Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

18 Ruang Seni Pilihan 5 Tokoh Seni

Fasad Sangkring Art Space.

Teks & Wawancara Cristian Rahadiansyah

Lima tokoh seni yang memberikan rekomendasi mereka:

Ade Darmawan
Ade Darmawan punya portofolio yang tebal dalam hal kegiatan di organisasi seni. Perupa kelahiran 1974 ini terlibat sebagai anggota Koalisi Seni Indonesia, menjabat Direktur Eksekutif Jakarta Biennale, serta turut mendirikan dan memimpin ruang rupa, organisasi seni yang giat menggelar pameran, festival, bazar, lokakarya, hingga penerbitan buku dan jurnal. Ruang seni yang diasuhnya, Gudang Sarinah Ekosistem, telah menjadi episentrum baru bagi pencinta seni di Jakarta.

FX Harsono
Seniman asal Blitar ini berperan instrumental dalam melahirkan Gerakan Seni Rupa Baru, inisiatif yang memengaruhi skena seni nasional hingga hari ini. Karya-karyanya dikoleksi banyak museum dan galeri terkemuka, di antaranya National Gallery of Victoria dan Fukuoka Asian Art Museum. Atas kontribusinya bagi dunia seni, FX Harsono diganjar penghargaan Prince Claus Award dan Joseph Balestier Award.

Bambang Bujono
Sejak 1968, Bambang Bujono telah menulis setidaknya 419 ulasan, esai, serta artikel seni rupa. Sekitar seperempat karyanya itu telah dibukukan dalam Melampaui Citra dan Ingatan: Bunga Rampai Tulisan Seni Rupa 1968-2017. Bambang Bujono, mantan wartawan Horison dan Tempo, juga pernah terlibat dalam penyuntingan sejumlah buku, salah satunya Jejak Lukisan Palsu di Indonesia. Beliau kini mengajar di Pascasarjana Institut Kesenian Jakarta.

Mikke Susanto
Dosen Institut Seni Indonesia ini sudah menulis belasan buku, di antaranya Maestro Seni Rupa Modern Indonesia; Bung Karno: Kolektor & Patron Seni Rupa Indonesia; serta Diksi Rupa: Kumpulan Istilah & Gerakan Seni Rupa. Mikke juga pernah terlibat sebagai konsultan dan kurator di lebih dari 110 pameran. Dari 2016-2017, dia menjabat kurator Pameran Lukisan Koleksi Istana Kepresidenan RI di Galeri Nasional Indonesia.

Bambang ‘Toko’ Witjaksono
Publik mengenalnya sebagai kurator ArtJog. Di luar aktivitas itu, Bambang Toko sebenarnya perupa yang cukup aktif. Karya-karyanya pernah ditampilkan antara lain di Piccadilly Place, Art Taipei, serta Galerie LOFT Paris. Pada 1997, dia turut mendirikan Apotik Komik, kolektif yang memopulerkan mural di Indonesia. Bambang Toko meraih gelar sarjana dari Institut Seni Indonesia dan gelar master dari Institut Teknologi Bandung.

Kiri-kanan: Pintu ruang galeri di Museum Toeti Heraty, Jakarta. (Foto: Yusni Aziz); patung buatan Dolorosa Sinaga di plaza belakang Edwin’s Gallery, Jakarta. (Foto: Tony Narotama)

1. Museum Toeti Heraty
Rekomendasi oleh Bambang Bujono.

Museum ini mengoleksi banyak karya seniman besar Indonesia. Tapi bukan itu yang membuatnya spesial sebenarnya. Berbeda dari museum umumnya, karya-karya di sini tidak diperoleh dari perburuan di bursa atau balai lelang. Alih-alih, berkat kedekatan dengan banyak seniman, Toeti Heraty, sang pemilik museum, bisa memesan karya secara langsung dari pembuatnya, kadang mendapatkannya secara cuma-cuma.

