Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Warisan Arie Smit Bagi Dunia Seni Bali

Kiri-kanan: Arie Smit menghabiskan masa tuanya di Villa Sanggingan, Ubud; Lukisan Arie Smit koleksi Museum Neka.

Teks oleh Wikana
Foto oleh Putu Sayoga

Di kompleks Villa Sanggingan, di sebuah ruangan yang disejukkan kipas, Arie Smit berbaring mendengkur di dipan bambu. Kepalanya diganjal tiga bantal. Badannya kurus dan pipinya tirus. “Harus dibangunkan untuk ingat makan,” ujar I Nyoman Wita, wanita yang merawat Arie sejak 20 tahun silam.

Sang begawan terlihat lunglai. Belum lama, prostatnya dioperasi. Setelah sebelah matanya buta, kini sebelahnya lagi ikut buta akibat diserang glukoma. Pendengarannya semakin payah. Sesekali dia dilarikan ke rumah sakit akibat sembelit.

Tapi dia sangat terawat untuk ukuran lansia tanpa keluarga. Enam staf bergiliran menjaganya. Misai dan jenggotnya tercukur rapi. Kausnya terlihat resik.

April tahun ini, Arie akan berusia 100 tahun. Perintis aliran Young Artists ini adalah legenda hidup di dunia seni lukis Bali. Pamornya sejajar dengan Rudolf Bonnet dan Walter Spies. Sebagian muridnya masih aktif berkarya, masih menghidupkan warisannya.

Kiri-kanan: Ketut Soki, murid kedua Arie Smit; Ketut Soki memperlihatkan beberapa karyanya.

Saya masih menanti Arie terjaga dari tidurnya. Tak jauh dari dipan, salib kecil teronggok di atas meja. Kata Wita, Arie kini lebih religius. Beberapa bulan sekali, pastor datang untuk membimbingnya berdoa.

Kepada Suteja Neka, sahabatnya, Arie pernah meminta dikubur secara Katolik jika kelak wafat. Padahal Neka telah menyiapkan upacara Ngaben, sebagaimana yang diberikan kepada seniornya, Rudolf Bonnet, yang jenazahnya dikremasi bersama bangsawan Ubud, Tjokorda Gde Agung Sukawati.

Gagal berbincang dengan Arie, saya berjalan ke sisi belakang kompleks Sanggingan untuk mengunjungi studionya: bangunan dua lantai bergaya Bali yang kini lusuh. Sejumlah kacanya pecah tertembak peluru senapan angin. Lantainya kotor dan berdebu. Studio ini sudah jauh melewati masa keemasannya. Dulu, di sinilah Arie menikmati periode tersuburnya sebagai juru sungging. “Sekitar 200 lukisan lahir di sini,” ujar Suteja Neka.

Satu-satunya yang tak berubah dari studionya adalah panoramanya yang menawan. Dari terasnya, kita bisa melihat Bukit Campuhan yang magis dan Gunung Agung yang menyembul di antara nyiur. Pemandangan seperti inilah yang memikat banyak seniman asing ke Ubud. Pemandangan ini pula yang mengubah pendekatan Arie dalam melukis.

Sawah di Desa Tegalalang—panorama pedalaman Bali yang turut menginspirasi seniman Young Artists.

Sebelum bermukim di Bali, pria kelahiran Belanda, 15 April 1916, ini melukis dengan gaya impresionis. Memakai warna-warna lembut, dia mengekspresikan atmosfer yang sunyi. Saya sempat melihat lukisan bertajuk Rumah-Rumah di Cideng yang dibuat Arie pada 1947 di Jakarta. Lukisan ini sangat detail, presisi, monokrom, tapi terasa akademis dan kering. Usai mengenal Bali dan menetap di sini sejak 1956, Arie bak kuda Sumba yang lepas dari tunggangan. Kanvasnya begitu hidup oleh aneka objek dan warna.

