by Cristian Rahadiansyah 20 January, 2017
Daya Tarik Wisata Bali Barat
Oleh Cristian Rahadiansyah
Foto oleh Putu Sayoga
Mobil berpelat “tenggiling” merayap pelan di jalan berbatu yang dikepung hutan. Sopir sesekali memperlambat laju kendaraan demi menghindari monyet-monyet yang menyeberang. Tiba di restoran, kawanan rusa berkerumun di balik semak, sementara seekor biawak menyelinap di kolong dapur. Pagi yang normal di Taman Nasional Bali Barat. Di sini, setiap hari sejatinya sebuah safari.
Di perbatasan barat Bali, di belahan pulau yang menyerupai jengger ayam, belantara terhampar luas. Pokok-pokok pohon jalin-menjalin, menggerayangi pesisir, membalut puncak-puncak gunung. Di sekitarnya, laut begitu jernih hingga awan-awan tak bisa berhenti becermin. Duduk menyantap sarapan di tepi hutan bakau, menonton Pulau Menjangan dan Gunung Baluran di kejauhan, saya pun bertanya-tanya: bagaimana mungkin tempat seindah ini minim turis? Barangkali karena jaraknya yang jauh.
Dari bandara, saya berkendara ke sini dengan menempuh jarak 150 kilometer. Selepas kawasan selatan yang semarak, mobil melewati daerah Tabanan di mana jalan-jalan berkelok laksana ular yang melilit bukit. Memasuki Desa Pupuan, sawah-sawah mengukir lereng dan lembah-lembah hijau meniupkan sejuk.
Tiba di pesisir utara, mobil berbelok ke arah Pemuteran dan meluncur ke ujung barat pulau. Kian dekat ke tujuan, hutan kian lebat. Bali Barat bermukim di Buleleng, kabupaten terluas di Bali yang dibatasi laut dan dikangkangi gunung-gunung yang saling bersinggungan bahu. Di masa lalu, ketika gunung-gunung tak tertembus dan jalan-jalan belum dibentangkan, Buleleng seperti terkunci dari kawasan selatan Bali. Tempat ini lebih akrab menjalin hubungan dengan Jawa Timur yang hanya terpisahkan oleh sebuah selat sempit, ketimbang dengan kerabat mereka yang berjarak jauh di Gianyar atau Karangasem.
Konon, relasi lintas pulau inilah yang membuat warga Buleleng mengidap karakter yang berbeda dari kawasan lain di Bali: kosmopolitan sekaligus keras. “Orang-orang Buleleng lebih Suroboyan,” ujar seorang pria yang saya temui di selatan Bali.
Sebelum bandara tertancap di Denpasar, Buleleng juga merupakan gerbang utama ke Bali. Singaraja, kota terbesarnya, pernah menyandang status Ibu Kota Bali. Kali pertama melawat ke Bali, Alfred Russel Wallace juga mendarat di Buleleng (waktu itu dia menyebutnya “Bileling”). Dari Singapura, sang naturalis berlayar selama 20 hari menaiki sekunar Kembang Djepoon. Itu tahun 1856, periode yang tak menjanjikan kenyamanan bagi seorang pengelana. Saya tak tahu apa yang dipikirkan Wallace usai mengetahui berkendara empat jam adalah perkara besar bagi turis untuk menyambangi Bali Barat.
“Jadi berkuda?” tanya seorang staf resor The Menjangan, saat saya tengah menikmati sarapan. “Hari ini menyelam di mana?” tanya staf lainnya. Pagi baru dibuka, tapi semua orang tampak semangat seperti siswa di hari pertama sekolah. Bali Barat, satu-satunya taman nasional di Bali, memang tempat yang menjanjikan untuk mengarungi hutan ataupun menyelami lautan. Sekitar 15 persen hutan di Bali bersemayam di sini. Lautnya tertutup bagi aktivitas perikanan.
