tempat wisata unik Yogyakarta Archives - DestinAsian Indonesia https://destinasian.co.id/tags/tempat-wisata-unik-yogyakarta/ Majalah travel premium berbahasa Indonesia pertama Mon, 11 Jan 2021 15:03:40 +0000 en-US hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.6.2 12 Tempat Menikmati Seni di Yogyakarta https://destinasian.co.id/12-tempat-menikmati-seni-di-yogyakarta/ https://destinasian.co.id/12-tempat-menikmati-seni-di-yogyakarta/#respond Mon, 11 Jan 2021 14:35:31 +0000 https://destinasian.co.id/?p=62067 Di provinsi penghasil seniman, karya seni tak hanya terpajang di galeri.

The post 12 Tempat Menikmati Seni di Yogyakarta appeared first on DestinAsian Indonesia.

]]>
Hamemayu Hayuningrat, patung perunggu setinggi sembilan meter buatan Wahyu Santosa yang terpajang di bandara. (Foto: Cipta Anak Bangsa)

Oleh Cristian Rahadiansyah

Berkat ekosistem seninya yang cukup komplet, Yogyakarta rutin mencetak seniman. Di sini ada banyak wadah bagi artis untuk berlatih, berkolaborasi, juga berdialog dengan publik. Tak kalah penting, ada banyak ruang untuk memamerkan karya, mulai dari galeri, hotel, hingga bandara. Berikut 12 tempat untuk menikmati seni di Yogya:

1. RuangDalam Art House
Pada 2016, pelukis Gusmen Heriadi menyulap rumahnya menjadi ruang seni. Selain rutin menggelar pameran yang didominasi karya artis muda, RuangDalam Art House menawarkan program pendidikan seni, contohnya lokakarya konservasi lukisan, kelas keterampilan seni rupa, serta kelas pembakaran keramik. Jl. Kebayan, Gang Sawo 55, Kasihan, Bantul; 0274/439-8117; ruangdalamarthouse.com 

Kiri-kanan: Interior kamar residensi di SaRanG Building; Balkon di SaRanG Building, ruang seni garapan Jumaldi Alfi dan Enin Supriyanto. (Foto: Ulet Ifansasti)

2. SaRanG Building
Ruang artistik ini dibidani oleh duet artis Jumaldi Alfi dan kurator Enin Supriyanto. Belakangan, kalender acaranya memang terbilang sepi, tapi SaRanG Building masih laris dikunjungi berkat desainnya yang sejuk, bernuansa hijau, dengan dinding yang digerayangi tanaman—kreasi apik dari Ng Sek San, arsitek dengan spesialisasi struktur semi-terbuka, seperti yang terlihat pada hotel Sekeping. Usai melawat SaRanG Building, tamu bisa mampir ke kedai kopi Ada Warung yang juga digagas oleh Jumaldi Alfi. Jl. Ambarbinangun, Kalipakis 05/02, Bantul; 0274/411-343 

Kru Ace House Collective berperan sebagai pramuniaga dalam Grosir Seni. (Foto: Kurniadi Widodo)

3. Ace House Collective
Di galerinya yang bersahaja, Ace House bergerilya mendobrak pasar. Salah satu prakarsanya, Grosir Seni, menampilkan semacam toko kelontong yang menjajakan benda seni berharga murah untuk khalayak massal, termasuk warga di sekitar galeri. Proyek terbarunya, Appresia, berniat menjadi pasar seni alternatif, di mana publik bisa menyaksikan karya, membayar si seniman, tanpa harus memiliki karyanya secara fisik. Harapannya, karya mereka bisa diakses publik secara luas, tidak melulu diborong spekulan dan kolektor. Jl. Mangkuyudan No.41, Mantrijeron, Kota Yogyakarta; 0274/3819-595   

Suasana pameran At the Still Point di Langgeng Art Foundation. (Foto: Kurniadi Widodo)

4. Langgeng Art Foundation
Polos dan lapang, dinding-dinding Langgeng Art Foundation (LAF) rutin dipakai untuk ekshibisi seni kontemporer. Magnet lain tempat ini tentu saja lokasinya: jalur turis Suryodiningratan, tak jauh dari tempat-tempat populer semacam Ranah Bhumi dan Mediterranea Restaurant. LAF didirikan pada 2020 oleh Deddy Irianto, yang juga mengelola Langgeng Gallery Magelang. Jl. Suryodiningratan 37, Kota Yogyakarta; 0274/417-043

Seniman Ichwan Noor memvisualisasikan gerakan pesawat lewat barisan patung Bedhaya Kinjeng Wesi. (Foto: Cipta Anak Bangsa)

5. Yogyakarta International Airport
Di provinsi yang rajin mencetak seniman ini, bahkan bandara pun berperan ganda sebagai galeri. Yogyakarta International Airport (YIA) menyewa 12 artis dan dua kelompok perajin untuk menerjemahkan konsep kuratorial Gandheng Renteng, sebuah refleksi atas kesinambungan proses pertemuan, kepergian, dan kedatangan. Di antara mereka, ada Wahyu Santosa, Ichwan Noor, Entang Wiharso, dan Budi Kustarto. Apa yang dilakukan YIA bukanlah hal baru. Karya seni telah lama terpajang di Bandara Changi dan Soekarno-Hatta. Bedanya, YIA memilih karya lewat sistem kuratorial, karena itu memiliki benang merah yang jelas. Jl. Wates, Kulonprogo; artcab.id  

Kiri-kanan: Terracotta Biennale digelar di Pelataran Djoko Pekik. (Foto: Ulet Ifansasti); Pameran Seninjong di galeri Pelataran Djoko Pekik. (Foto: Kurniadi Widodo)

6. Pelataran Djoko Pekik
Rindang dan guyub, tempat milik maestro Djoko Pekik ini selalu menarik didatangi, meski tak ada hajatan. Di pinggir jalan utamanya, ada galeri yang rutin dipakai untuk pameran temporer. Berjalan lebih jauh ke dalam, terhampar petak-petak lahan yang pernah dipakai untuk beragam acara, sebut saja Terracotta Biennale dan Ngayogjazz. Jika beruntung, tamu juga bisa bertemu sang pemilik properti. Djoko Pekik gemar berjalan-jalan memantau pohon-pohon di sekitar kediamannya. Dusun Sembungan, Kasihan, Bantul 

Prihatmoko Moki, salah seorang pendiri Krack!, ruang pamer dan studio dengan fokus printmaking. (Foto: Kurniadi Widodo)

7. Krack!
Tempat ini fokus pada ceruk yang spesifik: printmaking. Studionya mencetak poster dan selebaran inovatif bergaya pop, sementara galerinya secara berkala menanggap pameran yang merespons fenomena budaya. Pada 2017 misalnya, Krack! menggelar Resistance is Futile!!! yang memajang poster film fiksi ilmiah dalam tafsir segar. Hajatan sebelumnya, Obat Kuat, mengkritisi perkembangan reklame obat vitalitas. Krack! didirikan pada 2013 oleh Prihatmoko Moki, Rudi Hermawan, serta artis Australia Malcolm Smith. Jl. D.I. Pandjaitan, Mantrijeron, Kota Yogyakarta; 0817-542-1806; krackstudio.com  

Kiri-kanan: Aneka poster acara seni di Cemeti; Nindityo, tokoh yang menemukan banyak perupa muda berbakat di Yogya. (Foto: Ulet Ifansasti)

8. Cemeti, Institute for Art & Society
Dalam sejarah seni Indonesia, Cemeti punya tempat spesial. Melalui beragam programnya, tempat yang dirintis pada 1988 ini menyemai bakat-bakat lokal, mempromosikan karya mereka ke luar negeri, dan yang tak kalah penting, menyediakan perspektif bagi publik untuk memahami skena seni Yogya. Dari Cemeti jugalah dunia berkenalan dengan sosok progresif semacam Heri Dono, Eddie Hara, dan Agus Suwage. Cemeti didirikan oleh duet Nindityo Adipurnomo dan Mella Jaarsma. Program utamanya adalah residensi, diskusi, serta presentasi karya. Jl. D.I. Panjaitan 41, Kota Yogyakarta; 0274/371-015; cemeti.org  

Pengunjung memotret karya dalam pameran Paper Trails di Sangkring Art Space. (Foto: Kurniadi Widodo)

9. Sangkring Art Space
Di antara ruang-ruang seni Yogya, Sangkring Art Space (SAS) tampil menonjol berkat posturnya yang gigantik. Ruang-ruang pamernya didesain lapang, dengan langit-langit tinggi, sehingga seniman bisa leluasa bereksperimen dalam mengemas pameran. SAS didirikan pada 2007 oleh seniman prolifik Putu Sutawijaya. Tiga tahun berselang, dia melengkapi ruang seninya dengan meluncurkan Sangkring Art Project, lalu melansir sayap baru Bale Banjar pada 2016. Salah satu ajang reguler terbesar di sini ialah Yogya Annual Art (YAA). Nitiprayan No.88, Kasihan, Bantul; 0274/381-032; sangkringart.com  

Kiri-kanan: Mural para pelaku seni di Kedai Kebun, restoran merangkap ruang seni alternatif; Seniman enigmatik Agung Kurniawan di Kedai Kebun. (Foto: Ulet Ifansasti)

