by Johannes P. Christo 14 November, 2018
Tari Purba di Tepi Batur
Oleh Johannes P. Christo
Tu… Ratu… Meriki!” Dari balik tembok luar pura, beberapa penonton memanggil-manggil para Brutuk. Penonton menggoda, mendekat, sesekali melompat dan bersembunyi demi menghindari sabetan pecut para penari. Tapi sabetan sang Brutuk sebenarnya bukanlah siksaan. Alih-alih, ia diyakini sebagai penolak bala.
Pertunjukan janggal itu saya saksikan di Desa Terunyan. Hanya di Desa Terunyan. Ratu Brutuk adalah ritus yang terikat lokasi, tanah, juga sejarah. Darinya pula kita melihat sosok Bali yang berbeda.
Terunyan, jika Anda belum pernah mendengarnya, tidak seperti desa-desa Bali yang jamak kita kenal. Permukiman ini didiami Bali Aga, suku yang memandang dirinya sebagai “Bali asli.” Mereka memiliki budayanya sendiri dan berbicara dalam dialeknya sendiri. Ratu Brutuk hanyalah satu contoh dari keunikannya.
Saya datang ke sini dengan mengendarai sepeda motor selama dua jam. Berangkat menjelang subuh, saya menembus kabut dingin yang membekukan jari-jari. Sepanjang rute, mata dipaksa untuk senantiasa waspada. Rute ke Terunyan dipenuhi tikungan tajam, tanjakan dan turunan curam, kadang jurang dan sisa-sisa tanah longsor.
Terunyan, sekitar 70 kilometer di utara Denpasar, bersemayam di tepi Danau Batur. Saya mengunjunginya pada 28 September 2018, yang dalam penanggalan Bali jatuh pada Sukra (Jumat), Kajeng Umanis. Tiba di desa, saya langsung menuju pura dan mengenakan pakaian adat, lengkap dengan kamen, saput, juga udengnya. Pukul 07:00, ritual dimulai. Lewat pukul 12:00, para penari digiring pemangku (pemimpin pura) mengitari halaman luar pura.
Berbeda dari galibnya tari-tarian Bali, Ratu Brutuk memancarkan kesan purba dan tribal, seperti datang dari periode ketika Hindu belum menyentuh Bali. Kostum para penari dibuat dari bahan natural yang mentah dengan sedikit sentuhan kriya. Jubahnya berbahan keraras (daun pisang kering) yang dirajut kasar. Topengnya tidak berbahan kayu sebagaimana umumnya, melainkan batok kelapa. Warna-warna yang dioleskan pun minim variasi. Hanya ada hitam, putih dan cokelat. Ini tarian rakyat yang tak tersentuh kemilau emas dan perak.
Ratu Brutuk adalah simbol penguasa desa dari alam gaib. Tarian ini dibawakan oleh pria-pria lajang anggota karang taruna desa. Semuanya pria. Harus pria. Sebelum pentas, mereka diwajibkan bersuci, berpuasa, menghindari kenikmatan duniawi, dipingit selama 15 hari. Ratu Brutuk bukanlah hiburan dalam rangkaian upacara Bulan Purnama Kapat Lanang, yang muncul hanya sekali dalam dua tahun Masehi. Ritus ini merupakan pengingat sekaligus penghormatan bagi kehidupan masa lampau.
Ratu Brutuk juga bukanlah wujud tunggal. Nama ini mewakili sekelompok ningrat: raja, ratu, patih, kesatria, dan anggota kerajaan lainnya. Para penarinya dipecah berdasarkan peran-peran tersebut, walau busana yang dikenakan sebenarnya sama. Mereka hanya bisa dibedakan dari bentuk topengnya.
Ibarat sandiwara istana, karakter raja dan ratu tampil anggun dan royal. Kendati begitu, mereka harus dituntut berakting sangar dan lihai mencambuk. Selama prosesi, mereka membiarkan daun-daun kering dari jubah dicomot penonton, sebab dianggap menyimpan berkah. Atas kemurahan hatinya, sang raja dan ratu dihadiahi minuman, rokok, atau sesaji buah-buahan.
Baca juga: Warna dan Tawa Parade Samanera; Seni Tumpah di Naoshima
Berbeda pula dari kebanyakan tarian Bali, Ratu Brutuk tidak menampilkan gerakan yang gemulai, halus, melebur dalam simfoni. Ritus ini bergulir dari pagi sampai menjelang senja. Selama itu, para penari hanya berjalan mengelilingi pura sembari melepaskan pecutan-pecutan yang mengagetkan telinga, tanpa iringan musik.
Uniknya lagi, Ratu Brutuk “melibatkan” penonton. Pecutan dilayangkan kepada siapa saja. Karena itu, jika ingin aman, jangan berdiri bergerombol. Posisikan diri agak jauh agar punya cukup waktu untuk mengelak atau kabur. Seru memang, walau tak berarti “aman.” Kalung tanda pengenal, seperti yang dikenakan panitia, turut andil meluputkan saya dari pecut.
Topeng adalah elemen khas dalam tarian ini. Satu fakta yang aneh, jumlahnya tak pasti. Kadang 21, kadang 19, seperti yang saya saksikan hari ini. Sesepuh setempat bahkan mengaku tidak tahu persis berapa jumlahnya dan siapa kreatornya. Yang jelas, kata mereka, topeng-topeng itu sudah ada sebelum Desa Terunyan diciptakan dan dihuni warga Bali Aga.
Petang tiba. Para lakon beristirahat dan bersiap menceburkan tubuh ke air dingin Danau Batur. Mereka berendam sejenak, lalu melepaskan seluruh topeng-topeng sakral. Prosesi ini akan diulang keesokan harinya, dengan jumlah topeng yang berbeda. Saya meninggalkan Terunyan di waktu subuh, kembali menembus kabut dingin yang menyiksa. Dua tahun lagi, saya akan datang untuk menonton dan menghitung kembali jumlah topeng Brutuk, barangkali juga ikut berendam bersama para penari.
Johannes P. Christo
Fotografer kelahiran Jakarta yang menetap di Bali ini pernah berkontribusi untuk Forbes Indonesia, Tempo, dan Travel & Leisure. Beberapa pameran dan lokakarya fotografi yang pernah diikutinya adalah Singapore Photography Festival, Jakarta Photo Summit, dan Foundry Photojournalism Workshop di Istanbul. jpchristo.net.