by Cristian Rahadiansyah 22 May, 2022
Cerita dari Canberra: Antara Bekasi dan Rumah Nenek
Bayangkan: Bekasi berubah. Bayangkan jika kota yang sering dicela ini memiliki kedai-kedai hipster. Memiliki festival grafiti. Mengoleksi lukisan Monet dan Pollock. Lalu koki-koki top berdatangan untuk membuka restoran trendi.
Di Australia, “Bekasi” yang berubah itu bernama Canberra.
Udara dingin musim gugur menembus jaket. Gerimis turun nyaris sepanjang hari. Disambut cuaca murung, awal Mei 2022, saya mendarat di Canberra. Tiga bulan sebelumnya, Australia membuka kembali perbatasannya.
Dari bandara menuju pusat kota, pepohonan menguning seperti mentari pagi. Daun-daun rontok, membawa sendu yang romantis ke jalan-jalan kota. Dikepung dingin, orang-orang bergegas. Beberapa tancap gas menaiki skuter listrik.
Canberra, andaikan Anda belum tahu, adalah Ibu Kota Australia. Namanya mungkin masih terdengar asing. Kota ini berada persis di antara Melbourne dan Sydney, dan sepertinya tenggelam di bawah pamor kedua tetangganya itu. Turisnya paling sedikit di Australia. Fotonya sulit ditemukan di layar desktop maupun kartu pos. Intinya, kota ini kurang terkenal.
Kota ini juga tergolong kecil. Populasi kurang dari setengah juta jiwa. Hampir separuhnya pegawai negeri. Tipikal kota kecil, gedung-gedungnya hanya sedikit lebih tinggi dari pohon di trotoar. Taksi jarang terlihat. Seluruh hotelnya tuntas dimuat dalam dua halaman booking Traveloka.
Hotel saya beralamat di Braddon, distrik anak muda. Fasadnya hitam. Kamarnya gelap. Corak yang sejalan dengan namanya—Midnight Hotel. Ini properti Marriott pertama di Canberra. Baru dibuka pada 2019. Sudah lebih dari satu abad berdiri, Ibu Kota Australia akhirnya dilirik Grup Marriott.
Kota kecil punya sisi yang menyenangkan. Setidaknya semua terasa dekat. Bahkan bandara terpisah hanya 15 menit dari pusat kota. “Di sini semua berjarak hanya 10-15 menit,” timpal Donna Ciaccia, perempuan asli lokal. “Mau ke kantor, mau hiking, ke pasar, semuanya dekat. Mudah dan menyenangkan.”
Donna memandu saya selama di Canberra. Malam pertama, dia mengajak saya ke Italian & Sons, restoran favoritnya. Lokasinya di Lonsdale, jalur kuliner Canberra. “Dekat kok dari hotel, hanya 10 menit,” katanya.
Masuk ruang makan, ada banyak orang kantoran. Konon katanya, di kota PNS ini, satu dari dua orang pasti memakai lanyard. Saat saya sibuk mengamati leher para tamu, masakan mendarat di meja. Rasanya di luar ekspektasi. Belakangan saya tahu Donna bersuamikan pria Italia. Pantas saja pilihannya jitu.
Kata Donna, Italian & Sons sudah berusia 12 tahun. “Tergolong perintis di sini,” tambahnya. “Dulu, Jalan Lonsdale hanya dihuni diler mobil bekas.”
Fakta itu, setidaknya bagi turis, adalah berita besar: Canberra kini punya restoran Italia. Saya ingat, Bill Bryson, penulis perjalanan yang terkenal itu, pernah mengeluhkan minimnya opsi tempat makan di Canberra. Dia datang sebelum tahun 2000. Kala itu, satu-satunya tempat yang mendekati “restoran Italia” hanyalah Pizza Hut.
Sebagai orang Indonesia, kita mungkin memandang ibu kota dengan sedikit silau. Ibu kota adalah pusat dari segala yang megah, mewah, dan baru. Di Australia, kondisinya bertolak belakang. Bush Capital justru bercitra miring. Jika Sydney berkilau dan bonafide, sementara Melbourne trendi dan artistik, Canberra kerap dicela hampa dan hambar. Dari sinilah lahir pelesetan “Canboring.”