10. Kedai Kebun Forum
Andaikan jalan cupet Tirtodipuran terasa lebih padat, itu biasanya karena Kedai Kebun Forum (KKF) sedang menanggap acara. Sejak didirikan pada 1997, tempat ini ajek dipakai untuk aneka kegiatan, terutama oleh kaum muda. Berkat popularitasnya pula, KKF tercantum dalam panduan wisata Lonely Planet. Tempat seni ini didirikan oleh Agung Kurniawan dan Yustina Neni. Selain ruang acara, bangunan bohemian dua lantai ini menampung restoran yang didesain oleh arsitek kondang Eko Prawoto, plus toko yang menjajakan produk buatan studio-studio lokal. Jl. Tirtodipuran 3, Kota Yogyakarta; 0274/376-114; kedaikebun.com  

Fitur unik perosotan The Golden Brass Slide di Artotel Yogyakarta, hotel yang dilengkapi galeri. (Foto: Artotel)

11. Artotel Artspace
Seperti cabang Artotel lainnya, Artotel Yogyakarta dilengkapi galeri untuk pameran temporer. Bertindak sebagai pengarah acaranya ialah Windi Salomo, yang juga dikenal sebagai pendiri galeri SAL Project dan ruang seni Dia.lo.gue di Jakarta. Hotel lain di Yogyakarta yang memiliki ruang pamer ialah Greenhost Boutique Hotel. Fasilitasnya, Green Art Space, berlokasi di lantai dasar, bersanding dengan Art Kitchen Resto. Jl. Kaliurang No.14, Sleman; 0274/6000-333; artotelgroup.com

Beberapa karya dalam Bantul Art Summit di Gajah Gallery. (Foto: Kurniadi Widodo)

12. Gajah Gallery
Awalnya bengkel kerja perupa, Gajah Gallery menjelma jadi ruang pamer yang cukup bergengsi di Yogya. Salah satu acara besutannya ialah Bantul Art Summit, yang diikuti banyak nama besar. Selain ruang pamer, Gajah Gallery memiliki Yogya Art Lab, wadah bagi artis untuk berkreasi di luar pakem dan bereksperimen dengan beragam medium. Satu yang penting diketahui, Gajah Gallery tidak dirintis di Yogya, melainkan Singapura. Jl. Keloran 6, Bantul; 0878-3834-7868; gajahgallery.com  

The post 12 Tempat Menikmati Seni di Yogyakarta appeared first on DestinAsian Indonesia.

]]>
https://destinasian.co.id/12-tempat-menikmati-seni-di-yogyakarta/feed/ 0
3 Hotel Seni di Yogyakarta https://destinasian.co.id/3-hotel-seni-di-yogyakarta/ https://destinasian.co.id/3-hotel-seni-di-yogyakarta/#respond Tue, 04 Aug 2020 14:45:48 +0000 https://destinasian.co.id/?p=57779 Penginapan yang didesain artistik, dipercantik karya seni, dilengkapi ruang ekshibisi.

The post 3 Hotel Seni di Yogyakarta appeared first on DestinAsian Indonesia.

]]>
Yogyakarta memiliki kampus seni bergengsi, bursa seni terbesar di Indonesia, bandara dengan rasa galeri, serta puluhan studio dan sanggar. Melengkapi tawarannya, provinsi ini memiliki pula hotel seni. Penginapan-penginapan ini didesain artistik, dipercantik karya seni, kadang dilengkapi ruang ekshibisi. Berikut tiga contohnya:   

Kiri-Kanan: Tanaman menggerayangi dinding Greenhost; Area lobi Greenhost, hotel butik di Jalan Prawirotaman. (Foto: Kresna Herdiato/Greenhost)

Greenhost Boutique Hotel
Lokasinya di jalan sempit, tanpa lahan parkir yang memadai. Akan tetapi, bagi pencinta seni, hotel bintang tiga ini menawarkan alamat yang strategis untuk menjangkau sejumlah institusi bergengsi, sebut saja Kedai Kebun, Cemeti, serta Langgeng Art Foundation.

Dalam gedung beton polos yang digerayangi tanaman, Greenhost mengoleksi 96 kamar yang didesain oleh tiga arsitek dan artis, yakni Ivan Christianto, Paulus Mintarga, dan Erick Dangian. Tiap kamarnya didesain minimalis dan diperkaya elemen kayu, dari mebel hingga plafon.

Hotel butik yang berlokasi di Jalan Prawirotaman ini juga memiliki spa dan ruang pertemuan. Di dekat kolam renangnya terdapat Art Kitchen Resto yang bersanding dengan ruang pamer Green Art Space.

Jl. Prawirotaman II No.629, Yogyakarta; 0274/389-777; greenhosthotel.com; mulai dari Rp415.000 untuk 25-26 Agustus 2020.

Lobi Artotel Yogyakarta, hotel yang melibatkan enam seniman dalam pembuatannya. (Foto: Artotel)

Artotel Yogyakarta
Di keluarga Artotel, seni adalah bagian integral dari identitas desain, bukan semata pemanis ruangan. Karena itu, para artis sewaannya terlibat dalam proses perancangan dan konstruksi bangunan. Untuk cabang Yogyakarta, Artotel bermitra dengan enam seniman: Uji Hahan, Apri Kusbiantoro, Ronald Apriyan, Fatoni Makturodi, Tempa Studio, serta Soni Irawan. Semuanya diberi tugas serupa: memberi sentuhan artistik berkarakter Jawa pada tubuh bangunan. 

Artotel Yogyakarta diresmikan pada akhir 2017. Kehadirannya cukup menyita sorotan. Maklum, hotel nyeni ini hadir di provinsi yang rajin mencetak seniman. Dalam bangunan 10 lantai, penginapan ini menaungi 105 kamar. Tergantung pada kategori kamar, tema mural di interior antara lain Dewi Sri, Bandung Bondowoso, dan Punakawan.

Seniman Fatoni Makturodi membuat mural di kamar Artotel Yogyakarta. (Foto: Kurniadi Widodo)

Sesuai pakem bisnis Artotel, cabang Yogyakarta dilengkapi ruang pamer. Rampung menyewa seniman, hotel ini ingin terus menjadi ruang eksplorasi seni. Fasilitas lainnya ialah restoran ROCA, Slide Bar, serta kolam renang. Satu fitur uniknya ialah The Golden Brass Slide, perosotan yang mengantarkan tamu dari lantai mezzanine menuju lobi, secara ekspres.

Jl. Kaliurang KM 5.6 No.14, Sleman; 0274/6000-333; artotelgroup.com; mulai dari Rp607.500 untuk 25-26 Agustus 2020.

Restoran di Lokal Hotel yang pernah dipakai syuting Ada Apa dengan Cinta 2. (Foto: Lokal Hotel)

Lokal Hotel
Sesuainya namanya, hotel ini dirakit dari bahan lokal oleh orang lokal memakai selera lokal. Gayanya trendi sekaligus rustic—sebuah tafsir kontemporer atas rumah tradisional Jawa. Di area interior, firma desain MISC menempatkan mebel kayu minimalis, mural, kandil berbentuk tripod, serta tegel warna-warni bermotif batik kawung.

Lokal Hotel menaungi 12 kamar dalam tiga kategori. Kecuali dalam hal luas, tak banyak perbedaan rasa dan tampilan di antara ketiganya. Kamar Tipe A memiliki tempat tidur ganda. Tipe B berkonsep loft dua lantai. Sementara Tipe C lebih cocok untuk tamu pasangan.

Kamar Tipe B di Lokal Hotel didesain berkonsep loft dua lantai. (Foto: Lokal Hotel)

Properti ini dimiliki oleh tiga pengusaha: Ari Respati, Gempa Tri Muryono, Hadi Wijaya. Mereka memulainya dengan restoran Lokal pada Februari 2014. Hingga kini, restorannya masih menjadi aset andalan. Walau beralamat di jalan cupet kawasan indekos, tempat ini acap ramai. Fenomena yang langka memang. Tak banyak restoran hotel yang laris di Yogyakarta. Walau tentu perlu dicatat, sebagian turis datang ke sini dalam rangka napak tilas Ada Apa dengan Cinta 2.

Jl. Jembatan Merah 104C, Sleman; 0274/524-334; lokalindonesia.com; mulai dari Rp449.999 untuk 25-26 Agustus 2020.

The post 3 Hotel Seni di Yogyakarta appeared first on DestinAsian Indonesia.

]]>
https://destinasian.co.id/3-hotel-seni-di-yogyakarta/feed/ 0
Tur Kopi di Yogyakarta https://destinasian.co.id/tur-kopi-di-jogja/ https://destinasian.co.id/tur-kopi-di-jogja/#respond Mon, 26 Nov 2018 04:50:04 +0000 http://destinasian.co.id/?p=43985 Selain mengoleksi lebih dari 1.000 kedai, Yogya giat menggelar ajang kopi dan mempromosikan biji lokal.

The post Tur Kopi di Yogyakarta appeared first on DestinAsian Indonesia.

]]>
Suasana kompetisi menyeduh kopi dengan teknik Aeropress di Kemari Coffee & Space.

Oleh Wiwik Mahdayani
Foto oleh Kurniadi Widodo

Melacak kedai Pak Rohmat yang menyempil di kawasan Menoreh, mobil saya terpaksa berhenti akibat terhadang proyek perbaikan jalan. Saya pun menelepon Pak Rohmat, dan beliau langsung menawarkan diri untuk menjemput saya menaiki sepeda motor, tanpa bertanya saya siapa, dari mana, dan mau beli kopi berapa cangkir. Orang ini mungkin layak diberi gelar barista paling baik hati. Walau kedainya sudah laris manis, dia tak segan memberi layanan ekstra kepada kliennya. Kehangatan sikapnya mendahului kehangatan kopinya.

