by Cristian Rahadiansyah 22 February, 2019
Budaya & Sepak Bola Spanyol Utara
Oleh Cristian Rahadiansyah
Foto oleh Markel Redondo
Bilbao, kota terbesar di Basque Country, tersohor sebagai destinasi kuliner. Kota ini mengoleksi sembilan restoran berbintang Michelin, statistik yang impresif mengingat populasinya hanya 340.000 jiwa. Sebagai testimoni akan reputasinya, pada 2018 Bilbao terpilih sebagai tuan rumah malam penghargaan World’s Best 50 Restaurants, semacam Piala Oscar di dunia restoran.
Tapi wisata kuliner di Bilbao tidak berarti harus menyambangi satu demi satu restorannya. Anda cukup datang ke Stadion San Mames. Di sini, setiap kali klub sepak bola Athletic bertanding, penonton bisa mencicipi aneka kreasi dari koki-koki restoran Michelin setempat. Saat saya datang, juru masak yang bertugas ialah Josean Alija dari restoran Nerua. Masakannya bisa disantap gratis, sepuasnya, asalkan memegang tiket VIP yang harganya setara UMR Jakarta.
Ini lawatan pertama saya ke Basque. Saya datang Oktober silam atas undangan pengurus LaLiga. Bagi pembaca yang awam, LaLiga adalah liga sepak bola Spanyol. Dua klub kondang Real Madrid dan FC Barcelona berlagadi dalamnya—dan tujuan LaLiga mengundang saya ialah mempromosikan klub-klub lain di luar kedua klub perkasa itu. “Agar LaLiga lebih populer di dunia, maka publik mesti mengenal klub-klub lain di luar Real Madrid dan FC Barcelona,” jelas Chief Communications Officer LaLiga, Joris Evers, pria berdarah Bandung-Belanda.
Harapan Joris tentu saja tidak saya penuhi karena dua alasan. Pertama, saya bekerja untuk majalah wisata, bukan tabloid olahraga. Kedua, saya penggemar berat Real Madrid. Demi memastikan Joris—yang sudah susah payah berbahasa Indonesia—tidak kecewa, saya mengajukan solusi kompromi. Saya akan berkelana di Basque bukan untuk memahami klub sepak bolanya, melainkan bagaimana klub sepak bolanya membantu saya memahami Basque.
Basque Country, jika Anda belum pernah mendengarnya, berbeda dari Spanyol yang kita kenal. Ia melintang di utara, berbatasan dengan Prancis. Dulu, Basque sejatinya sebuah bangsa yang mencakup pula kawasan di Negara tetangganya itu. Dari sinilah nama French Basque Country berasal. Didier Deschamps, manajer timnas sepak bola Prancis, merupakan salah satu produk ekspor terbaiknya.
Basque luasnya sekitar 10 kali Jakarta, tapi populasinya cuma 2,2 juta jiwa. Warganya berbicara dengan bahasanya sendiri yang dinamai Euskara. Ini bukan varian dari bahasa Spanyol. Euskara adalah rumpun yang sepenuhnya berbeda. Sebagai contoh: “muralla,” bahasa Spanyol untuk “tembok,” ditulis “harresia” dalam bahasa Basque. Contoh lainnya: “salida” (keluar) menjadi “isteera.”
Ada kalanya terjemahan itu membingungkan, terutama jika diterapkan pada nama orang atau tempat. Pada sehelai baliho Museum Guggenheim Bilbao misalnya tertulis judul pameran “Van Goghetik Picassora,” artinya “Van Gogh to Picasso.” Bahkan kata “Basque” dalam bahasa lokal juga sebenarnya ditulis berbeda: Euskadi.
Segala perbedaan distingtif itulah yang dulu memicu hasrat memisahkan diri. Di ujung abad ke-19 berdiri partai nasionalis PNV yang mengusung agenda otonomi. Organisasi yang lebih keras, ETA, mengampanyekan separatis melewat aksi kekerasan. Setidaknya 800 nyawa melayang akibat teror ETA, dan saya datang hanya enam bulan setelah mereka mengumumkan meletakkan senjata.