Tapi, sebenarnya, kondisinya sudah agak berubah. Dalam dua dekade terakhir, Canberra bertransformasi. Kehadiran Marriott dan Italian & Sons hanyalah sebagian contohnya.
Mengarungi kota, puluhan mural kini melapisi dinding. Di taman dan plaza, terpasang patung-patung. Di daerah Braddon, tak jauh dari restoran Afghanistan Bamiyan, lampu pelangi menjulang di perempatan—bentuk dukungan kota ini kepada kaum LGBTQ. Semua ini tak terbayangkan sebelumnya di Canberra.
Perlahan, Canberra juga mulai memiliki atribut-atribut khas Australia. Bisnis craft beer merekah di pinggiran kota. Festival cahaya diluncurkan pada 2011. Kereta LRT diluncurkan pada 2019. Dalam gedung-gedung bertubuh pendek, restoran trendi dan warkop hipster menjamur. Saya sempat mampir ke Kyo Coffee. Dapurnya diasuh Jon Priadi, eksponen kolektif seni Taring Padi asal Yogyakarta.
“Dulu, kota ini sangat sepi. Gak banyak yang bisa dinikmati,” kata Indi Utami, perempuan asal Indonesia, yang berkuliah di Canberra dari 2007-2012. “Kota ini memang didesain sebagai tempat hidup, bukan liburan.” Lalu, pada 2019, Indi menjenguk kota almamaternya ini dan terkaget melihat perubahan yang drastis. “Sudah banyak berubah,” kenangnya. “Saat saya kuliah, bangunan di sini tampilannya seperti berhenti di era 90-an. Tapi sekarang banyak kafe dan restoran yang keren. Kaget banget.”
Agaknya, transformasi itu mulai tertangkap radar dunia. Pada 2018, Canberra masuk daftar Top 10 Cities versi Lonely Planet. Ini berita yang menggegerkan di Australia. Lebih menggegerkan lagi, Canberra dipilih sebagai kota terbaik oleh OECD (Organisation for Economic Cooperation & Development).
“Banyak orang masih berpikir Canberra tidak punya apa-apa,” kata Saras Thalieb, perempuan asal Indonesia yang menetap di Canberra sejak 2005. “Tapi kota ini sebenarnya sudah banyak berubah. Tak cuma terkenal sebagai kota PNS. Ada hal-hal lain yang dikenal dari Canberra, termasuk kafe dan restorannya.”
Dengan pamor yang kian bersinar, Canberra mulai memikat merek-merek asing. Kota kosmopolitan ini, yang dihuni kampus nomor satu di Australia, yang ditaburi kedutaan asing, mulai kedatangan duta-duta ritel global. “Akhirnya kejadian,” tulis Canberra Times pada 2018, “H&M dibuka di Canberra.” Ketika banyak orang masih bertanya-tanya “Canberra ada di mana?”, pembukaan toko H&M disambut layaknya “pengakuan dunia.”
***
Pada 2003, api membakar perbukitan Molonglo Valley, sisi barat kota. Selepas bencana, pemerintah menangkap peluang untuk menciptakan objek wisata baru: kebun raya. Dari balik bara, kehidupan baru pun merekah. National Arboretum kini ditumbuhi 44.000 tanaman yang mewakili kemajemukan vegetasi Australia.
Saban tahunnya, tempat ini disatroni hampir satu juta orang. Sebagian datang untuk bersepeda, joging, atau menghadiri pesta pelaminan. Sisanya, termasuk saya, datang untuk menonton panorama kota.
Menyapu pandangan, Canberra memperlihatkan sosoknya sebagai “garden city.” Ini konsep yang janggal di Australia. Canberra tak terlihat seperti kota pada umumnya. Bahkan tak terlihat seperti kota sama sekali. Ia lebih mirip sebuah taman gigantik dengan gedung-gedung diselipkan di antara pepohonan.
