by Karina Anandya 16 August, 2017
Nyawa Baru Seochon
Oleh Jonathan Hopfner
Foto oleh Robert Koehler
Untuk kasus Seoul, tesis klasik berikut mungkin berlaku: sebuah kota pada dasarnya merupakan gabungan dari banyak desa. Menatap peta kota ini, maka kita akan menemukan kata “chon” (artinya “desa) bertaburan di banyak sudutnya. Ambil contoh Sinchon (“Desa Baru”) yang kini merupakan kantong mahasiswa. Contoh lainnya: Hae-bang-chon (“Desa Pembebasan”), permukiman masygul yang sempat dihuni pengungsi Korea Utara pada 1950-an.
Seoul, sebagaimana banyak megapolitan lainnya, ibarat makhluk raksasa yang terus tumbuh, senantiasa gelisah, siap melebar melintasi batas-batas geografisnya sendiri. Kondisinya kontras dibandingkan dulu. Berabad-abad silam, Ibu Kota Korea Selatan ini terpusat pada sebuah istana di jantungnya, Gyeongbokgung. Dari sinilah gerak kekuasaan, agenda pembangunan, bahkan trajektori karier orang per orang dikendalikan.
Di masa silam, istana bagaikan pusat gravitasi. Karena itulah sejak abad ke-14 kaum bangsawan, cendekiawan, juga penjilat dan parasit berlomba-lomba mencari hunian di distrik-distrik yang mengepung tembok istana. Sejarah mencatat, Bukchon (“Desa Utara”) pernah menjadi kampung priayi sugih, sedangkan Seochon (“Desa Barat”) dihuni kaum seniman dan penulis—dua golongan yang berkocek cekak tapi dihormati. Desa-desa ini penuh intrik politik, perebutan pamor, dan pada batas tertentu, kemajuan peradaban.
Di Seoul saat ini, desa-desa tua itu masih lestari, walau profil penghuninya tentu saja telah berubah. Berkat aturan desain bangunan yang dijaga disiplin, karakter tiap desa masih terawat. Mereka memang relatif tak terusik roda zaman. Saat hendak mengerek kompleks-kompleks modern, Pemkot Seoul memilih membuka lahan baru.
Kendati demikian, desa-desa tua itu tak memiliki nasib yang melulu sama. Desa elite Bukchon misalnya, tak pernah kesulitan menemukan penggemar. Saat Seoul dilanda kekenesan untuk melirik arsitektur bersejarah, banyak rumah tradisional hanok di Bukchon direstorasi, kemudian dibeli oleh para pengusaha restoran dan selebriti. Tren serupa tidak berlangsung di Seochon. Alih-alih didandani, tempat ini justru tampil murung. Seochon mengoleksi banyak rumah uzur, tapi mayoritas terbengkalai. Desa ini terlihat sayu, lesu, dan sedikit kumuh. Gang-gangnya yang cupet dan penuh tikungan ditaburi kios tua dan reyot yang kesulitan mencari pembeli.
Saya datang ke Seoul untuk melihat bagaimana Seochon berupaya bangkit dari keterpurukan. Lama diabaikan, desa ini perlahan mulai dilirik. Penyebab utamanya mungkin “keterpaksaan.” Naiknya tarif sewa di desa-desa kondang seperti Bukchon dan Samcheong-dong memaksa para insan kreatif berburu lahan baru untuk berkarya dan berbisnis. Bagi mereka, Seochon merupakan target yang ideal.
Sejumlah gerai baru telah dibuka di Seochon dan sebagian berhasil mendulang penggemar setia. Salah satunya 9 Coffee Roasters, sebuah kedai bergaya industrial di mana peralatan sangrai memenuhi interior dan tiap cangkir kopi diseduh secara saksama oleh para barista, termasuk oleh sang pemilik, Park Tae-hwan. Berkat tempat ini, Seochon menjadi destinasi alternatif yang dipertimbangkan saat warga Seoul mencari tempat ngopi baru.
