by Cristian Rahadiansyah 27 February, 2014
Ekspedisi Pinisi di Raja Ampat
Oleh Cristian Rahadiansyah
Foto oleh Muhammad Fadli
Pinisi berbicara tentang kedigdayaan, jalan hidup, dan tradisi melaut ratusan tahun dari tanah yang kaya rempah. Dunia memandangnya dengan takjub, kadang takut. Hari ini, sejarah akbar itu sudah pudar, tapi memorinya masih menyala.
Di bawah guyuran gerimis November, saat angin muson berembus ke Australia, KLM Full Moon memulai ekspedisinya ke gugusan hijau di kepala burung Papua. Ombak menendang-nendang, membuat kapal ini limbung seperti orang mabuk. Di sekujur tubuhnya, kayu-kayu gelap saling bergesekan, berderit, menebarkan suara ranting-ranting yang retak.
Saya duduk di geladak, menatap sejumlah kapal kargo dan yacht yang menebar sauh di Pelabuhan Sorong. Dibandingkan mereka, kapal saya mirip artefak dari masa silam, dan ada banyak alasan kenapa kesan itu begitu kuat. KLM Full Moon mengadopsi arsitektur perahu perkasa dengan reputasi harum di dunia pelayaran. Kita mengenalnya dengan nama pinisi. Dunia menyebutnya schooner. Pelaut-pelaut Bugis dulu menggunakannya untuk menaklukkan lautan dalam ekspedisi niaga dan muhibah. Raja-raja mereka menaikinya untuk melawat ke kerajaan-kerajaan yang jauh di seberang samudra.
Pada 1970-an, Lawrence Blair juga sempat mencicipi kehebatan pinisi saat berlayar ke Laut Aru. Dalam misi dokumentasi yang panjang dan melelahkan, antropolog Inggris itu menumpang kapal milik saudagar asal Sulawesi. Dalam Ring of Fire, dia menulis: “Perahu Bugis adalah hibrida yang mengagumkan antara perahu orisinal pulau ini dengan galleon pembawa rempah khas Portugis dari abad ke-17.”
Dan pinisi juga punya reputasi menakutkan. Sumbangan terbaik Sulawesi selain rempah dan Habibie ini kerap dipakai untuk menyerang penjajah. Horor yang mereka tebarkan begitu mencekam sampai-sampai istilah “boogie man” muncul dalam kosakata bahasa Inggris. Di masa itu, pelaut Bugis, kaum terhormat dalam liga perompak internasional, digambarkan sebagai monster yang gemar melahap jiwa-jiwa anasir asing.
Tapi zaman kemudian berubah. Teknologi naval modern berlari kencang, jauh meninggalkan kapal-kapal layar yang bermanuver mengandalkan angin dan arus. Kisah-kisah heroik pinisi pun ditutup, kendati riwayatnya belum berakhir. Seperti totem-totem tua yang tak pernah tuntas dilibas nabi utusan langit, pinisi berhasil bereinkarnasi, menyelinap ke zaman modern, mengejawantah dalam sosok baru.
Hingga kini, pinisi masih diproduksi di tanah kelahirannya. Para pekerja ulet di Bira membuatnya mengandalkan kayu-kayu paling tangguh yang tumbuh di tanah Indonesia: ulin dan jati. Metode yang dipakai pun tetap merujuk kaidah leluhur. Saat kapal dilepas, doa-doa dirapalkan. Sebelum berlayar, kambing disembelih, lalu darahnya dibiarkan membasahi geladak. Dalam banyak kepercayaan tua, tumbal berperan menjaga pendulum keseimbangan antara kerajaan langit dan penguasa samudra. Pinisi membutuhkan kebaikan hati keduanya di laut lepas.
KLM Full Moon juga dirakit tangan-tangan terampil warga Bira. Eksteriornya mengadopsi desain orisinal: memiliki dua tiang layar dan sepasang kemudi berbentuk balok di bagian buntut. Sedangkan interior dan mesinnya memakai standar perkapalan modern. Hasilnya: kombinasi apik antara aura beringas Black Pearl dan yacht mewah milik Abramovich. Sebuah persilangan kreatif antara masa lalu dan sekarang.
