by Arif Furqan 20 January, 2020
48 Jam di Chiang Rai
Teks & Foto oleh Arif Furqan
SABTU
08:00 Wat Rong Khun
Kendati parasnya terkesan sepuh, Wat Rong Khun (Pa O Don Chai) sebenarnya baru dibangun pada 1997. Perancangnya, Chalermchai Kositpipat, adalah seorang seniman yang dikenal gemar menggali inspirasi dari tradisi Buddha—sebuah tanda bahwa spiritualitas tak cuma bisa dihidupkan oleh pemuka agama, tapi juga seniman. Kompleks yang dijuluki White Temple ini terdiri dari sembilan struktur, termasuk kuil, galeri, dan zona meditasi. Ibarat Shirathal Mustaqim, kuilnya mengilustrasikan trip ke nirwana dengan menyeberangi jembatan yang dihantui ratusan tangan dari neraka.
11:00 Por Jai
Kedai sederhana Por Jai (1023/3 Jetyod Road) menyajikan salah satu menu terpopuler di utara Thailand: khao soi, mi dengan kuah santan dan kari gurih, plus kombinasi daging ayam, ikan, udang, atau babi. Khao soi memiliki kemiripan dengan khao swe dari Myanmar dan Laos. Konon, masakan ini diperkenalkan oleh imigran asal Yunnan, Tiongkok, yang berkelana melewati jalur Laos dan Myanmar, hingga akhirnya tersebar di kawasan Segitiga Emas. Por Jai bersemayam di pusat kota, tak jauh dari Golden Clock Tower, semacam Jam Gadang versi Chiang Rai.
13:00 Art Bridge
Bagaikan Gudskul versi Chiang Rai, Art Bridge (Pha-honyothin Road) bertekad menjadi jembatan antara seni dan warga. Kompleks yang diinisiasi dan digerakkan oleh ratusan seniman ini rutin menggelar beragam kegiatan seni dan edukasi, termasuk pertunjukan, dialog antara seniman dan warga, hingga program khusus anak-anak. Beberapa hasil lokakaryanya dipasarkan di toko suvenirnya.
15:00 Baandam Museum
Antitesis dari White Temple, Baandam Museum (thawan-duchanee.com) memetik inspirasinya dari neraka. Kompleks yang dijuluki Black House ini berisi 40 bangunan yang berfungsi antara lain sebagai studio, residensi, serta galeri yang memajang karya buatan mendiang Thawan Duchanee, figur kontroversial yang kerap menggambarkan representasi non-konvensional Buddhisme. (Almarhum adalah mentor dari Chalermchai Kositpipat yang mendesain White Temple.) Tulang belulang, kulit binatang, dan ornamen mistis terpajang di setiap bangunannya yang mengadopsi arsitektur Lanna.
17:00 Chivit Thamma Da
Dalam desain nyaman bergaya rumahan, kafe merangkap bistro ini menyajikan aneka menu lokal, Eropa, dan Asia. Tepat di depannya, perahu-perahu kecil membelah Sungai Kok yang mengalir hingga tepian Chiang Mai. Tapi Chivit Thamma Da (chivitthammada.com) sebenarnya bukan sekadar tempat makan dan bersantai. Restoran elegan ini juga membuka kesempatan bagi tamu untuk memahami hasil bumi Provinsi Chiang Rai, sebuah kawasan subur yang tersohor sebagai produsen sayuran di Thailand. Dapurnya memakai bahan-bahan segar yang dipasok oleh petani setempat.
21:00 Walking Street Night Market
Jika ingin menghabiskan malam minggu dengan cara lokal, kunjungi Walking Street (Thanalai Road), semacam mal temporer yang digelar di jalan sepanjang dua kilometer di jantung kota. Selain menjual aneka penganan, suvenir, dan barang elektronik, pasar ini menyuguhkan beragam hiburan hingga jasa perawatan kecantikan. Selagi berbelanja, perhatikan paras penjualnya yang sebagian bersuku Akha, salah satu komunitas etnik di dataran tinggi Thailand. Berjalan sekitar 100 meter dari ujung barat pasar, Golden Clock Tower menyajikan atraksi cahaya dan denting merdu setiap pukul tujuh, delapan, dan sembilan malam.
MINGGU
07:00 Doi Tung Royal Villa & Garden
Dulu, Doi Tung (doitung.org) adalah medan liar yang kerap menjadi ladang perdagangan senjata dan opium. Pada 1960-an, keluarga kerajaan Thailand secara bertahap menyulap tempat kelam ini menjadi kompleks budi daya yang merangkap taman rekreasi. Mereka menanam beragam bunga dari beragam negara, mendirikan vila romantis di tengah hamparan kebun bunga, kemudian menciptakan sebuah destinasi liburan bagi keluarga. Fasilitas tempat ini meliputi Doi Tung Top Tree Walk, Hall of Inspiration, serta kebun elok Mae Fah Luang Garden. Menjulang di perbatasan dengan Myanmar, taman rekreasi ini juga menyajikan sudut fotogenik untuk menikmati vista dari ketinggian.
10:00 Choui Fong Tea Plantation
Riwayat perkembangan teh di Thailand tak bisa dilepaskan dari dua hal: proyek kerajaan dan komunitas Cina. Demi melepaskan wilayah utara dari cengkeraman bisnis opium, pihak kerajaan berupaya menciptakan sumber pendapatan alternatif bagi penduduknya. Teh lalu dipilih sebagai solusinya usai mempertimbangkan keberadaan banyak pekerja Cina dan potensi geografis di sekitar perbukitan Doi Mae Salong. Salah satu hasilnya ialah Choui Fong Tea Plantation (chouifongtea.com), perkebunan yang bertengger di ketinggian 1.200 meter dan memproduksi komoditas teh andalan Thailand selama hampir setengah abad. Seiring waktu, kebun teh seluas 160 hektare ini menjelma jadi destinasi agro yang populer di Thailand utara.
13:00 Huen Mai Som Tam
Som tam, kuliner khas Indocina, punya banyak penggemar di Kamboja, Laos, Vietnam, dan beberapa daerah di Myanmar. Kendati begitu, bagi banyak orang Indonesia, selada pepaya bercita rasa pedas ini lebih dikenal sebagai hidangan khas Negeri Gajah Putih. Di Huen Mai Som Tam (Phahonyothin Road), pengalaman menyantap som tam terasa lebih autentik berkat bangunannya yang bergaya rumahan. Selain som tam, restoran kecil di dekat Universitas Mae Fah Luang ini meracik aneka masakan Thailand utara, termasuk khao soi.
15:00 Wat Rong Suea Ten
Dulu, harimau kerap berjalan melewati aliran Sungai Kok. Peristiwa itulah yang menginspirasi nama Wat Rong Suea Ten (306 Maekok Road), yang berarti “rumah tarian harimau,” walau banyak orang lebih mengenalnya sebagai Blue Temple berkat dominasi warna biru pada tubuhnya. Kecuali dalam hal warna, interior kuil ini memiliki dekorasi yang sangat identik dengan White Temple. Seperti White Temple pula, Wat Rong Suea Ten masih berusia muda. Konstruksinya baru dimulai pada 2005, sementara aula utamanya diresmikan tiga tahun silam.