by Alessandro Gandolfi 27 December, 2016
Wisata Unik Menonton Imigran Lapar
Oleh Alessandro Gandolfi
Inuit menganggap Nanuk bagian dari komunitas mereka. Mungkin terdengar aneh bahwa bangsa nomaden Arktika ini menyejajarkan beruang kutub dengan manusia, tapi alasannya bisa mudah dipahami.
Di Oktober yang masih menyisakan terik, saya datang ke Churchill dan menemukan sepasang beruang jantan tengah bermain, merentangkan cakar, berpelukan layaknya dua petinju yang kelelahan. Besar kemungkinan keduanya tak sedang bercanda atau bercengkerama, melainkan berlatih tanding, bagian dari persiapan pertarungan sebenarnya yang akan bergulir sepanjang musim kawin nanti.
Duduk di bus mengamati sepasang Nanuk dari jarak dekat, saya mulai memahami kenapa satwa ini, dalam persepsi suku-suku Inuit, dipandang duduk sama rendah dan berdiri sama tinggi dengan manusia. Di lanskap liar ini, tidak ada satwa lain yang perangainya menyerupai manusia melebihi Nanuk.
Tentu saja, Ursus maritimus adalah predator karnivora yang rakus. Panjang tubuhnya bisa mencapai tiga meter. Bobotnya dapat menembus 800 kilogram, setara dua ekor sapi dewasa. Mereka menetap hampir permanen di atas es dengan makanan utama anjing laut. Demi bertahap hidup di lanskap beku ini, beruang kutub mesti kreatif dan cerdik, sebab anjing laut sanggup berenang jauh lebih gesit.
Solusi yang mereka ambil: bersabar. Beruang kutub setia menanti anjing laut keluar dari lubang-lubang es untuk bernapas. Siasat ini tak selalu moncer. Tingkat kesuksesannya minim: satu tangkapan untuk setiap 40-50 percobaan. Namun ketika akhirnya berhasil, sang predator akan segera menerkam mangsanya, meremukkan tengkoraknya, lalu menyantapnya dan menyimpan kandungan lemaknya sebagai bekal untuk melewati musim panas yang terik dan menyilaukan.
Angin dingin berembus tajam mematok tulang. Selama musim dingin, suhu di sini bisa susut hingga minus 40 derajat celsius. Churchill adalah tapal batas paling selatan bagi beruang-beruang putih. Tempat ini tidak berada di Kutub Utara. Churchill, desa yang berjarak dua jam penerbangan (atau dua hari dengan kereta) dari Winnipeg, bersemayam di garis lintang yang sama dengan Oslo dan Stockholm. Lokasinya di Manitoba, sisi timur Kanada, persisnya di tepi Hudson Bay yang menampung sebuah pangkalan militer dan pelabuhan yang mengapalkan berkarung-karung gandum Kanada menuju Eropa.
Di musim panas yang bergulir selama empat bulan, hamparan es di sekitar Hudson Bay akan mencair dan beruang kutub harus rela bertahan hidup dengan menyantap ganggang, bangkai hewan, serta apa saja yang bisa ditemukan kota dan desa terdekat. Semasa diet darurat ini, bobotnya berkurang 13-18 kilogram. Nanuk hanya mengonsumsi sedikit kalori sembari menanti datangnya musim gugur, momen di saat es mulai terbentuk dan jadwal perburuan anjing laut kembali dimulai.
Bongkahan es perdana biasanya muncul di Churchill antara Oktober dan November, ketika air tawar kiriman sungai membeku lebih cepat dibandingkan air laut di teluk. Siklus inilah yang membuat Churchill dan daerah sekitarnya berubah menjadi “ibu kota beruang kutub” setiap akhir musim panas. Ratusan Nanuk berkeliaran di sini sembari menunggu habitat natural mereka di belahan bumi utara membeku.
Kehadiran tamu-tamu sintal itu adalah anugerah bagi wisatawan yang ingin mengamati mereka dari jarak dekat. Tapi bagi sekitar seribu penduduk Churchill, beruang kutub sejatinya menghadirkan ancaman. Selama berbulan-bulan, warga mesti ekstra hati-hati saat berada di luar rumah.
Nanuk datang dengan kepala cemas, perut keroncongan, dan hidung yang sigap mengendus aroma makanan. Beberapa berkeliaran di jalan-jalan desa seperti gelandangan yang kelaparan, mengais-ngais keranjang sampah, kadang mengintip jendela-jendela rumah warga. Satu-satunya penghalang mereka adalah para jagawana Manitoba Conservation yang berpatroli dengan menenteng senapan.
Saya datang di momen tersebut, momen yang membuat Churchill seperti permukiman dalam film horor. Setiap orang menyimpan nomor kontak darurat jagawana di telepon genggam. Setiap orang selalu waspada, itu sebabnya mereka senantiasa membiarkan pintu mobil terbuka agar bisa lekas kabur jika berpapasan dengan beruang kutub.
