by Cristian Rahadiansyah 16 April, 2019
9 Pusat Kebudayaan Ikonis
Pada hakikatnya, kebudayaan mustahil dipusatkan. Pusat kebudayaan sepertinya—tak ada data valid siapa yang memulainya—sebuah inovasi urban yang lahir dari tuntutan zaman modern. Kota-kota tak punya banyak waktu luang untuk menangkap kebudayaan yang terus bergerak, karena itu mesti ada lembaga di mana budaya diramu dan dikemas di bawah satu atap. Dulu, “pusat” itu dikuasai kerajaan. Selepas era monarki, perannya berpindah ke banyak tangan. Dalam konteks hubungan internasional misalnya, pusat kebudayaan difungsikan layaknya alat diplomasi: membentuk jembatan kultural dengan para mitra asing. Goethe-Institut dan Erasmus Huis adalah contohnya. Tapi ada pula pusat kebudayaan yang murni inisiatif partikelir. Fondazione Prada menyalurkan minat seni Miuccia Prada, sementara Stavros Niarchos Foundation Cultural Center mewakili kontribusi sosial sang miliuner Yunani. Bagi banyak kota, pusat kebudayaan juga kian vital sebagai asset wisata. Memilikinya jadi syarat untuk menyandang reputasi “kota yang berbudaya.” Setidaknya di Eropa, pusat kebudayaan turut diperhitungkan dalam seleksi gelar European Capital of Culture.
Dipublikasikan perdana di majalah DestinAsian Indonesia edisi April/Juni 2019 (“Good to Go: Arsitektural Kultural”).