Sejumlah orang masih ingat keseharian Arie di Sanggingan. “Setiap ingin melukis, Arie berucap, ‘selamat pagi Gunung Agung,’” kenang Wita. Usai lukisan rampung, dia keluar dari studionya untuk mencari pendapat. “Biasanya ia bertanya, ‘bagus tidak?’ ‘Apa yang kurang?’” tambah Wita.

Sanggingan dimiliki oleh Suteja Neka. Kedekatan Arie dan Neka sudah berlangsung lama. Pada 1970-an, Neka membeli dua karya Arie—Blue Landscape dan Shrines Beneath the Banyan—seharga Rp300.000, angka yang tinggi kala itu. Saat itu, Arie tengah kesulitan uang. Dia cuma memiliki uang $100 yang diselipkan di studionya di Karangasem. Ketika mampir ke Ubud dan menerima pembayaran dua karyanya, Arie merasa “terselamatkan.”

Kini Arie dan Neka nyaris bertemu saban hari. Di pagi hari, Neka biasanya akan bertamu ke kamar Arie untuk sejenak menyapa dan mengantarkan sarapan. Relasi keduanya berkembang lebih dari sekadar hubungan bisnis antara patron dan senimannya.

Kiri-kanan: Seorang pengunjung memotret lukisan Arie Smit di Museum Neka; Nyoman Cakra, murid pertama Arie Smit yang masih aktif berkarya.

Arie meninggalkan jejak panjang dalam dunia seni. Aliran Young Artists masih diteruskan oleh banyak muridnya. Lewat tangan merekalah Arie bisa hidup 100 tahun lagi.

Salah seorang muridnya yang masih aktif berkarya adalah I Nyoman Cakra. Saat pertama kali ditemui Arie, Cakra hanyalah seorang remaja penggembala bebek yang terancam putus sekolah di Desa Penestanan—sebuah desa yang dicitrakan “angker” dan nyaris lowong ditinggal warganya bertransmigrasi. “Jika tak kenal Arie, saya pasti sudah jadi transmigran,” kenang Cakra.

Di hari pertama belajar, Cakra diantarkan oleh orang tuanya ke kediaman Arie di tepi sungai. Di minggu-minggu awal, Cakra hanya menggambar sketsa, menggambar apa saja yang dilihatnya sehari-hari. Ajaibnya, bermodalkan ingatan semata, kegiatan masyarakat pedalaman Bali tersketsa dengan sempurna.

Setelah muridnya menguasai sketsa, Arie mengajarkan teknik mewarnai. “Kita diajari melukis dengan warna putih, hitam, merah, kuning, dan biru,” jelas Cakra. Seluruh murid bebas berekspresi melalui warna. “Warna langit dibolehkan merah,” tambah I Ketut Soki, murid Arie lainnya.

Menurut Putu Fajar Arcana, sastrawan Bali, salah satu sumbangsih terbesar Arie adalah keberhasilannya membangkitkan memori kolektif anak didiknya sebagai manusia Bali. “Tabungan visual itu seketika keluar lewat sketsa-sketsa,” kata Putu.

Kiri-kanan: Lukisan Arie Smit yang berjudul Dreaming Boy di Agung Rai Museum of Art; Suteja Neka dengan latar lukisan dirinya yang dibuat oleh Arie Smit.

Hasrat kebebasan dan kemurnian jiwa anak-anak sangat terasa dalam karya Young Artists. Anatomi manusia, misalnya, dibiarkan terpiuh. Anggota tubuhnya terdeformasi: wajah tanpa mata, tangan tanpa jari. Pengamat merangkum kecenderungan artistik kelompok ini dengan istilah “dekoratif naif.”

Arie bukan cuma bertindak sebagai guru, tapi juga maesenas. Dia memberikan kertas, pensil, dan cat warna secara gratis. Dia juga membeli meja-meja ceki guna menyetop tradisi judi pemuda setempat. Setiap sketsa yang telah diberi warna, langsung ditukar dengan sejumlah uang oleh Arie. Tak ketinggalan, dia meminta murid-muridnya membubuhkan tanda tangan dan tahun pembuatan di sudut kanvas. Tanpa disadari, petuah itu menumbuhkan “identitas” pada anak-anak desa.

