by Cristian Rahadiansyah 30 November, 2023
Checking in: Amanjiwo, Setelah 25 Tahun
Tahun lalu, Amanjiwo genap berusia seperempat abad. Resor ini sudah melewati enam presiden. Tapi pesonanya belum pudar. Lahir sebelum ada Instagram, resor ini masih memukau hingga ke era TikTok. Apa rahasianya?
Amanjiwo berlokasi di Magelang, meringkuk anggun di pangkuan Menoreh. Pangkuan yang rimbun. Di atasnya, tebing-tebing menjulang lancip. Di depannya: hamparan sawah. Jauh ke depan lagi: Candi Borobudur. Memilih setting dramatis semacam ini adalah ciri khas properti Aman.
Tapi Menoreh sebenarnya tak cuma dramatis. Perbukitan ini juga sarat cerita. Punya daya magisnya sendiri. Dalam Perang Jawa, Pangeran Diponegoro bergerilya di sini. Kita juga ingat, tempat ini dijadikan latar dalam Api di Bukit Menoreh, cerbung silat legendaris di masanya. Bagi pembaca Gen Z, tanya orang tua jika tidak percaya.
Amanjiwo dibuka pada 1997. Waktu itu, pilihan hotel di Borobudur sangatlah minim. Paling hanya ada Saraswati di dekat pagar candi. Atau Pondok Tingal, milik menteri penerangan pertama zaman Orde Baru. Kata orang-orang dulu, cara paling keren ke Borobudur saat itu bukanlah naik VW Safari, tapi gajah.
Jelas saja, kehadiran Amanjiwo membuat geger. Aman tersohor akan kemewahannya. Terlebih, banyak resornya, seperti di Bali dan Pulau Moyo, pernah ditiduri selebriti dunia.
Dengan kehadiran Amanjiwo, kaum jetset kini punya tempat menginap di sekitar Borobudur. Kawasan ini masuk orbit bintang lima. Dan benar saja, banyak seleb datang menginap. Richard Gere dan David Beckham hanyalah dua contohnya.
Desain juga berperan memelihara karisma Amanjiwo. Resor ini berhasil menapaki status ikon berkat wujudnya yang anggun. Tak keliru jika memasukkannya dalam daftar resor tercantik di Indonesia.
Di balik prestasi itu, ada nama Ed Tuttle. Arsitek asal Amerika Serikat ini dikenal dekat dengan Adrian Zecha, pendiri Grup Aman. Keduanya sudah beberapa kali bekerja sama. Tuttle jugalah yang merancang properti pertama Aman di dunia.
Dari hubungan lama itu, Tuttle pun paham selera Adrian. Seperti dalam proyek-proyek sebelumnya, Adrian ingin tiap Aman dirancang berbeda. Tiap resor mesti merefleksikan lokasinya. Artinya, tak boleh ada hotel Aman yang sama. (Kecuali dalam hal tarif: semuanya sama-sama mahal.)
Berpegang kaidah itu, Tuttle memilih candi Jawa sebagai cetak biru desainnya. Di jantung resor, dia mengerek sebuah rotunda beratap stupa. Ukurannya gigantik. Pilar-pilarnya gemuk.
Satu lagi yang menarik: gerbangnya berada satu garis dengan Borobudur. Sangat presisi, padahal terpisah 2,6 kilometer. Efeknya pun mirip ilusi optikal: candi megah ini dibingkai simetris oleh celah pintu. Serasa melihat Borobudur dari viewfinder kamera. Berkat sensasi ini pula, berfoto di depan rotunda adalah prosesi rutin para tamu.
Untuk desain kamar, Tuttle lebih condong ke Candi Mendut. Atapnya berundak, tapi permukaannya datar. Seluruh kamar dicetak identik, lalu ditata melingkari gedung rotunda. Formasi ini sejalan dengan filosofi mandala dalam tradisi Jawa.
Berkat konfigurasinya, dilihat dari jauh, Amanjiwo menyerupai candi yang menyepi di kaki bukit. Beberapa abad lagi, orang mungkin akan membicarakannya sebagai candi warisan Dinasti Aman, sebagaimana orang bicara Borobudur sebagai peninggalan Dinasti Shailendra. Apa rasanya menginap di sini?
Amanjiwo adalah properti terakhir Aman di Indonesia. Satu-satunya di Jawa. Sebagaimana hotel Aman lain, ia menawarkan sebuah pengalaman visual. Konsep arsitekturnya solid. Strukturnya punya fitur yang distingtif. Ibarat wajah, ia berkarakter, karena itu gampang menancap di kepala. Sekali melihat foto Amanjiwo, kita kemungkinan bisa terus mengingatnya. Persis seperti saat melihat, misalnya, Borobudur.
Karakter desain yang kuat itu diterapkan pula di wilayah interior, walau fokusnya sedikit berbeda. Aman, sejak dirintis pada 1988, berorientasi membentuk hotel dengan kenyamanan sebuah rumah. Menginap di resornya serasa berlibur di rumah teman (teman yang sangat kaya).
Salah satu cara mewujudkan visi itu ialah dengan menekan variasi warna dan material. Di Amanjiwo, semua bangunan senada memakai atap hitam. Tubuh dan lantainya didominasi batu paras Yogya. Interupsi hadir hanya dalam warna pepohonan di sela-sela struktur. Aransemen bahan-bahan alami ini pada akhirnya memicu atmosfer kalem yang menenangkan.
