by Rosa Panggabean 28 September, 2019
Kondisi Palu Setahun Setelah Gempa
Teks & foto oleh Rosa Panggabean
Di Pantai Talise, Palu, turis lokal berkeliaran. Jalan-jalan di sekitar ramai dilalui warga. Dua wanita sedang menjajakan lamale, udang kecil berwarna merah yang merupakan komoditas khas lokal. Di luar kehadiran pelang-pelang baru berisi larangan mengganggu fungsi pantai, Talise sepertinya sudah kembali seperti sedia kala: pesisir komunal di mana aktivitas ekonomi dan pelesir berdenyut.
Kondisi itu kontras dibandingkan setahun silam ketika Talise tak ubahnya neraka. Jumat nahas 28 September 2018, gempa di dasar laut berkekuatan 7,7 skala Richter mengguncang Sulawesi Tengah. Setelahnya, tsunami menyapu daratan, menenggelamkan bangunan dan rumah, memakan banyak korban jiwa. Di Kota Palu, Talise adalah salah satu pintu masuk gelombang ganas itu.
Memori tragedi masih menghantui Talise, tapi kehidupan sudah kembali bergulir. Setelah puing dibersihkan dan jenazah dimakamkan, rumah dan bangunan di kawasan ini bertahap direkonstruksi. Banyak pengungsi juga sudah kembali untuk menata asa, berjuang melewati hari dengan duka, trauma, mungkin juga pertanyaan besar yang masih sulit dijawab: semua ini azab, ujian, atau semata konsekuensi dari hidup di negeri tektonik?
Saya datang ke Palu awal September silam. Memasuki pusat kota, suasananya tak jauh berbeda dari kota-kota lain. Jalan-jalan di kota yang dilewati garis Khatulistiwa ini ramai oleh lalu lalang kendaraan, sementara pasar sibuk oleh suara tawar-menawar. Beberapa warisan musibah masih tersisa: reruntuhan gedung. Membangun ulang kota yang luluh lantak, apalagi dengan banyak permukaan tanah yang ambles, tentu membutuhkan waktu lama. Tapi yang menggembirakan, warga giat membangun kembali kehidupan mereka. Lamat-lamat senandung pilu Palu berlalu.
Memasuki kolong Jembatan Kuning, ikon Kota Palu yang terputus itu, dua pria khidmat memancing. Tak lama, datang dua pria lain untuk memandikan anjingnya. Pertanda bagus. Jika orang sudah punya waktu luang untuk menyalurkan hobi atau mengurus peliharaan, hidup bisa jadi memang sudah berjalan normal.
Bergeser ke Anjungan Talise, kafe-kafe tenda berjajar di pinggir pantai. Kawasan yang dulu menebar horor ini sekarang jadi wadah kongko yang populer. Eni, salah seorang pengelola kafe tenda, mengaku memulai usahanya dua bulan silam. Kondisinya belum pulih total memang. Walau roda bisnis sudah berputar, banyak rekan Eni belum sudi kembali. Sebelum gempa, jumlah kafe tenda di sini jauh lebih banyak.
Palu, Ibu Kota Sulawesi Tengah, merekah di ujung teluk. Laut merupakan bagian integral dalam kehidupan warganya, baik sebagai sumber ekonomi maupun wadah wisata. Malapetaka 2018 tidak mengubah lanskap sosial itu. Meski tak lagi bermukim di pesisir, banyak orang tetap menyandarkan nasibnya pada laut.
Di belahan barat kota, beberapa petani garam sudah menggarap tambak mereka. Tak jauh dari sini, sebuah kawasan pergudangan sedang dibangun ulang. Di antara puing, para tukang bekerja di bawah terik yang menyengat.
Berpindah ke Tanjung Karang, destinasi wisata bahari andalan Sulawesi Tengah, operator selam sudah melayani tamu. Menurut Aso, pegawai dive center di Tanjung Karang, animo wisatawan asing tak surut. Dua bulan pasca-tsunami, buku reservasinya sudah terisi, walau pihak manajemen saat itu belum melayani tamu lantaran sibuk mengurus keluarga masing-masing. Turis asing, kata Aso lagi, sepertinya penasaran dengan kondisi bawah laut di 30 titik selam Tanjung Karang selepas bencana.
Wisatawan domestik, sebaliknya, memperlihatkan grafik yang kontradiktif. Menurut Budi, pengelola penginapan di Tanjung Karang, tak ada turis lokal yang berkunjung selama berbulan-bulan pasca-gempa, mungkin juga akibat beredarnya peringatan untuk menjauhi pantai. Wisatawan domestik baru bermunculan selepas Lebaran 2019, walau arusnya masih seret. Kata Budi, yang menaungi delapan pondok, pengunjung susut lebih dari 50 persen.
Satu tanda lain pulihnya kehidupan di Palu ialah normalnya fungsi pasar, seperti yang terlihat di Pasar Inpres Manonda. Memasuki salah satu sentra perdagangan terbesar di Palu ini, saya berjalan di antara buruh angkut yang penuh peluh, pamong praja yang repot menertibkan pedagang, juga penjual dan pembeli yang alot bernegosiasi. Entah apakah mereka ingat pasar ini berjarak hanya sekitar satu kilometer dari area yang terkena likuefaksi (pencairan tanah) besar-besaran. Pedagang mungkin salah satu kaum yang paling gigih di zaman modern. Pasar Inpres Manonda bahkan sudah beroperasi enam hari pasca-gempa.
Keramaian juga terlihat di Taman Kota Vatulemo di seberang kantor wali kota. Suasananya mirip pasar malam yang diisi berbagai permainan anak. “Baru-baru setelah bencana, penuh sekali tempat ini, karena tak ada lagi hiburan orang,” ujar Sri, pengelola lapak mainan. Kini, katanya, taman lebih sepi lantaran banyak pengungsi bermukim di huntara (hunian sementara). Prospek bisnis Sri juga kian suram karena Pemkot berencana merelokasi para pemilik usaha di Taman Kota Vatulemo.
Nasib berbeda dialami rekan-rekan Sri di Taman Hutan Kota dan Bukit Buluh Perindu. Kedua tempat yang bertetangga ini merekah jadi objek wisata “kekinian.” Sebagian pelaku usaha di sini merupakan penyintas, contohnya pasutri Elly dan Latief. Jika Latief bekerja sebagai penjaga parkir, Elly membuka usaha penyewaan hanbok untuk turis yang ingin berfoto dengan tema drama Korea. Seperti yang melanda banyak daerah lain, Palu mengalami demam wisata “Instagrammable.”
Rosa Panggabean
Setelah 8,5 tahun bekerja untuk Antara, Rosa memutuskan beralih ke jalur independen pada 2018. Fotografer yang berbasis di Jakarta ini pernah menerima penghargaan Anugerah Adiwarta dan Anugerah Pewarta Foto Indonesia, serta mengikuti Erasmus Huis Fellowship di Amsterdam. Buku foto karyanya, Exile, terbit pada 2014. rosapanggabean.com