by Cristian Rahadiansyah 28 March, 2018
Dua Wajah Melbourne
Melbourne memang tersohor sebagai “kota acara.” Kalender tahunannya selalu dipenuhi beragam ajang meriah. Untuk menonton konser musisi asing, sebut saja Adele atau Coldplay, warganya tidak perlu repot melawat negeri tetangga, karena kota ini senantiasa tercantum dalam daftar lawatan tur global berkat kualitas infrastruktur dan standar keamanannya yang tinggi. Akan tetapi, manisnya hidup itu praktis hanya tersaji di pusat kota. Di kawasan pinggiran, warga masih menghadapi banyak problem yang bersifat mendasar. Satu kritik yang kerap terdengar kini, tatkala pusat kota kian mentereng, kian semampai, dan kian meriah, kawasan suburb seolah luput dari perhatian.
Menaiki kereta, saya meluncur ke suburb Springvale yang berjarak sekitar satu jam dari pusat kota. Sepanjang jalan, mural dan graffiti melapisi banyak dinding, kaki-kaki jembatan, serta bedeng-bedeng reyot. Makin dekat ke tujuan, penumpang makin sedikit dan gedung- gedung makin rendah.
Merujuk data kantor pajak, Springvale adalah suburb termiskin di Melbourne. Awalnya saya khawatir berkunjung ke sini. Dengan paras agak bercorak Timur Tengah, saya cemas bakal dikira staf HRD ISIS yang berniat merekrut pemuda-pemuda depresi. Akan tetapi, begitu mendarat di Springvale, saya mendapati daerah ini sesungguhnya tidak memenuhi kriteria miskin dalam kacamata awam, setidaknya ia bukan kampung kumuh dalam standar Jakarta. Springvale hanyalah permukiman banal di mana kehidupan bergulir pelan dan toko-toko menutup pintunya pada pukul lima sore. Membuka aplikasi Uber, saya tidak menemukan satu mobil pun beroperasi. Jika ingin ngopi, pilihannya hanyalah McCafe atau Gloria Jean’s.
“Dulu ada banyak pabrik di sini, termasuk pabrik traktor, tapi mereka sudah lama pindah ke daerah lain yang tanahnya lebih murah” ujar Collin, seorang pria lokal, dengan logat Inggris yang diseret-seret khas warga pinggiran. Saya menemui Collin di rumah kayu Springvale Historical Society, di mana sebuah pameran topi internasional sedang digelar. Suguhannya cukup menarik. Ada pet serdadu Sekutu, helm polisi London, kippah Yahudi, hingga kopiah Indonesia. Entah kenapa pengunjungnya hanya dua orang: saya dan Collin. Belakangan saya tahu Collin juga merangkap sebagai kurator, pemandu, dan pemilik seluruh topi yang dipamerkan.
Terlepas dari kondisinya yang “wajar,” Springvale adalah noda merah dalam rapor Melbourne. Media lokal mengkritisinya sebagai bukti kesenjangan antara pembangunan di pusat kota dan suburb. Untuk sistem transportasi umum misalnya, Springvale belum dilayani trem, sementara bus sulit diandalkan karena armadanya minim dan jadwal keberangkatannya kerap molor. Membuka statistik pendapatan warganya, jurang ketimpangan itu terbaca kian gamblang. Pada kurun 2014-2015, pendapatan penduduk Toorak, suburb terkaya di dekat pusat kota, melonjak 82 persen, sementara pendapatan warga Springvale tumbuh hanya 35 persen.
“Terminologi yang licin,” begitu pengamat tata kota Profesor Michael Buxton menyimpulkan istilah “layak huni.” Semakin jauh dari pusat kota, tulisnya tajam dalam buku Planning Melbourne: Lessons for a Sustainable City, status layak huni semakin kehilangan maknanya. Di mata Buxton, kota donat ini terlampau sibuk menimbun banyak gula di jantungnya sampai-sampai lupa mengurus tepiannya yang kian hambar.
