by Reza Idris 12 February, 2015
Alasan Baru Mengunjungi Senggigi
Oleh Reza Idris
Foto Putu Sayoga
Julukan hotel baru paling artistik di Lombok agaknya layak disandang Svarga Resort. Properti ini menawarkan 25 unit vila dalam desain yang bermain-main dengan bentuk: tumpukan kubus. Sang arsitek, Yandi Andri Yatmo, sepertinya menggali inspirasi dari permainan Lego. Saya menginap di vila yang bersarang persis di atas bukit, di mana panorama hutan rimbun dan laut tersaji dari kamar tidur dan kolam renang infinity.
Svarga membuat alam Lombok terasa begitu dekat. Properti seluas satu hektare ini dirancang terbuka. Area hijau mendominasi sisi interior. Elemen-elemen seni yang merefleksikan budaya Lombok tersebar di sudut-sudut properti. Pada atap vila, kita bisa menemukan taman mini yang ditumbuhi tumbuhan merambat. “Kami tidak mengubah struktur tanah. Resor beradaptasi dengan kontur yang ada,” ujar Yusuf Ali, perwakilan pemilik properti.
Tapi, untuk menghadapi persaingan dengan sekitar 45 hotel di Senggigi, Svarga tak sekadar mengandalkan desain yang atraktif. Seperti MesaStila, penginapan ini menawarkan konsep wellness resort. Tamu disuguhi beragam aktivitas yang berfungsi merejuvenasi tubuh, mulai dari yoga di puncak bukit hingga trekking menuju air terjun. Di SalZa, restoran milik resor, tersaji menu-menu sehat. Cairan alkohol raib dari daftar menunya. Sebagai pengganti, restoran ini menawarkan aneka jus segar.
Svarga memang memiliki karisma yang memikat. Kehadirannya menyuntikkan gairah baru pada kawasan yang empat tahun belakangan ini mulai lesu. Kita pun menangkap pesan penting: Senggigi belum mati. Masih ada kreasi segar yang membuat tempat ini layak disatroni.
Senggigi adalah nama lama dengan jurus baru. Kawasan di tepi barat Lombok ini dilansir ke publik sebagai destinasi wisata sekitar 34 tahun silam. Tapi pamornya kemudian perlahan tenggelam. Mata turis seolah tersedot ke Gili Matra (Meno, Air, Trawangan), juga kawasan Mandalika di selatan Lombok yang memang giat membangun setelah bandara baru ditanam di jantung pulau pada 2011. Menyadari tren negatif tersebut, sejumlah pengusaha kemudian melansir magnet-magnet baru yang membuat Senggigi kembali menggoda.
Saya datang pertama kali ke Senggigi lima tahun silam. Waktu itu, kawasan ini begitu bergairah untuk menjadi alternatif bagi turis di Bali. Rute speedboat ke Bali dibentangkan. Festival pariwisata tahunan digelar. Hotel-hotel dikerek. Kita bisa menemukan merek senior semacam Sheraton dan Jayakarta. Strategi itu moncer, tapi tak ajek. Trio Gili Matra terus mencuri perhatian. Destinasi yang dulu hanya disatroni kaum budget traveler ini juga mulai merambah segmen premium berkat kehadiran resor berbintang, sebut saja Karma Reef dan Aston Sunset Beach Resort. Kabarnya, Renaissance juga sedang mengerek propertinya di sini. Faktor lain yang turut memukul Senggigi adalah relokasi bandara ke Lombok Tengah, hingga membuat jarak ke Senggigi kian jauh.
Memburu “limpahan” turis dari Bali memang bukan strategi jangka panjang yang mumpuni. Senggigi harus menjadi destinasi yang mandiri untuk terus bersinar. Kesadaran itulah yang agaknya membuat pelaku pariwisata mulai giat berkreasi. Saya datang kembali ke Senggigi beberapa bulan silam. Terlihat beberapa properti telah bersalin nama. Saat menyusuri jalan utamanya yang lengang, terpasang spanduk yang mengumumkan pembangunan sebuah mal. “Di sini, tanah sekilas terlihat kosong, tapi sebenarnya sudah dibeli,” ujar Mansur, sopir saya. Dia sudah menetap selama 30 tahun, sejak Senggigi masih dihuni desa-desa yang hening. Arus turis kemudian mengubah garis hidupnya. Mansur kini mengelola sebuah biro rental mobil.
