by Wikana 18 June, 2015
Bangkitnya Museum di Jakarta
Oleh Wikana
Foto oleh Bismo Agung
Rumah Baru Pelukis Pejuang
“Mudah-mudahan saya bisa kelak menjadi salah satu kolektor yang cukup banyak dari lukisan bapak, sehingga suatu waktu dapat saya pamerkan atau dapat saya jadikan musium pribadi.” Surat balasan Ciputra kepada Hendra Gunawan yang diketik rapi 32 tahun silam itu menjadi salah satu manuskrip penting yang dipamerkan dalam pembukaan Ciputra Museum, sebuah museum yang terintegrasi dengan galeri, teater, mal, dan hotel.
Museum ini didedikasikan bagi seorang perintis seni rupa modern Indonesia. Warna-warna lukisan Hendra yang dinamis dan garis melengkung dalam sosok punakawan menjadi inspirasi desain ruang-ruang museum. Kita pun menemukan corak cerah dan dinding yang asimetris.
Di sini terpajang sembilan lukisan, 23 sketsa, serta surat-surat pribadi Hendra. Koleksinya menukik dan dalam. Selama 40 tahun Ciputra berburu karya pendiri Sanggar Pelukis Rakyat tersebut. Kini, tak mungkin bagi kita untuk mengenal Hendra tanpa mengunjungi Ciputra Museum. Kekayaan koleksi Hendra—yang setelah didata dan diverifikasi keasliannya mencapai 130 lukisan—membuat duet kurator Asmudjo Jono Irianto dan Aminuddin TH Siregar punya banyak amunisi untuk meracik tema kuratorial. Untuk acara pembukaan, keduanya memboyong sembilan lukisan terkuat dan 23 sketsa Hendra yang selama ini “dipingit.”
Karya-karya itu mewakili periode awal seni rupa modern Indonesia: sebuah masa pencarian identitas keindonesian dalam seni rupa. Bersama Sudjojono, pendiri Persatuan Ahli Gambar Indonesia (Persagi) yang selalu dikelilingi pelukis muda, Hendra menemukan jalan baru seni rupa modern Indonesia yang berbeda dari periode sebelumnya yang didominasi Mooi Indie, aliran yang berkutat pada obyek gunung, nyiur, sawah, dan matahari. Hendra seolah merumuskan definisi baru “kepribumian.” Figur-figur orang ramai tengah berinteraksi dan perempuan muda yang berjejer mencari kutu mewakili semangat tersebut.
Salah satu lukisan terkuatnya yang dilekatkan pada dinding, yang kabarnya belum selesai, begitu indah: Pangeran Diponegoro Terluka. Lukisan berdimensi 204 x 495 sentimeter itu tampak begitu hidup, seakan berbicara lugas kepada pengunjung. Bagi pengunjung yang belum memahami kontribusi Hendra bagi sejarah seni rupa Indonesia, museum ini menyediakan ruang pembelajaran khusus. Sosok Hendra sebagai pelukis yang juga pejuang revolusi diperkenalkan secara tidak konvensional.
Ruangan ditata bernuansa penjara lengkap dengan sel tempat aktivis Poesat Tenaga Rakyat itu menghabiskan usia dari 1965 hingga 1978. Pada sebidang tembok, selembar proyektor menghidupkan kiprah pelukis “kiri” tersebut. Pada tembok lainnya, trajektori perjuangannya diurai lengkap. Museum ini juga memberikan ruang pada interpretasi baru sesuai perkembangan zaman. Sembilan karya Hendra ditafsirkan memakai teknologi canggih oleh seniman Adi Panuntun menjadi sebuah karya video mapping yang menggugah.
Tapi Ciputra Museum tak cuma menengok masa silam. Sebuah pameran karya perupa kontemporer digelar di area galeri yang bersisian dengan museum. Karya Ade Darmawan, Arya Pandjalu, Angki Purbandono, Dolorosa Sinaga, Entang Wiharso, Ugo Untoro, hingga Heri Dono melambangkan pencapaian generasi baru dalam kaleidoskop seni rupa Indonesia.
Kedekatan Ciputra dan Hendra terjadi tak sengaja. Suatu waktu, Ciputra muda terkagum menatap lukisan Hendra di tembok rumah seorang rekannya. Dia pun meneguhkan hatinya untuk kelak mengoleksi karya-karya sang seniman jika telah memiliki cukup uang. Namun, Ciputra perlu menanti pertemuan dengan pelukis idolanya selama 10 tahun, karena Hendra mesti meringkuk di penjara Kebon Waru, Bandung.
Pertemuan akhirnya terwujud di Pasar Seni Ancol. Usai melihat puluhan galeri yang disatukan di sebuah tempat, Hendra, pendiri Akademi Seni Rupa Indonesia, tak bisa menyembunyikan rasa harunya. Matanya basah. Dia beringsut ke kaki pohon dan menangis sejadinya. Hendra masih ingat perjuangannya memikul lukisan keliling kampung.
Terkadang tak ada yang mau membukakan pintu baginya. “Pernah aku dikejar seekor anjing saat menawarkan lukisan,” kenang Hendra dalam sebuah tulisannya kepada Ciputra. Kini, hubungan simbiosis Ciputra dan Hendra terbangun apik. Bergaul dengan maesenas seperti Ciputra, Hendra bisa hidup layak dan terus berkarya. Di sisi yang lain, Ciputra bisa merasakan semangat hidup sang pelukis. “Saya berfantasi dengan lukisan Hendra,” ujar Ciputra suatu kali pada media. Di rumah pribadinya di kawasan Pondok Indah, lukisan Hendra dijejer di plafon yang didesain miring 30 derajat. Setiap pagi, Ciputra punya ritual khusus: membaca koran, lalu memandangi lukisan Hendra berjam-jam. Tahun lalu, di usia 83 tahun, sang taipan kawakan membuka museum dan mengajak publik berbagi hobinya. Ciputra World 1, Jl. Prof. DR. Satrio Kav.3-5, Kuningan; 021/2988-9889; ciputraartpreneur.com. >>