Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

48 Jam di Melaka

Becak hias mangkal menanti penumpang di pelataran Stadthuys. (Foto: Nana Safiana)

Oleh Karina Anandya

Awalnya pusat kesultanan terkuat di Semenanjung Malaya, lalu bandar kolonial, kemudian destinasi wisata sejarah, Melaka adalah salah satu jendela untuk menyelami riwayat Negeri Jiran. Itu pula sebabnya, pada 2008 kota ini dilantik sebagai Situs Warisan Dunia UNESCO. Tapi Melaka sebenarnya tak hanya menawarkan nostalgia. Di antara mausoleum dan kuil renta, kita bisa menemukan tempat-tempat kontemporer yang menawarkan kenikmatan masa kini.

Kiri-Kanan: Pengunjung mengarungi kawasan Dutch Square; Christ Church, gereja buatan 1753 di Dutch square. (Foto: Nana Safiana)

SABTU
09:00 Dutch Square
Ibarat Piazza San Marco versi Melaka, Dutch Square (Bandar Hilir) menyandang status ikon kota. Bagi banyak turis, belum afdal melawat Melaka tanpa melihatnya. Alun-alun warisan abad ke-17 ini ditaburi gedung berarsitektur Eropa yang dicat merah terakota, karena itu kerap dijuluki Red Square. Struktur penting di sini antara lain Queen Victoria’s Fountain, Christ Church, menara jam Tan Beng Swee, serta balai kota Stadthuys yang dihuni History & Ethnography Museum. Satu-satunya elemen yang mengganggu kecantikan alun-alun ini ialah becak-becak hias yang memutar musik bersuara santer, walau mereka biasanya berguna untuk mengantar turis yang malas berjalan kaki.

Gerbang Porta de Santiago, bagian yang tersisa dari benteng Portugis A Famosa. (Foto: Nana Safiana)

11:00 A Famosa
Dikerek pada abad ke-16 atas titah komandan Portugis Afonso de Albuquerque usai menaklukkan Kesultanan Melaka, A Famosa (Jl. Parameswara, Bandar Hilir) menyimpan kisah babak-babak awal perburuan rempah oleh bangsa Eropa di Asia Tenggara. Sempat diambil alih Belanda dan Inggris, benteng ini telah mengalami banyak modifikasi, lalu secara bertahap remuk dimakan waktu selepas era penjajahan. Awalnya berperan sebagai penjaga Melaka sebagai bandar rempah, A Famosa kini hanya menyisakan sebuah gerbang kecil yang dinamai Porta de Santiago.

Kiri-Kanan: Interior Nyonya 63, restoran yang menghidangkan masakan peranakan; Chee Keong, koki restoran Nyonya 63. (Foto: Nana Safiana)

13:00 Nyonya 63
Masakan peranakan, kuliner ikonis Melaka, bisa dicicipi di banyak tempat, dan salah satu restoran terbaru di segmen ini ialah Nyonya 63 (Jl. Tun Tan Cheng Lock 63). Dikepalai koki Chee Keong, restoran yang beroperasi sejak 2019 ini menawarkan resep autentik peranakan seperti masak lemak udang nenas, dan sambal sotong. Menutup sesi santap, andalannya ialah es cendol Melaka.

Geographer Cafe, tempat kongko di kawasan Jonker Street. (Foto: Nana Safiana)

16:00 Geographer Cafe
Jonker Street adalah salah satu episentrum kehidupan di Melaka, dan cara populer untuk menyerap atmosfernya ialah kongko di kafe lokal seperti Geographer Cafe (Jl. Hang Jebat 83). Berlokasi strategis, persis di simpang Jalan Hang Jebat dan Hang Lekir, tempat ini senantiasa ramai di akhir pekan. Selain kuliner, daya tariknya ialah bangunannya. Bersarang di ruko renta, Geographer Café menyimpan benda-benda peninggalan era kolonial di interiornya. 

Menikmati atmosfer kota lewat atraksi susur sungai di Sungai Melaka. (Foto: Fadlurrahman Maksom/Tourism Malaysia)

18:00 Melaka River Cruise
Di masa penjajahan, Sungai Melaka berperan penting dalam distribusi barang. Kini, sungai ini menjadi jalur favorit turis untuk menikmati atmosfer kota dari atas perahu. Dipandu operator Melaka River Cruise (Jl. Persisiran Bunga Raya), penumpang menyusuri sungai selama 45 menit untuk menyaksikan sejumlah bangunan tua kolonial, rumah tradisional Melayu, jembatan historis, seraya menyimak kisah dramatis perebutan Melaka oleh banyak imperium perkasa di masa silam. Walau airnya tak bening, sungai ini steril dari aroma busuk. Waktu paling romantis untuk tur susur sungai ini ialah menjelang magrib.