KLM Full Moon kini dikelola oleh grup hotel Alila. Namanya telah diganti menjadi Alila Purnama. Di atas hotel terapung ini, saya berkelana seminggu, melompat dari satu pulau ke pulau lain, bersama sejumlah turis dari Spanyol, Jerman, Amerika, juga Jakarta. Dalam lounge yang sejuk—yang pada hari-hari berikutnya menjadi ruangan favorit kami—koki asal Bali menyuguhkan udang bakar. Kelezatannya belum bisa mencairkan suasana, tapi semua orang terlihat bersemangat menyimak Annalisa, Cruise Director. Dia berjanji, Raja Ampat telah menyiapkan serangkaian petualang seru. Ke sanalah kami meluncur.
Purnama menyusuri Selat Dampier, mengejar menit-menit yang tersisa agar bisa mendarat di kaki Pulau Gam sebelum subuh. Selat panjang ini meminjam nama William Dampier, petualang Britania pertama yang mengeksplorasi Australia. Di awal abad ke-18, dia berlayar dari utara Timor, mengitari Papua, lalu mendarat di New Britain.
Laut masih bergolak. Kayu-kayu di tubuh kapal terus berderit. Saya menginap di kabin bernama Cirebon. Kasurnya dialasi kain batik mega mendung. Di samping saya, ada kabin Jawa, Bali, dan Madura. Terpisah di dek atas, kabin Sriwijaya. Paling mewah dan paling mahal.
Sebelum tiba di Raja Ampat, saya sudah tahu hendak menulis apa. Tentu saja, semua penulis merasakan yang sama. Sudah puluhan tahun tempat ini menuturkan tema-tema serupa: laut pirus, serakan kubah hijau, dan pantai pasir putih yang tak terhitung jumlahnya. Inilah tempat yang membuat kita malas menutup mata. Sebuah lanskap yang membuat kita menanti sinar pertama mentari dan menyesalkan datangnya senja.
Raja Ampat disusun oleh 600 lebih pulau yang tersebar di dekat garis khatulistiwa. Namun harta karun sebenarnya teronggok di bawah permukaan laut. Kepulauan ini secara yuridis masuk wilayah Papua Barat, tapi secara “de jure” merupakan Ibu Kota Segitiga Karang Dunia—kawasan dengan diversitas laut tertinggi, yang membentang dari Filipina hingga Solomon.
Di Raja Ampat hidup lebih dari 1.300 spesies ikan karang. Sekitar 75 persen spesies koral dunia merekah di sini. Bagi banyak penyelam, pergi ke Raja Ampat mungkin ibarat naik haji atau ziarah ke Jerusalem. Dan layaknya naik haji, biaya perjalanannya tidak murah. Pulau-pulau di sini tersebar di area seluas 4,5 juta hektare, setara luas Jawa Timur, dan perahu adalah moda satu-satunya untuk menyapa mereka.
Di tepian Pulau Gam, Purnama melego jangkar. Saat rantainya meluncur ke lantai laut, kasur saya terguncang-guncang, seolah monster hendak keluar dari kolongnya. Pukul empat pagi, semua penumpang dibangunkan. Agenda hari ini adalah mendaki bukit untuk melacak satwa ikonis yang dulu mengilhami mitos phoenix di dunia Barat: bird of paradise. Di tempat seindah ini, bahkan burung menyandang nama surgawi.
“Burung akan berdatangan sekitar pukul enam, lalu pergi sejam kemudian,” ujar Annalisa kepada para penumpang yang setengah jiwanya masih di kasur. Kata-kata dia berikutnya membuat saya makin berat meninggalkan selimut. “Kadang kita bisa melihat banyak burung. Kadang tidak sama sekali.”
Kami mendaki rute licin yang dialasi daun-daun basah. Matahari masih tertidur, tapi hutan sudah semarak seperti jalan-jalan di Jakarta. Burung dan serangga bersahutan, melontarkan nada-nada fauna, bersaing meramaikan rimba yang senyap dan lembap. Agak mirip orkestra tanpa dirigen. Setelah sejam, rombongan tiba di atap bukit yang ditumbuhi pohon langsing. Annalisa meminta semua orang menutup mulut. Katanya, cenderawasih sensitif terhadap suara-suara asing.