Lukisan pertamanya dihadiahkan oleh Mochtar Apin. Keduanya bersua pertama kali di sebuah kapal yang berlayar dari Belanda ke Indonesia. Contoh lain, lukisan hitam-putih dari Kartika Affandi, didapatkan Toeti sebagai “barter” ongkos pulang sang perupa ke Yogyakarta, setelah pamerannya di Jakarta gagal menjual satu karya pun. Karya lain lagi, Mother and Two Children, dilukis Sudjojono pada 1971. Waktu itu, sebelum melanjutkan studi ke Belanda, Toeti ingin memiliki lukisan dirinya bersama kedua anaknya untuk dibawa sebagai penawar kangen.

Kisah-kisah personal semacam itu bertaburan di Museum Toeti Heraty. Di sini, menelusuri karya tak ubahnya menyelami jaringan persahabatan sang pemilik di dunia seni. Berbeda pula dari museum umumnya, Museum Toeti Heraty menempati sebuah rumah yang hingga kini masih berfungsi sebagai rumah. Banyak karya berkelindan dengan barang-barang pribadi dan bertaburan di area privat seperti kamar tidur dan ruang tamu. Dan sebagaimana sebuah rumah, museum ini pun mengalami problem khas rumah, mulai dari atap bocor, serangan rayap, hingga pencurian. Kata staf museum, sebuah lukisan buatan Kartika dan patung dari Dolorosa Sinaga raib digondol maling.

Selain karya yang sarat kisah, harta lain museum ini adalah perpustakaannya yang dijejali ribuan literatur bertema rancang bangun dan perempuan. Mendiang ayahanda Toeti, Roosseno Soerjohadikoesoemo, adalah seorang pakar beton yang pernah terlibat dalam proyek kolosal seperti Monumen Nasional dan Jembatan Semanggi. Sementara Toeti, selain memimpin beragam organisasi seni, adalah seorang feminis yang turut mendirikan Suara Ibu Peduli dan menerbitkan Jurnal Perempuan. Buku-buku di perpustakaan hanya bisa dibaca di tempat. Jika ingin menetap lebih lama, museum ini memiliki lima kamar yang dibanderol Rp350.000 per malam. Jl. HOS. Cokroaminoto 9-11, Menteng, Jakarta; 021/3911-823; cemara6galeri.wordpress.com.

Pameran tunggal Restu Taufik Akbar di Orbital Dago, galeri privat baru di Bandung. (Foto: Ricko Fernando)

2. Orbital Dago
Rekomendasi oleh Ade Darmawan.

Kehadirannya seakan menegaskan kesimpulan banyak tokoh seni dalam beberapa tahun terakhir: Bandung sedang mengembalikan pamornya sebagai kutub seni Indonesia. Orbital, galeri seni kontemporer yang diresmikan pada Mei 2017, berlokasi di kawasan dataran tinggi Dago. “Bentuknya mirip Kedai Kebun di Yogyakarta,” jelas Ade Darmawan, “tapi pemandangannya lebih bagus.”

Untuk saat ini, Orbital membawahi 17 perupa, di mana sebagian memiliki hubungan genealogis atau akademis dengan Bandung. Yuli Prayitno, Yudi Noor, dan Erika Ernawan misalnya, lahir di Bandung, sementara Aliansyah Caniago dan Dita Gambiro menempuh pendidikan seninya di Institut Teknologi Bandung. Selain area pamer, Orbital memiliki toko, kafe, dan ruang khusus lokakarya.

Hingga Februari 2018, Orbital telah menggelar empat pameran. Dapur seninya diasuh oleh Rifky Effendy, kurator independen yang rajin terlibat di banyak acara seni. Rifky mencetuskan Bandung Biennale perdana, menjabat curator Paviliun Indonesia di Venice Biennale 2013, serta mengisi posisi Creative Director Art Jakarta 2017. Jl. Rancakendal Luhur 7, Bandung; 022/8252-2980; orbitaldago.com.

Ruang pamer di Edwin’s Gallery, galeri privat yang didirikan pada 1984 oleh kolektor Edwin Rahardjo. (Foto: Tony Narotama)

3. Edwin’s Gallery
Rekomendasi oleh Mikke Susanto

Membaca kisah Edwin’s Gallery seperti mengurai tren pasar seni di Indonesia. Pada tahun-tahun pertamanya, galeri privat yang didirikan pada 1984 ini meletakkan fokusnya pada karya-karya blockbuster dari maestro sekaliber Affandi, Sudjojono, dan Mochtar Apin. Pada 1990-an, Edwin’s Gallery mulai berpaling pada seniman muda semacam Nyoman Masriadi dan Entang Wiharso. Belakangan, Edwin Rahardjo, sang pemilik galeri, aktif mengeksplorasi seni kinetik.

