by Nina Hidayat 13 June, 2018
Babak Baru Industri Kreatif Bandung
Oleh Nina Hidayat
Foto oleh Ricko Fernando
Jauh sebelum Ridwan Kamil yang melek desain menjabat Wali Kota Bandung, kecintaan terhadap desain telah menjadi bagian integral dari kota ini. Di era penjajahan, seorang pedagang bernama Roth menjuluki Bandung “Parijs van Java,” sebuah label pemasaran yang terinspirasi koleksi bangunan art deco dan butik busana trendi di kota ini. Taktiknya berhasil. Label itu mengangkat pamor Bandung di mata meneer dan mevrouw.
Kemudian, usai Proklamasi, Bandung merekah jadi kutub ekonomi kreatif. Ibu Kota Jawa Barat ini giat mencetak seniman, arsitek, desainer, serta musisi. Di belantika musik misalnya, Bandung konsisten mencetak bintang, sejak era Nike Ardilla hingga Isyana Sarasvati. Sementara di ranah fesyen, Bandung merupakan kota pertama yang menumbuhkan industri distro di Indonesia. Pernah ada masa ketika kaus-kaus buatan studio Bandung diburu oleh remaja Jakarta.
Banyak bagian dari karakter itu berlanjut hingga kini. Tetapi, khusus bidang seni dan desain, perkembangannya terasa lebih mencolok dalam beberapa tahun terakhir. Setelah lama berada di bawah bayang-bayang Yogyakarta, skena seni Bandung mulai mencuri panggung. Para perupanya aktif menelurkan terobosan segar dalam wujud karya dan acara. Sementara di cabang desain, kota ini ditetapkan UNESCO sebagai anggota Jaringan Kota Kreatif di kategori desain. Apa pemicu perkembangan tersebut, dan seperti apa dampaknya bagi Bandung?
Setiap Selasa, Fajar Abadi bertamu ke Ruang Gerilya. Masuk ke dapur, seniman performatif ini memasak, lalu menghidangkan hasilnya kepada rekan-rekannya yang datang untuk berdiskusi soal seni. Mereka membahas proyek yang tengah digarap, karya yang dibuat, kadang soal harga karya yang terjual.
Ruang Gerilya, ruang alternatif yang dirintis pada 2011, beriktikad menyediakan wadah untuk bertukar pikiran, berbagi gagasan, serta menelurkan proyek kolaborasi di antara para seniman muda. Di sebuah kota seni, forum-forum cair semacam ini tentu sesuatu yang lumrah. Akan tetapi, bagi Bandung, Ruang Gerilya sebenarnya mengemban fungsi yang lebih vital. Di sinilah banyak artis mencari solusi bersama untuk bertahan hidup.
Menurut Zico Albaiquni, salah seorang pendiri Ruang Gerilya, jagat seni Bandung sedang terperosok ke level darurat “existential survival,” terjemahan bebasnya kira-kira “sekadar bertahan hidup.” Melalui diskusi dan kolaborasi yang difasilitasi Ruang Gerilya, dia berharap bisa menggeser status itu ke level awas “pragmatic survival,” artinya “upaya sintas yang mengutamakan manfaat.”
Teori Zico mungkin terdengar njlimet, tapi landasan berpikirnya bertolak dari kondisi riil. Bandung memang tengah berupaya memulihkan pamornya sebagai kutub seni. Sejenak menengok sejarah, kota ini pernah menikmati reputasi yang luhur. Pada paruh kedua abad ke-20, Bandung mencetuskan mazhabnya sendiri. Ahmad Sadali, Popo Iskandar, dan Srihadi Soedarsono, adalah beberapa pelopornya. Generasi penerus, misalnya Sunaryo dan Gregorius Sidharta, memberi napas baru pada aliran ini dengan memasukkan unsur spiritual dan bahan alami dalam karya.
Sayang, pada pertengahan 1980-an, gairah itu meredup. Seniman-seniman Bandung jarang berkarya ataupun berpartisipasi di ajang seni. Di masa vakum itu, Yogyakarta bersinar kian terang, bahkan mendominasi wacana seni nasional. Fenomena ini sempat dikaji oleh kurator Enin Supriyanto dalam catatan kritisnya, The Lost Generation. Menurut Enin, represi Orde Baru, antara lain lewat program NKK/BKK (Normalisasi Kehidupan Kampus/ Badan Koordinasi Kemahasiswaan), merupakan salah satu penyebab melempemnya aktivitas berkesenian di Bandung.
Selepas kejatuhan Soeharto, angin perubahan mulai berembus. Pada akhir 1990-an, Bandung perlahan bangun dari tidurnya. Perupa jebolan Bandung seperti Jim Supangkat dan Priyanto Sunarto berkibar. Seiring itu, di banyak pameran dan festival, kota ini ajek menempatkan wakilnya. Dengan pamor yang menanjak, beberapa nama baru pun tertangkap radar global, salah satunya Ay Tjoe Christine. Lulus dari ITB (Institut Teknologi Bandung) pada 1997, dia rajin berpameran keliling di Asia. ARNDT, broker seni di Jerman, mendeskripsikannya sebagai “salah seorang perupa perempuan Indonesia yang paling ternama.”