Melbourne adalah ibu kota seni jalanan Australia,” ujar Ashley Goudie dengan tangan menggenggam kaleng cat semprot. Saya menemuinya di Hosier Lane, seutas gang di mana seluruh dindingnya dilapisi mural dan grafiti. “Semua orang boleh menuangkan ekspresinya di sini,” lanjutnya sembari menyelesaikan mural berbentuk badut. “Karya saya ini paling bertahan beberapa minggu saja sebelum kemudian ditindih karya orang lain.”
Dulu, vandalisme merupakan epidemi di Melbourne. Banyak properti, termasuk gerbong-gerbong kereta, dinodai corat-coret para artis jalanan. Saban tahunnya, Pemkot menghabiskan sekitar AUD1 juta guna menghapus grafiti ilegal. Tapi kota ini kemudian menangkap peluang di balik hobi liar tersebut. Ketimbang tekor dan lelah memberantasnya, Pemkot Melbourne merangkul komunitas seniman dan menjadikan seni jalanan aset wisata kota. “Dukungan dari pihak Pemkot dan korporasi kian marak setahun belakangan,” ujar Shaun Hossack, pendiri Juddy Roller, lembaga yang menaungi banyak seniman. “Seni jalanan telah diakui sebagai daya tarik kota.”
Kisah seni jalanan itu memperlihatkan keluwesan Melbourne dalam mengubah masalah jadi berkah. Hosier Lane kini berstatus atraksi wisata resmi, sementara tur bertema seni jalanan ditawarkan oleh banyak operator. Guna mengatasi sisa-sisa vandalisme, Pemkot menyewa lembaga bergengsi semacam Juddy Roller untuk mengutus seniman-seniman yang dihormati (dan ditakuti) guna mengubur dinding-dinding yang penuh coretan dengan mural atraktif berukuran gigantik. “Tak ada yang berani mengusik karya mereka,” tambah Shaun yakin.
Belajar dari kasus seni jalanan, banyak orang kini menanti bagaimana Melbourne menggunakan kecerdikannya guna mengatasi problem-problem urban yang lebih kronis. Dan kota ini sesungguhnya telah mengambil sejumlah inisiatif. Di CBD misalnya, sejumlah terowongan kereta sedang dibor guna mengurai kemacetan. Di beberapa suburb, kompleks rumah murah akan dibangun. Proyek-proyek itu adalah sebuah pertaruhan. Melbourne, kota pendidikan yang dihuni kampus bergengsi, seyogianya sanggup meracik solusi cerdas untuk menjawab tantangan zaman.
Sabtu pagi, saya mengarungi pusat kota. Hari ini, saya mencoba sejumlah aktivitas yang kadang sulit saya lakoni di Jakarta. Saya membeli kentang goreng, lalu piknik di padang rumput yang dikerumuni kawanan camar. Saya juga membelah taman kota yang rindang, mengunjungi pameran-pameran gratis, bahkan iseng bolak-balik menyeberang jalan, sebab di sini kendaraan selalu berhenti di muka pejalan kaki tanpa harus diberi hormat ala Nazi sebagaimana di Jakarta. Menjelang senja, saya meniti bantaran sungai. Seorang menteri pendidikan Indonesia pernah berkata kepada saya, “jika ingin mengukur tingkat peradaban sebuah kota, lihat kondisi sungainya.” Saya kira kata-kata itu ada benarnya. Sungai di Melbourne terlihat lebih bersih dibandingkan air keran di apartemen saya.
Tapi Melbourne bukannya tanpa masalah. Reportase saya mendapati kota ini mengidap penyakit klasik sebuah megapolitan: kota dengan dua wajah. Pusat kotanya dilengkapi infrastruktur yang mumpuni tapi standar hidupnya kian tak terjangkau. Sementara daerah pinggiran lebih ramah kocek namun prasarananya minim. Dari dasar lembah ketimpangan itulah serangkaian masalah sosial mengemuka. Setahun terakhir, Melbourne dipusingkan oleh peningkatan jumlah gelandangan, pengemis, dan pemadat.
Bee, seorang imigran asal Malaysia, mengaku resah dengan tunawisma yang kerap tidur di pelataran kantornya. Kesya Adhalia, mahasiswi kelahiran Melbourne, cemas akan keselamatannya saat pulang malam sendirian dan bertemu pemadat. Saya pun berulang kali menemukan pemadat yang meracau di dalam trem. Mengutip hasil poling IPSOS di Negara Bagian Victoria dari Januari hingga Maret silam, 52 persen responden menempatkan kejahatan sebagai isu yang paling mencemaskan.