Edwin’s Gallery menempati sebuah rumah di kawasan elite Kemang. Galeri ini terbuka untuk umum. Tiba di serambi galeri, kita mula-mulanya akan disambut sebuah patung buatan Nyoman Nuarta. Mendekati pintu galeri, kita dipaksa merunduk oleh atap genting yang menjulur rendah—sebuah desain yang terinspirasi adab kulonuwun khas Jawa. Masuk ke ruang pamer, jika belum dibeli orang, ada lukisan dari Sunaryo dan Heri Dono, disusul 20-an karya yang ditata apik. Berpindah ke plaza belakang, ada pahatan tali sepatu buatan Yani Mariani dan patung tukang cat dari Dolorosa Sinaga. Bagian plaza ini juga memperlihatkan sisi lain Edwin Rahardjo sebagai seorang arsitek. Jendela, pintu, dan ornament dindingnya seolah datang dari aliran desain yang berbeda-beda.

Edwin’s Gallery, yang kini menaungi lima seniman asing, juga rutin menanggap pameran. Hingga Desember 2017, total sudah 205 pameran yang digelarnya, sebagian melibatkan kurator independen dan kritikus seni semacam Jim Supangkat, Enin Supriyanto, dan Aminudin T.H. Siregar. Kesediaan melibatkan mereka, juga kepedulian pada wacana dan diskursus, adalah sebagian alasan Edwin’s Gallery dihormati di dunia seni nasional. “Edwin’s Gallery menyajikan pameran yang berkualitas dan memberi pengalaman menelusuri kreativitas para perupa muda hingga maestro,” jelas Mikke Susanto. Jl. Kemang Raya 21, Kemang, Jakarta Selatan; 021/7194-721; edwinsgallery.com.

Lomba binaraga khusus buruh genting yang diadakan oleh Jatiwangi art Factory, Majalengka. (Foto: Adeng Bustomi)

4. Jatiwangi art Factory
Rekomendasi oleh Ade Darmawan.

Di tengah asyiknya dunia seni Indonesia menyaksikan pertumbuhan galeri partikelir yang mewah, perupa yang merangkap jutawan, juga lelang dan bursa seni yang menyilaukan, Jatiwangi art Factory (JaF) seolah kembali mengingatkan: seniman adalah aktor perubahan.

JaF bersarang di Jatiwangi, sebuah kecamatan yang dulu terkenal sebagai sentra penghasil genting, tapi kemudian mengalami transformasi besar karena krisis ekonomi, kepergian banyak wanita lokal ke luar negeri untuk menjadi TKW, serta kehadiran mal dan jalan tol. Melalui aneka programnya, JaF berupaya merespons dan memaknai konteks lokal tersebut. “Semua programnya diadakan di kampung dan melibatkan warga,” ujar Ade Darmawan.

Melalui Ceramic Music Festival, JaF mengubah genting menjadi instrumen musik sekaligus membangun kembali relasi antara warga dan tanahnya. Melalui Residency Festival dan Village Video Festival, mereka mengundang seniman lokal dan asing untuk menyelami kehidupan lokal dan menciptakan karya kolaboratif bersama warga. Mella Jaarsma dan Masha Ru adalah dua contoh seniman prominen yang pernah mondok di Jatiwangi. Kadang, JaF menanggap pula acara hiburan yang tak melulu terkait seni, umpamanya kontes binaraga khusus kuli pabrik genting.

Ketika didirikan pada 2005 oleh seniman Arief Yudi, JaF bermitra dengan hanya beberapa keluarga. Kini, banyak programnya melibatkan warga dari 16 desa, bukan semata sebagai penonton, tapi juga panitia. Pendekatan partisipatorisnya cukup menyedot perhatian dunia seni. Empat tahun silam, Camat Jatiwangi dan Lurah Desa Jatisura diundang oleh Fukuoka Asian Art Museum untuk menceritakan program-program seni di Jatiwangi dan kontribusinya bagi masyarakat. Jl. Makmur 604, Desa Jatisura, Jatiwangi, Majalengka, Jawa Barat; jatiwangiartfactory@gmail.com;jatiwangiartfactory.tumblr.com.

