Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Apa Itu Soft Brand Hotel? Kenapa Semua Grup Besar Memilikinya?

Tenuta di Artimino, properti anggota Melia Collection, lini soft brand yang diluncurkan Desember 2021. (Foto: Frippa Francesco Paolo/Melia)

Bulan ini, Grup Melia memiliki anggota baru dalam portofolionya: Tenuta di Artimino. Hotel ini menempati kompleks warisan dinasti Medici di Italia. Di dalamnya terdapat 102 kamar, plus dua restoran.

Sekilas, tak ada yang janggal dari properti baru ini. Namun, saat ingin memesan kamarnya, Anda ternyata bisa melakukannya dari dua platform resmi: situs web milik Tenuta atau situs web milik Melia.

Semua hotel Melia wajib memakai platform reservasi milik Melia. Kenapa Tenuta dapat dispensasi? Karena ia anggota Melia Collection, lini merek khusus hotel independen. Artinya, hotel ini berdiri mandiri, sekaligus terafiliasi ke jaringan Melia.

La Posada, resor anggota Ascend Hotel Collection, soft brand pertama di dunia dari Choice Hotels. (Foto: La Posada/Choice Hotels)

Dalam bisnis hotel, merek semacam Melia Collection lazim disebut soft brand. Terjemahan gampangnya: hotel independen dengan koneksi waralaba. Standar ganda yang membingungkan memang, tapi ini spesies paling seksi di jagat perhotelan saat ini.

Dalam skema soft brand, pihak hotel independen tetap menjaga independensinya. Ia tidak diakuisisi, tidak diambil alih manajemennya, juga tidak di-rebranding oleh pihak chain hotel. Karena itulah disebut “soft.”

Namun begitu, dengan terafiliasi ke chain hotel, pihak hotel independen menjadi bagian dari mesin bisnis induk barunya, mulai dari sistem reservasi, promosi, kadang juga loyalty program. Dan karena sudah bergabung, pihak hotel dilarang berafiliasi ke chain hotel lain. Model hubungannya mungkin bisa disebut “kemitraan eksklusif.”

Lobi St. Louis Union Station Hotel, anggota Curio Collection by Hilton. (Foto: Debbie Franke/Hilton)

Simbiosis ini saling menguntungkan. Hotel independen mendapatkan saluran promosi lebih luas, sistem loyalty lebih mapan, juga kanal reservasi tambahan yang—lazimnya—lebih aman dari pembobolan data. Di sisi lain, pihak grup hotel bisa menambah portofolionya dan menerima komisi dari reservasi tamu.

Karena saling menguntungkan pula, soft brand kian populer. Melia Collection, yang diluncurkan akhir 2021, hanyalah satu contoh terbarunya. Banyak grup lain telah memilikinya sejak lama.

Choice Hotels memulainya pada 2008 lewat Ascend Hotel Collection. Setahun berselang, muncul Autograph Collection dari Marriott. Pada 2014, Hilton meluncurkan Curio Collection, disusul oleh Unbound Collection dari Hyatt pada 2016.

Interior kamar di Magma Resort Santorini, anggota The Unbound Collection dari Hyatt. (Foto: Hyatt)

Tahun lalu, soft brand bahkan melesat jadi trending topic di sektor perhotelan. Pasalnya, ada empat grup kakap meluncurkan merek jenis ini sekaligus. Selain Melia Collection, ada Emblems Collection (Accor), Registry Collection (Wyndham), serta Vignette Collection (IHG).

Kini tercatat ada 21 soft brand di dunia. Semua grup hotel terbesar sudah menawarkan merek ini. Memiliki soft brand agaknya sudah dipandang sama pentingnya dengan memiliki merek khusus segmen bujet atau premium.

Bahkan, sudah muncul gejala segmentasi soft brand. Demi membidik lapisan pasar yang berbeda, grup hotel membuat hierarki hotel independen dalam portofolionya. Tak heran, ada grup yang punya lebih dari satu soft brand. Best Western misalnya, memiliki SureStay Collection, Signature Collection, Premier Collection, serta WorldHotels Collection.

Kompleks glamping Natra Bintan, anggota Tribute Portfolio Marriott. (Foto: Marriott)

Di Indonesia, baru segelintir hotel yang berstatus soft brand, dan semuanya menginduk ke Marriott. Contohnya Natra Bintan (Tribute Portfolio) dan The Stones Legian (Autograph Collection). Tahun ini, Jumana Ungasan kabarnya akan bergabung ke soft brand LXR dari Hilton.

Apa pemicu pertumbuhan soft brand? Ada banyak teorinya, dari strategi ekspansi hingga siasat bertahan hidup. Yang jelas, tren ini tidak didorong kekenesan semata.

Satu teori mengklaim soft brand merupakan jurus diversifikasi chain hotel. Penjelasannya begini: hotel independen punya banyak penggemar di kalangan muda—segmen yang mendambakan keunikan dan tak silau dengan merek-merek bonafide klasik. Lewat soft brand, grup hotel bisa menjala mereka, dengan investasi yang lebih murah pula. Cukup meminang hotel independen, grup hotel tak perlu meracik merek baru khusus kaum milenial. 

Kolam renang di Jumana, resor di Bali yang menjadi bagian soft brand LXR dari Hilton. (Foto: Jumana)

Teori lainnya terkait isu yang lebih pragmatis, yakni “keterbatasan” aturan ekspansi. Saat sebuah grup hotel telah memiliki seluruh mereknya di satu destinasi, ia akan kesulitan menambah properti baru, karena akan memicu emosi pemilik hotel yang sudah dikelolanya. (Contoh: pemilik Raffles Jakarta mungkin akan kesal andaikan Accor membuka Raffles Jakarta Barat.) Soft brand bisa mengatasi problem itu, karena mereknya pasti berbeda.

Di luar teori soal motif dan modus tadi, soft brand bisa dilihat sebagai “tikungan bisnis” yang positif dalam fenomena konglomerasi hotel. Banyak orang mencemaskan raibnya banyak hotel independen akibat kalah bersaing dari—atau diambil alih oleh—chain hotel. Pada 2019, lembaga riset STR melaporkan jumlah hotel independen di Amerika Serikat susut hampir 30% dalam tiga dekade.

Kehadiran soft brand bisa mengerem tren itu. Merek ini menawarkan solusi jalan tengah. Hotel waralaba bisa menambah properti butik dalam portofolionya. Sementara hotel independen bisa mengail tambahan cuan lewat jaringan grup waralaba. Bergandengan tangan lebih menguntungkan ketimbang saling caplok.Cristian Rahadiansyah