Menatap lebih jauh, perbukitan saling bersambung seperti ombak yang mengepung kota. Konon, nama Canberra diserap dari bahasa pribumi yang artinya “tempat pertemuan,” walau sumber lain mengklaim artinya “belahan dada.” Versi yang terakhir ini lebih pas konotasinya. Canberra mengisi ceruk di antara dua gunung: Mount Ainslie dan Black Mountain. Jika disimpulkan—dan ini mungkin tidak nyaman didengar—Canberra secara etimologis dan topografis berarti “belahan dada yang rimbun.”
Tata kota yang janggal ini bukan tanpa sebab. Membuka riwayatnya, kota ini memang tak lahir “natural.” Canberra bukan kota organik yang bermula dari kerajaan di bantaran sungai atau bandar di tepi laut. Alih-alih, ia produk rekayasa.
Desainnya diperoleh dari sayembara, yang dimenangkan oleh arsitek Amerika yang belum pernah ke Canberra. Lokasinya dipilih dari kompromi politik. Alkisah, Melbourne dan Sydney bersaing sengit memperebutkan status ibu kota. Karena tak ada yang sudi mengalah, jalan tengah pun diambil: membikin kota baru sebagai pusat pemerintahan federal. Saya membayangkan jika dulu Jakarta dan Bandung berebut jadi ibu kota, lalu Bung Karno memilih… Bekasi.
Layaknya ibu kota modern yang dibangun dari nol, Canberra tertata dan tertib. Zonasinya rapi. Tapi, semua ini punya konsekuensi. Canberra mengalami defisit karisma. Ia terasa seperti kota artifisial yang dirancang semata untuk politisi dan pegawai negeri. Nasibnya mungkin mengingatkan kita pada Brasilia dan Putrajaya, dua ibu kota yang juga dikerek dari nol.
Dari situ, hujatan dan cibiran pun muncul. Celakanya, pencetus awalnya adalah orang Australia sendiri. Perdana Menteri Paul Keating pernah menyebut Canberra “sebuah kesalahan besar.” Penggantinya, John Howard, menolak menetap di kota ini. Canberra menyimpan kursi nomor satu di Australia. Tapi “showroom” kursi ini malah dicaci maki.
Meninggalkan National Arboretum, Donna membawa saya ke pusat kota. Hari ini, jalanan lebih sibuk. Maklum, Jumat adalah hari yang lebih panjang. Biasanya tutup sebelum magrib, toko-toko buka hingga pukul sembilan malam. Keluar kantor, orang-orang berbondong-bondong menyerbu restoran dan pub.
Di balik kemudi, Donna mulai gelisah. Kakinya naik turun, seperti orang menggerakkan mesin jahit. “Kemacetan seperti ini sulit diterima,” katanya, sembari menunjuk antrean mobil di perempatan lampu merah. Saya tak paham maksudnya. Di depan kami hanya ada enam mobil. Jimmy Rees, pelawak kondang Australia, pernah meledek mentalitas kota kecil ini. Di kota dengan slogan “semua berjarak 15 menit,” orang-orang selalu mengeluh jika harus berkendara 20 menit. Saya sampai tak tega mengundang Donna ke Jakarta.
Mobil akhirnya mencapai Civic, distrik di jantung kota. Suasananya riuh. Orang-orang memadati taman. Remaja berbaris di depan kedai gelato Via Dolce. Jemaah gereja menggelar kebaktian jalanan di muka kedai Dosa Hut. Lagu-lagu kidung bersaing dengan pekik bising kakaktua, burung nasional Canberra.
Dalam cetak biru kota, Civic dirancang sebagai episentrum kehidupan. Muara pertemuan area komersial, apartemen, dan ruang publik. Namun, tempat ini sebenarnya baru benar-benar bernyawa dalam beberapa tahun terakhir, dan motor di balik perubahan itu ialah City Renewal Authority (CRA).
CRA dibentuk pada 2017. Anggotanya pakar tata kota, arsitek, juga desainer. Lembaga semacam ini sudah ada di kota lain, umumnya bertugas memperbaiki kerusakan. Di Canberra, fokusnya sedikit berbeda: memoles dan menghidupkan kota.
“Ini kota yang terencana, dibangun dari nol, tapi pusat kotanya justru kurang hidup,” ujar Malcolm Snow, Direktur Utama CRA. “Yang kami lakukan ialah merekayasa ruang, untuk memikat orang dan meningkatkan interaksi.”