Tawaran mendapatkan uang dari melukis dengan cepat menyebar di Desa Penestanan. Murid Arie pun berlipat, dari dua menjadi 40 orang. Selain membeli karya anak didiknya, Arie memikirkan aspek pemasaran. Dia meminta turis yang singgah di studionya untuk menengok karya murid-muridnya. James Pandy, pemilik Pandy’s Art Gallery, satu-satunya galeri seni di Sanur saat itu, kerap membeli karya Cakra dan Soki di studio Arie.

Arie bergerilya lebih jauh dengan mengikutkan karya murid-muridnya di sejumlah pameran di luar negeri. Pada 1964, 36 lukisan diboyong ke Museum of Modern Art di San Francisco. Selanjutnya, Smithsonian Institution membawa karya-karya Young Artists ke sekolah-sekolah menengah di Amerika Serikat. Jauh sebelum babak pariwisata dimulai, lukisan Young Artists bagaikan brosur yang mempromosikan keindahan Pulau Dewata.

Kiri-kanan: Pemandangan dari studio Arie Smit; Agung Rai, pemilik ARMA (Agung Rai Museum of Art)

Semua terobosan itu tak cuma melambungkan pamor perupa lokal, tapi juga mengubah nasib desa mereka. Semula dianggap “keramat,” Desa Penestanan perlahan berkembang menjadi objek wisata. Karya Young Artists ramai dipesan kolektor—tren yang berlanjut pada masa Orde Baru ketika pariwisata merekah dan turis Eropa menyerbu Ubud.

“Paling laris saat 1974,” ingat Cakra tentang masa-masa indah itu. Biasanya, turis memarkir mobil di Hotel Campuhan, lalu mereka berjalan melewati jalan tanah ke Desa Penestanan. Melihat kedatangan turis, warga berlarian ke rumah untuk mengambil lukisan. “Upacara di pura saja bisa ditinggal untuk sambut turis,” tambah Cakra berkelakar.

Tanpa disadari, Desa Penestanan membentuk kutub tersendiri dalam jagat seni rupa. Karya-karya rakyat jelata itu menjadi semacam wacana tandingan dari, misalnya, gerakan seni elite “Pita Maha” yang dipelopori oleh Walter Spies dan Rudolf Bonnet.

Menurut Agus Dermawan T, pengamat seni rupa, Young Artists menjadi bagian paling penting dalam khazanah seni lukis di Bali. Aliran ini menuai paling banyak pengikut. “Gayanya paling berkarakter,” jelas Agus.

Namun, terlepas dari riwayatnya yang gemilang, eksistensi Young Artists kini sedang terancam. Seni berjasa melambungkan pamor Bali sebagai destinasi wisata, tapi jasa sejarah itu tidak dibalas setimpal. Ubud telah menjadi desa global yang kian sesak. Di Desa Penestanan misalnya, profesi seniman terus kehilangan peminat. Banyak orang lebih memilih berbisnis properti: menyewakan rumah untuk hostel atau membangun bungalo.

“Sekarang lukisan tak laku, jadi tak banyak lagi yang mau belajar,” tutur Cakra lirih. Seniman kini lebih berharap pada kolektor asal Jakarta seperti Jusuf Wanandi dan Rini Soemarno. “Belum lama orang Astra membeli lukisan saya seharga Rp95 juta,” kata Soki.

Kiri-kanan: Pengunjung menikmati karya Young Artist di ARMA; Lukisan terakhir Arie Smit yang dibuat pada 2012.

Pagi-pagi sekali, saya kembali menjenguk Arie, berharap bisa mencegatnya di jam sarapan. Dia sedang duduk di atas kursi dorong yang tampak kekecilan untuk badannya yang semampai. Dengan telaten, dua perawat mengguyur tubuhnya yang bugil. Arie gelagapan saat air membasuh wajahnya.

