by Yohanes Sandy 03 January, 2017
Bertualang di Pesisir Sri Lanka
Oleh Cain Nunns
Foto oleh Alice Luker
Seekor elang melayang di atas pantai keemasan. Di bawahnya, sejumlah pelancong menenggak koktail di kaki pohon kelapa, sementara kawanan monyet berburu makanan di pohon pisang. Pada 1970-an, pantai di Pasikuda ini rutin memikat turis Eropa. Dulu pula, foto pesisir timur Sri Lanka ini marak terpajang di kartu pos sebagai representasi wajah tropis Asia, jauh sebelum Bali dan Thailand mendominasi sirkuit turis.
Tapi lalu perang pecah. Militan Macan Tamil memberontak terhadap pemerintah yang didominasi Suku Sinhala. Selama hampir tiga dekade, konflik membuat kawasan timur Sri Lanka terkucil, terisolasi, terpecah dalam blok-blok yang dikuasai gerilyawan ataupun tentara.
Kini, setelah lama ditinggalkan, pesisir timur bertekad membuka lembaran baru. Macan Tamil tumbang pada 2009. Bedil telah disarungkan. Kaum diaspora bertahap mudik ke kampung halamannya. Pasikuda adalah noktah kecil dalam peta wisata yang sedang ditulis kembali di Eastern Province. Tempat ini menyempil di pesisir sepanjang 300 kilometer yang melintang dari Trincomalee di utara, melewati kota kolonial Batticaloa, lalu berakhir di Arugam Bay. “Di sini kami membutuhkan industri pariwisata guna membuka lapangan kerja yang sangat dibutuhkan warga lokal,” ujar Rajesh Parker, staf Dinas Pariwisata Sri Lanka.
“Tapi warga masih trauma, jadi tempat ini butuh banyak waktu untuk berubah,” sambung Trevor Burton, mantan eksekutif Anilana, perusahaan pengembang yang telah mendirikan dua resor di pesisir timur. “Tapi setidaknya sudah banyak investasi yang digelontorkan di sini, terutama untuk konstruksi jalan dan jembatan,” lanjut Trevor.
Menaiki tuk-tuk, saya singgah di Kalkudah Beach untuk menemui pemandu. Selagi menunggu, saya mengagumi hamparan pasir berwarna pirang. “Saya sebenarnya baru kembali beberapa tahun silam, tapi saya sudah bisa melihat banyak perubahan positif di sini,” seorang pria lokal berusaha membuka obrolan, lalu mengajak saya bergabung menenggak Lion Lager. Robert Arisinga mengaku pernah menetap di East London, lalu memutuskan pulang ke negaranya setelah perang berakhir. “Kota-kota sedang dibangun kembali dan orang-orang berdatangan. Manusia adalah solusi bagi kawasan ini,” jelasnya lagi.
Pemandu saya akhirnya datang: Joseph Michel, seorang Tamil dengan kumis menyerupai Burt Reynolds. Petualangan kami dimulai dengan menelusuri jalan sepanjang 130 kilometer yang menghubungkan kota Batticaloa dan Trincomalee. Lepas dari cengkeraman gerilyawan, jalur ini dibenahi dan diaspal, menyunat durasi perjalanan dari sembilan jam menjadi hanya 2,5 jam.
Mobil melewati sawah yang menguning dan kawanan kerbau yang lesu. Para petani berteduh di pondok terpal; siswa sekolah berkelebat dengan dasi kotak-kotak; sementara anjing dan kambing berkeliaran di tepi jalan. Di suatu titik, Joseph berhenti untuk memindahkan kura-kura dari aspal panas.
Di perjalanan, Joseph menuturkan kisah hidupnya—kisah yang mewakili transformasi pesisir timur Sri Lanka. Dia pernah mengabdi sebagai pilot Angkatan Udara. Tapi karena muak dengan misi pengeboman di sarang Macan Tamil, Joseph mengundurkan diri, kemudian bekerja mengantar turis ke tempat-tempat yang dulu dikoyak perang.
Setelah dua jam, kami tiba di Trincomalee. Awalnya tersohor berkat pantainya, kota ini sekarang bersinar sebagai benteng bagi kebudayaan Tamil. Kami merandai pinggiran kota, berjalan-jalan di bawah barisan palem. Kota ini memiliki banyak kuil dan rumah era kolonial. Usai melewati para pedagang DVD Bollywood bajakan, kami tiba di pelabuhan di mana perahu-perahu menawarkan tur menonton lumba-lumba dan paus.
Di sebuah restoran di Marble Beach, kaum pria mengenakan sarung aneka warna, sementara wanita-wanita Tamil dengan celana jin dan kaus hitam berbaur di antara perempuan Muslim yang mengenakan burka. Saya dan Joseph menyantap sambal kelapa, udang masala, dan kerapu. Di meja sebelah, seorang guru paruh baya asal New York sedang menikmati liburan. “Tempat ini sama bagusnya dari semua yang pernah saya kunjungi,” katanya saat lagu Livin’ on a Prayer berkumandang dari speaker. “Karakternya kuno, seolah baru keluar dari lemari dan kini menanti untuk ditemukan dunia.”