Eksplorasi saya dimulai di Bilbao, gerbang udara Basque. Dulu, kota tepi sungai ini berperan sebagai pusat galangan kapal dan pabrik baja. “Sewaktu saya kecil, langit Bilbao tidak pernah gelap di kala malam, tapi selalu jingga akibat nyala api dari pabrik-pabrik baja,” kenang Santiago, pria lokal kelahiran 1974. “Polusi udara di sini dulu sangat parah.”
Di ujung abad ke-20, sebagaimana kota industri tua lainnya di Eropa, Bilbao kehilangan daya saingnya akibat menjamurnya pabrik bertenaga murah di Dunia Ketiga. Perlahan, kota ini beralih peran menjadi jantung finansial dan perdagangan. Tapi ada satu hal yang unik dari transformasinya itu, yakni besarnya peran arsitek. Bilbao bisa dibilang adalah kota yang diselamatkan oleh desain.
Mereka yang datang via jalur udara akan mendarat di terminal yang dirancang oleh arsitek kenamaan Santiago Calatrava. Jika naikkereta, penumpang akan keluar dari cangkang kaca garapan Norman Foster. Menyusuri Sungai Nervión, kita akan menemukan pulau yang sedang dibangun oleh firma ZahaHadid. Sementara di dekat hotel saya terdapat pusat kebudayaan yang didesain oleh desainer terpandang Philippe Starck.
Dari semua proyek itu, satu yang berdampak paling signifikan ialah Museum Guggenheim Bilbao. Diresmikan pada 1997, museum rancangan Frank Gehry ini berjasa vital membalik nasib Bilbao yang sedang terpuruk. Pakar tata kota menyebutnya “Bilbao Effect,” yakni proses di mana institusi budaya mengembalikan pamor kota sekaligus menarik investasi dan turis. Kasus Bilbao jugalah yang mendorong banyak kota mengambil inisiatif serupa, contohnya Abu Dhabi yang juga mewaralaba Guggenheim.
Uniknya, jika model pembangunan kotanya berorientasi ke depan, tradisi sepak bola Bilbao setia menengok ke masa silam. Athletic, klub kebanggaan kota ini, memandang dirinya sebagai garda bagi kemurnian identitas Basque. Sejak diresmikan 120 tahun silam, Athletic konsisten memakai hanya pemain lokal. Aturan ini awalnya didefinisikan ketat untuk pemain kelahiran Basque. Belakangan, aplikasinya lebih luwes dengan mencakup pula alumni akademi sepak bola lokal.
Model rekrutmen berbasis kedaerahan itu adalah kasus langka, terutama di zaman ketika tiap klub bersaing menggaet bakat hebat dari penjuru bumi demi mengejar laba dan piala. Selain Athletic, mungkin hanya Chivas de Guadalajara di Meksiko yang menerapkannya. “Con cantera y afición, no hace falta importación,” begitu moto yang dianut Athletic. Terjemahan bebasnya: “Bermodalkan bakatdan dukungan lokal, kami tak butuh impor.”
Menurut pakar politik Dr. Jiří Zákravský, sikap primordial Athletic tidak bisa dilepaskan dari riwayatnya. Identitas nasional Basque tumbuh bersamaan dengan dimulainya demam sepak bola, dan partai nasionalis PNV sengaja menunggangi sepak bola sebagai wadah untuk menjaring simpatisan. Tiga anggota PNV bahkan pernah menjabat presiden Athletic. “Klub sepak bola lokal, khususnya Athletic, merupakan medium yang fungsional untuk menyebarkan identitas Basque,” tulis Zákravský dalam makalah bertajuk Basque National Football Team as a Political Tool.
Kolusi struktural antara partai dan klub kemudian memang dilarang, namun ikatan politisnya masih lestari. Kebijakan rekrutmen Athletic masih berlaku. Walau tidak tertulis dalam anggaran dasar klub, tak seorang pun berani melanggar aturan itu, dan sepertinya memang belum ada alasan kuat untuk melakukannya. Athletic, bersama Barcelona dan Real Madrid, belum pernah turun kelas dari divisi utama. “Tiga tahun lalu kami mengadakan survei, dan 95 persen anggota klub lebih suka terdegradasi ketimbang merevisi kebijakan rekrutmen,” jelas Borja Gonzalez, Stadium Business Manager Athletic.