Kami dilarang berbincang, ngemil, bersin, batuk… pokoknya diam seperti anak nakal yang sedang disetrap. Selang 15 menit, seekor cenderawasih melayang pelan, lalu hinggap di dahan tinggi. Tubuhnya kemerahan dengan leher berkalung bulu kuning. Di buntutnya ada sepasang antena. Bahkan di momen magis ini, kami tak boleh mengeluarkan ekspresi gembira.
Burung mulai bernyanyi. Kontras dari dunia manusia, justru pejantan yang bersolek. Dengan bulu-bulu menawan layaknya penari Jember Carnaval, ia berdansa, mengoceh, mengeluarkan jurus-jurus rayuan guna memikat betina. Burung juga kerap berpindah dahan. Kami menanti selama belasan menit untuk bisa melihatnya lagi. Birdwatching sangat menuntut kesabaran. Tak heran kegiatan ini umumnya dilakoni kaum sepuh.
Melihat cenderawasih menarik ingatan saya pada seorang legenda: Alfred Russel Wallace. Juni 1860, naturalis tersohor ini berlayar dari Seram ke Raja Ampat. Awalnya dia berniat ke Pulau Misool di selatan Raja Ampat, tapi ketika kapalnya sudah berjarak hanya sekitar 200 meter dari pesisir, angin melemparkannya ke utara menuju Pulau Waigeo.
Waigeo berada sangat dekat dari tempat saya kini berdiri. Wallace berhasil mengumpulkan 73 spesies burung di sana, 12 di antaranya baru pertama kali dilihatnya. Entah mengapa, dia menilainya sebagai hasil yang mengecewakan, tapi setidaknya dia berhasil mendapatkan cenderawasih merah. “Berhubung saya berhasil membawa 24 spesimen Paradisea rubra,” tulis Wallace, “saya tidak menyesali kunjungan saya ke pulau ini, walau itu tidak berarti seluruh ekspektasi saya terpenuhi.”
Kisah itu saya kutip dari Malay Archipelago, karya klasik yang tak pernah usang. Melalui buku ini pula, dunia membayangkan Raja Ampat, bisa jadi untuk pertama kalinya. Dengan nada puitis, Wallace menceritakan panorama yang dilihatnya saat menyusuri teluk yang menghubungkan Gam dan Waigeo. Saya terjemahkan sebisa mungkin kata-katanya: “Tiap pulau tertutup semak dan pohon yang berkelindan dalam formasi aneh, dan umumnya dimahkotai oleh pohon kelapa yang jangkung dan elegan—yang juga bertaburan di pantai di kaki-kaki bukit—hingga membentuk salah satu pemandangan tunggal paling cantik yang pernah saya saksikan.”
Ada 27 titik penyelaman di Raja Ampat. Itu statistik 2012. Dan sumber saya hanya satu buku, Underwater Paradise: A Diving Guide to Raja Ampat.
Dalam tur pesiar Purnama, menyelam adalah aktivitas favorit penumpang. Tiada hari tanpa memasang rompi dan mengenakan sepatu katak. Di percobaan pertama, saya disambut ikan berjidat bengkak layaknya produk gagal suntik silikon. Di hari yang lain, saya menonton kawanan ikan yang mengepakkan sayapnya seperti elang. Hari lainnya lagi, ada ikan yang tubuhnya bermotif zebra tapi wajahnya mirip wombat.
Menyelam seperti membuka pintu ke dimensi yang berbeda. Alam bawah laut bagaikan dunia asing yang bergerak paralel dengan dunia manusia. Ada di sekitar kita, tapi memiliki orbitnya sendiri. Terpisah, tapi di saat yang sama terpaut. Lebih tepat disebut jukstaposisi ketimbang koeksistensi.
