by Cristian Rahadiansyah 27 April, 2020
Sein Kiri, Belok Kanan: Komunisme ala Vietnam
Dulu, Hanoi dan HCMC ibarat dua saudara yang tak akur, mungkin mirip Jerman Barat dan Jerman Timur. HCMC berada di selatan, terkenal liberal, dan berhaluan Barat. Usai ditaklukkan Paman Ho pada 1975 dalam perang penyatuan negeri, kota ini cuek menyimpang dari garis komando Partai Komunis dan merekah jadi jantung bisnis Vietnam. Hanoi, sebaliknya, berlokasi di utara dan menjadi basis komunis puritan, karena itu lebih konservatif. “Hanoi terlihat tradisional dan bermartabat; Saigon [nama lama HCMC] adalah campuran antara Timur dan Barat,” tulis senator George McGovern dalam laporannya kepada Senat Amerika pada 1976.
Sekarang, kontradiksi itu terasa luluh. Keluar dari tapa zuhud di gua komunisme, Hanoi langsung tancap gas dan mulai menyaingi saudaranya. Dalam 10 tahun terakhir, duta-duta retail global melebarkan sayapnya ke sini. Cartier datang pada 2013, disusul oleh Starbucks dan RollsRoyce. Setelah itu, giliran Leica dan H&M membuka cabangnya. Pad 2017, warga Hanoi untuk pertama kalinya bisa menyantap burger McDonald’s. Mulai tahun lalu, mereka tak perlu lagi ke luar negeri untuk membeli arloji Patek Philippe. Pada lawatan saya sebelumnya, butik termewah di sini hanyalah Playboy.
Menurut lelucon lokal, orang HCMC lazim dijuluki baque xo la’, konotasinya boros dan hedonis. Orang Hanoi, sebaliknya, dijuluki bac ky, artinya kurang lebih kolot dan miskin. Perang penyatuan Vietnam sukar menghapus antagonisme itu. Sekarang, di bawah panji pasar bebas, kedua kota ini seolah disatukan selera yang sama. Sudah tibakah waktunya mengucapkan selamat tinggal Lenin?
“Di sini orang tidak bicara tentang hal itu,” jawab Nina (bukan nama sebenarnya), seorang pengusaha biro perjalanan yang saya temui di sebuah kafe di tepi West Lake. “Setidaknya tidak di ruang terbuka seperti ini.” Saya bertanya alasannya, dan dia merespons singkat dengan suara setengah berbisik: “Ini ibu kota.”
Pada 2015, Pew Research Center melansir hasil survei yang menggegerkan: 95 persen warga Vietnam mendukung pasar bebas. Tapi sepertinya pasar bebas adalah keyakinan yang hanya bisa diimani, bukan didiskusikan. “Sebenarnya bisa bicara bebas, tapi di HCMC,” kata Nina lagi. “Di sana orang lebih terbuka.”
Kembali merandai jalan-jalan Hanoi, saya kembali menyelami kontras. Di sisi timur kota, Lotte sedang mengerek mal dan bioskop. Di seberang showroom Porsche, terowongan Metro sedang dibor oleh Hyundai. Memasuki sebuah gang sempit, bedeng-bedeng berbaris dengan logo Hello Kitty World. Hanoi seperti kota yang tak sudi melihat lahan kosong.
Berpindah ke French Quarter, orang-orang khidmat melewati waktu senggang dengan gaya Parisian: bersantai dengan busana modis sembari menyesap wine. Polisi dengan seragam hijau berjaga malas di pos kusam. Sebuah sedan Bentley terparkir di depan hotel yang dulu menampung pengungsi perang Vietnam. Untuk membeli Bentley, merujuk standar upah minimum kota, warga Hanoi mesti menabung seluruh gajinya selama 230 tahun.
Kontras sepertinya telah menjadi bagian integral kota ini: antara masa lalu dan masa kini, antara ideologi dan gaya hidup, antara kiri dan kanan. Kita tak pernah tahu akan menemukan apa saat menyusuri jalan-jalan Hanoi—kekacauan khas Dunia Ketiga yang tak jauh berbeda dari Jakarta, tapi ini Jakarta dengan simbol palu arit di mana-mana.
“Kata pemerintah semua ini hanyalah bagian dari proses,” jelas Nguyen Chinh, wanita yang sudah tujuh tahun menetap di Hanoi, saat saya bertanya soal ideologi Vietnam. “Itulah yang sekarang diajarkan di sekolah, bahwa kami dalam proses menjadi komunisme. Komunisme yang dulu diterapkan belum bisa disebut komunisme sebenarnya.”