Kiri-Kanan: Relief naga pada dinding Cheng Hoon Teng, kuil Buddha tertua di Malaysia; Atap sarat ornamen di Kuil Cheng Hoon Teng. (Foto: Nana Safiana)

MINGGU
09:00 Cheng Hoon Teng Temple
Kuil Buddha terbesar di Malaysia berlokasi di Penang, sementara kuil tertuanya bertengger di Melaka. Cheng Hoon Teng (Jl. Tokong 25) dibangun pada abad ke-17. Setelah beberapa kali direnovasi dan dipugar, kompleks megah ini sekarang menampung beberapa ruang doa, termasuk aula utama yang dihuni patung Dewi Kuan Yin. Momen ideal untuk berziarah ialah Imlek, ketika kompleks ini diramaikan oleh musik dan tarian barongsai. Usai menyelami interior kuil yang penuh ornamen dan ukiran, Anda bisa meneruskan perjalanan ke dua situs religi tetangga yang tak kalah memikat: Masjid Kampung Keling dan Kuil Sri Poyyatha Vinayaga Moorthi.

Sesi mendesain kemasan mi gelas di Mamee Jonker House, objek wisata milik perusahaan pembuat Mamee Monster dan Mister Potato. (Foto: Nana Safiana)

11:00 Mamee Jonker House
Mamee-Double Decker, produsen camilan populer Mamee Monster dan Mister Potato, dirintis di Melaka dan masih mempertahankan kantor pusatnya di kota ini. Ikatan sejarah itulah yang mendorongnya mendirikan Mamee Jonker House (Jl. Hang Jebat 46). Selain berbelanja produk-produk Mamee, tamu bisa mengikuti kelas membuat mi dan mendesain kemasan mi gelas di Lil Monster Kitchen, kemudian menikmati makan siang chicken Hainan rice di Mamee Cafe.

Fasad Baba & Nyonya Heritage Museum, bangunan warisan Baba Chan Cheng Siew. (Foto: Fadlurrahman Maksom/Tourism Malaysia)

13:00 Baba & Nyonya Heritage Museum
Dihuni banyak rumah mewah bersejarah, Jalan Tun Tan Cheng Lock kerap dijuluki “jalur miliuner,” dan salah satu rumah di sini telah difungsikan sebagai museum yang   terbuka untuk umum. Baba & Nyonya Heritage Museum (Jl. Tun Tan Cheng Lock 48-50) memajang aneka foto lawas dan barang antik peranakan dalam rumah tua warisan Baba Chan Cheng Siew. Bangunan berlantai dua ini berdesain eklektik. Panel kayu, terali, hingga keramiknya bermotif khas Tiongkok, tapi beberapa bagian lainnya mengadopsi gaya arsitektur Melayu dan Eropa. Sejak dibuka pada 1985, museum ini pernah dikunjungi turis dan tamu agung, termasuk Hu Jintao dan Tony Tan.

Kiri-Kanan: Proses pembuatan ice latte pandan sago di Locahouz; Barista Locahouz, kafe milik dua bersaudara Wei Ling dan Wei Fung. (Foto: Nana Safiana)

16:00 Locahouz
Walau menempati bangunan tua dan memancarkan gaya lawas, Locahouz (Jl. Bukit Cina 8) justru rutin dikunjungi kaum milenial berkat desainnya yang fotogenik. Kafe ini didirikan oleh dua bersaudara Wei Ling dan Wei Fung. Kontras dari penampilannya yang berorientasi masa silam, Locahouz menjajakan beragam kreasi kontemporer, mulai dari iced wild berry latte hingga iced honey lavender latte. Lokasi swafoto favorit tamu ialah empat bangku yang berada persis di bawah tangga spiral.

Turis melewati pedagang camilan di Jonker Street Night Market, sentra kuliner yang meriah tiap akhir pekan. (Foto: Nana Safiana)

19:00 Jonker Street Night Market
Melaka mengoleksi banyak kedai, tapi jika Anda mendambakan suasana santap ala festival, kunjungi Jonker Night Market (Jl. Hang Jebat) yang bergulir pada Jumat, Sabtu, dan Minggu malam. Selain aneka hiburan, pasar malam ini menjajakan beragam kuliner lokal, termasuk sago gula Melaka, ais kacang, chicken rice ball, serta watermelon handbag. Andai perut sudah kelewat penuh, beli aneka bumbu masak untuk meneruskan petualangan kuliner di rumah.

Show CommentsClose Comments

Leave a comment

0.0/5