by Karina Anandya 25 September, 2018
48 Jam di Manado
Oleh Themmy Doaly
Foto oleh Adwit B. Pramono
SABTU
07:00 Sentra Kuliner Wakeke
Manado dijuluki Kota Tinutuan, dan Nyonya Ngantung Rompis turut bertanggung jawab atas lahirnya julukan itu. Pada 1981, ibu rumah tangga ini membuka warung makan tinutuan (bubur Manado) di Jalan Wakeke (Wenang Utara, Wenang). Tingginya minat konsumen menggoda warga sekitar untuk mengikuti jejaknya, hingga perlahan-lahan permukiman di Wakeke pun berubah jadi semacam pujasera khusus bubur Manado. Pada 2004, Pemkot Manado menetapkan jalan ini sebagai objek wisata kuliner. Bubur Manado dibuat dari labu kuning, beras, singkong, bayam, kangkung, dan daun gedi. Harganya antara Rp13.000-20.000 per porsi. Rasanya kian lezat dengan taburan sambal roa.
10:00 Pasar 45
Ada banyak versi tentang hikayat Manado. Tapi sejumlah sejarawan sepakat kota ini dirintis di daerah yang sekarang bernama Pasar 45 (Wenang Utara, Wenang). Di sinilah pada abad ke-16 terjalin interaksi intensif pertama antara warga lokal, pelaut Spanyol, dan pedagang Tiongkok. Walau zaman sudah jauh bergulir dan pembangunan Manado bergerak cepat, Pasar 45 masih setia menjalankan perannya sebagai sentra perdagangan. Di sini terdapat pasar swalayan, bank, hotel, serta beragam toko dan lapak kaki lima. Beberapa situs sejarah di kawasan ini dan sekitarnya juga masih lestari, sebut saja Gedung Minahasa Raad (Jl. Sam Ratulangi) dan Gereja Sentrum (Jl. Sarapung) yang bertitimangsa 1677.
12:00 Jalan Roda
Sebelum Perang Dunia I, manusia dari beragam suku sudah berdatangan ke Jalan Roda. Mereka memarkir kereta kuda atau sapi (“roda” dalam istilah lokal) pengangkut barang, kemudian melepas lelah, bercengkerama, dan menyesap kopi. Kini, kuda dan sapi sudah digeser mesin, tapi fungsi Jalan Roda (Wenang Utara, Wenang) sebagai ruang sosial tidak banyak berubah. Tempat ini bahkan telah merekah jadi sentra wisata kuliner. Usai melewati gapuranya, pengunjung akan menemukan lorong yang dipenuhi warung, di mana orang-orang dari beragam latar berkumpul dan berbicara soal apa saja: politik, hukum, ekonomi, budaya, juga makanan yang mereka santap.
14:00 Tahura Gunung Tumpa
Secara administratif, Taman Hutan Raya Gunung Tumpa terbelah di antara wilayah Manado dan Minahasa Utara. Kawasan rindang yang berjarak sekitar sejam dari pusat kota Manado ini lazim disatroni penggemar fotografi, paralayang, serta kamping. Dari puncaknya yang menjulang 637 meter terlihat gugusan pulau di Taman Nasional Bunaken, termasuk Pulau Manado Tua, Mantehage, dan Siladen. Jika punya waktu cukup longgar, susuri hutan untuk menyaksikan satwa endemis, sembari menanti matahari terbenam di balik Laut Sulawesi.
19:00 Sanggar Seni Kitawaya
Walau peradaban kota kian menjauhi kesenian lokal, Sanggar Seni Kitawaya (0812-4459-557) terus bertahan dan berkiprah. Kelompok yang dibentuk pada 1987 ini konsisten melakukan pelatihan, regenerasi, serta berpartisipasi dalam banyak ajang seni, mulai dari level lokal hingga internasional. Di markasnya, yang berada satu kompleks dengan Taman Budaya Sulawesi Utara (Jl. Maengket 31, Wanea), kelompok beranggotakan sekitar 20 orang ini mengajarkan tarian tradisional dengan sentuhan baru. Pengunjung juga bisa berkenalan dengan beberapa alat musik tradisional dan berdiskusi tentang makna di balik seni atau budaya setempat.
