Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Operasi Penyelamatan Rumah-Rumah Tua Kyoto

Para geisha yang tengah terburu-buru menuju tempat kerjanya.
Para geisha yang tengah terburu-buru menuju tempat kerjanya.

Oleh Santirta Martendano

Nostalgia menuntut biaya, dan untuk kasus machiya, harga yang mesti dibayar kadang tak tertanggungkan. Untungnya, sejumlah inisiatif kini mulai bermunculan guna menyelamatkan warisan sejarah berusia ratusan tahun itu.

Machiya adalah rumah tradisional yang berakar di Periode Heian (794-1185). Lazim ditempati kaum saudagar dan perajin, rumah-rumah ini umumnya berfungsi ganda sebagai kediaman sekaligus toko atau bengkel kerja.

Ukurannya ramping, interiornya langsing, dan desainnya minimalis. Dulu, rumah semacam itu mendominasi jalan-jalan di banyak kota, termasuk Kyoto, Nara, dan Kanazawa. Tapi zaman telah jauh bergulir dan machiya kepayahan beradaptasi pada perubahan. Selera desain telah bergeser dan tantangan hidup bertambah.

Kiri-kanan: Fasad rumah tua di Kayabuki; Fasad rumah kuno di Kyoto.
Kiri-kanan: Fasad rumah tua di Kayabuki; Fasad rumah kuno di Kyoto.

Interior rumah yang sempit tak bisa mengakomodasi keinginan warga untuk memiliki kulkas, ruang televisi, dapur, dan mesin cuci. Machiya juga gagal menjawab perubahan selera dan evolusi struktur tubuh. Manusia Jepang umumnya kini lebih tinggi dan besar. Mereka juga membutuhkan privasi dan selesa yang sulit didapatkan di rumah berdinding kayu dan kertas tipis.

Machiya ketinggalan zaman, merepotkan, dan boros perawatan. Warisan sejarah ini pun mulai ditinggalkan, juga diabaikan. Merujuk data University of Kyoto, sekitar 80 persen machiya sudah ringsek atau digantikan oleh rumah atau bangunan modern, sementara sisanya berjuang melawan waktu dan godaan dari meroketnya harga tanah. Membongkar machiya dan menyulapnya menjadi apartemen jauh lebih menguntungkan. Tentu saja, dorongan untuk meninggalkan machiya juga memiliki dimensi psikologis: banyak orang menganggapnya sebagai rumah udik bagi kaum papa atau manula.

Polemik yang menjerat machiya sebenarnya bisa kita temukan padanannya di Indonesia, misalnya dalam kasus rumah bolon di Sumatera Utara atau tongkonan di Toraja. Di kedua daerah tersebut, banyak rumah tradisional telah berubah wujud, dimodifikasi, atau dipereteli. Dalam konteks tersebut, inisiatif sejumlah organisasi di Kyoto dalam preservasi machiya menarik untuk dipelajari.

Kiri-kanan: Interior machiya yang sudah direnovasi; Poster-poster tua yang ditemukan di salah satu machiya.
Kiri-kanan: Interior machiya yang sudah direnovasi; Poster-poster tua yang ditemukan di salah satu machiya.

Januari silam, saya berkelana di Kyoto selama seminggu untuk mendokumentasikannya. Kyoto adalah salah satu kota yang selamat dari hujan bom di masa Perang Dunia II. Banyak situs tuanya masih lestari dalam kondisi orisinal dan menjadi aset wisata. Kyoto, bekas ibu kota kekaisaran Jepang, menampung sekitar 1.600 kuil. Pada 1994, belasan monumen di sini dinobatkan sebagai Situs Warisan Dunia oleh UNESCO.

Sayangnya, saat banyak kastel dan kuil elok terawat, machiya relatif luput dari perhatian. Rumah-rumah ini umumnya dimiliki pribadi. Artinya, pemerintah tidak bisa begitu saja mengambil alih dan mengubahnya statusnya menjadi cagar budaya. Peran serta swasta pun menjadi vital untuk menjaganya.

Bersama staf Human Resources and Industry Development Association (HIDA), saya menyambangi beberapa unit machiya yang menjadi saksi masa lalu Kyoto. Machiya galibnya terdiri dari dua lantai. Atapnya berbahan genting dan interiornya dibelah-belah koridor sempit. Desain rumah simpel, tapi tiap bagiannya tampak fungsional. Machiya yang saya datangi umumnya bersemayam di tepi jalan cupet, terimpit rumah-rumah modern, kadang dinaungi pusat perbelanjaan atau gedung perkantoran. Saya juga sempat menginap di salah satu machiya—sebuah pengalaman yang cukup berkesan, walau saya sulit memejamkan mata akibat suhu di kisaran nol hingga lima derajat celsius.

Kiri-kanan: Michi Ogawa, staf Women Association of Kyoto); Kimono yang dijual di Pasar Nishiki, Kyoto.
Kiri-kanan: Michi Ogawa, staf Women Association of Kyoto); Kimono yang dijual di Pasar Nishiki, Kyoto.

Beberapa machiya tengah direnovasi. Biaya renovasi satu unit rumah bisa menembus Rp1 miliar, dan setelahnya sang pemilik mesti mengalokasikan dana cukup besar untuk perawatan. Bagi pemilik yang malas menguras kocek, mereka memilih menghancurkan rumahnya, lalu mengubahnya jadi gedung modern atau lahan parkir.

Sejumlah inisiatif telah diluncurkan guna melestarikan machiya. Beberapa orang memilih membenahi rumahnya, lalu menyewakannya kepada para turis. Di distrik wisata Gion misalnya, tempat kita masih bisa menyaksikan geisha berkeliaran di jalan-jalan tua, machiya menjadi aset wisata yang membawa memori turis ke Kyoto sebelum periode industrialisasi.

Inisiatif sejenis diluncurkan oleh Geoffrey Moussas, arsitek Amerika yang merenovasi lebih dari 30 machiya di mana sebagian disewakan sebagai guesthouse. Sejumlah media menulis, bank menyediakan insentif finansial bagi warga yang hendak memermak rumah tua. Perhatian internasional juga mulai tampak, salah satunya datang dari World Monuments Fund, organisasi nirlaba yang berniat merawat warisan sejarah dan memiliki proyek di 90 negara.

Sejumlah remaja bermain voli di Kayabuki, desa berisi rumah-rumah ada di kawasan Miyama.
Sejumlah remaja bermain voli di Kayabuki, desa berisi rumah-rumah ada di kawasan Miyama.

Sejak 2010, lembaga ini telah merenovasi sejumlah machiya di Kyoto, di mana salah satunya disulap menjadi museum. Upaya-upaya itu kini seperti berpacu melawan waktu. Dengan tubuh yang renta dimakan usia, machiya tak bisa menanti uluran tangan terlalu lama. Kesuksesan Kyoto merawat aset-aset sejarah ini juga sangat penting dalam kacamata pariwisata. Berbeda dari Tokyo, Kyoto lebih mempromosikan budaya untuk memikat wisatawan, dan machiya merupakan elemen integral dalam peradaban dan perjalanan kota ini.

Dipublikasikan perdana di majalah DestinAsian Indonesia edisi September/Oktober 2016 (“Merawat Machiya”)

Show CommentsClose Comments

Leave a comment

0.0/5