Pembenahan Civic adalah salah satu program kerja mereka. Di sini, CRA menanam pohon, menyebar kursi-kursi bersantai, memasang karya seni, juga menanggap pentas akustik. “Hasilnya,” kata Malcolm, “orang menetap lebih lama, berinteraksi lebih intens, dan pelaku usaha pun menikmati dampaknya.”
Menurut Aristoteles, kota pada dasarnya bukan soal monumen dan taman, melainkan manusia dan karakternya. Canberra sudah punya banyak monumen dan taman. Kini ia ingin mengurus para penghuninya. “Kota adalah tempat hidup. Tugas kami meningkatkan koneksi antara orang dengan kotanya,” tambah Malcolm.
Kata lelucon lokal, mengunjungi Canberra serasa melawat rumah nenek. Tenang dan rindang. Rapi dan resik. Tapi menjemukan. Malam ini, di Civic, saya mendapati kesan yang berbeda.
***
Canberra, sebenarnya, tak cuma berstatus ibu kota negara. Ada gelar lain yang disandangnya: ibu kota seks.
Kisahnya dimulai pada 1984, saat kota ini melegalkan penjualan video porno. Delapan tahun berselang, giliran prostitusi dapat lampu hijau. Dengan itu, lengkap sudah reputasi aib kota ini. Canberra sebagai pusat politik, dengan standar upah di atas rata-rata, kini memiliki distrik lampu merah. Harta, takhta, wanita—semua ada di “kota belahan dada.”
Jejak Canberra sebagai destinasi syahwat ini tersimpan di Fyshwick, sisi timur kota. Beberapa toko peralatan seks masih tersisa. Begitu pula rumah bordil. Namun, seperti yang menimpa banyak distrik serupa di kota lain, masa keemasan mereka sudah lewat. Sebagian karena dihajar internet dan dating app.
Namun, Fyshwick tak lantas dilupakan. Orang-orang ternyata masih berdatangan. Bedanya, banyak dari mereka kini tak mencari PSK, melainkan pesta minum. Di sini, berahi sudah disaingi bir.
Pukul tujuh malam, Capital Brewing terlihat gaduh layaknya pasar malam. Dalam hanggar megah bekas bengkel truk, tamu mengerubungi meja-meja kayu. Orang-orang hilir mudik membawa gelas bir. Di muka food truck Brodburger, antrean mengular panjang. “Ini burger paling kondang di Canberra,” ujar Donna. “Dulu, mereka berjualan di tepi danau. Setelah diusir aparat, pindah ke sini.”
Capital Brewing memproduksi craft beer. Saya tak tahu persis artinya. Yang jelas, ini minuman kebanggaan Australia selain wine. Produsennya ada di setiap negara bagian. “Bir pabrikan punya konsistensi rasa. Di mana pun, kapan pun, rasanya sama,” jelas staf bar. “Craft beer berbeda. Rasanya tergantung pasokan bahan dan kreativitas peraciknya.”
Kesuksesan Capital Brewing bergema. Perusahaan yang dirintis pada 2016 ini melesat jadi ikon baru dalam peta kuliner kota. Tapi mungkin bukan cuma itu sumbangsihnya. Bermodalkan bir dan burger, Capital Brewing juga turut memperbaiki potret retak Canberra. Siapa sangka, di sini, miras bukanlah jalan menuju maksiat. Tapi alasan untuk berputar balik.
Meninggalkan Canberra, saya meluncur ke Sydney. Mobil bergerak ke utara, merandai jalan lengang yang basah diguyur hujan. Tak banyak yang bisa dilihat di rute antar-kota ini. Saya mengisi bosan dengan menghitung bangkai kanguru korban tabrak lari.
Di Sydney, saya menghadiri presentasi kepala dinas pariwisata dari seantero Australia. Acara ini bagian dari promosi selepas pembukaan perbatasan. Para tamunya ialah wartawan asal puluhan negara, dari Indonesia hingga Kanada.