MINGGU
07:00 Pelabuhan Manado
Di gapuranya tertulis “Haven van Manado 1817,” artinya Pelabuhan Manado 1817. Dulu, di masa penjajahan Belanda, bandar ini memainkan peran penting dalam lalu lintas barang, pedagang, juga serdadu. Beberapa saksi dari masa lalu itu masih tersisa, contohnya bangunan kolonial bekas pabrik es dan gudang kopra yang telah dialihfungsikan menjadi kantor. Kini, Pelabuhan Manado (Wenang Utara, Wenang) berperan sebagai gerbang laut untuk menjangkau beberapa kabupaten kepulauan di Sulawesi Utara dan Maluku Utara.
09:00 Monumen Yesus Memberkati
Perjalanan menjangkaunya rentan menguras energi hasil sarapan: berkendara sekitar 30 menit dari pusat kota, lalu meniti rute Jalan Salib yang terdiri dari 14 titik pemberhentian, selanjutnya mendaki 200 anak tangga dengan jarak tempuh 38 meter. Akan tetapi, setibanya di tujuan, semua pengorbanan fisik tadi mungkin terbayar lunas. Dengan tinggi 30 meter dan sudut kemiringan 35 derajat, Monumen Yesus Memberkati (Perumahan Citraland, Winangung Satu) terkesan melayang sembari memberkati kota. Dari sini, pengunjung juga bisa menikmati embusan angin dan pemandangan aerial kota Manado.
14:00 Pecinan
Diresmikan pemerintah Hindia Belanda pada 1819, Kelenteng Ban Hin Kiong (Jl. D.I. Panjaitan, Calaca) merupakan kelenteng tertua di Sulawesi Utara. Setelah hampir dua abad, bangunan cagar budaya ini terus berdiri sebagai ikon Pecinan, kawasan yang awalnya terbentuk akibat kebijakan penguasa membagi permukiman di Manado berdasarkan garis ras. Seperti terlihat di banyak kota lain, Pecinan merupakan pusat perdagangan yang ditaburi ruko dan kedai. Momen ideal untuk menyaksikan kemeriahan kawasan ini tentu saja saat perayaan Imlek dan Capgome.
16:00 Pantai Malalayang
Bicara wisata selam di Manado, banyak orang merujuk Taman Nasional Bunaken. Akan tetapi, jika tak punya banyak waktu, perairan Malalayang menawarkan alternatif yang tetap bisa memanjakan mata penyelam, tanpa harus menaiki perahu. Alam bawah lautnya memancarkan pesona tersendiri. Bonus lainnya, pengunjung bisa mencicipi aneka kuliner di sekitar pantai. Kawasan Malalayang juga acap dijadikan lokasi acara. Grup musik Slank, misalnya, pernah singgah di sini untuk mengampanyekan Save Our Littoral Life. Agustus silam, keluarga besar Fakultas Perikanan & Ilmu Kelautan Universitas Sam Ratulangi menggelar upacara bendera di bawah laut.
19:00 Ikan Bakar Sindulang
Di Manado, kota pesisir yang tersohor akan tradisi dapurnya, seafood adalah santapan jamak yang mudah ditemukan. Jika mencari variasi yang melimpah, salah satu tempat yang patut dipertimbangkan ialah kompleks rumah makan ikan bakar di Kelurahan Sindulang, bagian utara kota Manado, yang juga dikenal sebagai Boulevard II. Harga ikan bakar di sini cukup variatif, antara Rp25.000-40.000 per paket, sudah mencakup sambal dabu-dabu khas Minahasa yang dibuat dari minyak kelapa, tomat, jeruk nipis, dan lombok. Tentu saja, Anda perlu menakar kemampuan lidah dalam melawan rasa pedas. Selezat apa pun, dabu-dabu rawan membakar lidah.