Meninggalkan Bilbao, saya meluncur ke kota San Sebastian di sisi timur. Ini rute yang populer dalam sirkuit turis berkat panoramanya yang fotogenik. Selama 70 menit, bus saya melewati perbukitan cadas, rumah-rumah petani yang menyendiri di pundak bukit, serta desa-desa sunyi yang meringkuk di dasar lembah. Mendekati tujuan, bus menyusuri pesisir dan melewati Getaria, kampung halaman Cristobal Balenciaga.
San Sebastian, atau Donostia dalam bahasa Basque, adalah kota pesisir yang cantik dan kalem. Di sini tidak ada keramaian. Pagi dimulai dini dan malam ditutup lekas, karena memang tidak ada kelab malam. Di tepi kota membentang pantai cantik berbentuk bulan sabit. Saat saya datang, beberapa wanita sedang berjemur dengan bertelanjang dada dan seorang pria berjalan bugil di pasir cokelat susu. Terdengar seksi memang, walau dari jumlah lipatan di tubuh mereka, saya bisa menebak usia mereka di atas 60 tahun. Merujuk statistik, lebih dari seperempat warga San Sebastian berstatus pensiunan.
Di peta wisata, pamor San Sebastian baru merekah selepas Olimpiade Barcelona 1992. Menurut gosip lokal, penyebabnya adalah solidaritas warga Barcelona pada agenda separatis Basque. Merekalah yang giat merekomendasikan para penonton Olimpiade untuk mengunjungi San Sebastian. Sebelum itu, kota ini lebih dikenal sebagai tempat liburan keluarga kerajaan Spanyol—salah satu alasan kenapa harga properti di sini sangat mahal, bahkan mungkin yang termahal di seantero negeri. Kata Thomas, seorang pemandu lokal, satu rumah sederhana di sini dibanderol minimum €4 juta.
Seperti Bilbao, San Sebastian memiliki klub sepak bola yang berkompetisi di divisi utama LaLiga—Real Sociedad. Saya sempat mampir ke pusat latihannya. Sebuah pengalaman yang berharga tentunya, berhubung di sinilah kita bisa melihat para selebriti dari jarak dekat, kadang berbincang basa-basi dengan mereka. Pagi ini, Illarramendi lewat di depan saya. Setelah itu, muncul Sandro Ramirez. Saya juga menanti Adnan Januzaj, bintang asal Belgia, tapi dia ternyata dibekap cedera.
Real Sociedad sempat menerapkan model rekrutmen yang serupa dengan Athletic. Pada 1989, kebijakan itu dianulir ketika mereka mengontrak striker John Aldridge asal Liverpool. Alasan perubahan itu ialah kian ketatnya persaingan memikat pemain lokal. Basque mengoleksi puluhan klub, dan beberapa rutin masuk di divisi utama. “Kami sekarang memiliki 10 pemain asing,” jelas Roberto Olabe, Football Director Real Sociedad. “Tapi secara total 85 persen pemain masih berasal dari Basque.”
Dalam konstelasi sosial LaLiga, jika Athletic dipandang mewakili kelas buruh, Real Sociedad merepresentasikan golongan elite. (Terminologi Real berarti “Royal,” menandakan klub ini dinobatkan oleh keluarga ningrat.) Derby Basque, julukan untuk duel yang mempertemukan Athletic dan Real Sociedad, senantiasa sengit. Kendati begitu, pertalian genealogis sebagai duta Basque membuat keduanya tak pernah benar-benar bermusuhan. Bahkan pernah suatu kali para pemainnya berkongsi dalam aksi politik melawan penindasan rezim.