Interior Museum Macan yang desain oleh MET Studio London. (Foto: Toto Santiko Budi)

5. Museum Macan
Rekomendasi oleh Bambang ‘Toko’ Witjaksono, Bambang Bujono, FX Harsono, dan Mikke Susanto.

”Di museum ini,” jelas Bambang Bujono, “kita bisa melihat suguhan yang tidak bisa ditemukan di tempat lain: karya-karya seniman Indonesia dan luar negeri bersanding sejajar.” Suguhan itulah yang terlihat dalam ”Seni Berubah. Dunia Berubah,” pameran debut Museum Macan (Museum of Modern and Contemporary Art in Nusantara) yang berakhir pada 18 Maret silam. Di sini kita bisa melihat, misalnya, lukisan buatan Heri Dono bertetangga dengan lukisan Jean-Michel Basquiat, sementara karya maestro Srihadi Soedarsono bersisian dengan karya Mark Rothko.

Museum garapan pengusaha Haryanto Adikoesoemo ini diresmikan pada 4 November 2017. Dari total 800 karya yang dimilikinya, 90 di antaranya telah dipajang di pameran perdana. Seniman-seniman pembuatnya datang dari beragam mazhab dan era, sebut saja Raden Saleh, Trubus, Wang Guangyi, dan Damien Hirst. Tapi Museum Macan tak akan menampilkan koleksi dari gudangnya semata. Mei 2018, tur pameran Yayoi Kusama akan mampir di sini.

Kehadiran Museum Macan turut menggairahkan demam wisata ke museum di Jakarta. Saban akhir pekan, sekitar 4.000 orang mengarungi interiornya yang didesain oleh MET Studio London. Menurut FX Harsono, satu keunggulan museum ini adalah pengelolaannya yang profesional. Pengurusnya merangkul publik dan korporasi lewat sistem keanggotaan; ruang pamernya terbuka untuk kegiatan organisasi lain; dan program seninya berorientasi pada khalayak luas, termasuk anak-anak. Selain menyediakan ruang khusus pengunjung cilik, Museum Macan membentuk Forum Pendidik yang bertujuan mengasah wawasan seni bagi puluhan guru sekolah di Jakarta. AKR Tower Level MM, Jl. Panjang 5, Kebon Jeruk, Jakarta Barat; 021/2212-1888; museummacan.org.

Kiri-kanan: Muhammad Khalid (kiri) dan Fithor Faris, dua motor Kedubes Bekasi. (Foto: Yusni Aziz); toko suvenir di Gudang Sarinah Ekosistem, Jakarta. (Foto: Dwianto Wibowo)

6. Kedutaan Besar Bekasi
Rekomendasi oleh Ade Darmawan.

Dari empat kawasan satelit Jakarta, Bekasi mungkin yang paling sering diolok-olok. Puncaknya pada 2015 saat kota ini distempel “negara lain,” kadang “planet lain.” Tapi segala cacian itu justru menginspirasi Fithor Faris untuk mencetuskan ide brilian: mengganti nama ruang seni miliknya dari Pede Gede Kreatif menjadi Kedutaan Besar Bekasi. Tak hanya itu, dia bahkan mengundang Wakil Wali Kota Bekasi Ahmad Syaikhu untuk meresmikannya pada 1 November 2015. Strategi self-deprecate (menertawakan diri sendiri) itu sukses. Bekasi masih sering dicibir, tapi nama Kedubes Bekasi viral di media massa.

Kedubes Bekasi, sekitar tiga kilometer dari gerbang tol Jatiasih, adalah kompleks serbaguna yang menyalurkan energi kreatif anak-anak muda Bekasi. (Komikus selebriti Aruga Perbawa adalah salah seorang anggotanya.) Tempat ini ajek menggelar acara. Program music gig Main di Kedubes bergulir setidaknya sebulan sekali, begitu pula sesi pemutaran film indie bertajuk Be(kasi) Movie Screening. Selain itu, ada pembacaan puisi, diskusi sastra, pasar seni, serta kelas menggambar. “Tempat ini mirip versi kecil Gudang Sarinah Ekosistem sebenarnya,” jelas Ade Darmawan.