Bersama Komang, pemandu selam dari desa setempat, saya menonton ratusan belut yang menari-nari seperti kobra di depan peniup seruling pungi. Siang harinya, kami melacak kuda-kuda laut yang bersembunyi di sela-sela ranting sea fan. “Dulu semua warga di sini menangkap ikan. Setelah ada taman nasional, melaut dilarang, jadi banyak orang pindah ke sektor pariwisata,” ujar Komang.
Kendati berjarak hanya empat jam berkendara dari Denpasar, Bali Barat seperti dunia yang terpisah oleh milenium. Ada lebih banyak pohon ketimbang kendaraan. Ada lebih banyak rusa ketimbang manusia. Di sini, berlibur berarti bersedia melebur dengan alam. Kita akan senantiasa diajak untuk mensyukuri matahari yang menumbuhkan daun, menikmati waktu yang menyambung dahan, serta—meminjam petuah arif yang populer itu—tak meninggalkan apa pun kecuali jejak dan tak mengambil apa pun selain foto.
Membaca akta kelahirannya, Bali Barat baru diresmikan pada 1995, tapi riwayatnya bisa ditarik ke masa-masa awal pendirian Republik Indonesia, yakni saat kawasan ini dinobatkan sebagai Natuurpark oleh Dewan Raja-Raja Bali, lalu diusulkan menjadi taman nasional dalam Kongres Taman Nasional Dunia di Denpasar.
Babak pariwisata di sini masih berusia muda. Tak lama setelah Orde Baru tutup buku, pemerintah berniat menjadikan Bali Barat magnet turis. Konsesi lahan diterbitkan dan dua resor pun dibangun, salah satunya The Menjangan yang dikerek pada 2002—keputusan yang disambut positif oleh para pelaku usaha. Persis di luar tapal batas taman nasional, sejumlah investor mendirikan hotel, operator tur, dan dive center. Semenjak itu, demam pelesir ke utara Bali pun dimulai. Bali Barat merekah menjadi destinasi baru—fenomena yang kemudian dipuji banyak pihak sebagai jawaban bagi agenda pemerataan turis di Pulau Dewata.
“Pohon ini bisa menyembuhkan diabetes, pohon itu bisa menyebabkan kebutaan,” ujar Ade Dwi Mahendra. “Nah, kalau yang itu biasa dicari orang untuk bahan tasbih dan gagang keris.” Bersama Ade, pemandu trekking, saya menjelajahi jenggala dengan merandai jalan-jalan berbatu. Seperti ensiklopedia berjalan, Ade dengan lugas membeberkan nama-nama pohon dan mengulas faedahnya. “Sudah saya coba, memang terbukti benar,” tambahnya tentang daun yang berkhasiat meningkatkan gairah seksual.
Hari kian mendekati senja, tapi kami terus menembus belantara. Di sebidang lahan terdapat pohon-pohon yang dilengkapi pelang bertuliskan nama penanamnya—bagian dari program penghijauan yang melibatkan turis. Di Bali Barat, tamu memang tak semata diajak menikmati alam, tapi juga turut merawatnya.
Keluar dari jalur utama, kami meniti tepian hutan bakau. Beberapa ekor rusa terlihat bersembunyi di antara belukar, sementara nyamuk-nyamuk ganas hinggap di tubuh saya. “Hutan ini aman, tidak ada predator besar,” ujar Ade saat saya sibuk menampar nyamuk. “Yang berbahaya paling ular pohon dan piton. Piton di sini bisa sebesar paha manusia.”