Saya menemui Chinh di tepi Hoan Kiem Lake. Dia berasal dari daerah Phu Tho, sekitar 100 kilometer dari Hanoi. Awalnya datang untuk kuliah, Chinh memutuskan menetap dan bekerja memberi layanan manicure kepada kaum ekspatriat. Di waktu luangnya, bermodalkan bahasa Inggris yang fasih, dia menambah pendapatan sebagai penerjemah lepas.
Dari Chinh, saya memetik paradoks baru tentang Hanoi. Jika benar apa yang dikatakannya, itu artinya akselerasi ekonomi kota ini hanyalah satu anak tangga menuju revolusi proletar, sebuah tahapan ke arah masyarakat komunis yang hakiki. Apakah nubuat itu akan terwujud, sulit menebaknya, tapi Chinh mengaku tak mau menunggu hasilnya.
Bagian dari generasi yang terekspos isu global, Chinh merasa Vietnam terlalu mengekang kebebasan. Media disensor. Mengkritik pemerintah bisa berakibat fatal. “Semua dikontrol,” tambahnya ketus. “Bahkan di Facebook ada polisi yang menyamar dan mengawasi perbincangan.” Itu pula sebabnya, Chinh bersama pasangannya berniat hengkang ke Selandia Baru, memulai karier dari nol di restoran diaspora milik kerabat.
Transformasi Hanoi adalah salah satu tajuk berita ekonomi terbesar dekade ini. Menurut PricewaterhouseCoopers, Hanoi akan menjadi kota dengan pertumbuhan PDB tertinggi di dunia untuk kurun 2008-2025. Akan tetapi, dalam kasus Chinh, semua itu agaknya belum cukup untuk menahan hasrat eksodus. Hidup memang tak cuma perlu uang.
Suatu pagi, saya meluncur ke timur kota untuk melihat tawaran baru Hanoi yang akan membuat banyak orang justru ingin datang ke kota ini—Formula 1. Mobil mengantar saya menuju lokasi sirkuit di kompleks My Dinh National Stadium. Jalan-jalan sibuk. Semua orang seperti sedang menuju sesuatu, melakukan sesuatu, terburu-buru. Orang Vietnam umumnya jinak, tapi entah kenapa mereka amat beringas di jalanan, seolah berkendara sambil berkata dalam hati: “minggir semua!”
Seperti ideologi negara yang bergerak luwes ke kanan dan kiri, kendaraan berkelebat sesukanya. Mobil bermanuver seperti sepeda motor, sepeda motor berseliweran seperti laron, dan menyeberang jalan bagaikan percobaan bunuh diri. Jika menyeberang bersama teman, sepeda motor akan mencari celah di antara Anda, kerap sambil memencet-mencet klakson. Di Bangkok, orang menekan klakson karena terpaksa. Di Jakarta, biasanya karena kesal. Di Hanoi, orang melakukannya karena terpaksa, kesal, dan karena ini hobi nasional.
Tiba di tujuan, sirkuit F1 belum memperlihatkan bentuknya. Sejumlah jalan ditutup, hingga mobil saya terpaksa melibas trotoar. Sebastian Vettel dan kawan-kawan dijadwalkan beradu cepat di sini pada April 2020, menjelang perayaan 130 tahun kelahiran Sang Bapak Bangsa, Paman Ho. Saya merasa agak sebal sebenarnya. Indonesia, yang sudah lama memiliki sirkuit, belum pernah ditunjuk sebagai tuan rumah F1. Tapi pilihan penyelenggara agaknya bisa dimaklumi. Hanoi sedang jadi sorotan, dan walau kota ini tak punya tradisi balap, warganya punya mentalitas pembalap.
“Bagus untuk bisnis, tapi Hanoi mungkin tak membutuhkannya,” kata Guim Valls Teruel, seorang ekspatriat asal Spanyol, tentang prospek F1. “Jalan-jalan sudah kelewat padat, dan Hanoi tak perlu ajang yang menggoda orang untuk memiliki mobil. Belum lagi jika kita bicara soal polusi. F1 bukanlah ajang yang ramah lingkungan.”