Berpindah 10 kilometer ke utara, kami mendarat di Nilaveli, kampung yang rutin diserbu peselancar, terutama saat angin barat daya bertiup kencang dan mengirimkan ombak-ombak tinggi yang merayap hingga Indonesia. Di dekat pantai, barisan kios menjajakan ikan kering, teh susu, dan kelapa.
Udara dipenuhi aroma minyak, seafood, dan sate ayam. Seorang nenek dengan gigi menguning tiba-tiba menawarkan cairan yang terlihat menjijikkan. Warnanya abu-abu dan aromanya menusuk, hingga saya pun menenggaknya sambil menahan napas. Si nenek tertawa, begitu pula bocah-bocah di sekitar saya. “Yang kamu minum tadi tonik khusus wanita hamil,” Joseph tersenyum.
Pemberhentian kami berikutnya adalah Girihadu Seya di Thiriyaya. Di zaman perang saudara, candi Buddha tertua di Sri Lanka ini masuk wilayah Macan Tamil. Setelah konflik reda, peziarah kembali berdatangan, dan hari ini saya membuntuti mereka mendaki tangga yang seolah tak habis-habis menuju candi. Kompleks ini dikelilingi dinding batu kali. Ditengahnya teronggok stupa yang diyakini menyimpan rambut suci Sang Buddha.
Berdiri di atas candi, saya menyerap panorama apik: hutan bakau, sungai berwarna karamel, kubangan yang dipenuhi burung. “Saya pernah melihat kawanan gajah liar dari sini,” kenang Joseph.
Kembali meniti pesisir, kami berpapasan dengan anak-anak yang bermain kriket di padang berdebu, lalu menembus alam liar. Barang sebentar Joseph melihat satwa. “Buaya,” katanya seraya menunjuk sungai di tepi jalan. “Merak,” katanya lagi sembari mengarahkan mata saya ke kebun mangga. Satu warga lokal yang tidak kami temukan hanyalah gajah.
Kami transit di Uga Jungle Beach, resor muda yang menatap Samudra Hindia. Bersantai di bar, saya bertemu Wasudeva Dissanayaka, bankir asal kota Jaffna di utara. “Saya minggat selama 23 tahun. Tapi buat apa cari uang di negeri orang ketika saya bisa melakukannya di Sri Lanka!” ujarnya lantang. Saat perang berkecamuk, Wasudeva menetap di luar negeri, berpindah-pindah dari Dubai, ke Prancis, ke Amerika. “Ini negara kami. Kami akan membangunnya kembali!”
Di ujung trip, kami meluncur ke Batticaloa. Lima kilometer menjelang tujuan, kami singgah di Batticaloa Lighthouse, struktur ikonis yang dikerek pada 1913. “Tidak banyak yang bisa dilihat di sini,” ujar penjaga mercusuar. “Kadang datang bus berisi turis Tiongkok. Kadang hanya ada orang Barat yang antik, seperti Anda.” Jika rombongan asal Tiongkok dan turis antik Barat telah datang, pesisir timur Sri Lanka mungkin memang telah tertera kembali di peta wisata.
Detail
Sri Lanka
Rute
Pesisir timur Sri Lanka bisa dijangkau dari kota Kolombo dengan berkendara selama tujuh jam atau menaiki pesawat Cinnamon Air (cinnamonair.com), maskapai lokal dengan jaringan domestik yang luas, mencakup rute ke kota Batticaloa dan Trincomalee di utara Eastern Province. Di kawasan yang baru tertera kembali di peta wisata ini, menyewa operator tur akan sangat memudahkan trip, dan salah satu yang bisa dihubungi adalah Experience Travel Group (experiencetravelgroup.com). Musim angin Yala (Mei-Agustus) membawa hujan lebat ke pesisir barat dan selatan Sri Lanka, tapi pesisir timur dan utara kering dan cerah.
Penginapan
Berjarak sekitar 30 menit dari Trincomalee, resor muda Uga Jungle Beach (94-26/5671-000; ugaescapes.com; doubles mulai dari Rp3.300.000) menawarkan 48 kabin yang ditata apik di lahan rimbun yang terhampar di tepi pantai terpencil. Di dekat kota Batticaloa, resor premium Anilana Pasikuda (94-11/2030-900; anilana.com; doubles mulai dari Rp2.900.000) berdiri menatap teluk dan menawarkan beragam fasilitas. Opsi lainnya adalah Anilana Nilaveli (94-11/2030-900; anilana.com; doubles mulai dari Rp2.900.000) yang berdiri di seberang Pigeon Island.
Dipublikasikan perdana di majalah DestinAsian Indonesia edisi November/Desember 2016 (“Pariwisata Pascaprahara”).