Lepasnya cengkeraman Orde Baru berkontribusi besar bagi kebangkitan seni Bandung. Tentu saja, kondisi serupa dinikmati oleh kota-kota lain di Indonesia. Jika ada satu hal yang membedakan generasi baru Bandung, jawabannya adalah prosesnya. Mereka bukan semata bebas berkarya, tapi juga bebas menentukan cara berkarya.
Berbeda dari banyak koleganya di Jogja yang seperti terkurung pakem para senior, seniman Bandung merayakan keleluasaan lebih dalam mengeksplorasi gagasan artistik. Mereka ulet dan luwes mengolah ide segar, baik dalam aspek wacana maupun medium. Menurut Mulyana alias Mogus, artis Bandung yang bermukim di Jogja, otonomi dalam berkarya itulah yang menjadi kekuatan sebenarnya dari Bandung kini. “Mereka lebih fokus berkarya secara individual, dibandingkan seniman Jogja yang terkenal guyub,” jelasnya.
Tren positif itulah yang sekarang hendak dibawa ke babak baru oleh Ruang Gerilya. Zico sepakat tentang alasan kesuksesan aksi solo banyak seniman lokal, tapi dia juga melihat individualitas itu pada akhirnya akan terbentur banyak batasan, salah satunya sumber daya finansial. Maklum, banyak seniman muda Bandung bekerja paruh waktu lantaran tuntutan ekonomi. Guna mendobrak batasan, Zico percaya kolaborasi sebagai solusi pamungkasnya. “Sesudah boom seni rupa tahun 2007, ada kesadaran kolektif dalam diri seniman- seniman muda Bandung untuk bekerja sama agar semua bisa maju,” jelas Zico.
Dari kesadaran kolektif itu pula terbit LIPLAP: 35 Bandung Artists Under 35, buku garapan Ruang Gerilya dan Omni Space. Edisi perdananya memuat profil pekerja seni lintas disiplin, misalnya Duto Hardono dan Meicy Sitorus. Rencananya, buku ini akan diperbarui tiap tiga tahun sekali. Tujuannya mengarsip para seniman muda sekaligus memotivasi mereka agar terus berkarya. “Dengan begitu,” tambah Zico, “saya harap kami tidak akan lagi kehilangan satu generasi seniman.”
Ruang Gerilya tidak sendirian dalam menghidupkan skena seni Bandung. Pada 2010, Lawangwangi Creative Space meluncurkan Bandung Contemporary Art Awards (BaCAA). Tahun lalu, ajang apresiasi ini menggelar jilid kelimanya. Dewan jurinya diisi kurator Agung Hujatnika dan kritikus Carla Bianpoen.
Inisiatif lain datang dari Pak Naryo, sapaan akrab maestro Sunaryo. Di Selasar Sunaryo Art Space, beliau mencetuskan Bandung New Emergence (BNE) untuk memetakan seniman generasi baru. Dalam hajatan bienial ini, mereka yang telah berkesenian minimum dua tahun diminta mengirimkan karyanya untuk kemudian dikurasi, dipamerkan, serta diulas oleh para senior. Setelah Bandung Biennale mati suri, BNE adalah kanal satu-satunya yang menyalurkan energi kreatif artis muda lokal.
Tak ketinggalan, Nyoman Nuarta turut memberi dukungan bagi bakat-bakat belia. Di NuArt Sculpture Park, pematung senior ini mendirikan fasilitas residensi dan sanggar tari. Joko Avianto adalah contoh figur sukses dalam asuhan Nyoman. Kini, melihat ekosistem seni Bandung kian kondusif, Nyoman berharap seniman tak lagi bekerja dengan pola menyambi. Bagi eksponen Gerakan Seni Rupa Baru ini, mereka harus berani bertaruh dengan memberikan totalitas energinya. “Kalau seniman takut miskin, ya sulit membuat karya yang berbobot,” ujarnya pedas.
Berjarak dari Mazhab Bandung, generasi kontemporer berhasil menyuguhkan eksperimen- eksperimen yang memberi warna baru pada dunia seni. Kini, dengan pasokan seniman yang kian berlimpah, Bandung pun mulai dilirik oleh kolektor dan pemilik galeri. ROH Projects, galeri partikelir di Jakarta, mewakili enam seniman yang seluruhnya alumnus ITB. Mei 2017, Rifky Effendy, Creative Director Art Jakarta, melansir Galeri Orbital Dago di dataran tinggi Dago. Terakhir, dalam bursa seni ArtJog 2017, lebih dari sepertiga seniman yang terlibat berdomisili di Bandung.