Churchill tidak memberlakukan jam malam resmi, tapi hanya segelintir orang yang cukup nekat keluyuran selepas senja. Demi melindungi warga, jagawana memasang jebakan di perimeter desa. Mereka kadang menembakkan senapan kaliber rendah guna menakut-nakuti beruang—kebijakan yang terus menuai kritik dari kelompok penyayang binatang.
Di Churchill, Nanuk memang ancaman yang nyata, tapi mereka juga memutar mesin pariwisata. Tur menonton beruang imigran adalah bisnis basah yang hanya dikelola oleh segelintir biro perjalanan. Antara Oktober dan November, ribuan pelancong merangsek sudut terpencil Kanada ini demi merasakan perjumpaan yang penuh ketegangan.
Guna meminimalisasi bahaya, turis dilarang keluar dari bus wisata “Polar Rover,” dilarang memberi makan beruang kutub ataupun berjalan-jalan seorang diri. Mereka hanya boleh memotret dari balik jendela mobil. Bahkan saat bus diparkir di tempat yang aman sekalipun, aparat bersenjata harus tersedia guna mengamankan area.
“Saya menanti seumur hidup untuk momen ini,” ujar seorang wanita paruh baya asal Amerika Serikat sembari mengusap air mata. Hanya beberapa meter di sampingnya, seekor beruang kutub berdiri dan mengintip interior bus. Terlepas dari potensi bahayanya, berdekatan dengan Nanuk di alam liar, persisnya di lanskap tundra yang lapang dan bukan di kebun binatang, adalah pengalaman unik yang menyentuh dan menggetarkan. Bagi banyak orang, sensasi ini layak dialami setidaknya sekali seumur hidup.
Beruang kutub patut diwaspadai, juga dihormati. Bagi warga pribumi, di masa ketika satwa liar adalah sumber makanan satu-satunya, Nanuk tercantum dalam target buruan favorit. Tapi Inuit tidak membunuh secara serampangan, dan selalu menghormati roh korban dengan berdoa dan mengasung sesaji selama empat hari. Setiap bagian hewan buruan dimanfaatkan: dagingnya disantap, bulu dan kulitnya dirajut menjadi pakaian, minyak lemaknya dipakai untuk petromaks.
Penghormatan yang arif itu tidak dipraktikkan oleh detasemen kulit putih utusan Hudson’s Bay Company yang mendarat di sini pada abad ke-18. Mereka datang semata untuk mengumpulkan sebanyak mungkin bulu beruang. Akibat perburuan masif itu, Nanuk terpojok ke ambang kepunahan. Baru setengah abad silam sebuah traktat internasional mengharamkan perburuan beruang kutub, walau dengan dispensasi berupa kuota tahunan yang minim khusus kaum pemburu Inuit.
Selain isu ekologi, efek negatif kehadiran komunitas kulit putih merembet ke domain sosial. Akibat diasingkan dari komunitas, banyak warga asli berpaling menjadi pecandu minuman keras. Sebagian hidup sangat miskin dan mengalami depresi, hingga kadang menyambung hidup dengan menjual izin berburu kepada pendatang Barat yang mendambakan adrenalin dan petualangan.
Tapi perburuan bukanlah ancaman satu-satunya bagi kelestarian Nanuk. Ada satu bahaya lain yang lebih mengkhawatirkan: pemanasan global. Di Hudson Bay, kenaikan temperatur menyebabkan es mencair lebih lama dan lekas, dan konsekuensinya adalah masa puasa yang lebih panjang bagi Nanuk.
Di belahan bumi yang lebih utara, sebut saja di Alaska dan Kutub Utara, fenomena tersebut berarti perangkap isolasi yang lebih besar. Pemanasan global melelehkan es yang berada paling dekat dengan landas kontinental yang subur, habitat bagi anjing laut yang hidup dengan memangsa ikan kod. Akibatnya, beruang kutub akan terjebak terlalu lama di balok-balok es di tengah Samudra Arktika di mana anjing laut dan kod langka.
Tanpa pasokan makanan yang memadai, mereka terpaksa menempuh perjalanan panjang yang melelahkan demi bertahan hidup. Sejauh mana Nanuk bisa beradaptasi? Seberapa cepat mereka bisa mengubah pola makan yang terbentuk ratusan tahun silam? Para ilmuwan menjawabnya dengan pesimistis: beruang kutub Hudson Bay akan punah lebih dulu, disusul kerabat mereka di utara.
Apakah itu berarti Nanuk bakal tinggal kenangan? Saya belum tahu pasti. Tapi mungkin ini saatnya menyimak petuah bijak Inuit: “Leluhur kami sering berkata, siapa pun yang menyerang makhluk lain tanpa alasan yang benar, maka dia akan balik diserang, ketakutan setengah mati, kemudian dibunuh oleh monster yang tidak akan meninggalkan apa pun walau hanya sebatang tulang.”
Dipublikasikan perdana di majalah DestinAsian Indonesia edisi November/Desember 2016 (“Tamu Tak Diundang”)