Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Eksotisme Si Cantik di Pulau Seram

Teks & foto oleh Oka Dwi Prihatmoko

Menurut Colin Woodard, penulis buku The Republic of Pirates, pada tahun 1600-1700 kaum bajak laut gemar membawa hewan peliharaan guna mengobati rasa jenuh saat berada di laut. Salah satu favorit mereka adalah burung paruh bengkok. Selain mudah dilatih berbicara dan hemat pakan, satwa ini digemari karena merupakan objek investasi yang bagus: harganya tinggi di Eropa.

Semua keunggulan itu kemudian berbalik jadi kutukan. Seiring tingginya minat manusia menjadikannya peliharaan, burung paruh bengkok marak diperjualbelikan, termasuk di pasar gelap. Dua tahun silam misalnya, sebuah upaya penyelundupan puluhan kakatua dan nuri dalam botol air terbongkar di Surabaya.

Hari ini saya berada di Pulau Seram untuk melihat burung-burung pujaan tersebut di habitat aslinya. Dipandu Buce Makatita, pria berkulit legam asal Dusun Masihulan, saya mengarungi hutan di tepi Taman Nasional Manusela.

Tajuk pohon menjulang 50-an meter. Daun-daun membendung sinar mentari dan menjadikan siang seperti malam. Tapi itu bukan masalah bagi Buce. Dia dengan mudah menunjukkan arah dan melacak burung. “Lihat daun-daun muda yang tumbuh di dekat lubang sarang itu? Itu tandanya anak kakatua sudah siap diambil,” jelas Buce layaknya seorang peneliti yang piawai. Seekor kakatua Maluku meninggalkan lubang dan Buce melanjutkan teorinya. “Sewaktu kakatua mau bersarang, ia bersihkan dulu daun di sekitar lubang. Ketika burung bertelur, daun-daun tadi tidak diganggu lagi. Nah, tumbuhnya daun-daun itu jadi penanda anakan kakatua sudah menetas.”

Buce mungkin harusnya menulis makalah di jurnal sains. Teorinya lahir dari pengamatan jeli selama bertahun-tahun di lapangan. Maklum, sebelum menjadi pemandu wisata, pria berwajah garang ini berprofesi pemburu burung. “Saya pernah menangkap 700 ekor burung dalam sehari,” kenang Buce. “Caranya mudah. Tinggal cari pohon tidurnya, panjat, dan pasang jerat.” Untuk nuri, dia meraup Rp25.000 per ekor dari seorang penadah di Ambon. Sementara untuk kakatua, harganya bisa 10 kali lebih menggiurkan, Rp250.000 per ekor.

Ekspedisi burung berlanjut. Di hari ketiga, kami menemukan seekor nuri raja Maluku sedang menyantap pisang. Hari berikutnya, kami mengintip nuri bayan, perkici pelangi, nuri pipi merah, juga betet kelapa—semuanya dalam satu area. Suatu kali, saat melacak burung di sore hari, kami menyaksikan tujuh ekor nuri raja Maluku sedang mengeringkan bulu. Seram seperti surga bagi pencinta burung.

Kecuali ular dan biawak, Taman Nasional Manusela tidak memiliki banyak predator. Ancaman terbesar bagi burung justru datang dari manusia. Pengurus homestay kami, Dino, menjelaskan bahwa banyak pemburu telah direkrut oleh Balai Taman Nasional Manusela sebagai staf penelitian. Tapi kebijakan itu tak lantas menghapus perburuan ilegal. Masih ada saja orang-orang yang berburu satwa, walaupun kini biasanya untuk disantap, bukan diperdagangkan.

Strategi lain yang ditempuh untuk melestarikan burung adalah rehabilitasi. Di Pusat Rehabilitasi Masihulan misalnya, terdapat beragam burung hasil sitaan. Tempat ini bertujuan memulihkan sifat liar burung, walau sayang, kondisinya kini mengenaskan. Sangkar reyot dan berkarat. Pakan minim dan mangkuk air minum telah mengering. Satu-satunya bagian yang paling terawat adalah pelang yang menampilkan logo BKSDA dan Pertamina.

Penginapan sederhana yang lazim ditinggali wisatawan dan pengamat burung di tepi Taman Nasional Manusela.

Hari terakhir, saya meminta Buce melacak burung paruh bengkok terkecil sejagat: nuri kate dada merah. Lagi-lagi, dia memperlihatkan pemahaman yang luar biasa akan karakter satwa. Di tengah kebun pisang, Buce menuntun kami berjalan perlahan, lalu berhenti di kaki pohon langsat. “Itu, lihat di batang pohonnya,” pintanya sembari menunjuk seekor burung sedang mengunyah lumut.

Panjang nuri kate cuma delapan hingga sembilan sentimeter. Bagaimana Buce bisa menemukannya tanpa bantuan binokular atau rekaman suara pemanggil burung? Dia menyunggingkan senyum, lalu menjelaskan bahwa nuri kate sangat menyukai lumut di kulit pohon langsat. Kita hanya perlu mencari pohon tersebut dan memeriksa tanah di kakinya. Jika terlihat ada remah-remah kulit pohon, besar kemungkinan di atasnya ada nuri kate. Awalnya pemburu burung, Buce kini justru menjadi “referensi ilmiah” bagi pencinta burung.

Dipublikasikan perdana di majalah DestinAsian Indonesia edisi Mei/Juni 2017 (“Eco Watch”).

Show CommentsClose Comments

Leave a comment

0.0/5