by Karina Anandya 11 November, 2019
Ritus Misterius Pedalaman Sulawesi
Teks & foto oleh Yusuf Wahil
Mayat yang akan dikeluarkan ada di sekitar Desa Mangngi,” jelas Mama Anggi di teras rumahnya. “Ada beberapa liang yang akan di buka, termasuk liang keluarga saya.”
Udara dingin berkesiur di Desa Mangngi, Kabupaten Mamasa. Suhu bergerak di kisaran tujuh hingga delapan derajat celsius. Orang-orang senantiasa menyelimuti tubuh dengan sarung sambuk, bahkan di dalam rumah. “Silakan diminum kopinya,” kata Mama Anggi lagi, “di sini kopi panas itu cepat sekali dingin.”
Mamasa berjarak sekitar 330 kilometer dari Makassar. Setelah bandaranya tak lagi melayani pesawat, dataran tinggi di Sulawesi Barat ini hanya bisa dijangkau lewat jalur darat, melalui jalan yang sebagian rusak parah dan menembus hutan. Tak banyak orang yang berani meniti rute ini selepas senja. Tapi mungkin karena sulit digapai pula, tempat terpencil ini relatif terjaga dari kontaminasi modernisasi. Banyak ajaran warisan leluhur masih lestari, contohnya Mangngaro, ritus purba yang sarat duka dan air mata.
Sekali per tahun, warga Mamasa mengeluarkan jenazah dari kubur (liang), untuk kemudian diganti pembungkusnya. Sekilas mirip Ma’nene di Toraja. Bedanya, di sini pakaian almarhum tidak diganti, melainkan hanya diberi balutan tambahan hingga menyerupai guling raksasa. Perbedaan lain lagi, Mangngaro belum terkenal di kalangan turis.
Menurut antropolog Kees Buijs, Mangngaro dan Ma’nene berbagi akar yang sama. Keduanya terkait keyakinan adanya korelasi langsung antara kesuburan tanah dan kehendak para dewa. “Arwah orang mati dari kalangan bangsawan diangkat menjadi dewa, dan ini menjadi penting demi memberikan berkah supaya padi berhasil baik,” jelas Buijs, yang juga menulis buku Kuasa Berkat dari Belantara dan Langit.
Mangngaro diselenggarakan selepas panen padi di Agustus. Tahun ini, warga memilih tanggal 26-29 Agustus. Prosesinya dimulai dengan berjalan menuju makam. Para keluarga dan kerabat almarhum bergerak dalam iringan dengan tubuh dibungkus pakaian hitam. Suasana berkabung terasa kental, walau pemandangan di sekitar sungguh indah. Mamasa, yang artinya “lembah kasih,” dihuni rumah-rumah yang dikepung awan dan lembah-lembah hijau yang dibentengi pegunungan.
Tiba di tepi sawah, peziarah melintasi pematang menuju kuburan. Tiap liang dihiasi tanduk kerbau dan dihuni belasan jenazah yang ditumpuk sesuai kastanya. Berdiri di atas papan pijakan, seorang pemuda membuka pintu liang, lalu tiga pemuda lain mengeluarkan jasad. Dengan air mata bercucuran, anggota keluarga almarhum memegang, mengelus, dan memeluk buntalan-buntalan berisi mayat.
Dari liang, jenazah dipikul dalam iringan yang dipimpin oleh belasan perempuan yang menenteng kain merah panjang. Sesampainya di sebuah tempat bernama lattang, jenazah diletakkan sesuai urutan kastanya dan keluarganya kembali menangis. Hari ini, Mangngaro melibatkan delapan jenazah yang diangkat dari empat liang. Besok, ada tiga liang yang dibuka dengan total sembilan jenazah.
Prosesi berikutnya ialah ibadah malam yang dipimpin oleh pendeta—pemandangan unik yang menggambarkan akulturasi ajaran Kristen dengan keyakinan lokal. Seperti yang tertera pada Monumen Salib di Pa’tolongan, Injil memasuki Mamasa pada 1913. Mayoritas warga telah memeluk Kristen, tapi mereka masih melestarikan beberapa ritus warisan leluhur.
Kelar ibadah, jenazah dibungkus ulang lewat prosesi yang menghabiskan anggaran besar. Keluarga memotong kerbau dan babi, sementara beberapa lelaki mementaskan Tari Ma’badong. Hari berikutnya, sebelum jenazah dikembalikan ke liang, warga kembali memotong kerbau dan babi. Besarnya biaya inilah yang membuat Mangngaro dipraktikkan hanya oleh kaum bangsawan.
Risal Landolalan, pemuda lokal yang pernah meneliti Mangngaro untuk skripsinya, merinci lima kasta yang rutin menggelar Mangngaro, lengkap dengan jumlah korban hewannya. Pertama, kasta To Dipandan, dengan korban antara 21 hingga 40 ekor kerbau. Kedua, To Dipelima, sembilan hingga 15 ekor kerbau. Setelah itu ada To Ditututtun Pitu (tujuh ekor), To Dopadolo Taman (empat), serta To Dipalese’i Biring Ale (tiga).
Menghitung biayanya, upacara orang mati di sini sepertinya cukup untuk membiayai keperluan orang hidup, misalnya untuk kuliah, merenovasi rumah, atau membeli mobil. Bagi pemerintah setempat, upacara mahal ini juga dinilai mumpuni untuk memikat turis. Marthinus Tiranda, Wakil Bupati Mamasa, berniat mempromosikan Mangngaro kepada para turis. “Kita akan tetapkan jadwal Mangngaro di akhir Agustus, menjadi kalender wisata di Mamasa,” ungkapnya.
Melibatkan mayat, air mata, dan pengorbanan ternak, Mangngaro memang terdengar seperti ritus eksotis yang disukai turis asing. Akan tetapi, bagi warga setempat, warisan leluhur ini punya makna sakral yang terkait kosmologi tentang hubungan spiritual manusia, tanah, dan langit. Di pedalaman Sulawesi ini, yang mati tak pernah benar-benar pergi.
Rombongan perempuan pembawa kain yang sedang mengiringi para laki-laki yang memikul jenazah.
Yusuf Wahil
Usai bekerja untuk Harian Cakrawala dan Harian Fajar, Yusuf pada 2017 memutuskan menempuh jalur independen. Karya-karyanya pernah dimuat di beragam media, termasuk The Telegraph dan The New York Times. Yusuf, pria asal Mamuju yang menetap di Makassar, pernah meraih juara kedua kategori daily life dalam Anugerah Pewarta Foto Indonesia 2016. @yusufwahil