Untuk membiayai kegiatan Kedubes Bekasi, Fithor dan rekan-rekannya menjaring dana dari beragam sumber. Di Art Shop, mereka menjual kaus, pin, serta paspor Bekasi seharga Rp35.000 per buah. Di Kantin Kedubes, mereka menjajakan antara lain singkong goreng, es kopi bir, serta gabus pucung (ikan gabus dengan kuah keluak). Yang terakhir ini diberi embel-embel “makanan khas Bekasi yang terancam.”

Melalui beragam ikhtiarnya, Kedubes Bekasi perlahan menempatkan Bekasi, kota yang tak punya tradisi seni, dalam sirkuit seni Indonesia. Dengan itu, ia sekaligus mengirimkan sebuah pesan: ruang seni bisa muncul di mana saja, termasuk di kota yang marak dicela. Satu kendala tempat ini barangkali hanyalah listrik yang kadang padam. “Pernah saat Endah N Rhesa main di sini,” kenang Fithor, “tiba-tiba mati listrik, padahal baru dua lagu.”Jl. Raya Jatikramat 2A, Kecamatan Jatiasih, Bekasi, Jawa Barat.

Kiri-kanan: Beberapa karya tanpa label di Rumah Seni Cemeti, Yogyakarta. (Foto: Ulet Ifansasti); Budi (kiri) dan Aldi Cloze, dua seniman anggota Gardu House, di markas mereka yang bersarang di Jalan Ciputat Raya. (Foto: Rahmad Hidayatullah)

7. Rumah Seni Cemeti
Rekomendasi oleh Bambang ‘Toko’ Witjaksono dan FX Harsono.

Dunia seni Yogyakarta berutang banyak pada Rumah Seni Cemeti. Melalui beragam programnya, tempat yang dirintis pada 1988 ini berjasa menyemai bakat-bakat lokal, mewartakan karya-karya mereka ke luar negeri, serta menyediakan wacana yang tajam bagi publik untuk memahami skena seni Yogyakarta. Dari rahim Cemeti inilah kita awalnya berkenalan dengan sosok-sosok progresif semacam Heri Dono, Eddie Hara, dan Agus Suwage. “Cemeti,” kata Bambang Toko, “merupakan pionir galeri yang menampilkan seniman-seniman kontemporer.”

Mencermati kiprahnya, Cemeti sebenarnya mirip sebuah kampus. Program utamanya adalah residensi, tak cuma bagi seniman, tapi juga kurator dan penulis. Acara berkalanya antara lain diskusi bersama artis, kuliah publik, serta presentasi proyek seni. Sementara lembaga arsipnya, Indonesian Visual Art Archive, aktif bergerilya mengumpulkan dokumentasi segala peristiwa di jagat seni—infrastruktur yang vital bagi perkembangan dunia seni nasional. Cemeti sebenarnya juga rutin menggelar ekshibisi, tapi sajiannya cenderung lebih konseptual ketimbang komersial. “Bentuk kesenian kontemporer yang eksperimental bisa kita temui di sini,” jelas FX Harsono.

Kini, diusia 30 tahun, Cemeti sebenarnya telah mapan. Tapi tempat yang didirikan oleh duet Nindityo Adipurnomo dan Mella Jaarsma ini masih setia berperan layaknya kanal alternatif. Merespons fenomena komersialisasi seni di Yogyakarta misalnya, mereka meluncurkan proyek-proyek yang tajam mengkritisi pasar. Dilatari semangat serupa, galerinya mencopot semua label dari karya yang dijual. Kata Nindityo, Cemeti ingin publik kembali membeli karya berdasarkan penghayatan, bukan karena silau akan kebesaran nama senimannya. Jl. D.I. Panjaitan 41, Yogyakarta; 0274/371-015; cemetiarthouse.com.

Salah satu karya grafiti Gardu House di tembok GSE. (Foto: Dwianto Wibowo)

8. Gudang Sarinah Ekosistem
Rekomendasi oleh Bambang ‘Toko’ Witjaksono.

Namanya sudah cukup menjelaskan wujudnya: gudang milik pusat perbelanjaan Sarinah yang disulap menjadi ekosistem seni. Dan layaknya ekosistem seni, “makhluk” penghuninya cukup beragam. “Di sini tidak hanya seni rupa yang dipresentasikan,” jelas Bambang Toko, “tapi juga musik, desain, dan subkultur.”