Uniknya, ada banyak kesamaan karakter di antara kedua dimensi tersebut. Satwa laut senantiasa saling mengancam, menjebak, menipu, dan berebut rumah. Senjatanya pun beragam: barisan gigi mirip gergaji, kamuflase tubuh dengan lingkungan sekitar, berpura-pura baik, atau beramai-ramai mengeroyok korban. Di sini tak ada aparat. Hukum satu-satunya disebut rantai makanan. Pengadilannya bernama seleksi alam.
Kenapa laut Raja Ampat begitu kaya, ada banyak teorinya. Konstelasi pulau ini bertindak layaknya saringan bagi arus kaya nutrisi yang mengalir dari Samudra Pasifik menuju Hindia. Karang merekah di banyak tempat dan menyediakan rumah bagi banyak satwa. Tapi yang paling mencengangkan bukanlah keragaman penghuninya, melainkan terbukanya peluang untuk menyingkap rahasia-rahasia baru: taksonomi satwa di Raja Ampat belum final. New Guinea, pulau terluas kedua, adalah satu dari sedikit teritori di bumi yang belum tuntas dieksplorasi. Raja Ampat hanyalah serpihan kecilnya. Tapi bahkan di sini berita penemuan spesies baru kadang masih terdengar.
Di atas perairan yang penuh misteri itulah Purnama berkelana selama tujuh hari: dari Sorong, kapal bergerak ke barat, lalu ke selatan, kemudian memutar ke lokasi awal. “Rute tur bisa berubah mengikuti permintaan tamu,” kata Annalisa, “tapi lebih sering karena menyesuaikan dengan kondisi arus.”
Pinisi anggun ini umumnya bergerak di malam hari, membelah gulita Papua yang begitu pekat, hingga langit dan laut seolah melebur di batas cakrawala. Di momen-momen itulah saya kerap menghabiskan waktu di geladak seraya menanti tarian cahaya di angkasa, berusaha membayangkan apa sebenarnya yang dilihat Wallace 154 tahun silam. “Saya menyaksikan sesuatu yang menyerupai Aurora Borealis,” tulisnya, “kendati saya sulit percaya fenomena itu bisa terjadi di tempat yang berada sedikit di selatan ekuator.”
Agaknya saya berharap pada waktu yang keliru. Wallace mendarat di Raja Ampat pada pertengahan tahun, sementara Purnama beroperasi di sini sejak akhir hingga awal tahun, periode yang memang ideal untuk pesiar.
Di tiap titik transit, penumpang menyelam. Kadang satu kali. Sering kali lebih. Tapi Purnama bukanlah kapal untuk penyelam garis keras. Kapal ini memang menyambangi surga-surga kaum petualang, tapi suguhannya lebih dari sekadar petualangan. Dalam banyak hal, Purnama adalah tentang kebersamaan di sesi sarapan, berjemur sembari membaca novel, canapé menjelang senja, juga bir dingin di dek yang terik. Sebuah Orient Express di atas laut.
Di malam kedua, penumpang berkumpul di meja makan yang diterangi lilin. Sesi akrab ini berhasil melumerkan kebekuan yang tersisa dari hari kemarin. Kami mulai berbagi cerita, menyamai benih pertemanan, juga bertukar lelucon. Kelar melahap menu penutup, Annalisa melontarkan opsi kegiatan untuk esok hari, lalu kami dibiarkan memilih dan bermufakat. Pelaut Bugis mungkin tak pernah membayangkan pinisi bisa dipakai untuk piknik.
Waktu tempuhnya dari Jakarta hanya lima jam, namun Raja Ampat seperti terpisah jarak ribuan tahun. Kepulauan ini menyimpan memori purba yang membuat kita membayangkan momen-momen primal: penciptaan bumi, evolusi alam, dunia sebelum manusia. Di sini tak ada minimarket. Tak ada pula sinyal telepon. Sebuah Disneyland tanpa Disney.
Mengendarai speedboat, saya dan beberapa tamu menghampiri kubah-kubah yang berbaris di sisi barat. Tebing berlembar-lembar menjulang, membelah-belah lautan, membentuk kompleks labirin yang magis. Di lereng bagian atas, pohon-pohon berebut tempat berpijak. Dari balik rimbunnya daun, burung-burung menyeruak akibat terusik kehadiran kami.