Namanya Kedai Kopi Menoreh Pak Rohmat, tapi sang pemilik lebih suka menyebutnya “warung.” Alamatnya di Dusun Madigondo, sekitar 40 kilometer dari Bandara Adisutjipto. Perjalanan ke sini membawa saya menyusuri jalan berkelok di pinggang perbukitan dan menembus udara sejuk Kabupaten Kulon Progo.

“Warung saya buka setiap hari. Akhir pekan biasanya ramai. Kalau tidak pesan, kadang tidak dapat tempat,” kata Pak Rohmat. Lelaki paruh baya ini memperlakukan saya dengan santun layaknya kerabat yang sedang bertamu. Saya melihat sekeliling. Interior kedainya dibelah-belah sekat. Sebagian meja menyuguhkan pemandangan hutan dan kebun di sekitar. Tempat ngopi yang nyaman dan fotogenik.

“Ini kebetulan ada grup dari Madiun,” sambung Pak Rohmat seraya menunjuk sekelompok orang yang sedang mengobrol sambil menikmati camilan. “Banyak orang datang ke sini karena media sosial. Termasuk grup itu.”

Kedai sederhana ini lahir dari gagasan yang juga sederhana. Pak Rohmat semata ingin menyediakan wadah ngopi. Cara pandangnya itu baru bergeser usai mendapat bantuan modal dan pendampingan dari seorang pengusaha restoran di Kota Yogyakarta. Pak Rohmat perlahan sadar bahwa yang aset terpenting kedainya bukanlah cairan kafein, melainkan atmosfer pedesaan. “Sejak mendapat pendampingan, mulai dikunjungi oleh komunitas sepeda, rombongan motor gede, dan pengunjung situs religi yang terletak dekat sini,” jelasnya.

Kiri-kanan: Le Mindoni,kedai dengan fasad bergaya Eropa; susunan stoples berisi berbagai biji kopi di meja racik
Wikikopi, institusi pendidikan kopi yang berlokasi di lantai dua Pasar Kranggan.

Konsep menjual suasana guyub juga ditawarkan oleh Warung Kopi Merapi. Lokasinya, sesuai namanya, di kaki Gunung Merapi. Bak penghangat di tengah udara dingin, warung ini populer di kalangan turis. Kendati singgah di hari kerja, saya sulit mendapatkan meja.

Warung ini dirintis pada 2010, tapi bangunannya sempat hancur akibat erupsi hingga peresmiannya tertunda hingga 2012. Jaraknya dari kepundan memang hanya tujuh kilometer, menjadikannya salah satu warung dengan alamat paling berisiko di dunia. Warung Kopi Merapi juga tidak bergerak solo, melainkan bagian dari Desa Wisata Petung. Tur di sini dimulai dengan trekking di lereng, jalan-jalan di kebun kopi, kemudian ngopi di warung. Setidaknya begitu konsepnya. Belakangan, Warung Kopi Merapi justru lebih bersinar ketimbang desa wisatanya. Kecuali saat Gunung Merapi batuk-batuk, warung ini rutin disinggahi turis.

Warung Kopi Merapi dikelola oleh Pak Sumijo, aktor penting dalam bisnis kopi di lereng Merapi. Dia menjabat Ketua Koperasi Kebun Makmur, lembaga yang menaungi sekitar 800 petani dengan lahan tanam seluas 300 hektare. Sejarah tanaman kopi yang mereka budidayakan berakar pada zaman kolonial, tapi baru digarap intensif pada 1984, dimulai dengan varietas robusta, kemudian arabika.

Pak Sumijo dan Pak Rohmat adalah dua sampel sukses dari merekahnya bisnis kopi di Yogyakarta. Lama terkenal akan kampus dan senimannya, provinsi ini perlahan mulai tertera dalam peta kopi nasional. Kedai kopinya makin marak dan variatif. Sejumlah baristanya, sebut saja Qiqie Biant dan Firmansyah, mulai menapaki status selebriti. Iklim bisnis juga kian kondusif seiring meningkatnya apresiasi publik. Oktober tahun lalu misalnya, ajang Malioboro Coffee Night sukses memikat ribuan orang.

Seiring perkembangan itu, biji-biji lokal makin dikenal dan diminati. Selain memikat pelancong lewat warungnya yang fotogenik, Pak Sumijo dan Pak Rohmat rutin memasok kopi ke aneka kedai di kota melalui konsorsium petani. Yogyakarta memang sudah terjangkit demam third wave coffee movement, di mana salah satu cirinya adalah keberpihakan kepada petani lokal. Cobalah kunjungi sembarang kedai, maka hampir pasti kita akan menemukan kopi lokal dalam daftar menunya.

Kiri-kanan: Proses pembuatan kopi joss di Angkringan Lik Man, di mana arang dicemplungkan langsung ke cairan
kopi panas; Kasno, petani di lereng Merapi yang memproduksi kopi bubuk dan memasok banyak kedai di kota Yogyakarta.

Pak Kasno adalah figur sukses lain dari merekahnya budaya ngopi di sini. Petani di lereng Merapi ini sekarang kewalahan memenuhi permintaan pasar, baik dari kedai-kedai di kota maupun pembeli yang datang langsung ke rumahnya. “Saya tidak mau gara-gara orang mau beli, saya ambil dari orang lain,” jelas Pak Kasno tentang prinsip usahanya. “Kalau bukan kopi saya, tidak bisa saya jamin kualitasnya.”

Pak Kasno menanam kopi dengan sistem tumpang sari, praktik yang lumrah di Indonesia sebenarnya. Di tengah gerimis, dia mengajak saya blusukan di kebunnya, menerangkan perbedaan pohon robusta dan arabika, kemudian memasuki sebuah gudang yang dirakit dari bambu. “Ini full washed, itu honey,” katanya sembari menunjuk biji-biji olahan yang terserak di atas tepas.

Baca juga: Jogja Lautan Wayang

Petani kopi di Yogyakarta memiliki skala produksi yang kecil, itu sebabnya mereka acap kesulitan memenuhi permintaan pasar. Berbeda dari Toraja atau Gayo yang mengoleksi perkebunan lapang dengan pasar ekspor yang gemuk, mayoritas kebun di Yogyakarta hanya berbentuk kaveling yang menyebar sporadis dan melayani segmen domestik. Menyiasati kondisi tersebut, setiap habis panen, Pak Kasno menyimpan persediaan kopi untuk memenuhi kebutuhan pelanggannya. “Seperti ini saya sudah bahagia. Sudah cukup untuk keluarga.”

Akan tetapi, meski pasokannya terbatas, kualitas kopi Yogyakarta cukup kompetitif. Banyak petani telah memahami proses produksi modern untuk meningkatkan nilai tambah komoditasnya. Beberapa dari mereka tidak lagi menjual biji semata, tapi juga bubuk kemasan siap seduh, termasuk Pak Kasno yang menjajakan bubuk bermerek Kopi Merapi Pak Kasno. “Dulu kopi dihargai murah karena dijual tanpa diproses,” kenangnya. “Sekarang harganya lebih baik karena sudah diolah menjadi siap minum.”

Kiri-kanan: Sisa-sisa panen padi di kaki Perbukitan Menoreh, kawasan yang mulai marak ditanami pohon kopi; Pak Rohmat, petani sekaligus pemilik Kedai Kopi Menoreh, tempat yang populer di daerah Kulon Progo.

Progres di tingkat hulu itu tidak lepas dari campur tangan para pelaku di hilir. Banyak pengusaha kedai menjalin koneksi langsung dengan produsen, bukan pemasok. Mereka mengutus grader untuk menemui para petani dan memesan biji olahan dengan standar yang spesifik. Dari proses itulah berlangsung transfer pengetahuan tentang proses pengolahan kopi.

Andry Mahardhika adalah contoh pelaku hilir yang menjalin kerja sama dengan para petani, termasuk Pak Kasno. Dia seorang roaster yang mengasuh Barista & Koffie Lovers (BKVR), komunitas penikmat kopi di Yogyakarta. “Tujuannya memajukan kopi di Jogja,” jelasnya tentang alasannya bermitra dengan petani.

Andry sudah 13 tahun menetap di Yogyakarta. Dia primbon yang cukup tebal untuk menggali dunia perkopian lokal. Katanya, per Maret 2017, Provinsi Yogyakarta mengoleksi 1.054 kedai kopi. Kendati demikian, lanjutnya, skena kopi di sini masih terbilang muda. Kedai baru menjamur dalam beberapa tahun terakhir. Sebelumnya, Yogyakarta praktis didominasi budaya minum teh dan wedang.

Sebagaimana yang berlangsung di daerah lain, pertumbuhan kedai kopi di Yogyakarta merupakan buah dari peningkatan daya beli, serta pertumbuhan populasi kaum kaya dan generasi muda yang melek tren. Data ekonomi memang memperlihatkan tingkat konsumsi di sini tumbuh signifikan. Bahkan, menurut BPS, ketimpangan pengeluaran warga Yogyakarta merupakan yang tertinggi di Indonesia pada 2017. Statistik itu pula yang menjelaskan kenapa Starbucks membuka cabangnya di sini. Di tempat di mana kita bisa makan enak bermodalkan Rp20.000, pemilik kedai harus yakin publik punya jatah jajan cukup royal untuk membeli kopi seharga Rp30.000 per cangkir.