Di Gudang Sarinah Ekosistem (GSE), pengunjung bisa menonton film di Forum Sinema, membaca buku di perpustakaan, atau berbelanja suvenir. Di waktu-waktu tertentu, ada presentasi oleh 69 Performance Club, festival video musik MuVi Party, bazar Tumpah Ruah, juga konser beragam artis dari beragam aliran. Musisi yang pernah mengisi panggungnya antara lain Efek Rumah Kaca, Shaggydog, serta grup kasidah Nasida Ria. “Cocok untuk anak muda,” tambah Bambang Toko.

GSE dimotori sekaligus dimandori oleh ruangrupa, sebuah organisasi seni yang aktif menggelar pameran, festival, lokakarya, dan penelitian. Awalnya mereka bergerak nomaden, dari daerah Pondok Labu, ke Pasar Minggu, lalu ke Tebet. Usai pendirian GSE pada 2015, ruangrupa bukan hanya memiliki pelabuhan baru yang megah dan representatif, tapi juga mampu menyediakan wadah bagi pergelaran garapan organisasi lain, misalnya Jakarta Biennale dan festival graffiti Street Dealin.

Pada akhir tahun ini, menurut rumor, GSE bakal direlokasi lantaran ruang rupa keberatan dengan tarif sewanya yang mahal—alasan lain bagi Anda untuk segera mengunjunginya. Jl. Pancoran Timur II No.4, Jakarta Selatan; 0856-9217-0155.

Salah satu karya Nurdian Ichsan dalam pameran Sense of Order di Selasar Sunaryo, Bandung. (Foto: Ricko Fernando)

9. Selasar Sunaryo Art Space
Rekomendasi oleh FX Harsono.

Ruang seni ini hadir di masa ketika mayoritas orang Indonesia tak punya energi untuk menikmati seni—September 1998. Kala itu, Soeharto belum lama lengser, bau amis sisa kerusuhan masih tercium, dan banyak perut terdesak lapar. Tapi Selasar Sunaryo Art Space (SSAS) terbukti mampu bertahan melewati periode sulit itu. Beberapa tahun kemudian, tempat ini bahkan melampaui khitahnya dengan menjadi salah satu objek wisata terpopuler di Bandung.

Sesuai namanya, tempat ini didirikan oleh Sunaryo, seniman kelahiran Banyumas yang menempuh pendidikan seninya di Institut Teknologi Bandung. Bermula sebagai galeri privat, SSAS kemudian berkembang menjadi ruang seni yang komplet. Fasilitasnya antara lain perpustakaan, kafe, toko suvenir, pondokan untuk residensi, serta amfiteater yang dikepung alam rindang. Terpisah dua menit berjalan kaki dari kompleks ini, ada Wot Batu yang memajang karya-karya unik berbahan batu dari Sunaryo. “Ruang seni yang indah dan asri,” jelas FX Harsono tentang SSAS. “Sebuah tempat yang harus dikunjungi.”

Tahun ini, merayakan ulang tahun ke-20, SSAS akan menanggap serangkaian acara menarik sepanjang tahun. Ajang pembukanya, Sense of Order, berlangsung pada 26 Januari-25 Februari 2018 dengan menampilkan karya-karya dari Nurdian Ichsan, seniman sekaligus dosen Program Studi Seni Keramik ITB. Jl. Bukit Pakar Timur 100, Bandung; 022/2507-939; selasarsunaryo.com.

Ruang pamer utama OHD Museum, Magelang. (Foto: Muhammad Fadli)

10. OHD Museum
Rekomendasi oleh Bambang ‘Toko’ Witjaksono.

Nama Dr. Oei Hong Djien sempat terseret skandal lukisan palsu, tapi sang maesenas agaknya tetap dihormati banyak orang sebagai sosok yang berperan besar dalam mengembangkan dunia seni rupa. Dr. Oei pernah menjabat penasihat The National Art Gallery Singapore dan anggota Dewan Pembina Yayasan Biennale Yogyakarta. Dia juga gemar membeli dan mempromosikan karya seniman Indonesia, termasuk ke kolektor berpengaruh seperti Budi Tek, pemilik Yuz Museum di Shanghai. Kontribusi lain Dr. Oei bagi dunia seni tentu saja pendirian OHD Museum, bangunan artistik yang menempatkan Magelang dalam orbit penikmat seni dunia.