Alkisah, menjelang Derby Basque pada 5 Desember 1976, gelandang tengah Josean Uranga nekat menyelundupkan Ikurrina, bendera nasional Basque, ke ruang ganti Real Sociedad. Dia berniat mempertontonkannya di lapangan. Kelar perundingan internal yang mendebarkan, teman-temannya sepakat mendukung aksinya, lalu mereka mengajak pemain Athletic untuk terlibat. Beberapa menit kemudian, kedua kapten klub memasuki lapangan dengan membentangkan Ikurrina. Segenap penonton pun terperanjat, sebagian bertepuk tangan dan menangis histeris. Melihat kondisi itu, polisi bergeming. Sebulan kemudian, pemerintah Spanyol melegalkan Ikurrina, dan sejarah baru pun tercipta dari lapangan hijau.
Kisah itu saya kutip dari Football & Identities in the Basque Country, buku karangan Alejandro Quiroga. Untuk menghadirkan konteks bagi pembaca, di masa kekuasaan diktator Francisco Franco, semacam Soeharto versi Spanyol, Ikurrina dilarang. Membawanya ke stadion sama bahayanya dengan membawa bendera GAM ke pertandingan Persiraja Banda Aceh di zaman Orde Baru.
Sepak bola memang kerap terpaut dengan politik. Ada banyak contohnya. Di Austria, klub Hakoah bergerilya sebagai duta propaganda Yahudi di Eropa. Di Skotlandia, rivalitas Celtic dan Rangers mencerminkan perebutan hegemoni antara penganut Katolikdan Protestan. Kita juga ingat, timnas Korea Utara memanfaatkan sepak bola sebagai corong untuk mengagungkan pemimpin besar mereka. “Dia [Kim Jong-il] memberi pertahanan yang lebih hebat ketimbang 1.000 bek dan 10.000.000 kiper,” ujar Ri Myong-guk, penjaga gawang Korut dalam Piala Dunia 2010.
Apa yang dilakukan Real Sociedad dan Athletic pada 1976 bisa diletakkan dalam kerangka politik serupa. Di bawah rezim Franco, jangankan membawa Ikurrina, warga bahkan dilarang menuliskan nama berbahasa Basque dalam akta kelahiran mereka. Hanya lewat sepak bola mereka menemukan celah perlawanan. Stadion-stadion di sini laksana suaka terakhir bagi warga untuk menyalurkan aspirasi di ruang terbuka. “Klub Athletic Bilbao dan Real Sociedad,” tulis Franklin Foer dalam buku How Soccer Explains the World, “adalah wadah satu-satunya bagi penduduk Basque untuk mengekspresikan martabat budayanya tanpa harus berakhir di penjara.”
Kondisinya kini memang sudah jauh berubah. Franco telah lama mangkat dan Basque terbebas dari cengkeram penindasan. Saya sempat menonton derby Athletic versus Real Sociedad. Tak ada lagi yang perlu diselundupkan. Tak tercium bau ketakutan. Alih-alih, yel dan rapsodi Euskara berkumandang santer sepanjang pertandingan. Bendera Ikurrina tak cuma berkibar di tribune, tapi juga dijahit di tengkuk seragam tiap pemain.
Selepas San Sebastian, saya mengunjungi Eibar. Di perjalanan, bus kembali melewati desa-desa fotogenik yang sukar dilafalkan namanya: Larrabetzu, Etxano, Muntsaratz, dan Bakixa. Sesampainya di tujuan, saya langsung menangkap kesimpulan Eibar sebenarnya lebih cocok disebut desa besar ketimbang kota kecil. Populasinya cuma 27.000 jiwa, setara satu kelurahan di Jakarta. Di sini hanya ada dua hotel, salah satunya baru diresmikan tiga bulan sebelum kedatangan saya.
Mula-mulanya saya singgah di Ipurua, markas klub SD Eibar. Stadion ini kelewat mungil untuk standar LaLiga. Kapasitasnya lebih sedikit dari mendiang Stadion Lebak Bulus. Atapnya begitu pendek sampai-sampai mereka yang menetap di apartemen sekitar bisa menonton gratis dari balkon. Kendati begitu, menurut lelucon lokal, ukuran kecil itu justru menyimpan berkah. Banyak fan klub besar rutin datang ke Ipurua demi menonton bintang pujaan dari jarak dekat, barangkali terlampau dekat. Jarak lapangan dari kursi baris terdepan hanya dua langkah. Saya bisa membayangkan bersin penonton menciprati wajah Lionel Messi atau Gareth Bale.
