by Andrea Forlani 02 October, 2017
Astana, Kota Paling Ajaib di Dunia
Teks & foto oleh Andrea Forlani
Alien bukan lagi cerita fiksi. Juni silam, kapal induk mereka telah mendarat di Astana, Ibu Kota Kazakhstan. Ukurannya kolosal, bentuknya bulat, tubuhnya tembus pandang dan bercahaya. Kapal ini sekarang terparkir di lahan Expo 2017, hanya beberapa kilometer dari pusat kota.
Expo, ajang turunan World Expo, adalah wadah bagi negara dan organisasi internasional untuk bersilaturahmi sekaligus beradu pintar dalam merumuskan solusi bagi persoalan-persoalan krusial dunia. Di tiap episodenya, tuan rumahnya dan temanya berbeda. Pada 2012 di Yeosu, Korea, panitia mengajukan tema “konservasi laut,” sementara kini di Astana mereka mengusung tema “energi masa depan.” Pertanyaan besar yang diajukan: bagaimana caranya menyediakan energi yang berkelanjutan bagi semua orang sembari di saat bersamaan mereduksi emisi CO2?
Kapal alien yang saya singgung di awal tulisan juga bertekad menjawab pertanyaan rumit tersebut. Bola yang menghipnotis mata ini sebenarnya paviliun milik Kazakhstan. Nama resminya Nur Alem (“Cahaya Dunia”). Saya menganalogikannya sebagai kapal alien karena sosoknya menyerupai Death Star dalam film Star Wars.
Nur Alem menjulang 100 meter dan memiliki diameter 80 meter, menjadikannya bola terbesar di dunia. Globe gigantik ini didesain oleh Adrian Smith + Gordon Gill Architecture, firma yang memang terkenal akan karyanya yang fenomenal. Rampung mendesain Burj Khalifa, gedung terjangkung sejagat, Adrian Smith kini menggarap Jeddah Tower yang siap menorehkan rekor baru ketinggian gedung.
Nur Alem bisa dimasuki. Menumpang elevator futuristik, pengunjung bisa singgah di delapan lantainya yang masing-masingnya menggelar pameran bertema energi alternatif, misalnya energi luar angkasa, kinetik, serta biomassa. Semuanya dijelaskan memakai teknologi interaktif dan multimedia. Mendarat di lantai puncak, suguhannya lebih mirip uji nyali: seutas jembatan beralaskan kaca. Beberapa orang tampak membatu akibat terserang akrofobia; sebagian menjerit panik dan berusaha mencari pegangan.
Expo 2017 diikuti oleh 22 organisasi dan 115 negara, termasuk empat negara anggota ASEAN: Malaysia, Singapura, Thailand, dan Vietnam. Sejak 10 Juni-10 September, seluruh partisipan memamerkan beragam gagasan dan terobosan yang sanggup mengatasi ketergantungan bumi pada minyak. Tapi Expo bukan semata soal ide. Presentasi juga penting. Gengsi peserta dipertaruhkan. Di sekeliling Nur Alem, sebidang lahan dalam formasi setengah lingkaran dihuni paviliun negara-negara peserta, sementara lahan sisanya dikhususkan untuk panggung, pujasera, serta zona seni dan hiburan. Beberapa negara tampil dengan paviliun yang digarap serius, walau ada pula yang hadir setengah hati dengan tampilan yang banal.
Austria menyewa Johann Moser, arsitek BWM, untuk mengerek paviliun bergaya komikal. Interiornya berisi aneka instalasi yang bisa diaktifkan memakai energi dari tubuh pengunjung. Tak kalah menarik, Inggris menamai paviliunnya “We Are Energy,” hasil kolaborasi apik antara arsitek Asif Khan dan musisi Brian Eno. Pujian juga patut diberikan kepada Rusia yang mengeksplorasi potensi energi dari wilayah Arktika. Dengan luas menembus 1.000 meter persegi, paviliun Rusia menampilkan permainan cahaya kutub dan sejumlah instalasi teatrikal, salah satunya bongkahan es Arktika setinggi empat meter.
Galibnya Expo, negara tuan rumah menjadikannya medium unjuk diri. Kazakhstan, negara Asia Tengah pertama yang menanggap Expo, memanfaatkannya guna memperlihatkan kepada dunia keajaiban ibu kotanya.
Kazakhstan, negara landlocked terluas, merupakan salah satu produsen utama minyak dunia. Pada 2013, ia masuk kelompok 10 negara eksportir minyak terbesar. Mengingat populasinya cuma 18 juta jiwa, tiap orang di sini sepatutnya berstatus jutawan, tapi nyatanya pendapatan per kapita negeri ini justru kalah dibandingkan Malaysia. Ke mana semua devisa itu mengalir?
Sebagaimana negara-negara minyak di Timur Tengah, Kazakhstan mengidap semacam kekenesan untuk mengerek kota yang fantastis. Harapannya, orang akan tertarik datang dan membuka bisnis. Tujuannya apa lagi kalau bukan mencari sumber kas alternatif guna menyiasati ketergantungan pada petrodollar.