Dr. Oei memiliki lebih dari 2.000 karya. Koleksi ekstensif inilah yang dipamerkan di museum secara bertahap dan berkala. Dari 29 November 2017-31 Maret 2018 misalnya, OHD Museum menggelar pameran bertajuk The Modern & The Contemporary yang menyuguhkan kreasi dari nama-nama masyhur sekaliber Affandi, But Mochtar, Nasirun, dan FX Harsono. Museum ini, kata Bambang Toko, “menampilkan karya-karya seniman Indonesia, baik seniman senior maupun seniman kontemporer masa kini.”

Magnet lain OHD Museum terletak pada bangunannya yang notabene juga sebuah “karya seni”—keunggulan yang jarang dimiliki ruang seni lain. Museum yang diresmikan pada 2012 ini menempati bekas gudang tembakau. (Dr. Oei pernah bekerja sebagai grader daun tembakau.) Fasadnya dihiasi relief evokatif buatan Entang Wiharso; ruang tunggunya dipercantik mural dari Eko Nugroho; sementara plaza kecil di jantungnya ditaburi paving block atraktif buatan 40 perupa, termasuk Putu Sutawijaya dan Heri Dono. Jl. Jenggolo 14, Magelang, Jawa Tengah; 0293/363-420; ohdmuseum.com.

Salah satu karya grafiti Gardu House. (Foto: Rahmad Hidayatullah)

11. Gardu House
Rekomendasi oleh Ade Darmawan.

“Ini komunitas street art terbesar di Jakarta,” jelas Ade Darmawan. Yang lebih menarik, Gardu House tidak lahir dari rahim Institut Kesenian Jakarta. Alih-alih, komunitas ini dirintis oleh sekelompok alumnus kampus desain Inter-Studi Jakarta. Nama “Gardu” terinspirasi dari sebuah gardu listrik di mana mereka biasanya bercengkerama sepulang kuliah.

Setelah sebelumnya bersarang di daerah Fatmawati dan Bintaro, Gardu House sejak 2015 mengontrak sebuah rumah di Jalan Ciputat Raya, sekitar satu kilometer dari Pasar Kebayoran Lama. Anggota aktifnya sekitar 20 orang, hampir semuanya pernah berurusan dengan aparat akibat aksi corat-coret. Jumlah seniman jalanan yang dinaungi tak bisa dipastikan karena Gardu House sedari awal merupakan sebuah komunitas cair yang merangkul siapa saja, termasuk para penggemar skateboard dan BMX. “Siapa saja boleh bergabung di sini, asalkan mau berbagi ilmu. Kalau bisa masak, boleh masak. Kalau suka gambar, boleh gambar,” jelas Rizky ‘Jablay’ Nugroho, dedengkot Gardu House.

Sejalan dengan semangat itu, acara-acara garapan Gardu House juga terbuka bagi semua orang, misalnya jamming bulanan, bazar stiker, serta tur City Connection ke kota-kota di Indonesia. Satu hajatannya yang menuntut proses administrasi lebih ketat hanyalah Street Dealin. Tahun lalu, festival grafiti raksasa ini diikuti oleh 27 seniman asal 10 negara, serta dihadiri sekitar 3.500 pengunjung. “Festival ini sangat besar, berskala internasional, mungkin yang terbesar di Asia,” tambah Ade.

Gardu House juga melayani proyek komisi. Hotel Indonesia, Java Jazz, dan Acer adalah beberapa mantan kliennya. Sejumlah anggota komunitas ini juga sempat disewa sebagai artisan oleh Entang Wiharso untuk menghiasi Children’s Art Space di Museum Macan. “Kita sudah punya unit usaha. Uang dari proyek komersial lebih banyak dipakai untuk menghidupi komunitas,” ujar Budi, anggota Gardu House. Jl. Ciputat Raya 324, Kebayoran Lama, Jakarta Selatan; 0813-8048-3125.