Kedai 9 Coffee Roasters adalah bagian dari demam kopi yang melanda Seochon. Beragam kedai, bistro, dan toko roti terus bermunculan di sini untuk menawarkan desain yang atraktif dan racikan artisan. Berjalan beberapa blok ke arah selatan, saya menemukan toko roti Slow Bread Ever. Sesuai namanya, tempat ini menerapkan secara disiplin teknik kukus adonan yang menyita waktu, persis seperti yang diwariskan para buyut tukang roti asal Prancis. Berjalan-jalan di sekitar toko ini, hidung kita senantiasa dihibur aroma yang menggiurkan.
Awalnya diabaikan, Seochon perlahan menjadi pujaan. Awalnya tak dilirik, desa ini sekarang kian trendi. Bersamaan dengan menjamurnya kedai hipster, unit-unit bisnis urban lain merekah. Sebagian mengusung obsesi unik, walau kadang kelewat eksentrik hingga sulit dipahami. Saya menemukan antara lain Seochon Garage, sebuah hibrida antara studio desain, toko buku, dan galeri seni.
Tak kalah unik, ada Kim’s yang menjajakan pakaian wanita berdesain vintage, serta Poco Grande yang mengombinasikan toko benang dan butik boneka hewan berbahan wol.
Tak semua properti di sini merupakan pendatang baru. Selama bertahun-tahun Seochon menampung sejumlah bangunan yang punya tempat khusus dalam peta wisata Seoul, terutama di bidang seni. Mengunjungi No-Soo Park Art Museum, kita bisa menyaksikan karya-karya agung dari salah seorang pelukis modern Seoul yang paling tersohor. Sementara Daelim Museum rutin menggelar pameran menggelitik yang mengawinkan desain, fesyen, dan seni.
Melihat gairah baru yang membasuh Seochon itu, banyak warga terbelah sikapnya. Pertanyaan yang kerap menghantui mereka: berapa lama Seochon sanggup mempertahankan magnetnya, sebelum akhirnya mengalami nasib nahas seperti desa-desa tetangganya yang ditinggalkan? Dilema semacam ini telah disadari banyak aktivis dan pengusaha lokal. Dengan menghidupkan kembali Seochon, mereka sebenarnya tanpa sengaja turut menanam benih kehancurannya.
“Saat saya beranjak dewasa, Seochon tidak memiliki apa-apa,” ujar Taeyoon Kim, koki muda yang mengasuh restoran 7PM. “Tapi kini banyak orang berdatangan, dan bisnis-bisnis baru dibuka, kadang hingga memaksa sejumlah orang lokal eksodus. Pemandangan ini sebenarnya menyedihkan.”
Saya menemui Kim di restorannya yang didesain nyaman layaknya rumah. Interiornya dipenuhi perabot kayu dan barisan rak berisi aneka pajangan. Walau baru berusia empat tahun, 7PM berhasil merebut hati banyak pencinta kuliner berkat suguhannya yang sulit disaingi: masakan Eropa berkualitas bintang lima dengan harga kaki lima. Dua hidangan andalannya adalah carpaccio berisi irisan daging ikan dan daun bawang; serta daging domba lembut dengan saus paprika dan kentang. Daftar wine tempat ini cukup impresif, tapi yang lebih menarik adalah koleksi arak lokalnya yang bisa dipadukan harmonis dengan masakan.
“Saya tidak pernah mempertimbangkan desa lain saat berencana membuka restoran,” kenang Kim yang sempat beberapa kali menetap di Seochon dalam kurun tiga dekade. Meski begitu, dia mengaku “bimbang saat melihat kondisi Seochon sekarang.” Bimbang karena dia sadar 7PM merupakan salah satu alasan banyak orang tiba-tiba melirik kembali desa ini.