Selain peningkatan daya beli, infiltrasi kultur kopi ke Yogyakarta juga diuntungkan oleh lanskap sosial yang kondusif. Kedai-kedai tak menghadapi resistensi. Budaya kongko sambil minum sudah lama dipraktikkan di angkringan atau lesehan. Setidaknya itulah yang saya pahami saat menyambangi SUA Coffee, salah satu tempat ngopi terpopuler di kota. Mengisi bekas garasi, SUA terasa intim. Sela antar-meja sedemikian sempit, sehingga saya bisa dengan mudah berinteraksi dengan tamulainnya. “SUA mengambil konsep dari kata ‘bersua.’ Ini meeting point. Kami ingin tak ada jarak antar-pengunjung,” jelas Woro Agustin, salah seorang pemiliknya.

SUA menyajikan kopi dari beragam daerah, termasuk bubuk asal Jakarta. Kedai ini berhasil menjala banyak pelanggan loyal. Berbagi ruang dengan sebuah distro, SUA juga tampil sebagai ruang kreatif yang atraktif. Bagi Woro, tantangan bisnis berikutnya adalah mengedukasi publik tentang tradisi ngopi yang cerdas. “Sekarang kopi banyak yang bagus dan berkarakter,” jelas Woro yang juga seorang jurnalis.

Kiri-kanan: Kopi lanang dan jajanan pasar, menu andalan Kedai Kopi Menoreh yang berlokasi di Dusun Madigondo, sekitar 40 kilometer dari Bandara Adisutjipto; Firmansyah alias Pepeng, pemilik Klinik Kopi, di depan kedainya yang rimbun dan pernah dijadikan lokasi syuting Ada Apa Dengan Cinta? 2.

Kedai lain yang juga punya banyak penggemar adalah Klinik Kopi. Pamornya melambung usai dijadikan lokasi syuting Ada Apa Dengan Cinta? 2. Bangunannya didesain semiterbuka, didominasi materi bambu dan kayu, serta dikepung pohon rimbun. Cocok untuk syuting film memang.

Klinik Kopi dipimpin oleh Firmansyah alias Pepeng. Kisahnya dimulai saat dia mendapat kopi asal Australia, di mana kemasannya mencantumkan informasi seputar rasa, aroma dan kisah di baliknya. Terpikir untuk menggarap konsep sejenis di Indonesia, Pepeng kemudian mengunjungi kebun-kebun kopi di Sumatera Barat, tapi yang didapatnya di sana ternyata bukanlah cerita, melainkan drama. “Dari petani dapat banyak informasi, bahkan cerita di luar kopi. Cara mereka mempertahankan tanah, cara supaya anak bisa sekolah dari kopi,” kenangnya.

Usai perjumpaan itu, Pepeng memodifikasi agendanya. Dia tak cuma ingin menyajikan kopi yang sarat cerita, tapi juga mengusung misi sosial. “Kami lebih selektif dalam memilih kopi. Kami beli dengan harga mahal karena kami ingin petani merdeka di tanah sendiri. Sehingga mereka rutin supply ke kami,” ujarnya.

Baca juga: Secangkir Cerita Kopi Bali

Di tengah obrolan, Pepeng beranjak ke meja kerjanya yang dipenuhi stoples, kemudian meracik salah satu kopi “pro petani” versinya: segelas Padusi yang disandingkan dengan earl grey chiffon cake buatan istrinya. Kopinya disangrai dengan kadar light roast. Tujuannya, katanya, demi mengapresiasi kerja keras para petani. “Profil light roast mempertahankan rasa kopi. Orang selama ini tahunya kopi pahit, padahal rasanya kompleks.”

Klinik Kopi menganut konsep third wave puritan. Di sini, kopi dipandang sama sakralnya dengan wine, karena itu disajikan tanpa gula ataupun susu. Menikmatinya pun dengan cara lesehan, tanpa meja, juga tanpa WiFi. Walaucukup nekat untuk standar Yogyakarta, konsep itu disambut pasar. Di jam-jam sibuk, tamu mesti antre demi mendapatkan kopi seduhan Pepeng, juga menyimak kisah-kisah pertemuannya dengan para petani.

Angkringan Lik Man, salah satu sarang nokturnal paling terkenal di Yogyakarta.

Meninggalkan Pepeng, saya mengunjungi Wikikopi, sebuah institusi yang berniat membawa misi edukasi kopi ke level yang berbeda. Jika Klinik Kopi menyuguhkan kopi sembari mendidik publik, Wikikopi berniat mendidik para pendidik kopi.

Lokasinya di lantai dua Pasar Kranggan, beberapa langkah dari Tugu Jogja. Dibandingkan kedai lain di kota, interiornya relatif banal, mungkin karena fungsinya bukanlah tempat kongko. “Kami menyebutnya Sekolah Wikikopi. Fokus kami pendidikan. Kopi hanya alat untuk belajar,” jelas Tauhid Aminulloh, Strategic Communication Specialist Wikikopi.

Duduk di “kampus kopi” mungil ini, saya disuguhi secangkir Java Gunung Halu yang bersumber dari ketinggian 1.300 meter. Peraciknya tidak berstatus karyawan, melainkan peserta residensi. Program mondok ini sudah memasuki angkatan ke-13. Tujuannya mencetak kader yang tak cuma mampu membedakan antara Aeropress dan V60, tapi juga memahami aspek bisnis kopi secara komprehensif, termasuk struktur industrinya dan mata rantai pemasarannya. “Kami ingin produsen mampu mengidentifikasi value yang ada di konsumen. Pemberi rasa pada kopi adalah petani. Peran barista sekitar 10 persen,” tambah Tauhid.

Skena kopi Yogyakarta memang masih muda, tapi ekosistemnya lumayan lengkap. Ada sentra produsen kopi, kedai hipster, barista nasionalis, lembaga pelatihan, serta sejumlah ajang dan tur kopi. Mosaik perkopian yang tadinya berserakan di benak saya, kini mulai menyatu sebagai gambaran utuh. Tapi sebenarnya masih ada satu keping mosaik yang tersisa dari perjalanan saya. Memahami budaya kopi di Yogyakarta rasanya tak lengkap tanpa melawat kedai kopi paling legendaris di sini.

Suatu malam, saya singgah di Angkringan Lik Man. Tempat ini berada di kawasan Stasiun Tugu, menghuni badan trotoar. Lampu jalan memberi tambahan cahaya pada gerobak pikul suram yang tidak kentara lagi warna aslinya. Layaknya angkringan, pemiliknya memang lebih peduli pada hidangan ketimbang desain.

Kiri-kanan: Antologi Collaboractive Space, ruang kerja komunal merangkap kedai kopi yang berafiliasi dengan Wikikopi; proses menyeduh kopi yang dilakukan dengan saksama.

Angkringan Lik Man lahir di periode second wave, dan sepertinya tak pernah beranjak dari masa itu. Sejak 1960-an, sajian utamanya tetaplah kopi joss, sebuah inovasi revolusioner dari pedagang asal Klaten. Kopi ini diracik dengan metode janggal yang tidak tercantum dalam kurikulum resmi barista: mencemplungkan arang ke cairan kopi yang baru diseduh. Entah terminologi apa yang pas untuk menggambarkan karakter rasanya. Earthy, carbony, smoky? Kopi pesanan saya datang. Saya menyesapnya seraya mencoba meraba rasanya. Di sekitar saya, orang-orang dari berbagai kelas sosial duduk santai mengelilingi pikulan. Saya

tak tahu apakah mereka acuh dengan rasa kopi joss, tapi yang pasti Lik Man sukses mengembalikan khitah kopi sebagai lubrikan sosial. Tempat ini sekaligus menyadarkan saya apa yang membuat skena kopi Yogyakarta terasa berbeda: kehangatan orang-orangnya.

PANDUAN
Rute
Penerbangan ke Yogyakarta dilayani oleh semua maskapai nasional, termasuk Garuda Indonesia (garuda-indonesia.com), Citilink (citilink.co.id), dan Sriwijaya Air (sriwijayaair. co.id). Bandara baru Yogyakarta berlokasi di Kulon Progo dan ditargetkan beroperasi mulai pertengahan 2019.

Tur Kopi
Kawasan Demangan Baru mengoleksi banyak kedai populer, contohnya SUA Coffee (0274/292-1350) dan Kopi Ketjil (kopiketjil.com). Mengusung misi edukasi, Wikikopi (0812- 1515-2141) rutin membuka kelas residensi bagi barista. Kedai edukatif lainnya, Klinik Kopi (0813-9278- 4240; klinikkopi.com), tersohor usai dijadikan lokasi syuting Ada Apa Dengan Cinta? 2. Jika ingin ngopi sembari bernostalgia, kunjungi Angkringan Lik Man (Jl. Wongsodirjan). Berpindah ke belahan barat Yogyakarta, pengalaman ngopi di tengah udara sejuk ditawarkan oleh Kedai Kopi Menoreh Pak Rohmat (0878-4319- 6105). Di sisi utara, sensasi serupa bisa dinikmati di Warung Kopi Merapi (0812- 1567-8442). Selagi di sini, kunjungi pula Kebun Kopi Pak Kasno (0823-24487- 994) yang terhampar di belakang area parkir wisata Lava Tour.

Dipublikasikan perdana di majalah DestinAsian Indonesia edisi Oktober/Desember 2018 (“Kultur Kopi Kordial”)

The post Tur Kopi di Yogyakarta appeared first on DestinAsian Indonesia.

