by Karina Anandya 26 April, 2018
48 Jam di Makassar
Oleh Ancha Hardiansya
Foto oleh Adwit B. Pramono
SABTU
07:00 Pelabuhan Paotere
Pelabuhan merupakan pilar perekonomian Makassar, kota bandar yang memegang peran vital dalam lalu lintas barang di kawasan Indonesia Timur. Untuk melacak sejarah itu, kunjungi Pelabuhan Paotere di sisi utara kota. Di usia yang telah menembus 700 tahun, pelabuhan rakyat ini masih setia menjalankan fungsinya sebagai sentra perdagangan dan transportasi antarpulau. Suguhan fotogenik tempat ini ialah barisan kapal pinisi, bahtera legendaris yang bercerita banyak soal kepiawaian pelaut Sulawesi, sekaligus menjelaskan mengapa nenek moyang kita “seorang pelaut.”
10:00 Pasar Butung
Pasar grosir raksasa ini ibarat teater yang memperlihatkan keuletan orang Bugis dalam berdagang, termasuk seni tawar-menawar dan kebiasaan mereka berbelanja dalam partai besar. Pasar Butung bersemayam di kawasan segitiga emas Makassar. Di seberangnya terhampar Pelabuhan Soekarno-Hatta. Di sebelah kirinya ada pecinan, sementara sisi kanannya dihuni bekas perkantoran Belanda. Walau pernah direnovasi usai kebakaran, pasar ini masih menawarkan jendela untuk mengintip masa lalu kota, salah satunya berupa stasiun kereta api pertama di Makassar yang terletak di lantai dasar.
13:00 Rumah Makan Ranggong
Restoran yang berjarak 10 menit dari Pantai Losari ini menyuguhkan coto, hidangan khas lokal yang lazim dinikmati bersama ketupat atau buras hangat, ditambah perasan air jeruk. Harganya Rp35.000 per porsi, sedikit di atas pasaran, tapi tiap mangkuknya hadir dengan bonus kisah sejarah yang menarik. Meski sudah berpindah tangan ke keluarga Pieter Tansil pada 1962, Rumah Makan Ranggong Coto Makassar (Jl. Ranggong 13) masih melestarikan resep legendaris bertarikh 1940 warisan sang pendiri, Daeng Sangkala.
14:30 Monumen Korban 40 Ribu Jiwa
Pembantaian yang ditukangi Raymond Westerling pada 1946-1947 merupakan salah satu episode paling kelam dalam sejarah penjajahan di Sulawesi Selatan, dan Monumen Korban 40.000 Jiwa (Jl. Korban 40.000 Jiwa) didirikan demi memastikan sejarah pahit itu tak menguap ditelan zaman. Kompleks ini menyimpan relief, patung berkaki satu, taman yang cukup luas, serta sebuah pendopo. Angka 40.000 sebenarnya kesimpulan yang bisa diperdebatkan, karena tidak ada catatan resmi tentang jumlah persis korban keganasan Westerling.
18:00 Kampung Buku
Inisiatif dari lembaga nirlaba Tanahindie, Kampung Buku (Jl. Abdullah Daeng Sirua No.192 E; tanahindie.org) dirancang sebagai ruang baca bagi publik yang ingin menggali referensi seputar Makassar, Sulawesi Selatan, serta Indonesia Timur. Selain mengoleksi ribuan buku dan arsip yang sebagian langka, perpustakaan swadaya ini menyajikan sesi diskusi, kelas penulisan, serta ruang kerja komunal. Sembari menyelami tumpukan buku, kita bisa meracik kopi secara mandiri sebagai teman membaca.
MINGGU
07:00 Warung Kopi Phoenam
Membuka pagi di kedai kopi adalah hobi nasional di Makassar, dan Warung Kopi Phoenam (Jl. Jampea 5E) merupakan salah satu tempat terlaris di sini. Warkop yang merangkul semua kalangan ini beroperasi sejak 1946. Menu andalannya ialah kopi susu dengan biji house blend Toraja dan Sumatera, ditambah hidangan seperti roti bakar dengan selai kaya dan telur ayam kampung setengah matang. Beberapa langkah dari sini terdapat sejumlah bangunan peninggalan Eropa. Berjalan ke arah selatan menuju Jalan Ahmad Yani, ada Gedung Kesenian Societeit de Harmonie buatan abad ke-19. Ke arah timur, ada gedung Makassaarsche Apotheek yang kini dihuni Kimia Farma.
09:00 Kampung Lakkang
Kampung ini laksana anomali di tengah kota yang sibuk. Rumah-rumah panggung, anak-anak yang leluasa bermain, dan gotong royong warganya merupakan pemandangan langka di Makassar yang giat mengejar masa depan. Tempat yang bertajuk Pulau Wisata ini juga menyimpan jejak perang berupa enam bungker Jepang yang telah porak-poranda—bukti akan peran strategis Lakkang dalam invasi ke Makassar. Kampung ini bersemayam di lahan hasil sedimentasi muara Sungai Tallo dan Pampang. Menjangkaunya cukup mudah dan murah: naik sampan selama 10 menit bertarif Rp6.000 dari Dermaga Kera-kera di belakang Universitas Hasanuddin.
12:00 Rumata’ Artspace
Riri Riza, produser dan sutradara yang rutin mencetak film laris, merupakan salah seorang putra kebanggaan Makassar. Sebagai sumbangsih bagi kampung halamannya, dia mendirikan Rumata’ Artspace (Jalan Bontonompo 12A; rumata.or.id), satu dari segelintir ruang seni yang bisa ditemukan di Makassar. Isinya antara lain ruang kreasi dan diskusi, serta galeri berisi puluhan foto dan lukisan seniman lokal. Tempat yang dibuka pada 2011 ini rutin didatangi anak-anak muda Makassar yang penuh ambisi dalam berkesenian.
14:00 Benteng Rotterdam
Sejarahnya bermula pada abad ke-9 dengan nama Benteng Jungpandang. Arsitekturnya sarat filosofi. Dipotret dari atas, bentuknya menyerupai penyu, satwa yang melambangkan ambisi Kerajaan Gowa untuk berjaya di laut dan darat. Benteng Rotterdam (Jl. Ujung Pandang, Bulo Gading) rutin dijadikan lokasi hajatan, contohnya Makassar Writers Festival dan pentas I La Galigo. Jika datang saat tak ada acara, kita bisa mengunjungi Museum La Galigo dan studio maestro pelukis tanah liat Zaenal Beta. Menyaksikan Zaenal memainkan jemarinya di atas kanvas akan membuat kita tertegun.
16:00 Lapangan Karebosi
Ruang publik seluas 11,29 hektare ini merupakan pijakan ideal untuk melihat beragam objek wisata di pusat kota. Di tengah-tengah Karebosi bersemayam tujuh makam keramat yang rutin diziarahi warga. Persis di sebelah utaranya ada Karebosi Link, sentra belanja bawah tanah yang terintegrasi dengan Makassar Town Square. Untuk menonton sesi latihan klub sepak bola PSM Makassar (psmmakassar.co.id), kunjungi sisi selatan lapangan. Berpindah ke persimpangan Jl. RA Kartini dan Jl. Sudirman, ada Gedung Raad van Justitia yang dihuni Pengadilan Negeri. Berbelok ke barat, ada Gereja Katedral. Lebih jauh ke arah selatan berdiri kokoh Monumen Pembebasan Irian Barat yang kerap dijuluki Monas versi Makassar. Jika lelah usai mengelilingi kawasan ini, obat lokal yang paling mujarab ialah es poteng (tape ubi).