Meninggalkan Kim, saya kembali mengarungi jalan-jalan Seochon. Jalan-jalan di sini umumnya berukuran langsing dan hanya cukup dilalui sepeda motor, sementara mayoritas rumahnya berpostur lebar dan pendek. Rumah-rumah di sini terlihat hangat dan intim, setidaknya jika dibandingkan rumah modern bertulang baja di kawasan selatan Seoul. Bah-kan bangunan-bangunan ikonis lokal tampil sangat sederhana, sebut saja Daeo yang kini menjajakan buku bekas. Toko ini menempati struktur buatan 1951. Pelangnya lapuk dan gentingnya sedikit berantakan. Saya juga sempat singgah di Pasar Tongin, wadah ideal untuk berbelanja penganan lokal. Salah satu jajanan favorit pengunjung di pasar ini adalah tteokbokki, kue beras berbentuk pipa yang direbus dengan cabai atau saus gurih berbahan kedelai. Untuk membelinya, kita mesti memakai token yang didesain menyerupai koin emas kuno.
Pihak berwenang sebenarnya merasa resah menyaksikan tren pembangunan yang bergulir di Seochon, tapi mereka tidak melakukan apa pun untuk mencegahnya. Bekas rumah Yi Sang, seorang patriot dan penyair terkenal yang mangkat pada 1937, dibiarkan dipugar dalam langgam modern yang kental komponen baja dan semen. Di antara memorabilia warisan Yi yang tersebar di dalam rumah, para staf kini sibuk menjajakan kartu pos dan kopi. Jika model restorasi semacam ini menjadi kiblat di Seochon, wajar memang jika banyak orang merasa cemas akan masa depan desa.
Proyek restorasi yang lebih arif tersaji di Sajikdong Juban, proyek terbaru koki Taeyoon Kim. Restoran ini bersarang di sebuah rumah tua yang hangat dan nyaman. Memasuki interiornya yang dinaungi atap kayu oak, saya berpapasan dengan seorang tamu necis yang duduk di depan botol wine dan sepiring masala jeonpyong, semacam panekuk Korea dengan sentuhan India. Menampung bar yang mengoleksi arak, Sajikdong Juban juga mengisi celah bisnis yang relatif masih lowong di Seochon: kehidupan malam.
Saya menemui Kim dan bertanya apakah Seochon akan bernasib seperti Bukchon: mendadak ramai, lalu perlahan ditinggalkan. “Masih banyak penduduk asli yang meneruskan bisnis keluarga. Kami terus menjaga silaturahmi, juga bersama-sama mendiskusikan arah pembangunan di Seochon,” jawabnya. Kim yakin, Seochon punya masa depan yang lebih cerah, sebab banyak orang di sini memiliki kesadaran akan pentingnya menjaga keseimbangan antara kepentingan bisnis dan preservasi. “Sulit menjaga pendulum itu memang, tapi saya masih menyimpan harapan,” ujarnya.
Rute
Seochon berlokasi di sisi utara Seoul dan bisa dijangkau menaiki kereta dari Seoul Station di pusat kota dengan waktu tempuh sekitar 25 menit. Penerbangan langsung Jakarta-Seoul dilayani oleh tiga maskapai: Garuda Indonesia (garuda-indonesia.com), Korean Air (koreanair.com), dan Asiana Airlines (flyasiana.com).
Navigasi
- 7PM 2F, 137-11, Tongin-dong
- Daeo Bookstore 55 Jahamun-ro 7-gil; 82-2/735-1349
- 9 Coffee Roasters 140-1 Cheongun-dong; 82-2/723-2547
- Slow Bread Ever 104 Ogin-dong; 82-2/734-0850
- Seochon Garage 24 Jahamun-ro 9-gil
- Poco Grande 83-3 Nuha-dong; poco-grande.com
- Park No-soo Art Museum 34 Ogin-dong 1-gil; 82-2/2148-4171
- Daelim Museum 21 Jahamun-ro 4-gil; daelimmuseum.org
- Tongin Market 3 Pirundae-ro 6-gil; tonginmarket.co.kr
- Yi Sang House 154-10 Tongin-dong
- Sajikdong Juban 118 Pireun-dong
Dipublikasikan perdana di majalah DestinAsian Indonesia edisi Juli/Agustus 2017 (“Tuah Teratak”).