Kiri-kanan: Lukisan dan patung karya I Made Palguna dalam pameran solonya yang digelar di Sangkring Art Space, ruang seni milik Putu Sutawijaya di daerah Bantul, Yogyakarta. (Foto: Ulet Ifansasti); EZ Halim, kolektor seni dan pemilik Halim Art Museum, Bogor. (Foto: Fransisca Angela)

12. Sangkring Art Space
Rekomendasi oleh Mikke Susanto.

Dihuni banyak ruang seni, mulai dari Plataran Djoko Pekik hingga SaRanG Building, Kecamatan Kasihan rutin memikat khalayak seni dari penjuru negeri. Tapi ada satu tempat di sini yang sepertinya melampaui semua tetangganya dalam hal ukuran, variasi acara, serta pamor di panggung dunia— Sangkring Art Space (SAS). “Daya tarik Sangkring terletak pada pameran-pamerannya, serta ruangruang yang ada di dalamnya,” jelas Mikke Susanto.

SAS, galeri milik seniman prolific Putu Sutawijaya, mulai dikonstruksi pada 2005. Dua tahun berselang, tempat ini diresmikan dan langsung menyita perhatian publik. Kontras dari banyak galeri di Yogyakarta yang bersahaja dan bernuansa rural, SAS tampil sangat modern dengan postur yang gigantik dan interior yang lapang. Majalah Time sempat membuat ulasan khusus tentangnya.

Tak berhenti di situ, SAS berekspansi. Pada 2011, sang pemilik meluncurkan Sangkring Art Project, sebuah ruang bagi eksperimen dan kolaborasi seni. Terakhir, pada 2016, Putu Sutawijaya melansir sayap baru bernama Bale Banjar melalui ajang Yogya Annual Art. “Meski terletak di desa, Sangkring memberi pengunjung tampilan pameran yang bernuansa internasional,” tambah Mikke. Nitiprayan RT 1/RW 20 No.88, Kasihan, Bantul, Yogyakarta; 0274/381-032; sangkringart.com.

Kiri-kanan: Logo Dia.Lo.Gue, ruang seni di area Kemang; wadah kongko di ruang paling belakang Dia.Lo.Gue. (Foto: Rahmad Hidayatullah)

13. Dia.Lo.Gue
Rekomendasi oleh FX Harsono.

Namanya lahir dari permainan leksikon yang cerdik: sebuah wadah untuk dia, lo, dan gue berdialog. Memasuki tempat ini, tamu pertama-tama akan singgah di butik yang menjajakan barang artistik seperti kaus buatan komunitas Daging Tumbuh dan radio kayu merek Magno. Setelahnya, ada galeri yang rutin memajang belasan karya. Berpindah ke zona berikutnya, ada restoran lapang yang ditaburi meja dan kursi kayu. Dia.Lo.Gue, menurut FX Harsono, “memberikan wawasan seni rupa dan desain kepada masyarakat.”

Dia.Lo.Gue didirikan pada 2010 oleh trio Hermawan Tanzil, Franky Sadikin, and Windi Salomo. Desainnya mengusung gaya urban tropis: kombinasi antara struktur beton polos, ornamen kayu, serta konsep semi-terbuka—sebuah suguhan apik yang khas Andra Matin, arsitek yang juga menggarap Potato Head Bali. Bermodalkan interior yang trendi itu pula, Dia.Lo.Gue luwes merangkul beragam segmen. Berbeda dari ruang seni yang kerap terkesan intimidatif terhadap publik yang awam seni, tempat yang berlokasi di kawasan elite Kemang ini kerap dijadikan wadah kongko oleh grup wanita ekspatriat, kelompok arisan, juga pelajar. Mereka lazimnya berkerumun di ruang paling belakang yang berlangit-langit tinggi dan terkoneksi ke sepetak taman rindang—sebuah kemewahan di Jakarta. Di ruang belakang ini pula kita bisa melihat patung buku granit kreasi Rizal Kedthes, serta seutas tangga fotogenik yang terkoneksi ke kantor LeBoYe, firma desain milik Hermawan Tanzil. Jl. Kemang Selatan 99A, Jakarta Selatan; 021/7199-671; dialogue-artspace.com.