SD Eibar adalah klub muda yang baru merumput pada 1940. Galibnya klub berkocek pas-pasan, ia merangkak penuh keringat dari divisi terbawah. Pada 2014, ketika akhirnya menembus divisi utama, klub ini tak punya dana pokok yang disyaratkan pengurus La-Liga, hingga pemiliknya terpaksa meluncurkan kampanye urun dana. Sejak itu, SDEibar dimiliki oleh 11.000 pemegang saham yang tersebar di 69 negara. Lebih pas disebut paguyuban ketimbang klub sebenarnya.
Tapi meski sosoknya memprihatinkan, SD Eibar cukup dihormati. Musim 2017, klub kuda hitam ini bertengger di posisi kesembilan dalam klasemen akhir, mengangkangi dua tetangganya yang jauh lebih sugih, Athletic dan Real Sociedad. Prestasi itu jelas menggemparkan. SD Eibar telah membuktikan uang bukan segalanya di sepak bola. Lebih dari itu, klub ini juga turut membangkitkan isu kesetaraan gender. Di Spanyol, SD Eibar merupakan satu-satunya klub yang dipimpin oleh perempuan. Tak hanya presidennya, bahkan direktur eksekutif dan sekitar separuh pengurusnya juga perempuan.
Penting diketahui, orang Basque dicirikan oleh karakternya yang tangguh, pemberani, dan ceplas-ceplos—beberapa atribut yang memang khas masyarakat pesisir. “Saat membuat kesepakatan,” kata Mikel Barcena, seorang pengusaha lokal, “kami tidak perlu menulis perjanjian dan membubuhkan tanda tangan, melainkan cukup berjabat tangan. Kami berbeda dari orang selatan.”
Bukti-bukti keperkasaan orang Basque juga bisa ditemukan dalam arsip sejarah. Juan Sebastian, orang pertama yang mengelilingi dunia (dia kapten kapal ekspedisi Ferdinand Magellan yang berhasil pulang selamat), berasal dari Basque. Lirik dalam Eusko Gudariak, lagu nasional Basque, juga mencerminkan tabiat jantan serupa: “Kami pasukan Basque; akan membebaskan Basque Country; kami menyiapkan darah kami; demi mewujudkan misi itu.”
Uniknya, kontras dari kulturnya yang maskulin, Basque sebenarnya menganut sistem sosial matriarkal. Keputusan-keputusan strategis rumah tangga diambil oleh pihak istri dan ibu. Dalam konteks itu, SD Eibar bukan semata memberi contoh sempurna dari keunikan budaya Basque, tapi juga memperlihatkan pengembangannya di dunia modern. Perempuan tak hanya bisa berjaya di lingkup domestik, tapi juga andal di sektor yang didominasi pria.
“Saat awal memulai, kondisinya berat. Kerap pendapat saya tidak didengar. Saya juga merasakan tekanan untuk membuktikan wanita bisa mengurus klub sepak bola,” kenang Patricia Rodriguez, Chief Executive SD Eibar. Koleganya yang bergerak di bidang komunikasi, Arrate Fernandez, kemudian dengan tegas menambahkan: “Tak usah dipertanyakan lagi tentang peran perempuan. Ini tanah matriarkal.”
Hari terakhir di Basque, saya melawat kota Vitoria-Gasteiz. Lokasinya di sisi tengah Basque, berbeda dari Bilbao yang melebar di tepi muara atau San Sebastian yang menatap laut. Tata kota Vitoria-Gasteiz juga lebih condong ke prinsip mandala khas warisan Abad Pertengahan. Di jantungnya menjulang sebuah katedral neogotik dengan jalan-jalan yang melingkar di sekitarnya seperti spiral.