]]>
https://destinasian.co.id/tur-kopi-di-jogja/feed/ 0
Melihat Proses Pembuatan Hotel Seni di Yogyakarta https://destinasian.co.id/seni-masuk-hotel/ https://destinasian.co.id/seni-masuk-hotel/#respond Fri, 18 May 2018 06:03:39 +0000 http://destinasian.co.id/?p=37632 Sebuah hotel seni hadir di provinsi yang rajin mencetak seniman. Simak cara pembuatannya.

The post Melihat Proses Pembuatan Hotel Seni di Yogyakarta appeared first on DestinAsian Indonesia.

]]>
Apri Kusbiantoro dibantu asistennya melekatkan karya bertema punakawan pada dinding salah satu kamar di lantai tujuh.

Oleh Boy Nugroho
Foto oleh Kurniadi Widodo

Mengenakan kaus oblong dan celana pendek, Apri Kusbiantoro menciptakan mural empat karakter punakawan pada dinding kamar nomor 701. Tema ini dipilihnya lantaran memiliki makna simbolis yang dalam. Punakawan, representasi rakyat kecil dalam jagat pewayangan, akrab bergaul dengan kalangan bawah dan luwes menembus kasta atas. Ditambah lagi, mereka sarat nilai kearifan Jawa, cocok untuk menghiasi sebuah hotel yang bersemayam di Yogyakarta.

Di kamar lain, Fatoni Makturodi juga sedang bergelut dengan mural. Jika Apri mengusung tema yang merakyat, Fatoni mengangkat kisah tragis Bandung Bondowoso. Kita ingat, tokoh ini melegenda sebagai kontraktor terhebat di dunia. Demi meminang Roro Jonggrang, dia mengerek 999 candi dalam semalam dengan bantuan  legiun jin. Tokoh-tokoh mitologis inilah yang diolah Fatoni untuk melapisi kamar di lantai atas hotel.

Apri dan Fatoni, dua seniman yang berbasis di Yogyakarta, sedang membuat karya pesanan Artotel Yogyakarta. Selama kurang lebih sebulan, keduanya dikomisi untuk memberi sentuhan artistik berkarakter Jawa pada kamar-kamar hotel anyar ini. Selain keduanya, Artotel menyewa Uji ‘Hahan’ Handoko, Soni Irawan, Ronald Apriyan, serta duet Rara Kuastra dan Putud Utama. Proses pemilihan mereka melibatkan Heri Pemad, CEO ArtJog, bursa seni terbesar di Indonesia.

Bagi Artotel, menyewa seniman adalah praktik yang lumrah. Jaringan hotel lokal ini selalu menghiasi setiap propertinya dengan buah kreativitas para perupa. Di Jakarta, mereka menyewa antara lain Eddie Hara untuk mempercantik restoran, serta Darbotz untuk mewarnai fasad hotel. Di Sanur, tamu disambut oleh patung buatan Pintor Sirait dan dihibur oleh mural dari Kemal Ezedine.

Kiri-kanan: Fatoni Makturodi di kamar hotel yang ditaburi mural buatannya; detail karya bertema Roro Jonggrang buatan Fatoni Makturodi.

Membuat hotel semacam itu tidaklah mudah. Untuk memilih seniman, Artotel menciptakan profesi Art Manager yang kini dijabat oleh Safrie Effendi. Dialah yang bertugas melacak kandidat perupa untuk dikomisi. Safrie, alumnus Savannah College of Art & Design, rajin bergerilya ke banyak pameran dan galeri, melakoni proses evaluasi dan kurasi, lalu mempresentasikan artis pilihannya kepada pihak hotel—proses yang biasanya lebih rumit ketika Artotel cuma bertindak sebagai pengelola, bukan pemilik bangunan, seperti dalam kasus Artotel Yogyakarta.

Bagi para seniman yang terlibat, Artotel juga menghadirkan tantangan tersendiri. Galibnya proyek komisi komersial, mereka tak bisa lagi bertindak sebagai subjek otonom yang berkreasi sesuka hati, sebab ada “syarat dan ketentuan” yang wajib ditaati. Supaya karya selaras dengan karakter bangunan misalnya, mereka mesti beradaptasi dengan gaya desain hotel. Kemudian, di tahap eksekusi, mereka harus sudi bekerja di lingkungan yang tak melulu kondusif dan steril layaknya studio, sebab proses berkarya digelar bersamaan dengan proses konstruksi bangunan.

Repotnya proses itu terlihat pula di ROCA, restoran yang bertengger di atas lobi Artotel Yogyakarta. Di sini, Rara Kuastra dan Putud Utama—duet yang bernaung di bawah Tempa Studio—meracik instalasi di antara tukang yang sibuk hilir mudik dikejar tenggat. Tempa meramu figur Dewi Sri yang dilukis pada sepotong kayu besar yang digantung di dinding. Karyanya sudah rampung, tapi terpaksa dicopot karena mural pada dinding di belakangnya mesti diselesaikan. Kendala lain muncul pada pintu restoran yang rencananya akan dilapisi ilustrasi. Baru saja sketsa akan digoreskan, pihak kontraktor mengumumkan pintu itu akan diganti. Alhasil, proses berkarya tertunda hingga dua minggu.

Artotel Yogyakarta, hotel yang bersarang di Jalan Kaliurang, merupakan properti keempat Artotel di Indonesia. Merek butik yang dirintis di Surabaya pada 2012 ini cukup giat berekspansi, dan pasar sepertinya merespons konsepnya yang segar. Tahun ini, Artotel akan melebarkan sayapnya ke Bandung, Ubud, dan Semarang. Masing-masingnya menyewa seniman yang berbeda.

Seorang pekerja sedang memasang sistem audio di atas karya seni yang melapisi dinding restoran ROCA di Artotel Yogyakarta, hotel yang menyewa tujuh seniman untuk mempercantik interiornya.

Sesuai namanya, Artotel beriktikad menjadi “hotel seni.” Bukan spesies yang baru sebenarnya di dunia perhotelan, tapi kiprahnya menarik dicermati. Pendekatan yang dipakainya terbilang langka. Selama ini “hotel seni” didefinisikan sebagai penginapan yang ditaburi lukisan atau instalasi yang dibeli oleh si pemilik hotel. Sementara di Artotel, seni bangunan. Hasilnya: bukan semata hotel seni, tapi hotel yang nyeni.

Dicerna memakai kacamata bisnis, konsep itu tentu bisa dipandang sebagai taktik pemasaran belaka. Di tengah persaingan, wajar jika pengusaha hotel berlomba memberi tawaran yang unik demi menjala tamu. Akan tetapi, dalam kasus Artotel, pilihan itu agaknya juga dilatari interes personal sang pemilik. Erastus Radjimin, CEO Artotel Group, merupakan seorang pencinta seni. Perupa yang disewa Artotel Yogyakarta bukan nama yang asing baginya. Erastus, misalnya, sudah memiliki beberapa karya Ronald Apriyan.

Lazimnya hotel seni pula, Artotel tak semata menghidangkan permainan visual. Hotelini juga ingin berperan layaknya galeri yang mengadakan pameran secara berkala. Daniel Sunu Prasetyo, General Manager Artotel Yogyakarta, menguraikan rencananya menggelar ekshibisi seni tiap sebulan atau dua bulan sekali di galeri hotelnya.

Bagi Yogyakarta, kehadiran Artotel Yogyakarta jelas memperkuat citra provinsi ini sebagai kutub seni Indonesia. Selain kampus seni terpandang, bursa seni raksasa, dan beragam galeri mentereng di daerah Bantul, Yogyakarta kini memiliki sebuah hotel yang menjadikan seni bagian dari identitas bisnisnya. Satu hal yang menarik, tak semua orang menyambutnya dengan tangan terbuka.

The post Melihat Proses Pembuatan Hotel Seni di Yogyakarta appeared first on DestinAsian Indonesia.

]]>
https://destinasian.co.id/seni-masuk-hotel/feed/ 0
Panduan Wisata 7 Kota di Jawa Rekomendasi Pakar Lokal https://destinasian.co.id/panduan-wisata-di-pulau-jawa/ https://destinasian.co.id/panduan-wisata-di-pulau-jawa/#respond Tue, 18 Jul 2017 09:58:06 +0000 http://destinasian.co.id/?p=25599 Rekomendasi tempat atraktif di Solo, Yogyakarta, Semarang, Malang, Surabaya, Jakarta, Bandung.

The post Panduan Wisata 7 Kota di Jawa Rekomendasi Pakar Lokal appeared first on DestinAsian Indonesia.

]]>
Curug Cimahi di Bandung Barat. (Foto oleh: Fransisca Angela)

Wawancara oleh Cristian Rahadiansyah dan Yohanes Sandy

Bandung
Direkomendasikan oleh Pashatama, penulis lepas untuk situs TripCanvas Indonesia, memiliki minat besar di dunia kuliner dan gemar mencicipi tempat-tempat makan baru, terutama yang terletak di Kota Bandung dan sekitarnya. Wanita yang kerap disapa Shasya ini juga mengasuh blog kuliner Surga Makan (surgamakan.com).

Curug Cimahi. Air terjun ini berlokasi di Bandung Barat, sekitar 19 kilometer arah utara Kota Bandung. Panoramanya menakjubkan. Alam di sekitarnya terawat asri. Menyaksikan Curug Cimahi juga kian menyenangkan berkat kehadiran dek yang bertengger di atas air terjun. “Yang menantang adalah 562 anak tangga yang harus didaki untuk menjangkau Curug Cimahi,” ujar Shasya. “Jika beruntung, Anda bisa melihat pelangi yang melengkung indah di atas air terjun ini. Oleh karena itu, air terjun ini juga dikenal dengan sebutan Curug Pelangi.”