Ade bekerja untuk Plataran Menjangan, resor pendatang baru di sisi timur taman nasional. Properti yang diresmikan Mei 2016 ini menawarkan vila-vila berbentuk joglo yang dibariskan di tepi hutan bakau. Kehadirannya memberikan alasan segar bagi turis untuk kembali melawat ke utara. Merujuk Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan terbitan Institut Pertanian Bogor, arus turis ke Bali Barat memang susut ajek. Sebelum periode 2000-an, jumlah turis menembus 90.000 orang per tahun, namun selepas 2010 angkanya tak sampai separuhnya. Berkat kehadiran Plataran, Bali Barat kini memiliki magnet baru: vila baru, beach club baru, kolam renang yang menatap laut, juga tentu saja, Ade, pemandu trekking yang menyerupai kombinasi wartawan Trubus dan Profesor Hembing.
Tapi pariwisata di Bali Barat tak cuma digerakkan oleh resor. Di sekitar taman nasional terdapat enam desa penyangga yang dihuni orang-orang yang setia memutar roda pariwisata, mulai dari joki perahu hingga pemandu selam. Salah satu desa di sini bahkan memegang peran penting bagi kelangsungan satwa paling terkenal di Bali Barat.
Dari Plataran, saya meluncur ke Desa Sumberklampok di tepi taman nasional. Mobil menyusuri jalan-jalan yang lebar namun lengang. Hari ini warga Bali sedang bergairah merayakan Galungan. Akan tetapi, kontras dari daerah-daerah di selatan yang semarak oleh penjor dan upacara, Buleleng sunyi dan senyap. Mungkin benar, banyaknya kaum pendatang membuat kawasan ini lebih kalem dalam menyambut hari raya.
Sumberklampok, desa penyangga taman nasional, bermula sebagai permukiman warga pendatang asal Jawa Timur, terutama Madura. Mayoritas penduduknya sekarang berprofesi peternak dan petani palawija. Namun, sejak 2011, kampung bersahaja ini berikhtiar menggali sumur uang baru dengan menjadi desa wisata. Modal utamanya: jalak Bali.
“Sebenarnya desa wisata kecil-kecilan,” ujar Istiyarto Ismu, seorang penangkar burung. Bersama rekan-rekannya di Kelompok Manuk Jegeg, Ismu mengembangbiakkan jalak Bali, kemudian menjualnya kepada para kolektor. Dari usaha inilah muncul prakarsa mengembangkan desa wisata bagi turis yang ingin mengenal jalak Bali. “Sebenarnya kami tak paham pariwisata. Kami sekadar ingin memberi nilai tambah ekonomi bagi warga,” tambah Ismu, pria rendah hati dengan gelar master dari University of Texas at El Paso.
Jalak Bali, burung endemis yang populer dengan nama curik, berhabitat di Bali Barat. Satwa ini telah didaulat sebagai ikon fauna Pulau Dewata pada 1991. Sosoknya sempat diukir pada koin 200 rupiah. Ironisnya, meski dipuja dan disanjung, burung-burung dengan “eyeliner” biru ini justru berada dalam status sekarat. Di alam liar, menurut organisasi Bird Life, populasinya kritis di bawah 50 ekor. Hanya di kandang-kandang kita bisa dengan mudah menyaksikannya.
Melalui paket-paket tur yang dikemas amatiran, Sumberklampok mengundang wisatawan melihat jalak Bali di penangkaran, menjelajahi habitatnya di hutan, juga mengintip telur-telur semut merah yang merupakan santapan favoritnya. “Wisata curik” ini dikemas santai dan menyenangkan, tapi di saat yang sama membuka mata: bahkan di dalam suaka, satwa hidup terancam.
Dipandu Ismu, saya meluncur ke Pos Lampu Merah, salah satu habitat jalak Bali. Jaraknya cuma 13 kilometer dari jalan utama, tapi medan yang berat membuat waktu tempuh molor hingga sejam. Mobil terguncang-guncang saat meniti jalur berbatu di tengah rimba. Di banyak ruas, monyet berbaris mengemis makanan dari pengendara. Mendekati tujuan, mobil menembus jalur berpasir di tepi pantai. Banyuwangi terlihat begitu dekat. Kapal-kapal kargo berlabuh di laut tenang. Bali Barat memang lebih dekat ke Jawa Timur ketimbang Denpasar.