Guim adalah seorang selebriti di dunia pedal. Dia pernah berkeliling dunia menaiki sepeda. Usai menikah dengan wanita Vietnam, Guim menetap di Hanoi untuk mengelola toko sepeda The Hanoi Bicycle Collective di bantaran West Lake, kawasan yang dihuni banyak pekerja asing.
F1 mewakili semangat Hanoi untuk menjadi kota internasional baru di tepi Laut Cina Selatan. Tapi, menurut Guim, kota ini punya problem yang lebih urgen untuk diselesaikan, misalnya kemacetan yang kronis. Hanoi, kota berpopulasi delapan juta jiwa, kini dijejali sekitar lima juta sepeda motor dan 500.000 mobil. Itu pula sebabnya Guim semangat mendorong orang beralih ke sepeda.
“Sepuluh tahun lalu, hampir tak ada mobil di Hanoi,” ujarnya. “Sekarang, semua orang punya hak milik dan mereka ingin punya kendaraan. Tidak mungkin saya melarang kebebasan itu memang. Saya hanya berharap Vietnam bisa belajar dari kesalahan negara-negara maju, termasuk negara saya, dan mulai beralih ke moda ramah lingkungan.”
Mimpi Guim terdengar muluk memang. Tapi, setelah hampir 10 tahun menetap di Hanoi, dia mengaku telah menemukan siasat untuk menggapainya: memanfaatkan logika lokal. “Banyak orang membeli mobil demi menunjukkan status sosial. Saya kemudian mempromosikan sepeda sebagai benda mahal yang menandakan status sosial.” Di tokonya, sepeda termahal dibanderol sekitar $10.000.
Guim mengajak saya menjajal tur keliling West Lake. Saya awalnya ragu, mengingat jalan-jalan di sini terlampau brutal, tapi Guim mengklaim Vietnam adalah salah satu negara teraman untuk bersepeda. “Kuncinya ialah memahami aturan lokal—yakni tidak ada aturan,” jelasnya. “Jalan memang rusuh, tapi karena itu semua pengendara tak pernah lengah. Jangan menghindar atau ragu-ragu. Biarkan mereka yang menghindari Anda.”
Sore terakhir di Hanoi, saya mengayuh pedal meniti bantaran danau. Menaiki sepeda impor, melesat cuek di antara sepeda motor, saya pelan-pelan mulai merasakan maksud dari semboyan resmi negara komunis ini: Independence, Liberty, Happiness.
PANDUAN
Penginapan
Didirikan pada 1901, Sofitel legend Metropole Hanoi adalah hotel paling legendaris di Ibu Kota Vietnam. Properti berdesain neo-klasik Prancis ini menaungi 364 kamar. Raja dan kepala negara umumnya memilih tipe Imperial Suite, tapi kamar yang paling sarat cerita ialah Somerset Maugham Suite yang dilengkapi taman privat. Untuk liburan keluarga atau durasi menginap jangka panjang, Oakwood Residence Hanoi menaungi 262 kamar berkonsep apartemen, lengkap dengan dapur, meja makan, balkon, serta zona bersantai. Properti yang dibuka akhir 2019 ini beralamat di tepi West Lake, kawasan elite yang dihuni banyak ekspatriat.
Aktivitas
Banyak kuliner Vietnam diciptakan di Hanoi, dan warung tepi jalan adalah tempat autentik untuk menikmatinya, contohnya Bun Cha Huong Lien yang pernah disinggahi Barack Obama dan Anthony Bourdain. Ada dua paket tur hop on hop off di Hanoi: Vietnam Sightseeing Hanoi dan Hanoi City Tour. Jika punya nyali, cobalah tur sepeda bersama Electric Smiles. Hanoi adalah kota yang berlapis. Di antara ruko atau restoran terselip lorong gelap yang berujung pada ruko dan restoran lain, atau kadang tempat mengejutkan seperti Bookworm, toko buku berisi beragam referensi berbahasa Inggris tentang Vietnam, mulai dari seni bela diri hingga resep banh mi. Jika mencari kejutan dari dunia malam, kelab rubanah Savage, rutin mendatangkan DJ asing sekaligus meroketkan banyak DJ lokal. Untuk melihat masa silam kota, kunjungi Lenin Park dan Ho Chi Minh Mausoleum. Tapi jika ingin menyelami masa silam rasa kontemporer, jelajahi French Quarter dan Old Quarter.
Diterbitkan perdana di majalah DestinAsian Indonesia edisi April-Juni 2020, (“Sein Kiri, Belok Kanan”).