Café D’ Pakar. Café D’ Pakar bercokol di kawasan kongko yang populer di Bandung, persisnya di tepi jalan menuju objek wisata Tebing Keraton. “Ini tempat yang ideal untuk menikmati pemandangan khas dataran tinggi Bandung lengkap dengan pohon-pohon pinusnya yang menjulang tinggi,” ujar Shasya. Tapi Café D’ Pakar sebenarnya tak cuma menawarkan pemandangan. Menurut Shasya, kafe ini juga meracik menu-menu yang menggugah selera, sebut saja nasi pedas bakar atau soto Bandung. “Untuk camilan, silakan coba cireng atau singkong goreng, lalu nikmati di area duduk outdoor.”

Resor berkonsep glamping.

Trizara. Bertengger di dataran tinggi Lembang, sekitar satu jam di utara Kota Bandung, resor berkonsep glamping dengan sentuhan India ini menawarkan wadah relaksasi yang dibalut udara sejuk. Tapi bukan cuma itu alasan Shasya menyukainya. Trizara juga menyajikan beragam aktivitas outdoor yang menarik, mulai dari yoga, panahan, atraksi high ropes, serta sesi barbeku. “Jadi tamu tak perlu keluar lagi dari lokasi resor,” jelas Shasya. Selain Trizara, properti glamping lain yang direkomendasikan Shasya adalah Glamping Lakeside yang bersemayam di kawasan Bandung Selatan. Resor ini menawarkan tenda-tenda yang berbaris di tepi Situ Patenggang.

Stone Garden. Tebing Keraton masih laris didatangi turis, namun jika Anda mencari suaka alam yang lebih sepi, Shasya menyarankan Stone Garden. Lokasinya di Padalarang, sekitar 90 menit berkendara ke arah barat laut Kota Bandung. Tempat yang bertengger di dataran tinggi ini sedang bersinar berkat lanskapnya dan panoramanya yang mengagumkan. Kerap dijuluki Geopark mini, Stone Garden adalah kompleks cadas di perbukitan yang ditaburi bebatuan. “Tempatnya Instagrammable sekali dengan latar kota Bandung di kejauhan,” ujar Shasya. Berkat sosoknya yang fotogenik, Stone Garden kian populer sebagai lokasi foto pranikah.

Peta Park. Merangsang kemunculan ruang publik adalah salah satu kebijakan yang kian populer di kalangan pemimpin daerah di Indonesia, termasuk di Bandung, kota yang dipimpin oleh seorang mantan arsitek terpandang. Bandung kini tengah menikmati kehadiran sejumlah ruang publik yang menawarkan oasis di tengah kepadatan kota, contohnya Taman Lansia dan Taman Film. Satu taman lain yang direkomendasikan Shasya adalah Peta Park. Taman hijau yang terletak di Jalan Peta ini baru diresmikan pada 2016. Selain bersantai dan piknik, Peta Park kerap digunakan warga sebagai lokasi pameran dan bazar. “Karena fasilitasnya yang lumayan lengkap, taman ini juga cocok sebagai tempat bermain bagi anak maupun hewan peliharaan,” tambah Shasya.

The post Panduan Wisata 7 Kota di Jawa Rekomendasi Pakar Lokal appeared first on DestinAsian Indonesia.

]]>
https://destinasian.co.id/panduan-wisata-di-pulau-jawa/feed/ 0
Mengintip Dapur Mobil Hias Yogya https://destinasian.co.id/mengintip-dapur-mobil-hias-yogya/ https://destinasian.co.id/mengintip-dapur-mobil-hias-yogya/#respond Mon, 03 Jul 2017 03:28:29 +0000 http://destinasian.co.id/?p=25323 Alun-Alun Kidul semarak oleh kehadiran mobil hias. Ini kisah para pembuatnya.

The post Mengintip Dapur Mobil Hias Yogya appeared first on DestinAsian Indonesia.

]]>
Jejeran mobil hias yang meramaikan Alun-Alun Kidul.

Oleh Alfian Widiantono

Kondisinya mulai berubah pada 2013. Alkid, begitu warga biasa menyingkat Alun-Alun Kidul, terasa kian semarak berkat kehadiran lampu warna-warni dan lagu bising dari mobil-mobil hias. Kendaraan ini menawarkan pengunjung berkeliling alun-alun. Kapasitasnya empat orang per mobil. Sistem kerjanya mirip odong-odong: dikayuh. Yang membuatnya menarik, selain cahaya dan suaranya, adalah desainnya. Mobil-mobil ini menampilkan tema desain karakter animasi hingga hewan.

Atraksi itu sukses menyuntikkan gairah segar pada Alkid. Tempat ini sekarang memiliki magnet wisata baru. Keberhasilan mobil hias di sini bahkan telah menular ke tempat lain. Sejumlah daerah di Indonesia kini menyuguhkan atraksi serupa, sebut saja Pangandaran, Batu, dan Medan.

Seorang pemuda sibuk merakit mobil hias yang akan tampil meriah malam nanti.

Muhammad Arifin adalah salah seorang yang berperan vital dalam kelahiran wahana hiburan mobil hias di Alkid. Pria 32 tahun ini awalnya hanya melayani jasa las logam di bengkelnya yang berada di Kasihan, Bantul. Pada 2009, dia mulai berkreasi merakit kereta hias. Empat tahun berselang, Arif iseng mendesain mobil hias yang terinspirasi mobil antik. Iseng-iseng yang kemudian melahirkan bisnis laris.

Awalnya Arif bekerja solo di bengkelnya yang bernama Yoga Art. Tapi setelah pesanan kian deras, dia memutuskan mempekerjakan 10 karyawan. Berkat tenaga tambahan ini, Arif bisa fokus berinovasi, misalnya dengan menambah variasi desain. Selain bentuk VW Beetle, Yoga Art mencetak bentuk Jazz, Morris, dan VW Combi.

Kisah mobil hias di Yogyakarta bergema ke daerah lain. Beberapa pelanggan dari luar kota, termasuk Sumatera, Kalimantan, dan Papua, mulai menghubungi Arif. Bahkan pesanan mulai datang dari negeri seberang. Malaysia dan Singapura adalah dua negara yang rutin masuk daftar order Arif. Dalam kondisi normal, Yoga Art mencatatkan rata-rata delapan pesanan mobil hias per bulan. Jumlahnya berlipat menjelang musim libur panjang seperti bulan puasa dan akhir tahun.

Proses perakitan tiap unit digarap dengan serius.

Arif mematok harga 15-18 juta rupiah per unit, tergantung jenis dan jumlah pesanan. Harga itu sudah termasuk ornamen lampu LED, sound system, dan aki. Untuk satu mobil hias, waktu pengerjaannya sekitar dua minggu, dimulai dengan mencetak bodi berbahan fiberglass, merakit dengan rangka besi, mengecat, hingga memasang aksesori. Yoga Art tak cuma menjalin kontrak dengan pelaku usaha wisata, tapi juga makelar. Biasanya makelar mengambil unit “kosongan,” yaitu bodi tanpa aksesori.

Arif mengaku saat ini jumlah pesanan cukup stabil. Selain karena mobil hias masih populer, bisnis ini belum memiliki banyak pemain. Menurut Arif, hanya ada dua bengkel di Indonesia yang melayani jasa pembuatan mobil hias. Selain Yoga Art di Bantul, kita bisa menemukannya di daerah Kalasan, Sleman.

Arif kini tengah menuai buah manis dari kreativitasnya. Dia hanyalah contoh kecil bagaimana inovasi sederhana bisa berdampak besar, bukan hanya untuk mendatangkan uang, tapi juga menghidupkan sebuah tempat yang suram semacam Alkid.

IMG_3254_edit IMG_7686_edit IMG_7828_edit
Seorang pemuda sibuk merakit mobil hias yang akan tampil meriah malam nanti.

The post Mengintip Dapur Mobil Hias Yogya appeared first on DestinAsian Indonesia.

]]>
https://destinasian.co.id/mengintip-dapur-mobil-hias-yogya/feed/ 0
Tanah Seribu Candi https://destinasian.co.id/tanah-seribu-candi/ https://destinasian.co.id/tanah-seribu-candi/#respond Thu, 30 Jun 2016 03:17:54 +0000 http://destinasian.co.id/?p=20710 Mengabadikan candi-candi yang bertaburan di Jawa Tengah.

The post Tanah Seribu Candi appeared first on DestinAsian Indonesia.

]]>
Candi Sewu yang terletak di kompleks Candi Prambanan.

Oleh Putu Sayoga

Layaknya sebuah artefak, candi memang telah membeku dan membatu. Tapi sebagai sebuah topik dokumentasi, ia sejatinya masih mendedahkan cerita. Candi berbicara tentang masa lalu, tentang peradaban yang lampau, tentang khazanah arsitektur, juga timbul-tenggelamnya kekuasaan.

Dan candi-candi baru masih “bermunculan.” Pada 2009, Véronique Degroot, peneliti dari Universitas Leiden, pernah mencatat 289 situs yang (pernah atau masih) dihuni candi di Jawa Tengah dan Yogyakarta. Tak lama setelah penelitiannya rampung, sebuah candi secara tak sengaja ditemukan di Magelang oleh seorang pekerja kebun salak saat tengah menggali parit. Dari peristiwa itu, kita pun disuguhkan cerita baru. Candi bagaikan buku sejarah yang belum tuntas kita baca.