Perubahan nasib juga dialami Tolic. Lima tahun silam, usai berkelana ke berbagai tempat menarik di Asia Tenggara, pria asal Melbourne ini menemukan lokasi yang berhasil merenggut hatinya. “Awalnya cuma liburan bersama teman dekat, tapi setelah lima hari di sini, saya terbius oleh pesonanya,” kenangnya.
Saat saya temui, pria plontos dan tambun itu tengah bersantai di ruang semi-terbuka yang menatap pantai. Satu setengah tahun lalu, Tolic mendirikan wadah bagi mereka yang ingin leyeh-leyeh seraya menikmati pantai. Ketimbang mendirikan restoran, pengusaha ini memilih konsep yang belum memiliki pesaing di Senggigi: beach club. Dari ikhtiar itulah lahir La Chill. “Coba cari tempat seperti ini di sepanjang pantai ini. Saya berani bertaruh, Anda tidak akan menemukannya,” kata Tolic.
La Chill mengingatkan saya pada beach club laris semacam Potato Head dan Komune, namun dalam versi yang lebih mini. Tempat ini terbagi dalam dua area utama: area makan yang dihiasi pernak-pernik bergaya rustic, serta area alfresco yang beralaskan pasir cokelat dan ditaburi bean bag. Dapur La Chill menyuguhkan tapas, piza artisan, pasta, serta steik. “Kami ingin tamu merasa rileks. Cukup berbincang satu sama lain tanpa perlu memikirkan hal lain selain pemandangan di depannya,” ujar Tolic lagi.
Saya duduk di area alfresco, menyantap sepotong piza vegetarian, menyaksikan senja di batas cakrawala. Dibandingkan saudara-saudaranya di Bali, La Chill punya satu keunggulan yang sulit disaingi: privasi. Privasi juga ditawarkan pendatang anyar lainnya: Jendela Sunset Villa. Berlokasi di Krandangan, sekitar 20 menit dari gerbang Senggigi, Jendela Sunset Villa menawarkan hunian eksklusif bagi mereka yang mencari sudut menyepi di salah satu kawasan tersibuk di Lombok. Untuk menjangkaunya, saya meniti jalur-jalur sempit, serta menembus jalan beralaskan batu yang dipagari rumah dan warung. “Dulu, perumahan belum begitu banyak, baru tiga tahun ini mulai ramai,” ujar Shinta, salah satu konseptor Jendela Sunset Villa.
Vila privat ini mengombinasikan gaya tradisional dengan sentuhan Mediterania. Desainnya memudahkan tamu menyaksikan panorama di luar. Kita bisa bersantai di kolam seraya menatap perbukitan hijau. Pemandangan apik juga bisa dinikmati dari ruang tamu dan meja makan. Vila megah yang didominasi warna krem dan cokelat ini awalnya merupakan rumah liburan pribadi yang dikelola keluarga. Pada akhir 2013, fungsinya bergeser menjadi destinasi retret bagi wisatawan yang mencari kenyamanan sebuah hotel, tapi enggan berbagi dengan tamu lainnya. “Lokasi dan pemandangan di sini juga jadi faktor besar,” ujar Shinta.
Di atas lahan seluas satu hektare, Jendela Sunset Villa menampung tiga kamar dan sejumlah fasilitas penunjang seperti lounge, dapur, pusat kebugaran, area barbeku, dan kolam renang. Vila ini juga dilengkapi layanan butler pribadi, penyewaan sepeda dan mobil, serta penatu. Keindahan pesisir Senggigi tak cuma bisa dinikmati dari pantai, tapi juga dari laut. Saya melakukannya dengan menaiki Dragoon130, kapal yang didedikasikan bagi kaum penggila pesta dan pemburu matahari.
