Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Dunia Hitam Putih Rony Zakaria

Seekor anjing peliharaan yang menyalak dengan ganas.

Oleh Oscar Motuloh
Foto oleh Rony Zakaria

Perjumpaan insan manusia dan gerombolan makhluk angkasa luar yang kita kenal dengan istilah alien akhirnya berlangsung di pelataran puncak Menara Para Iblis (Devils Tower). Mereka berhadap-hadapan dengan canggung dalam suasana yang menegangkan. Sebentar lagi, komunikasi yang unik akan berlangsung, atau pertempuran besar akan pecah. Di hamparan bukit alam yang amat curam (386 meter, di tenggara Wyoming, Amerika Serikat) yang puncaknya terpancung itu, ilmuwan antariksa menyiapkan sebentuk perangkat keyboard, peralatan untuk memulai percakapan dengan alien yang baru mendaratkan UFO di area yang disulap menjadi setting film sci-fi terkemuka, Close Encounters of the Third Kind (1977), arahan sutradara Steven Spielberg, sang empu dongeng modern.

Scene di pengujung film itu seketika menggenapi keingintahuan para penonton. Dengan sentuhan lima nada yang menggema di angkasa raya, maka kata kunci dari awal komunikasi antara umat manusia dan sebagian masyarakat alien yang tengah melakukan muhibah ke satelit bumi terkuak. Balas-membalas nada menjadi awal perkenalan dua warga satelit Bima Sakti. Musik akhirnya menguak misteri tepat di puncak Menara Para Iblis. Imaji realistis yang dibuat pengarah fotografi Vilmos Zsigmond dalam Close Encounters of the Third Kind itu menjadi pangkal perlambang visual yang menginspirasi fotografer muda Rony Zakaria (ronyzakaria.com) untuk menerbitkan buku perdananya, Encounters.

Seorang anak kecil asyik bermain dengan mainannya.

Masih ingatkah Anda pada imaji siluet bocah empat tahun (Barry Guiler, diperankan oleh Cary Guffey) yang berdiri naif dengan baju dan celana kekecilan menatap berkas cahaya menyilaukan yang menerobos pintu rumahnya? Serta para kru Lacombe yang berdiri membelakangi lensa dan menatap kirana benderang dari kedatangan UFO dan para alien untuk menamatkan kisah? Dari siluet dan cahaya-cahaya yang menyelinap pada imaji, perjalanan Encounters Rony dimulai. Apresiasi kreatif fotografer muda lepas ini atas konten imajinatif, sinematografi, filsafat, dan juga sastra membuatnya yakin bahwa fotografi adalah medium ekspresif yang paling ampuh untuk mengungkapkan suara hati. Meskipun kita sesekali bakal menemui gambar puitis yang ganjil, inilah gaya Rony mengungkap citra.

Kiri-kanan: Seekor kucing dan bayangannya; monyet yang berusaha menghalau penyerang.

Foto-foto Rony sekonyong-konyong tampil menyeruak di antara imaji-imaji konvensional yang keburu melekat pada otak belakang dalam memori kita. Mari kita simak foto kera berteriak yang menjadi sampul Encounters; sorot lampu membelah malam; kucing dan cahaya di kesenyapan padang; rupa pada duri tajam kaktus; troli dan keceriaan masa belia; serta taring dan lolongan panjang. Seperti halnya etimologi dalam ilmu bahasa, maka penelusuran ihwal visual fotografer juga merasuk ke akar jiwanya. Encounters menjadi pekik dari jiwa pemilik wajah kuning yang dingin dan diam. Ekspresi kesenyapan yang dihadirkan dalam kontras hitam dan putih juga membantu subyektivitas karya-karya yang terhimpun di sana. Beberapa quote pada pembatas jeda buku adalah perlambang dari hatinya yang teduh, namun selalu bergolak menatap ketidakadilan di depan lensa reportasenya.

Pemandangan dari sebuah angkutan umum di Jakarta.

Gayatri Chakravorty Spivak adalah budayawan dan filsuf perempuan India yang menyuarakan kearifan budaya lokal sebagai gugatan atas dominasi budaya barat di negerinya. Ada juga pikiran dari Vikram Seth, pujangga dan pengelana asal Kolkata; serta tokoh dan karakter ciptaan Haruki Murakami, penulis Jepang yang menerbitkan novel Sputnik Sweetheart. Asimilasi pemikiran dan pena mereka adalah sepotong pijar api visual yang mendorong Rony berkarya. Mungkin mirip dengan tagline dari film Spielberg tadi, “We are not alone.” Rony tak sendirian.

Seorang anak gelandangan di Jakarta.

 

Show CommentsClose Comments

Leave a comment

0.0/5