Perahu bermanuver zigzag, berusaha menghindari tebing yang fasadnya mirip gigi hiu. Semakin jauh ke perut labirin, air yang terperangkap melahirkan sejumlah laguna berair tenang. “Seperti seprai kasur, begitu orang Istanbul menyebut air yang tak berombak,” ujar seorang penumpang.
Tur laguna ini membuat saya berulang kali larut dalam lamunan. Pulau-pulau kosong, karang yang merekah di kakinya, satwa-satwanya… semua seolah ditata saksama guna memunculkan kekaguman yang universal: bahwa lanskap ini diciptakan dengan kemampuan Photoshop yang transendental.
Tapi, benarkah kondisinya selalu demikian?
Dulu, saya membayangkan Raja Ampat sebagai situs yang membeku dalam waktu, menolak mengikuti daerah-daerah di sekitarnya yang bergegas mengejar hari esok. Kenyataannya, mesin-mesin pariwisata telah menancapkan kukunya di sini. Sejumlah resor menyempil di pantai, pondokan kayu dikerek di desa-desa, dan perahu penyelam berseliweran. Purnama adalah pendatang terbaru, tapi pastinya bukan yang terakhir.
Tempat yang sempat tenggelam pasca-Perang Dunia II ini kembali terendus radar dunia sekitar 20-an tahun silam. Max Ammer yang memulainya. Pria Belanda ini mendarat di Raja Ampat pada 1989 untuk berburu relik Perang Dunia II. Tersadar tempat ini punya harta yang lebih bernilai ketim-bang bangkai pesawat, Max beralih profesi dengan mendirikan sebuah resor.
Pariwisata berjasa menempatkan Raja Ampat dalam orbit dunia. Tapi terbukanya akses dan informasi juga berarti terbuka-nya peluang-peluang lain, termasuk untuk merusak. Di kawasan yang berstatus zona konservasi ini, kita pernah mendengar berita perburuan hiu, pembukaan tambang nikel, juga pembabatan hutan.
Gesekan langsung akibat bisnis pariwisata juga terjadi. Saat saya datang, Pulau Wayag diblokade warga yang merasa tidak mendapatkan potongan adil dari kue manis turisme. Purnama pun terpaksa mengurungkan niatnya ke sana.
Saya coba memahami protes warga. Merujuk catatan lembaga riset Kata Data, Raja Ampat menyetor Rp3 miliar per tahun dari sektor pariwisata dan memiliki potensi tangkapan ikan Rp126 miliar per tahun. Realitasnya, kepulauan ini justru bertengger dalam daftar 183 wilayah ter-tinggal. Di tanah yang ditinggali burung surgawi, kita ternyata masih mendengar kisah-kisah lirih. Bahkan nirwana tak bisa lepas dari nestapa.
Tapi perjalanan ini juga mengembuskan harapan. Dari beberapa kali menjelajahi kepulauan di Indonesia, yang jumlahnya tentu kalah banyak dari pulau dalam catatan Lawrence Blair atau Wallace, untuk pertama kalinya saya mengalami proses pemeriksaan petugas. Selama seminggu di Raja Ampat, setidaknya ada tiga institusi yang mengutus aparatnya untuk mengecek kelengkapan dokumen kapal dan tamu.
Ketatnya pemeriksaan bisa jadi terkait regulasi baru yang dilansir Pemkab Raja Ampat untuk memproteksi hiu, manta, dan penyu. Penetapan suaka ini memberikan landasan hukum yang lebih kuat bagi jagawana untuk menindak pemburu ilegal. Memang, ada banyak lubang antara aturan dan penegakan di lapangan. Tapi Raja Ampat setidaknya telah mengambil inisiatif untuk menutupnya.
Trip pinisi mendekati hari-hari terakhirnya. Suasana telah cair. Di depan meja makan, penumpang duduk berbaur, tak cuma merapat ke orang terdekat. Hotel terapung ini telah menciptakan sesuatu yang jarang diciptakan oleh hotel sebenarnya: lingkaran pertemanan baru.