Candi Barong di Klaten.

Dokumentasi saya atas beberapa candi di Jawa Tengah dan Yogyakarta ini berlangsung sejak awal Oktober 2015. Untuk tahap awal, fokus saya adalah kawasan Sleman dan Klaten. Proyek ini saya beri tajuk The Land of Ancient Temples. Terinspirasi laporan-laporan arkeologi di zaman penjajahan Belanda, saya memotret memakai aplikasi Hipstamatic di iPhone dengan harapan bisa memberikan presentasi visual yang terkesan “lawas” dan “historis.”

Dua candi yang paling masyhur di Jawa Tengah dan Yogyakarta tentu saja Borobudur dan Prambanan. Keduanya sudah ditetapkan sebagai Situs Warisan Dunia oleh UNESCO. Namun di luar keduanya sebenarnya ada banyak candi lain yang kurang dikenal publik dan tak kalah menarik untuk dikunjungi.

Fasad Candi Sari di Sleman yang megah.

Ekspedisi saya dimulai dengan mengunjungi Candi Sari yang bersemayam di Dusun Bendan. Candi Sari, yang lazim dikenal dengan nama Candi Bendan, merupakan candi Buddha yang dirakit pada abad ke-8 sebagai asrama biksu. Saat saya datang, hanya ada dua turis asing yang berkunjung.

Dari Candi Sari, saya meluncur selama 10 menit menuju Candi Kalasan yang juga dikenal dengan Candi Kalibening karena letaknya di Desa Kalibening. Candi ini tidak sulit dilacak berhubung lokasinya sangat dekat dari jalan raya yang menghubungkan Yogyakarta dan Solo. Candi Buddha ini diperkirakan dibangun pada abad ke-8 oleh Wangsa Sailendra sebagai tempat pemujaan untuk Dewi Tara.

Candi Sambisari di Sleman yang populer di kalangan remaja.

Sekitar 15 menit ke sisi utara Candi Kalasan, saya menemukan Candi Sambisari. Suasananya lebih ramai. Banyak remaja memanfaatkannya sebagai tempat pacaran dan bercengkerama. Petilasan tua ini diperkirakan dibangun pada abad ke-9. Uniknya, posisinya sekitar 6,5 meter di bawah permukaan tanah.

Di etape berikutnya, saya singgah di kompleks Candi Prambanan. Merujuk Prasasti Siwagrha, sejumlah arkeolog menduga Prambanan dikerek pada abad ke-9 oleh Dinasti Sanjaya. Sementara UNESCO menulis Prambanan dikonstruksi pada abad ke-10 sebagai kompleks candi terbesar di Indonesia yang didedikasikan bagi Dewa Siwa. Prambanan, salah satu ikon wisata sejarah di Jawa Tengah, telah lama tercantum dalam sirkuit turis. Pada 2014, pengunjungnya mencapai 1,3 juta orang. Untuk menambah daya tariknya, sebuah festival musik bernama Prambanan Jazz akan digelar di sini pada pertengahan Agustus 2016 dengan menampilkan Boyz II Men dan Rick Price.

Di kawasan Prambanan terdapat candi lain yang kadang luput dari radar pengunjung, yakni Candi Sewu. Walau berdampingan dengan Prambanan yang berstatus candi Hindu, Candi Sewu sejatinya merupakancandi Buddha. “Sewu” berarti “seribu” dalam bahasa Jawa, tapi kompleks Candi Sewu sebenarnya hanya menampung 249 candi yang terdiri dari satu candi utama, delapan candi pengapit, dan 240 candi perwara. Candi ini diperkirakan dibangun pada masa awal kekuasaan Mataram Kuno. Candi lain di dekat Prambanan yang menarik adalah Candi Plaosan yang dibangun pada awal abad ke-9. Kompleksnya terbagi dua: Candi Plaosan Lor di sisi utara dan Candi Plaosan Kidul di selatan.

Candi Banyunibo dengan letak yang tersembunyi di Dusun Cepit, Klaten.

Berpaling ke Yogyakarta, saya memulai dokumentasi di Candi Banyunibo. Untuk menjangkaunya, saya mesti meniti jalan sempit yang diapit sawah. Candi Banyunibo bermukim di Dusun Cepit. Kompleksnya tidak terlalu besar, kontras dari tetangganya yang cukup tersohor dan megah, yakni Candi Ratu Boko. Bersama Borobudur dan Prambanan, Ratu Boko merupakan aset wisata andalan Indonesia dengan torehan jumlah pengunjung menembus lima juta orang pada tahun lalu. Karena nilai strategisnya pula, ketiganya dikelola oleh sebuah perusahaan dengan nama PT. Taman Wisata Candi Borobudur, Prambanan & Ratu Boko.

Tak semua candi mudah didatangi. Saat mencari Candi Sojiwan misalnya, saya sempat tersesat karena lokasinya menyempil di perkampungan Dukuh Kalongan. Situs lainnya, misalnya Candi Barong, menuntut stamina prima berhubung posisinya di perbukitan. Candi Barong berbentuk punden berundak dan menampilkan satu candi utama dan tiga candi pengapit.

Reruntuhan Candi Ijo yang terletak di kawasan Sleman.

Pemberhentian terakhir saya adalah Candi Ijo. Kompleks ini terdiri dari 17 candi yang terbagi dalam 11 teras berundak. Beberapa hanya berbentuk reruntuhan atau setengah tersusun. Candi Ijo diperkirakan mulai dirangkai pada abad ke-10. Dibandingkan candi-candi lain di Yogyakarta dan Klaten, Candi Ijo lokasinya paling tinggi. Tak heran saban sore tempat ini menjadi persinggahan favorit warga untuk menonton prosesi terbenamnya matahari.

Putu Sayoga (putusayoga.net) adalah fotografer travel dan dokumenter yang berbasis di Bali. Putu pernah berpartisipasi dalam pameran foto City of Waves (2014) di Galeri Nasional, Jakarta, dan Life in Contrast (2010) di Grand Indonesia Shopping Town, Jakarta.

candi sewu candi barong candi sari candi sambisari candi banyunibo candi ijo
Candi Banyunibo dengan letak yang tersembunyi di Dusun Cepit, Klaten.

The post Tanah Seribu Candi appeared first on DestinAsian Indonesia.

]]>
https://destinasian.co.id/tanah-seribu-candi/feed/ 0
Yogya Melawan Komoditisasi Seni https://destinasian.co.id/dinamika-dunia-seni-di-yogyakarta/ https://destinasian.co.id/dinamika-dunia-seni-di-yogyakarta/#respond Fri, 04 Dec 2015 04:55:59 +0000 http://destinasian.co.id/?p=18999 Bagaimana kutub seni Indonesia melawan cengkeraman pasar.

The post Yogya Melawan Komoditisasi Seni appeared first on DestinAsian Indonesia.

]]>
Patung karya I Made Palguna dalam pameran solo yang dikuratori oleh Heyeon Kim di Sangkring Art Space.

Oleh Cristian Rahadiansyah
Foto oleh Ulet Ifansasti

Yang ada,” kata Nindityo, “hanyalah art, tapi tanpa scene.” Di galerinya, Nindityo Adipurnomo memandang gelisah dunia seni kontemporer Yogya. Dia melihat betapa kekuatan modal begitu kuat mencengkeram. Kolektor sibuk menghampiri studio seniman, memborong karya-karya mereka, kemudian menimbunnya di rumah atau galeri pribadi. Akibatnya, publik kesulitan menikmati karya.

Art tanpa scene. Seni tanpa diskursus. Inikah potret dunia seni kontemporer Yogya?

Nindityo adalah figur yang berperan vital dalam menyemai dunia seni Yogya. Kisahnya dimulai pada 1988 saat dia kembali dari studi di Belanda dan mendapati minimnya ruang seni alternatif. Lembaga-lembaga seni yang ada terlalu kaku dan bersikap birokratis. Dari situlah muncul ide mendirikan Rumah Seni Cemeti, kanal yang menampung karya-karya “progresif.” Dari rahim Cemeti jugalah kita berkenalan dengan sosok-sosok fenomenal semacam Agus Suwage, Heri Dono, dan Eddie Hara—generasi yang menembus sirkuit seni global. Tentu aneh jika kini orang yang menemukan bakat-bakat tersebut justru berbicara pedas tentang bisnis seni.

“Seni telah menjadi semacam fetishism,” kritik Nindityo lagi. “Karya yang masih segar, baru selesai dibuat di studio, sudah langsung dibeli, padahal belum sempat dicerna oleh publik dan kritikus. Cobalah pergi ke rumah-rumah kolektor, maka kita akan menemukan karya-karya seniman besar yang belum pernah sekalipun dilihat publik.”

Kiri-Kanan: Aneka poster acara di Rumah Seni Cemeti; Nindityo, tokoh yang menemukan banyak perupa muda genius di Yogya.

Tanpa bermaksud menyalahkan sepenuhnya kolektor (toh banyak kolektor berjasa “menghidupi” seniman), praktik komoditisasi memang mencemaskan karena menutup akses khalayak untuk melihat karya, juga akses kritikus untuk memberi perspektif dalam memahami karya tersebut.