Satu per satu, Kadispar naik panggung. Semuanya menyiapkan jargon yang bombastis. “Kami memiliki festival cahaya terbesar di selatan khatulistiwa,” kata perwakilan Sydney. “Kami kota layak huni nomor tiga di dunia,” kata wakil dari Adelaide.
Berikutnya giliran Melbourne: “Kota kami dijuluki ibu kota kuliner Australia.” South Australia tak mau kalah: “Kami memproduksi wine terbanyak.”
Mendengar mereka, saya mulai resah. Bagaimana Canberra menyaingi kota-kota itu? Apa kira-kira yang akan dijual: Jackson Pollock, bir, atau kebun raya?
Giliran Canberra akhirnya tiba. Kadispar maju ke mimbar, menatap hadirin, lalu berkata: “Saya dari Canberra. Ini ibu kota Australia. Bukan Sydney.”
Beberapa orang tertawa. Sebagian tertegun, mungkin baru tahu Canberra ibu kota. Di situ, saya pun tersadar. Canberra sudah banyak berubah. Tapi, sebelum menjelaskan kota ini punya apa, ia perlu lebih dulu menerangkan siapa dirinya.
PANDUAN
Rute
Penerbangan langsung ke Canberra ditutup akibat pandemi. Untuk sementara, kota ini hanya bisa dijangkau via Melbourne atau Sydney. Untuk menjelajahi kota, opsi terbaik ialah Uber atau taksi. Kereta LRT sudah dioperasikan sejak 2019, tapi baru melayani satu jalur.
Penginapan
Canberra didominasi hotel butik. Andaikan lebih nyaman dengan hotel waralaba, opsinya antara lain Hyatt Canberra, Ovolo Nishi, serta Midnight Hotel. Yang terakhir ini bagian dari Autograph Collection Marriott.
Wisata
Jika Sydney memiliki Opera House sebagai ikonnya, maka Canberra memiliki National Museum of Australia. Museum berdesain dekonstruktif ini didesain sebagai basis untuk mengenal Australia. Kalah mentereng tapi punya koleksi memukau ialah National Gallery of Australia. Ruang pamernya memajang beragam karya maestro, termasuk Rothko, Monet, serta Pollock. Pelatarannya ditaburi patung dan instalasi, salah satunya Within Without dari James Turrell. Untuk pengalaman khas ibu kota, Gedung Parlemen terbuka untuk umum, sementara danau bersejarah Burley Griffin bisa diarungi menaiki perahu listrik GoBoat (bukan cabang Gojek). Untuk melihat panorama kota, kunjungi kebun raya National Arboretum. Jika butuh sudut pandang lebih tinggi, pesan tur balon udara bersama Balloon Aloft. Untuk membeli oleh-oleh khas lokal, Pop Canberra (dan butik-butik tetangganya) selalu punya kejutan yang kreatif. Klik di sini untuk melihat ulasan tempat wisata di Canberra.
Makan & Minum
Ditunjang pertumbuhan populasi anak muda dan standar gaji yang tinggi, skena kuliner kota makin berwarna. The Inn dan Pialligo Estate menawarkan rasa lokal. Menu tagliolini dan eggplant di Italian & Sons layak dicicipi. Raku mengandalkan sushi, sementara Les Bistronomes diasuh oleh mantan koki Claridges London. Kedai kopi sedang menjamur di Canberra, dan tawarannya mungkin membuat Anda ragu sarapan di hotel. Beberapa yang terkenal ialah Barrio Collective, The Cupping Room, serta Kyo Coffee yang diasuh koki asal Yogyakarta. Di malam hari, sensasi khas lokal bisa dinikmati di bar-bar spesialis craft beer, contohnya BentSpoke dan Capital Brewing. Menuju utara kota, ada 40 produsen wine. Gallagher tersohor di kategori Riesling, Clonakilla punya spesialisasi Syrah, sementara Four Winds Vineyard mengandalkan paket combo wine dan piza.
Acara
Sejak 2011, Canberra memiliki festival cahaya Enlighten. Maret 2022, festival grafiti Surface digelar perdana. Membuka musim gugur, puluhan balon udara beterbangan ke langit kota dalam pergelaran Canberra Balloon Spectacular. Bagi penggemar tanaman, festival bunga Floriade masih rutin bergulir.