Purnama kini berputar ke utara, kembali memasuki jantung kepulauan. Beberapa kali saya melihat kapal berbadan fiberglass. “Siapa yang mau naik kapal seperti itu?” ujar penumpang asal Amerika. “Terlihat dingin dan kaku. Tidak cocok untuk menjelajahi kepulauan ini.” Saya berusaha memahami maksud kata-katanya.
Kapal-kapal fiberglass mungkin terasa mengganggu karena merupakan simbol modernitas. Dan kita ingat, modernisasi merupakan upaya manusia untuk menjaga jarak dari alam, lalu menciptakan teknologi untuk mengendalikannya. Di Raja Ampat, yang terjadi justru sebaliknya: kita ingin mengubur jarak; kita ingin menyelami alam. Analogi sederhana mungkin bisa menjelaskan pendapat teman saya: menaiki kapal fiberglass di Raja Ampat seperti mengendarai Ferrari saat melewati sawah-sawah di Ubud. Pinisi mungkin terlihat renta, tapi di Raja Ampat, di mana waktu seolah membeku, ia adalah kendaraan yang sempurna.
Sehari sebelum Purnama kembali ke Sorong, kami menyelam di perairan Pulau Kri, di mana para peneliti dulu menemukan konsentrasi ratusan spesies koral hanya dari satu penyelaman. Malam harinya, Annalisa merelokasi tempat makan. Kami dibawa ke Pulau Gam untuk menikmati sajian di tepi pantai. Dalam balutan sinar jingga lilin, koki menyuguhkan seafood kebab dan bebek betutu, lengkap dengan sambal uleknya.
Purnama lebih dari sekadar tur lintas pulau, bukan semata singgah dari satu titik selam ke titik lainnya. Diving memang aktivitas utama, tapi pengalaman yang terus bertahan setelah tur berakhir adalah persahabatan yang terjalin di atas kapal. Penumpang saling bertukar alamat email dan membuat janji-janji untuk bertemu kembali, suatu hari nanti.
Dalam 154 tahun terakhir, Raja Ampat memang bicara hal yang sama: tentang keindahan yang sulit ditampik, tentang lanskap yang menyulut kontemplasi. Yang jadi soal bukanlah apa yang bisa kita nikmati di sini, melainkan bagaimana kita menikmati. Di atas kapal tradisional Bugis yang dulu menebar teror, saya mengarungi kepulauan yang memikat takjub dunia. Ironi, untuk pertama kalinya, terasa menyenangkan.
PANDUAN
Rute
Sorong adalah titik tolak penjelajahan di Raja Ampat. Penerbangan ke Sorong dilayani antara lain oleh Sriwijaya Air (sriwijayaair.co.id) dan Express Air (expressair.co.id). November silam, Garuda Indonesia (garuda-indonesia.com) meresmikan rute Makassar-Sorong.
Aktivitas
Pinisi pendatang baru Alila Purnama (alilahotels.com) diluncurkan pada Desember 2012. Sementara ini, rute yang ditawarkan adalah Raja Ampat, Taman Nasional Komodo, serta Ambon. Tur di Raja Ampat bergulir dari Oktober hingga Maret. Kapasitas ideal penumpang adalah 10 orang. Rute tur bisa disesuaikan dengan permintaan tamu, tentunya jika arus memungkinkan. Durasi normal tur adalah tujuh hari, tapi bisa ditambah untuk klien yang mencarter seluruh kabin. Purnama dioperasikan oleh 16 orang kru, termasuk koki yang meracik menu berbeda setiap hari. Di atas kapal, fasilitasnya antara lain lima kabin berisi shower dengan air panas, sepasang kano, dive centre (menyediakan kursus selam berlisensi PADI), lounge yang merangkap restoran, dek untuk berjemur, serta perpustakaan. Tur Raja Ampat dipatok mulai dari $11.000 per malam, minimum empat malam, inklusif akomodasi, makanan, diving, dan tur pulau untuk 10 orang.
Dipublikasikan perdana di majalah DestinAsian Indonesia edisi Jan/Feb 2014 (“Saga Raja Ampat”).