah pulau yang dulu diperebutkan, tapi kini kesulitan menjanjikan masa depan, bahkan bagi warganya sendiri.
PANDUAN
Rute
Pulau Rhun terletak di kepulauan Banda, Kabupaten Maluku Tengah. Untuk menjangkaunya, kita mesti menaiki perahu dari Pulau Naira, Ibu Kota Kepulauan Banda. Penerbangan ke Naira dilayani dari Ambon oleh maskapai yang berubah-ubah setiap tahunnya, tergantung dari perusahaan mana yang memenangkan tender. Pada 2017, rute perintis ini dilayani oleh Airfast (airfastindonesia.com), setelah sebelumnya dioperasikan oleh Aviastar dan Susi Air. Berhubung jadwal penerbangan sulit diandalkan, banyak orang lebih memilih jalur laut dari Ambon dengan menaiki kapal express Bahari dengan jadwal dua kali per pekan, atau Kapal Pelni Nggapulu (pelni. co.id) yang beroperasi dua kali per bulan. Waktu ideal untuk mengunjungi Rhun adalah awal Oktober hingga awal Desember.
Penginapan
Penginapan di Rhun sangat sederhana, contohnya Manhattan 1 dan Manhattan 2 (08219820-8993; Rp125.000 per orang, termasuk makan tiga kali per hari) milik Abdulah. Kamar-kamarnya tidak dilengkapi penyejuk ruangan sebab listrik di pulau ini dipasok oleh generator desa yang beroperasi hanya beberapa jam dalam sehari. Untuk kebutuhan mandi dan minum tamu, hotel mengandalkan sistem tadah hujan. Bila kemarau lama melanda, warga Rhun terpaksa mengimpor air dari pulau lain.
Informasi
Aktivitas di Rhun antara lain memancing, memanah ikan, atau berkeliling dengan perahu. Anda juga bisa mengunjungi kebun-kebun pala dan mengenang kejayaan pala di pulau ini. Bagi mereka yang menyukai tantangan, cobalah berjalan dari Rhun ke Nailaka saat air surut. untuk mengelilingi Rhun, hubungi Lukman A. Ang (0821-9802-9999), pemuda lokal yang memahami kehidupan di kepulauan Banda.
Dipublikasikan perdana di majalah DestinAsian Indonesia edisi Juli/Agustus 2017 (“Elegi Tanah Rempah”).