by Rony Zakaria 22 February, 2018
Pelajaran dari Perpignan
Seorang fotografer biasanya dianggap sukses karena laris mendapat penugasan, sering memotret tokoh terkenal, giat berpameran, atau yang umum saat ini, memiliki banyak follower di Instagram. Akan tetapi, khusus genre fotografi jurnalistik, kesuksesan seorang fotografer sebenarnya lebih ditentukan oleh keberhasilannya memublikasikan karya di media massa. Tolok ukurnya adalah seberapa sering karyanya dimuat di media dan seberapa besar media yang memuatnya.
Ketika saya menghadiri festival fotojurnalistik terkemuka Visa pour L’image di Perpignan, Prancis, setiap hari ratusan fotografer antre demi memperlihatkan portofolionya kepada para redaktur. Antrean paling panjang terlihat di muka meja-meja media kondang sekaliber National Geographic, The New York Times, dan TIME. Saya sempat menemui salah seorang dari mereka. Mungkin saking jenuhnya melihat ribuan foto, dia membuka sesi dengan mengatakan, “Mohon jangan perlihatkan lagi cerita bertema pemadat atau rumah sakit jiwa.”
Mencari tema memang persoalan yang pelik. Banyak fotografer terjebak dalam tren dengan fokus mengejar hanya tema-tema yang populer. Tidak sepenuhnya salah tentu saja. Tema populer memang dicari orang. Ambil contoh Pesantren Waria Al-Fatah di Yogyakarta. Usai foto-fotonya dimuat di sebuah media internasional, banyak fotografer berkunjung ke sana. Kasus serupa terlihat pada tema joki cilik Sumbawa.
Persoalannya kemudian, jika ingin menembus media-media besar, tema yang repetitif bakal menemui banyak kendala, termasuk sikap apriori seperti yang saya hadapi di Perpignan. Apa solusinya?
Jika kita mengibaratkan fotografer sebagai musisi dan media-media besar sebagai label rekaman, maka mereka yang datang dengan lagu buatan sendiri pasti akan lebih dihargai ketimbang jika membawakan cover lagu orang. Dalam bidang fotografi, “lagu sendiri” itu berarti proyek foto yang personal.
Menurut saya, proyek foto personal diinisiasi oleh kita sendiri atas minat kita sendiri. Motifnya bukan untuk mendapat like di media sosial ataupun semata dikagumi oleh fotografer lain. Kita ingin membuat proyek tersebut murni karena didorong oleh rasa penasaran, di mana kita akan semakin gelisah apabila kita tidak membuatnya.
Dari mana memulainya? Pertanyaan ini kerap muncul di forum-forum diskusi fotografi. (Pertanyaan lainnya adalah, kenapa fotonya hitam putih, bukan berwarna?) Perlu disadari, setiap fotografer mempunyai caranya sendiri dalam menggarap proyek personalnya. Idenya pun bisa datang dari beragam sumber, termasuk dari buku sejarah dan film—dua sumber inspirasi favorit saya.
Buku merupakan sumber utama dalam menambah wawasan. Referensi tekstual penting dan perlu. Kita harus bisa memberi konteks, wacana, serta makna dalam karya yang kita buat, sehingga terhindar dari tuduhan self-indulgence atau memotret semau kita. Sementara film bisa memperkaya imajinasi. Dalam sebuah film dengan sinematografi yang luar biasa, ada potongan-potongan gambar yang menempel di benak kita. Saya masih ingat satu adegan dalam karya Close Encounters of the Third Kind ketika seorang bocah membuka pintu belakang rumahnya dan melihat cahaya kekuningan UFO.
Dalam proyek personal, tema yang diangkat barangkali kalah bombastis dan kalah dramatis dari proyek foto populer semacam Perang Irak atau pemberantasan narkoba di Filipina. Tapi setidaknya idenya datang dari kita sendiri, dan bisa jadi hanya kita yang mempunyai ide tersebut secara eksklusif. Penting diingat, selama karya kita solid, jujur, dan baik secara kualitas, maka akan selalu ada media yang mengapresiasinya, termasuk media-media besar.
Tema dalam proyek personal juga bisa saja tak sepenuhnya baru. Saya pernah membaca sebuah buku yang menampilkan karya fotografer Austria Ernst Haas. Dia menulis, “Saya tidak tertarik memotret sesuatu yang baru. Saya tertarik melihat sesuatu dalam perspektif yang baru.” Dengan kata lain, memakai perspektif kita sendiri, tema yang usang sekalipun pun bisa menghasilkan tafsir yang segar. Kita harus bisa lebih percaya diri dalam mengatakan apa yang kita rasakan, dalam format visual.
Kembali pada pengalaman di Perpignan, usai menemui belasan redaktur, saya mendapat giliran menemui seorang redaktur foto senior dari sebuah majalah terkemuka dunia (majalah dengan sampul berbingkai kuning). Dia hanya punya waktu 15 menit untuk meladeni saya. Ketika saya mulai mengeluarkan portofolio dalam bentuk cetakan foto, dia bertanya asal negara saya. Usai mengetahui saya dari Indonesia, seperti redaktur sebelumnya, dia pun mewanti-wanti saya, tapi dengan nada yang lebih sinis: “Semoga ceritanya kali ini bukan lagi soal orangutan atau erupsi gunung.” Untungnya tidak.
Rony Zakaria
Fotografer yang merintis kariernya pada 2006 ini berkontribusi secara reguler untuk sejumlah media internasional seperti The New York Times, Le Monde, dan The Wall Street Journal. Buku foto pertamanya, Encounters, terbit pada 2013. Buku foto keduanya yang mengulas hubungan manusia, gunung, dan laut dijadwalkan terbit pada 2018. ronyzakaria.com.