Astana adalah buah dari megaproyek itu. Salah satu suguhan kota ini yang memukau adalah Palace of Peace and Reconciliation. Piramida setinggi 62 meter ini dirancang oleh arsitek kondang Norman Foster. Interiornya menampung galeri seni, pusat kebudayaan, serta ruang opera berkapasitas 1.500 kursi. Apakah Astana memiliki tradisi opera? Pertanyaan ini tidak relevan. Prinsip yang dianutnya: bangun dulu, maka mereka akan datang.
Struktur lain yang juga fenomenal terletak di ujung jalur pedestrian Nurzhol Boulevard. Khan Shatyr Center, bangunan yang juga diotaki oleh Norman Foster, laksana hasil kawin silang antara mal, tenda sirkus setinggi 150 meter, dan dunia fantasi. Interiornya menampung antara lain pertokoan, restoran, bioskop, juga sungai dan pantai artifisial.
Tak semua bangunan terkesan garib. Beberapa masih memiliki konteks lokal, sebut saja Hazrat Sultan Mosque. Daya tampungnya 10.000 jemaah, kalah jauh dibandingkan Istiqlal, tapi sudah cukup untuk memberinya gelar masjid terbesar kedua di Asia Tengah. Keputusan mendirikannya bisa dipahami mengingat lebih dari 70 persen penduduk Kazakhstan menganut Islam.
Seperti yang diperlihatkan pada bola Nur Alem di hajatan Expo, Kazakhstan tak pelit dalam berkreasi. Mengandalkan saldo rekeningnya yang tebal, negara ini menjejali ibu kotanya dengan bangunan-bangunan yang mentereng dan berkilau, kerap dengan desain yang lebih mengutamakan efek dramatis. Semua lelucon satir yang diceritakan Borat dalam film seolah menguap saat kita berkunjung ke Astana.
Astana bersemayam di tepi Sungai Ishim yang mengalir di bagian utara negeri. Populasinya sekitar 800.000 jiwa, menjadikannya kota terbesar kedua di Kazakhstan setelah Almaty, mantan ibu kota. Atmosfer kota ini cukup menyenangkan. Sore hari, tatkala matahari membalur langit dengan warna jambon dan jingga, sungai menjadi wadah relaksasi favorit warga. Di area yang bernama Respublika ini, ratusan pasangan dan keluarga berjalan-jalan menyusuri bantaran sungai seraya menyaksikan barisan perahu. Kafe dan restoran berjejer di dekat sungai. Musisi jalanan dan pertunjukan cahaya membentuk kaleidoskop warna yang atraktif.
Belanja adalah hobi nasional di Astana. Jumlah mal mengalahkan museum. Tapi setidaknya ada satu museum yang rutin memikat pengunjung. National Museum of the Republic of Kazakhstan, kompleks yang diresmikan pada 2014, berlokasi di area bersejarah Independence Square. Bangunan seluas 74.000 meter persegi ini terpecah dalam tujuh blok. Bintang utamanya adalah Hall of Gold yang memajang beragam artefak logam mulia yang ditemukan di kawasan Kazakhstan.
Menengok riwayatnya, cetak biru Astana sebenarnya dirumuskan oleh Kisho Kurokawa, arsitek asal Jepang, sementara gedung-gedung penghuni kota didesain oleh arsitek masyhur dari penjuru bumi yang disewa oleh Nursultan Nazarbayev, presiden kontroversial yang menjabat semenjak Kazakhstan merdeka dari Uni Soviet pada 1991, dan sepertinya akan terus menjabat hingga akhir hayatnya. Dalam pemilu terakhir, dia meraup 97 persen suara.
Astana adalah kota baru yang ditancapkan di tanah antah-berantah. Dilihat dari kejauhan, sosoknya janggal laksana permukiman manusia di Mars. Interiornya didominasi gedung-gedung mentereng yang memantulkan sinar mentari, sementara di luar pagar kota, padang rumput terhampar sejauh mata memandang. Astana bisa dengan mudah dijadikan lokasi syuting film fiksi ilmiah. Inilah salah satu alasan sejumlah media menjulukinya kota yang paling aneh dan ajaib.
Kadang, aktivitas wisata di sini tak kalah aneh. Memasuki jantung kota, kita bisa singgah di Bayterek Tower, menara ikonis setinggi 105 meter. Saban hari, warga dan turis rela mengantre di bawah terik demi mengunjungi dek observasinya yang bertengger di ketinggian 97 meter—angka yang melambangkan tahun dinobatkannya Astana sebagai ibu kotanegara. Sebelum pulang, pengunjung diundang melekatkan tangan mereka pada cetakan telapak tangan Nursultan Nazarbayev, lalu melayangkan doa dan harapan.
Suguhan ajaib Astana masih akan bertambah. Kota ini masih giat membangun, masih agresif mengejar masa depan. Kehadiran Expo bukan puncak pencapaiannya, melainkan hanya testimoni akan kesuksesannya mengejar status kota kelas dunia.
Dipublikasikan perdana di majalah DestinAsian Indonesia edisi September/Oktober 2017 (“Aneh, Ajaib, Astana”).