Dragoon130 adalah reinkarnasi modern dari bahtera legendaris Bugis yang telah mengharumkan nama Indonesia dalam sejarah pelayaran dunia. Mengombinasikan teknologi naval modern dan arsitektur tradisional, kapal bertubuh hitam dan cokelat ini merupakan salah satu atraksi anyar di Lombok, sekaligus alasan bagi turis untuk kembali melirik Senggigi.
Sejarahnya dimulai tiga tahun silam ketika duet arsitek Italia—Sergio Supino dan Pietro Rizzuti—membeli sebuah kapal pinisi, lalu mewujudkan mimpi mereka untuk menciptakan ruang pesta terapung. Tubuh kapal dipertahankan, tiang layarnya dicopot, lalu interiornya dijejali kemewahan. Hasilnya adalah gabungan antara Alila Purnama dan WooBar.
Saban Minggu, kapal sepanjang 40 meter ini rutin menggelar day cruise. Tamu diajak bersantai di tengah laut, menikmati sunset, lalu berpesta hingga larut malam. Jika mendambakan privasi, kapal bisa dicarter secara eksklusif. Kapal yang dipermak di Bali ini menampung enam kamar tidur yang masing-masingnya dilengkapi kamar mandi dan televisi. Di geladak, terdapat lounge berkapasitas 120 orang yang ditaburi bean bag.
Digerakkan oleh mesin bertenaga 380hp, kapal seksi berbahan kayu ulin ini sanggup melesat hingga kecepatan 10 knot untuk membawa penumpangnya menikmati kehidupan khas kaum jet set di barat Lombok. Senggigi memang masih punya taji.
PANDUAN
Rute
Penerbangan langsung ke Lombok dilayani oleh Garuda Indonesia (garuda-indonesia.com) dari Surabaya, Makassar, dan Jakarta; serta Lion Air (lionair.co.id) dari Surabaya, Bali, dan Sumbawa. Senggigi berjarak sekitar dua jam dari bandara. Opsi lain ke Senggigi adalah menaiki perahu cepat dari Pelabuhan Padangbai, Bali.
Penginapan
Senggigi mengoleksi sekitar 45 hotel. Salah satu pendatang terbarunya, Svarga Resort (Jl. Raya Senggigi; 0370/619-5999; svargaresort.com; doubles mulai dari $97), menawarkan 25 vila di area perbukitan. Di vila tipe Varga, Anda bisa menikmati panorama apik dari kamar, area makan, juga kolam renang. Jika eksklusivitas yang dicari selama liburan, maka Jendela Sunset Villa (Jl. Raya Mangsit, Krandangan, Senggigi; 0812-3850-0545; mulai dari $500) adalah opsi yang ideal. Vila berisi tiga kamar ini menyuguhkan panorama bukit dan berkapasitas delapan hingga 10 orang.
Makan & Minum
Senggigi menawarkan opsi tempat makan dan hangout terlengkap di Lombok. The Square Restaurant Lombok (Jl. Raya Senggigi; 0370/693-688; squarelombok.com) menyajikan menu eklektik Barat dan Asia dalam porsi besar. Saban malam, restoran ini menyajikan sesi fine dining di area berkonsep semi-terbuka. Untuk menikmati momen sunset, datangi beach club anyar La Chill (Jl. Raya Senggigi Km.8). Kehidupan malam di Senggigi cukup semarak. Salah satu sarang kaum nokturnal yang paling populer adalah Happy Café (Jl. Raya Senggigi, Plaza Senggigi; 0370/693-984), bar bergaya klasik yang rutin menyuguhkan pentas musik. Tapi jika Anda ingin memindahkan pesta ke tengah laut, pilih kapal pinisi Dragoon130 (0361/7855-855; dragoon130.com). Tur sunset dipatok sekitar $50 per orang, mencakup transportasi dari hotel, canapé, welcome drink, dan rental peralatan snorkeling. Tamu yang ingin menikmati waktu privat juga bisa mencarter kapal dan merancang itinerary sendiri. Paket carter sehari penuh dibanderol $10.000 untuk maksimum 12 orang, inklusif makan tiga kali, akses ke enam kabin, serta transportasi dari dan menuju hotel.
Dipublikasikan perdana di majalah DestinAsian Indonesia edisi Januari/Februari 2015 (“Menolak Pudar”)