by Yohanes Sandy 28 June, 2013
Ariah: Pejuang Wanita Asal Betawi
Adegan pertama dimulai. Panggung mulai disorot membentuk sebuah video mapping yang indah. Mengingatkan saya akan Festival Vivid Sydney yang saya kunjungi belum lama ini. Puluhan penari dengan kostum daerah Betawi mulai tampil di panggung. Menampilkan tarian-tarian karya Eko Supendi, Wiwiek Sipala, Daryono dan Nuryanto. Mereka bergulung, melompat mengikuti irama langgam Betawi dipadu dengan musik orkestra. Sepanjang pertunjukan, saya tak berhenti berdecak kagum. Tata cahayanya sangat indah ditunjang dengan tata panggung jempolan. Jay Subiyakto layak mendapatkan pujian lebih. Atilah sebagai sutradara, penulis naskah, dan penulis lirik lagu pun menyajikan yang terbaik. Adegan permainan anak-anak yang ditampilkan adalah karya seni. Diiringi lagu Wak Wak Gung, saya serasa terlempar ke masa anak-anak yang polos dan menggembirakan. Seperti di Matah Ati, Atilah juga menyisipkan pesan-pesan moral dan sentilan politik di segmen lawak. Pertunjukan berdurasi dua jam tersebut ditutup dengan adegan percintaan yang pilu diiringi dengan musik yang mendayu-dayu. Kredit tersendiri untuk Erwin Gutawa.
Secara keseluruhan, sebagai acara perayaan ulang tahun kota Jakarta, Ariah sangat meriah dan impresif. Dua kali lebih megah dibandingkan Matah Ati—meskipun tarian-tarian dan musik Matah Ati lebih mampu membius saya. Tata artistiknya sangat bagus. Penonton akan dimanjakan oleh permainan visual warna-warni serta tata lampu menawan. Ada beberapa kejutan yang akan membuat Anda berdecak kagum. Namun demikian, karena jarak antara tribun dan panggung sangat jauh, penonton kesulitan untuk melihat detail kostum dan mimik para pemainnya. Di luar segala kekurangannya, Jay Subiyakto, Atilah Soeryadjaya dan Erwin Gutawa telah memberikan yang terbaik bagi penikmat seni dan masyarakat Jakarta.
Ariah digelar akhir pekan ini di lapangan Monas tepat di bawah monumen pada 28 hingga 30 Juni. Acara dimulai pukul 19:30. Untuk informasi lebih lanjut, kunjungi facebook.com/matah.ati.theplay