Tiba di Pos Lampu Merah, saya duduk menanti burung-burung datang. Di depan saya, seekor babi dekil berguling-guling di kubangan lumpur. Di kejauhan, belasan ekor rusa merumput di padang lapang. Di Bali Barat, bahkan momen-momen melamun bisa berubah menjadi sebuah pengalaman safari.
Setelah 20 menit, seekor jalak Bali melayang rendah dan hinggap di sangkar. Tak lama berselang, seekor burung lainnya menclok di dahan pohon. “Dulu ada 20 ekor burung, tapi yang tersisa tinggal enam,” ujar penjaga pos. “Di sini ada banyak predator. Elang Jawa yang besar itu suka menyambar jalak Bali.”
Predator kerap dituding sebagai biang keladi dari menipisnya populasi jalak Bali. Selain elang, ancaman datang dari ular yang gemar menyantap telur-telur burung di sarang. Tapi tak sedikit orang yang percaya pencurian adalah pangkal masalah terbesarnya.
Meninggalkan Pos Lampu Merah, Ismu menuntun saya ke Pos Tegal Bunder. Mobil kembali mengarungi jalan bergelombang, kembali berpapasan dengan monyet-monyet yang malas mencari makan meski hutan begitu subur di balik punggung mereka. “Jalak Bali sangat membantu kehidupan warga,” ujar Ismu ketika mobil meraung-raung di tengah wana. “Banyak orang bisa menyekolahkan anak-anaknya. Saat butuh uang untuk hajatan, mereka bisa jual burung.”
Seperti cahaya yang selalu melahirkan bayangan, Bali Barat menyembunyikan gelap di balik keindahannya. Dibandingkan sentra penangkaran lainnya, Tegal Bunder adalah yang terbesar, terlengkap, dan termewah. Tapi pos ini juga menyimpan catatan paling kelam dalam sejarah pencurian jalak Bali. Pada suatu malam nahas 1999, gerombolan bandit menyelinap ke pos, mengalungkan celurit di leher penjaga, lalu menggondol semua burung di sangkar. “Hilang semua burungnya,” kenang Son Haji, jagawana yang sudah bekerja di Bali Barat selama seperempat abad. “Godaan mencuri memang besar. Dulu harga jalak Bali bisa 50 juta rupiah seekor.”
Elang dan uang. Predator dan pencuri. Jalak Bali seperti terimpit di dunia yang tak rela melihatnya terbang bebas dan lepas. Padahal pada nasib burung inilah nama baik Bali dipertaruhkan. Setelah harimau Bali divonis punah pada 1937, rapor pulau ini di bidang konservasi satwa tergantung pada kelangsungan jalak Bali.
Problem pelik itulah yang agaknya ingin diatasi melalui penangkaran partikelir. Pemerintah membuka pintu bagi publik untuk menangkarkan jalak Bali—sebuah solusi jalan tengah yang sepertinya berangkat dari prinsip bisnis: dengan menambah pasokan burung, maka harganya akan turun di pasaran dan para pencuri pun kehilangan minat. Berkat kebijakan inilah kelompok-kelompok pencinta jalak Bali terlahir, termasuk Manuk Jegeg.
Ismu dan kawan-kawannya hingga kini sukses mengembangbiakkan lebih dari 100 ekor burung. Jumlah penangkar di desanya mencapai 18 orang, tiga di antaranya mantan pencuri burung. Saban tahun, mahasiswa dan peneliti singgah guna mempelajari kisah sukses Manuk Jegeg, dan penduduk desa menyambut mereka dengan membuka delapan unit homestay. Siapa sangka, burung-burung yang membutuhkan pertolongan ini justru bisa menolong hidup banyak orang. “Sebenarnya sedih melihat tempat aman bagi burung bukanlah di hutan, tapi kandang,” tutur Ismu lirih. “Tapi mau bagaimana lagi?”