Vitoria-Gasteiz berstatus Ibu Kota Basque. Jika kita belum pernah mendengar namanya, itu mungkin karena ia tak memiliki landmark yang mercusuar. Tapi bukan berarti kota ini menjemukan. Di sini ada banyak taman dan ruang publik. Jalur sepedanya membentang rapi dan bangku rehat tersebar hingga pelosok. Berkat komitmennya pada pengurangan emisi, Vitoria-Gasteiz pernah didaulat sebagai European Green Capital.
Sebagaimana para tetangganya, sepak bola merupakan agama tak resmi terbesar di Vitoria-Gasteiz. Klub lokalnya bernama Deportivo Alaves. Tak banyak yang bisa diceritakan darinya, kecuali bahwa Alaves merupakan klub medioker yang pernah hampir bangkrut akibat korupsi, hingga akhirnya diselamatkan oleh klub bola basket—sebuah anomali untuk standar Spanyol, di mana biasanya justru klub sepak bola yang menaungi klub bola basket.
Hari ini saya datang bukan untuk menggali kisah Alaves, melainkan semata menontonnya bertanding melawan sang raksasa Real Madrid, klub pujaan saya. Sebagaimana galibnya, tiap pertandingan diawali oleh pesta kuliner. Saat para atlet sibuk meregangkan otot, para penonton melakukan pemanasannya sendiri dengan melompat dari satu kedai ke kedai lain untuk menikmati pintxo, tapas khas lokal. Di sebuah restoran, saya menyantap piquillo (paprika merah), tortilla de patata (omelet kentang), serta pimiento verde (cabai hijau dengan minyak zaitun).
Menjelang magrib, saya memasuki Stadion Mendizorrotza bersama ribuan orang berkaus biru-putih khas Alaves. Pengurus LaLiga memberikan saya akses VIP, tapi ruangan VIP di sini berbentuk kotak kaca yang steril dari ingar-bingar penonton. Merasa seperti ikan di akuarium, saya pun memutuskan pindah ke barisan suporter fanatik yang berjejal di belakang Thibaut Courtois, kiper Real Madrid.
Wasit meniup peluit dan laga dimulai. Atmosfernya buncah dan meriah, sementara saya dihinggapi paranoid. Sepanjang pertandingan, saya mencoba menahan diri dari bertepuk tangan untuk Real Madrid, juga ekstra hati-hati ketika memotret Gareth Bale dan Luka Modric. Mendadak, seorang pendukung Alaves yang berbadan gempal menatap saya dengan paras murka seperti mendapati seorang mata-mata, lalu berteriak-teriak meminta saya ikut menyanyi.
Saya melihat sekeliling. Pendukung Alaves begitu kompak dan bergairah, terus melompat dan berdendang tanpa lelah. Mereka seperti umat yang tulus menyemangati para nabinya yang sedang berjibaku. Iman mereka begitu dalam, hingga pelan-pelan saya tergoda untuk menjadi mualaf dengan ikut mendukung Alaves. Pada detik-detik terakhir, doa mereka terkabul. Gol bersarang di gawang Courtois. Alaves menang. Saya pulang dengan lega karena berhasil memotret Bale dan Modric.
PANDUAN
Rute
Basque Country bersemayam di utara Spanyol, menatap Teluk Biscay, dan berbatasan dengan Prancis. Kota Bilbao, gerbang udaranya, dilayani antara lain oleh Air France (airfrance.com), KLM (klm.com), Lufthansa (lufthansa.com), dan Turkish Airlines (turkishairlines.com).
Informasi
Hampir setiap kota (juga desa) di Basque memiliki klub sepak bola. Empat di antaranya yang paling terkenal ialah Athletic (athletic-club.eus), Real Sociedad (realsociedad.eus), Eibar (sdeibar.com), serta Deportivo Alaves (deportivoalaves.com). Klub-klub kaya memiliki stadion yang megah, sementara kunjungan ke klub-klub kecil membawa kita merasakan keakraban dan kesederhanaan. Informasi tentang jadwal pertandingan mereka terpajang di situs LaLiga (laliga.es), sementara untuk informasi lain seputar objek wisata, klik situs Dinas Pariwisata Basque (tourism.euskadi.eus).
Dipublikasikan perdana di majalah DestinAsian Indonesia edisi Januari/Maret 2019 (“Basque via Bola”).