Orientasi pada kenyamanan juga ditekankan di kamar. Resor ini menampung 33 kamar. (Bentuknya vila, tapi di sini disebut suite.) Sebagian kamar dilengkapi kolam renang. Sebagian menatap Borobudur.
Jika punya uang lebih, sekadar saran, pilih kamar dengan kolam renang yang menatap Borobudur. Mumpung berlibur di “rumah teman” yang kaya, mending sekalian pilih kamar terbaik.
Tuttle membagi kamar dalam dua zona. Sisi depan dihuni ranjang yang dikawal empat pilar, mirip saka guru di pendopo. Mebelnya bercorak Jawa dengan pengaruh aliran empire Eropa.
Perhatian terhadap detail cukup luar biasa. Lebih dari separuh barang dipesan khusus. Dipan, kursi, lemari, bahkan senter dan wadah korek kuping, semuanya custom. Saat meramu eksklusivitas ini, Tuttle bertandem dengan Jaya Ibrahim, desainer interior dengan selera ningrat.
Suguhan mengejutkan tersaji di zona belakang kamar. Di sini, Tuttle meluncurkan subversi terhadap pakem hotel. Pada 1990-an, saat banyak hotel memperlakukan “ruang belakang” ala kadarnya, sebagai tempat menyimpan baju dan buang hajat semata, Tuttle justru mengusulkan area yang lapang, terang, juga estetik.
Di balik matras, dia memasang sepasang walk-in closet, sepasang wastafel, ruang shower dan kakus. Masing-masing dipisah koridor yang berujung pada bathtub panjang di halaman terbuka. Penataan ini membuat kamar—tanpa bermaksud menyinggung kaum lajang—membentuk alur yang romantis: sepasang tamu bersama di ranjang, berpisah saat mandi dan dandan, lalu berendam bareng di bak.
Estetika spasial Tuttle terbilang revolusioner. Ruang depan dan belakang dicetak sama besar, didesain sama bagus. Tak ada yang kastanya lebih rendah. Kamar-kamar Amanjiwo ingin menghidangkan kenyamanan di setiap sudutnya.
Bagi orang awam, nama Ed Tuttle mungkin terdengar asing. Tak menyilaukan seperti Norman Foster atau Frank Gehry. Namun, di dunia perhotelan, dia punya tempat khusus. Almarhum menemukan formula yang kelak dirangkum dalam istilah “understated luxury.” Menginap di Amanjiwo adalah merasakan kreasi dari orang yang turut membentuk mazhab dalam desain hotel.
“Saya pikir tak ada desainer resor di muka bumi yang tidak terpengaruh oleh Aman,” kata Bill Bensley kepada Wallpaper saat membahas dampak Aman dalam desain hotel. “Saya paling terpengaruh oleh perencanaan ruang Tuttle yang benar-benar membentuk skena untuk sebuah era baru.”
Setelah lebih dari 25 tahun, Amanjiwo masih merawat warisan Tuttle. Batu-batu rutin diganti. Banyak mebel sudah direparasi. Namun konsep desainnya tidak dilanggar.
Perubahan rasanya cuma dilakukan pada hal-hal minor di departemen amenitas. Kamar-kamar kini dilengkapi kloset otomatis dan speaker Bose. Di lemari bar, ada mesin Nespresso, barisan teh Tema, gelas-gelas Jenggala.
Aspek lain yang juga tekun dijaga ialah standar servis. Amanjiwo adalah bagian dari generasi resor mewah yang ingin merespons cepat kebutuhan tamu, kalau bisa mengantisipasinya. Di sini, telepon dari tamu sigap diangkat setelah berdering maksimum tiga kali. Kru mendarat di kamar dalam tempo maksimum lima menit. Semua ini hasil tes saya saat menginap akhir November.
Bagian dari SOP pula, tamu disapa dengan namanya. Kapan kamar dibersihkan, atau turndown service dilakukan, selalu di momen yang pas, karena para staf jeli berkoordinasi memantau kapan tamu sarapan atau berenang. Bahkan, resor ini masih memberikan jasa cuci mobil gratis bagi tamu yang hendak check out. Layanan ini sudah lama hilang dari banyak hotel. Terakhir saya menemukannya di Santika Cirebon.
Bagaimana Aman melakukan semua itu? Ada rumus matematikanya. Grup ini membatasi jumlah kamar resor rata-rata di bawah 60 unit. (Khusus resor, bukan city hotel.) Sejalan dengan itu, rasio staf dan kamar dijaga rata-rata 6:1. Artinya, ada enam orang karyawan untuk tiap satu kamar.
Kamar minimum dan staf maksimum, kini Anda tahu kenapa Amanjiwo pasang tarif termahal di seantero Jawa.
Amanjiwo, Desa Majaksingi, Borobudur, Magelang, Jawa Tengah; 0293/788-333; aman.com
Teks: Cristian Rahadiansyah
Foto: Amanjiwo
*Ulasan dibuat berdasarkan pengalaman menginap pada 27-29 November 2023. Pembaca mungkin akan menemukan perbedaan antara apa yang tertulis dan kondisi terbaru hotel.