Kembali ke resor, “safari” saya berlanjut, kali ini lewat jalur laut. Menaiki pinisi buatan Bira, saya berpesiar ke Pulau Menjangan untuk melewati sore. Melayangkan pandangan dari atas geladak, Bali terlihat begitu purba. Hutan lebat membungkus daratan, memolesnya dengan hijau yang pekat. Di jantung taman nasional, Gunung Klatakan menjulang dengan atap melengkung seperti tongkonan. Nun jauh di batas cakrawala, matahari meringkuk di balik Gunung Merapi. Betapa menggetarkan. Dari atas sekunar kayu yang berakar dari abad ke-17, saya menatap sepenggal alam yang dijaga semenjak zaman diperintah oleh gusti prabu dan babad ditulis para empu.
Bali Barat memang berjarak empat jam berkendara. Perjalanannya panjang dan melelahkan. Tiba di sini, kita mesti membayar retribusi taman nasional. Jika ingin menyelam, ongkosnya dua kali lipat harga rata-rata di Bali. Tapi Bali Barat juga menawarkan alam yang asri, burung-burung eksotis kegemaran kolektor, juga resor-resor mewah yang menyepi dalam rahim hutan. Di mana lagi di Bali kita bisa bersafari di kawasan konservasi, lalu kembali ke resor untuk berenang di kolam dan menghabiskan senja bersama rusa?
PANDUAN
Rute
Taman Nasional Bali Barat terletak di pojok barat Bali, persisnya di bagian pulau yang menyerupai jengger ayam. Kecuali Anda mendapatkan izin mendarat di Bandara Letkol Wisnu di Buleleng, jalur darat adalah satu-satunya cara menjangkaunya. Waktu tempuhnya sekitar empat jam dari bandara. Pilih jalur yang melewati Desa Pupuan jika mendambakan panorama yang fotogenik. Opsi lain ke Bali Barat adalah melalui Banyuwangi dengan menyeberangi selat sempit yang memisahkan Bali dan Jawa Timur.
Penginapan
Menjangan hanyalah sebuah pulau di samping Taman Nasional Bali Barat, tapi berkat popularitasnya di kalangan turis, namanya kerap disematkan sebagai nama resor. Bali Barat mengoleksi tiga resor, yakni Nusa Bay Menjangan (nusabaymenjangan.com; doubles mulai dari Rp1.400.000 untuk cottage) yang mesti dicapai menaiki perahu, serta The Menjangan (themenjangan.com; doubles mulai dari Rp1.850.00 untuk kamar deluxe) dan Plataran Menjangan (plataran.com; doubles mulai dari Rp3.600.000 untuk vila) yang bertetangga di tepian Teluk Terima. Persis di luar pagar taman nasional terdapat beberapa penginapan, salah satunya Menjangan Dynasty (mdr.pphotels.com; doubles mulai dari Rp2.100.000 untuk tent) yang baru beroperasi September 2016.
Aktivitas
Safari di hutan adalah kegiatan baku di Bali Barat. Tapi kehadiran resor-resor telah membuat aktivitas di sini lebih variatif. Menginap di The Menjangan, bagian dari Grup Lifestyle Retreats, tamu bisa bersepeda, bertamasya dengan mobil tenggiling, atau menyelam bersama operator Blue Season (blueseasonbali.com). Jika menginap di Plataran Menjangan, resor terbaru di Bali Barat, tamu bisa bertualang dengan jip atau ATV, berpesiar menaiki pinisi buatan Bira, atau bersantai di beach club Octagon. Untuk melihat jalak Bali, kunjungi Bali Starling Sanctuary di dekat resor Plataran atau Desa Sumberklampok (Ismu: 0812-3861-1911) yang menampung 18 penangkar burung.
Dipublikasikan perdana di majalah DestinAsian Indonesia edisi November/Desember 2016 (“Kembali ke Barat”).