by Federico Sutera 06 July, 2017
Ancaman Pariwisata Massal di Venesia
Teks & foto oleh Federico Sutera
Venesia tengah kewalahan. Di tengah menggebunya gairah berlibur ke kota terapung ini, sejumlah problem besar menyelinap dan menggerogoti keutuhannya sebagai ruang hidup sekaligus jendela sejarah Italia.
Venesia, kompleks anggun berisi 118 pulau, didirikan pada abad ke-5 dan sempat menjelma jadi kekuatan maritim dunia pada abad ke-10. Riwayat emas itu tak cuma mengantarkannya menyabet gelar Situs Warisan Dunia, tapi juga menjadikannya primadona pelancong.
Sayangnya, pariwisata kemudian menjadi pangkal dari banyak masalah pelik yang menodai kecantikan Venesia. Warga dan aktivitas yang tidak terkait pariwisata terus tersisih demi memberikan ruang bagi hotel, restoran, dan butik yang melayani 27 juta turis (75 persennya merupakan day tripper) per tahunnya.
Destinasi pelesir andalan Italia ini sekarang terancam menjadi sebuah kota tanpa warga, sepenggal sejarah tanpa peradaban. Di pusat kotanya, kawasan yang menampung gedung-gedung historis terpenting, populasi manusia terus menipis. Sekitar 1.000 penduduk lokal minggat saban tahunnya, membuat jumlah yang tersisa kini hanya 55.000 jiwa atau kira-kira berkurang dua per tiganya dibandingkan statistik 1950-an.
Awalnya dipandang bermanfaat bagi perekonomian, pariwisata kini tampil sebagai ancaman bagi masa depan Venesia. Di banyak sudut kota, hukum yang berlaku sekarang adalah: peningkatan jumlah turis berbanding lurus dengan penurunan populasi warga lokal.
Veneto Region, semacam “prefektur” yang membawahi Venesia, bisa dibilang merupakan firma pariwisata pertama di Italia. Omzetnya sekitar €13 miliar per tahun. Separuhnya dipasok oleh daerah metropolitan Venesia, ditambah sekitar €3,5 miliar yang didapat khusus dari kawasan kota tua Venesia.
Pariwisata memberi banyak kontribusi positif, tentu saja. Devisa turis mendatangkan kekayaan dan membuka lapangan kerja. Uang yang digelontorkan pelancong tidak cuma mendarat di kantong mereka yang berkecimpung di bisnis pariwisata, tapi juga menghidupi banyak bisnis pelengkap dan turunan.
Akan tetapi, industri pariwisata tumbuh terlampau pesat dan arus turis menerpa terlalu deras. Alhasil, Venesia pun terancam kehilangan khitahnya sebagai “wadah hidup,” tragedi yang pada akhirnya justru mengancam daya tariknya sebagai destinasi pelesir.
Dampak negatif pariwisata terlihat gamblang, dan harga yang harus dibayar untuk itu kelewat mahal. Warga merasakan kesulitan hidup yang kian tak tertanggungkan. Kemacetan kian kronis. Harga rumah dan barang kebutuhan sehari-hari terus meroket. Volume limbah kian besar. Sebagian turis yang rutin berlibur ke Venesia pun mulai merasa gerah, bahkan mengaku tak mengenali lagi kota ini.
Di jantung kota tua, pelaku pariwisata makin agresif berebut tempat dengan bangunan yang melayani khalayak umum. Rumah, kantor jawatan, dan toko-toko kecil kian terimpit. Pengusaha lokal kesulitan mencari tempat usaha, sementara masyarakat setempat kerepotan beraktivitas. Mereka yang tak sanggup bertahan kemudian memutuskan hengkang.
Pemerintah kota Venesia, sayangnya, seperti menutup mata dari semua problem itu. Mereka hanya acuh pada upaya meningkatkan jumlah turis dan devisa, tanpa benar-benar peduli akan variabel-variabel penting yang menyangkut kelestarian lingkungan dan kualitas hidup manusia.
Sebagai anggota masyarakat Venesia yang prihatin, saya telah lama mempertanyakan masa depan kota saya. Kegelisahan itu jugalah yang mendorong saya mengerjakan proyek fotografi yang saya beri judul Venice for Sale. Dari balik lensa, saya menyoroti isu-isu yang dihadirkan oleh pariwisata massal dan efek sampingnya bagi kehidupan sosial di Venesia.
Menurut hemat saya, Venesia memang sedang dijual. Banyak properti ditawarkan kepada para jutawan atau korporasi raksasa demi menambal defisit dan mengurangi kesenjangan ekonomi—dua problem klasik yang sejatinya merupakan buah dari ketidakbecusan para pejabat dalam mengelola kota dan merumuskan solusi bagi masalah-masalah urban. Mereka tak sadar, “menjual Venesia” adalah sebuah jalan pintas dengan akibat jangka panjang: kota ini bertransformasi menjadi sebuah taman rekreasi raksasa yang menghamba pada turis dan memicu eksodus warganya sendiri.
Venesia kini membutuhkan perhatian serius. Tanpa intervensi dari para pemangku kepentingan, termasuk negara, ruang hidup bersama ini akan terus berpindah tangan ke perusahaan dan terperangkap menjadi “unit bisnis” yang hanya peduli pada laba. Jika solusi tak kunjung datang, masalahnya akan kian menumpuk dan kian sulit ditanggulangi, mulai dari polusi, banjir, kemacetan, perawatan gedung tua, serta langkanya kebutuhan barang sehari-hari bagi warga.
Guna menghindari keterpurukan total, manajemen pariwisata yang lebih arif amatlah diperlukan. Fokus kebijakan harus dialihkan dari mengutamakan kuantitas menjadi mengejar kualitas, sembari di saat yang sama menjaga keseimbangan antara kebutuhan meraup devisa dan kepentingan warga. Jika warga lokal yang selama ini menghormati, merawat, dan menghidupi Venesia justru tersisih, saya percaya kota ini akan kehilangan masa depannya, baik sebagai ruang bersama maupun destinasi wisata.
Dipublikasikan perdana di majalah DestinAsian Indonesia edisi Mei/Juni 2017 (“Dilema Venesia”).