Perawat mengelap badan Arie, lalu memapah tubuhnya ke sofa yang menghadap jendela. Matanya berkedap-kedip merasakan hangatnya sinar matahari. Selang beberapa menit, busana kebesarannya dikenakan: kaus oblong tanpa lengan, kupluk cokelat, sarung.

Wita hendak menggunting kukunya, tapi dia menolak. Wita lalu mengambil lap, meletakkannya di paha Arie, kemudian dengan perlahan mengambil tangan Arie dan mulai memotong kukunya. “Selalu susah jika dipotong kukunya,” ujar Wita. “Mungkin karena trauma.” Konon, di zaman penjajahan, Arie pernah melihat pejuang Indonesia disiksa dengan dicabuti kukunya.

Perawat menyodori cangkir plastik berisi sereal. Pelan-pelan Arie memegang gelas dan mengacungkannya ke mulut. Salah satu staf memberi kode kepada saya untuk mulai menyapa. Saya mengucapkan salam dan menjabat tangan Arie.

“Beberapa bulan lagi, usia Pak Arie satu abad,” Suteja Neka membuka pembicaraan. Seperti biasa, dia datang menjenguk sahabatnya di jam sarapan. Tapi Arie tidak merespons kata-katanya. Dia hanya menggeleng, menghela napas panjang, dan merengut. Usia yang panjang bukan fakta yang menghibur baginya. Kepada perawatnya, Arie justru kerap mengatakan ingin cepat mati.

Kiri-kanan: Arie Smit di usia 99 tahun; Aktivitas melukis di studio Ketut Soki di Desa Penestanan.

“Masih ingin melukis?” tanya saya, berusaha mengalihkan tema. Dia masih terdiam, tapi ujung matanya tampak basah. “Pak Arie selalu menangis jika ditanya soal melukis,” Wita menyadarkan betapa saya kurang peka karena bertanya tentang melukis ke maestro yang telah kehilangan penglihatannya.

“Masih ingat Desa Penestanan?” saya kembali mencari topik. Kali ini, upaya saya berhasil. “Masih ingat semua. Mereka orang-orang baik,” jawabnya terbata-bata. Saya takjub. Ia masih ingat komunitas yang pernah dibangkitkannya dari kemiskinan.

“Masih ingat Cakra, Soki, Pugur?” saya mulai menyebut nama murid-muridnya. “Bukan itu saja. Ada banyak, 20 orang, you tahu itu,” ujarnya dengan pelafalan yang lebih jelas.

Selama 15 menit kami saling terdiam. Arie sudah mulai bersiap untuk tidur siang dan saya pun pamit. “Memargi,” katanya, mengucapkan selamat jalan dalam bahasa Bali. Saya meninggalkannya dengan hati lega. Ada perasaan puas telah berhasil menemui figur penting yang tak akan bisa dihapus dari sejarah seni rupa Bali.

PANDUAN
Karya Young Artists buatan Nyoman Cakra, Ketut Soki, Nyoman Londo, Wayan Pugur, dan Ketut Tagen tersebar di banyak tempat, mulai dari Galeri Nasional hingga Singapore Art Museum. Dua tempat di Bali untuk melihat karya mereka adalah Neka Art Museum (Jl. Jalan Raya Campuhan, Desa Kedewatan, Ubud; 0361/975-074; museumneka.com) dan Agung Rai Museum of Art (Jl. Raya Pengosekan, Ubud; 0361/976-659). Di Desa Penestanan, tempat Arie Smit membuka kelas melukis, sejumlah eksponen Young Artists masih aktif berkarya, contohnya Ketut Soki dan Nyoman Cakra. Arie kini menghabiskan masa tuanya di sebuah pondokan di Villa Sanggingan (Jl. Raya Ubud; 0857-3909-9893; sangginganvilla.com), properti yang dimiliki oleh sahabat sekaligus patronnya—Suteja Neka.

Dipublikasikan perdana di majalah DestinAsian Indonesia edisi Maret/April 2016 (“Seratus Tahun Lagi”).

Show CommentsClose Comments

Leave a comment

0.0/5