by Yohanes Sandy 17 June, 2016
Balada Kota Jakarta
Rian Afriadi lahir di Tasikmalaya, menetap di kawasan satelit Jakarta, berpindah-pindah dari Tangerang, Bekasi, lalu ke Depok. Dia bagian dari megapolitan bernama Jabodetabek, akronim dari tempat-tempat yang dalam banyak kasus saling memuji dan mencibir, kadang dalam waktu yang bersamaan.
Bagi seorang street photographer yang memotret Jakarta, kompleksitas itu sebenarnya sebuah keuntungan. “Dengan menetap di luar Jakarta, saya bisa bertindak sebagai pengamat, bisa berjarak, bisa melihat hal-hal yang mungkin terasa normal bagi orang Jakarta, tapi sebenarnya menarik diabadikan,” ujar pria berusia 30 tahun ini.
Foto-fotonya di majalah ini dibuat sejak 2011 hingga 2016. Beberapa pernah dipamerkan di Singapura dan dimuat dalam bukunya, The New Sun. Rian memotret memakai Fujifilm X-E1, kamera mirrorless yang, menurutnya, “praktis dan tidak berisik.” Sebuah perangkat yang mumpuni bagi fotografer yang gemar membidik momen candid tanpa membuat subjeknya “sadar kamera.”
Apa yang menarik dari Jakarta bagi seorang street photographer? “Kota ini tidak logis,” jawab Rian, yang kini bekerja sebagai pegawai Kantor Pajak. Jakarta, katanya lagi, dipenuhi kekacauan, karena itulah selalu menyimpan sudut-sudut yang penuh cerita. Dia memberi contohnya: “Di jalan-jalan utama yang seharusnya aman, kita ternyata bertemu preman. Sebaliknya, di daerah yang rawan kejahatan, kita justru bisa menemukan pengalaman yang menyenangkan.”
Kacau memang kata yang akrab dengan Jakarta. Sebuah indeks yang disusun oleh Castrol menempatkan Jakarta sebagai kota dengan kemacetan terparah sejagat, tapi kendaraan bermotor di sini justru bertambah lebih dari 5.000 unit per harinya. Dua tahun lalu saja, jumlah kendaraan telah mencapai 17 juta unit, jauh melampaui populasi kota yang “hanya” 10 juta jiwa.
Tapi kekacauan tak membuat Jakarta kehilangan magnetnya. Kota yang dirintis hampir setengah milenium silam ini bak sebatang neon yang ajek memikat serangga. Survei kualitas hidup yang disusun oleh lembaga Mercer meletakkan Jakarta di peringkat 142, satu tingkat di atas Gaborone, Botswana. Namun, sehabis Lebaran kita senantiasa disuguhi berita tentang ribuan sanak-saudara dari desa yang merangsek Ibu Kota dengan alasan “mencari kehidupan yang lebih baik.”
Tentu saja, Jakarta tak melulu suram. Kota ini memiliki 170 mal, jalan-jalan lapang, dua bandara, pencakar langit tertinggi di Indonesia, dan kelak, sistem transportasi metro pertama di negeri ini. Jakarta adalah tempat gerutu dan tawa tergores pada wajah yang sama. Kota ini menawarkan malam-malam yang gemuruh, mempunyai gubernur yang tersohor akan ketegasannya, juga menjanjikan karier yang cemerlang. “Bulan telah pingsan di atas kota Jakarta, tapi tak seorang menatapnya!” tulis Rendra tentang sibuknya kota ini mengejar mimpi.
“Jakarta kadang bagikan sebuah dark humor,” simpul Rian. Salah satu fotonya menjelaskan maksudnya: seorang bapak yang menetap di area kumuh di kolong jembatan, tapi bertubuh tambun layaknya orang yang hobi menyantap hamburger. “Padahal saya membayangkan orang di tempat semacam itu bertubuh kurus karena miskin.”
Street photography kerap menyoroti ironi, alienasi, kontradiksi, kadang anarki dan segala lelucon yang menyertainya—seluruh hal-ihwal yang menjadi bagian lumrah dari kehidupan urban. Semua itu tak sulit ditemukan di Jakarta, spesimen sempurna dari kota Dunia Ketiga. Itu juga mungkin sebabnya Rian tak butuh perencanaan ketat saat memotret.
Alih-alih, fotografer yang pernah mengikuti pelatihan di Pannafoto ini hanya perlu bergerak instingtif: berjalan, berhenti sejenak di satu titik, lalu berjalan kembali. Galibnya street photographer, dia menyukai foto hitamputih. “Kehadiran banyak warna kerap mengganggu komposisi,” jelas pria yang mengidolakan fotografer Lee Friedlander ini.
“Yang juga unik dari Jakarta adalah masih berlakunya norma,” sambung Rian. Menurutnya, banyak orang di kota ini tampil liberal, tapi di saat yang sama terkungkung norma. “Ada tarik ulur antara kebebasan dan aturan. Orang-orang lebih berani berekspresi, tapi kemudian menyadari adanya norma agama atau norma orang Timur.” Kesimpulan ini, barangkali, memang lebih mudah ditarik oleh orang yang melihat dari satelit.
Dipublikasikan perdana di majalah DestinAsian Indonesia edisi Mei/Juni 2016 (“Balada Kota”)
Kiri-kanan: Graffiti ucapan Lebaran bergambar Yesus di Jalan Pramuka; seorang ibu berjalan melewati tembok bergambar mural di dekat Glodok.