Mungkin karena itulah banyak orang mulai menerjemahkan istilah layak huni dengan lebih kritis. Media-media lokal tidak mau terpaku pada daftar yang diterbitkan oleh The Economist. Mereka membuka pula, misalnya, daftar Quality of Living versi lembaga Mercer di mana Melbourne ternyata tidaklah bertengger di posisi wahid, melainkan ke-16. Dalam daftar sejenis yang disusun oleh Arcadis, di mana sebuah kota dinilai berdasarkan kemampuan menjaga kepentingan triumvirat “people, profit, planet,” Melbourne justru duduk di peringkat ke-32.
Dalam banyak hal, persepsi atas kualitas sebuah kota memang sangat tergantung dari mana kita berasal. Chloe Cann, penulis asal London, memuji Melbourne sebagai kota ramah di mana orang-orang tak gengsi untuk saling bertegur sapa. Baginya, masalah transportasi umum dan biaya hidup tidaklah krusial. “Itu soal remeh,” katanya. “Dibandingkan London, semuanya di sini jauh lebih baik.”
Sementara bagi mereka yang berasal dari kota negara berkembang, sebut saja Jakarta, Melbourne adalah rumput tetangga yang senantiasa terlihat lebih hijau—kadang secara harfiah. “Ada banyak taman di sini. Tingkat polusinya juga jauh lebih rendah dibandingkan Jakarta,” jelas Nina Gunawan yang pernah berkuliah di Melbourne. Nina, ibu dua anak, kini menetap di Jakarta. Jika ada kesempatan, dia berniat memboyong keluarganya ke Melbourne. “Dua tahun lalu saya berlibur ke Melbourne dan anak saya senang sekali bisa melihat bintang di tengah kota.”
Hari terakhir di Melbourne, saya menikmati sarapan di sebuah kedai yang dipimpin seorang koki asal Thailand. Saya memesan smashed avocado on toast, masakan yang dituding sebagai biang keladi dari malasnya anak muda mengkredit rumah. Di depan saya, seorang pria India menuntun anjingnya, sementara seorang pengemis berkulit hitam mengais-ngais dedaunan kering. Melbourne mungkin memang pantas disebut layak huni. Kota ini hanya perlu memastikan reputasi itu bisa dinikmati merata oleh banyak orang.
PANDUAN
Rute
Penerbangan ke Melbourne dilayani oleh banyak maskapai, salah satunya Qantas Airways (qantas.com) via Singapura atau Sydney. Untuk penerbangan domestik, maskapai nasional Australia ini juga menawarkan jaringan ekstensi ke banyak kota. Dari bandara menuju pusat kota, Anda bisa menaiki Skybus (skybus.com.au) jurusan Southern Cross Station. Trem adalah moda utama di dalam kota. Untuk menggunakannya, beli kartu Myki (ptv.vic.gov.au) di toko-toko kelontong, lalu unduh aplikasi PTV agar lebih mudah dalam memantau rute dan jadwal trem.
Informasi
Melbourne mengoleksi banyak festival. Beberapa andalannya adalah Food & Wine (melbournefoodandwine.com.au), Comedy (comedyfestival.com.au), dan Fringe (melbournefringe.com.au). Sejumlah ajang besar juga rutin digelar di sini, termasuk Australian Open (ausopen.com) dan Formula 1 (grandprix.com.au). Ada banyak operator yang menawarkan tur jalan kaki di Melbourne, salah satunya Free Walking Tours (imfree.com.au) yang membebaskan partisipan membayar seikhlasnya. Untuk mencari informasi seputar tempat wisata, kunjungi situs resmi Visit Melbourne (visitmelbourne.com). Penting diingat, Melbourne dijuluki kota dengan empat musim. Meski cuaca pagi cerah, jangan pernah meninggalkan hotel tanpa membawa jaket.
Dipublikasikan perdana di majalah DestinAsian Indonesia edisi Januari/Maret 2018 (“Dilema Kota Donat”).