Dalam komoditisasi, karya seni mengerdil menjadi barang dagangan, yang ditimbun dan dipertukarkan demi laba, tak ubahnya emas batangan atau batu akik. Seni pun terkikis perannya untuk menyentuh batin dan memperkaya peradaban. Itulah yang tengah melanda Yogya. Pasar bergerak agresif dan membanjiri sanggar dengan uang-uang panas, membuat kehidupan seni begitu riuh oleh gairah spekulasi. “Banyak orang membeli tak lagi dengan mata, tapi murni pakai telinga,” kata Nindityo. “Kolektor berdatangan, menyebut nama-nama seniman besar, hendak membeli karya mereka tanpa sempat melihatnya.”

Baca Juga: 18 Ruang Seni Pilihan 5 Tokoh Seni

Memasuki ruang pamer Cemeti, saya mendapati sejumlah karya anonim. Ada sebuah instalasi dari Eko Nugroho dan beberapa lembar drawing Eddie Hara, tapi nama mereka tidak tertera. Kebijakan tersebut, kata Nindityo, disengaja, sebagai bentuk perlawanannya terhadap komoditisasi. “Saya ingin orang kembali membeli dengan mata,” ujarnya.

Kiri-Kanan: Kampung di dekat ISI yang menjadi lokasi Geneng Street Art; Balkon kamar peserta residensi di Sarang, ruang seni garapan Jumaldi Alfi dan Enin Supriyanto.

Komoditisasi sejatinya bukan cuma merugikan publik. Pada akhirnya, praktik ini merusak kualitas seni di kalangan seniman. Di mata Nindityo, pasar telah merangsek begitu dalam hingga memengaruhi praktik berkesenian. Cobalah datang ke bursa seni, maka kita akan menemukan banyak karya berbau “replika,” misalnya dengan meniru gaya pop art Eko Nugroho atau wayang imajiner Heri Dono. “Banyak karya,” tambah Nindityo, “bukan lagi dibuat dari pembacaan atas situasi di luar atau di dalam diri seniman, melainkan dari pengamatan pada katalog balai lelang tentang karya semacam apa yang laku.”

“Komoditisasi membuat seni tidak memiliki dampak apa pun ke publik di luar seniman dan kolektor,” ujar Agung Kurniawan, salah seorang seniman paling enigmatik di Yogya, yang pernah begitu frustrasi dengan komoditisasi hingga berhenti menjadi seniman dan menghabiskan hari-harinya dengan bermain PlayStation. “Banyak seniman kini kehilangan personalitas, karena mereka hanya mengekor karya-karya laris,” tambahnya.

Demam mengekor karya laris itu pernah dikupas oleh pakar sejarah seni Paul Khoo. Dalam sebuah esai retrospektif yang tajam, Khoo mencermati kemunculan karya-karya epigon yang tercerabut dari konteks lokal, hingga menjadi semacam “suvenir replika” yang banal. Dan layaknya suvenir, mereka kerap menggugah di permukaan, tapi sejatinya kering makna. Khoo menyebut karya-karya semacam itu dengan istilah kitsch. “(Pasar) global ingin bergerak di sebuah medan di mana sejarah seni lokal atau makna-makna yang menukik diabaikan” tulis Paul Khoo dalam Beyond Souvenirs. “Kitsch adalah salah satu modus dalam gerakan itu.”

Baca Juga: Bagaimana Seni Mengerem Penurunan Populasi Jepang

Tapi, adilkah membebankan semua dosa kepada kolektor? Bukankah seniman sosok mandiri yang bisa membantah instruksi pasar? Menurut Khoo, seniman sejatinya punya andil dalam memuluskan jalan bagi komoditisasi. Pangkal masalahnya: amnesia sejarah. Khoo menilai generasi sekarang telah melupakan ideologi besar yang dulu mengorbitkan seni kontemporer Indonesia ke panggung dunia. Untuk lebih memahami maksudnya, kita mesti sejenak memundurkan waktu 41 tahun ke sebuah peristiwa monumental yang mengubah wajah seni rupa Indonesia—Desember Hitam.

Sampul album Maroon 5 yang dirancang oleh mahasiswa ISI Bayu Santoso.

Pada 1974, sebuah perlawanan pecah di Jakarta. Sejumlah mahasiswa seni mengecam dewan juri Pameran Besar Seni Lukis Indonesia yang memprioritaskan karya-karya dekoratif dan abstrak dari seniman senior. Para pemrotes itu lalu mengirimkan karangan bunga sebagai simbol atas wafatnya dunia seni rupa Indonesia. Gerakan mereka dicatat sejarah dengan nama “Desember Hitam.”

Di zaman Orde Baru, oposisi semacam itu dipandang sebagai rongrongan terhadap rezim. Sejumlah motor Desember Hitam pun diganjar: diskors dari kampus. Tapi pentung penguasa justru membuat teriakan kian lantang. Setahun berselang, para eksponen Desember Hitam semacam FX Harsono dan Ris Purwana bergabung dengan banyak nama baru seperti Jim Supangkat dan Nyoman Nuarta untuk mencetuskan Gerakan Seni Rupa Baru (GSRB). Sasaran tinjunya kini lebih besar: menjebol kemapanan lembaga-lembaga seni.

GSRB bertekad meruntuhkan definisi lawas seni rupa yang tertawan hanya pada tiga aliran: lukis, patung, dan grafis. Dalam manifestonya, mereka memandang benda-benda sehari-hari pun bisa menjadi karya seni. Kaleng, meja, dan pena yang sebelumnya dilecehkan misalnya, bisa diolah dan dinobatkan sebagai karya yang sah. Dari sinilah kita melihat letupan karya-karya eklektik yang mengeksplorasi beragam media. Presentasi mereka terlihat misalnya dalam Pasaraya Dunia Fantasi 1987, Jakarta Biennale 1993, atau eksposisi internasional yang heboh, AWAS! Recent Art from Indonesia.

Kiri-Kanan: Patung buatan seniman gaek Djoko Pekik; Mikke Susanto, dosen ISI yang kerap menjadi kurator pameran.

Sejatinya, paradigma GSRB yang melebur batasan antara “low art” dan “high art” bukan hal baru di jagat seni. Yang membuat GSRB bergaung kencang adalah kemampuan para tokohnya dalam memberikan konteks lokal. “Yang tampak baru pada gerakan-gerakan seni rupa di Indonesia itu sesungguhnya adalah tumbuhnya kesadaran untuk mengatakan bahwa seni rupa (baru) itu membawa problem aktual keindonesiaan, yang terus-menerus merupakan sebuah upaya konstruksi dan identifikasi (sosial),” tulis Hendro Wiyanto dalam Mengingat Kembali Gerakan Seni Rupa.

Paul Khoo punya terminologi yang lebih lugas dalam merangkum semangat resimen GSRB, yakni “kerakyatan.” Dia percaya, inilah ideologi yang sebenarnya diterjemahkan ke dalam bahasa visual oleh FX Harsono dan kawan-kawan. Ideologi ini jugalah yang membuat seni Indonesia punya tempat khusus di kancah dunia.

Khoo mengajukan satu contoh: Retak Wajah Anak-Anak Bendungan oleh Moelyono (2011). Pameran ini memperlihatkan ekses industrialisasi pada para petani di Wonorejo. Moelyono, seniman didikan Institut Seni Indonesia (ISI), melukis wajah anak-anak dengan kulit berbentuk tanah retak yang terbakar kemarau.

Kiri-Kanan: Little Nakhoda buatan Laksmi Shitaresmi; Area serambi Galeri Ark.

GSRB sukses menumbangkan pamor lembaga-lembaga seni rupa, serta membuka pintu bagi kemunculan seniman-seniman prolifik. Barangkali juga tak salah jika kita menyimpulkan: GSRB memicu art boom. Namun, ironisnya, kisah GSRB juga berakhir dengan karangan bunga. Elan kerakyatan yang diusungnya seolah tenggelam dalam gelombang komoditisasi. GSRB sukses menjebol penjara seni rupa, tapi kekuatan modal kemudian masuk untuk menjadi jeruji baru. Amnesia sejarah, menurut Khoo, adalah kasur nyaman yang membuat seniman tertidur pulas di balik jeruji tersebut.

Baca Juga: 5 Museum Rekomendasi Direktur Museum Macan

“Kesadaran sejarah sangat kurang, dan pemahaman seniman tentang persoalan-persoalan serius sangat kurang,” jelas FX Harsono, motor GSRB. “Sementara itu, daya tarik pasar sangat kuat, sehingga masalah sosial dan politik dianggap tidak menarik.”

Bagaimanapun Yogya sebenarnya masih punya asa. Sinar terang masih ada di ujung jalan. Di tengah kegelisahan, seniman-seniman muda yang gigih melawan arus mulai bermunculan. Salah satunya saya temukan di Bantul.

Persiapan Terracotta Biennale, hajatan yang diikuti 70 seniman lokal dan 15 seniman asing.

Lukisan The Man From Bantul buatan Nyoman Masriadi terjual Rp10 miliar. Lot Lost dari Eko Nugroho laku Rp4,4 miliar. Harga karya seniman kontemporer didikan Yogya kerap menggegerkan. Dan berbeda dari para maestro zaman dulu, mereka masih bugar untuk menikmatinya. Tengoklah rumah-rumah paling eksentrik di Yogya, hampir pasti pemiliknya seniman.

Jafin hidup dalam bayang-bayang mereka. Remaja asal Surabaya ini sedang meniti karier sebagai seniman. Di sebuah kampung di Bantul, Jafin menyewa sebuah rumah kusam dengan tarif Rp3 juta per tahun dan menyulapnya menjadi studio. Di sisi depan studio tergeletak lukisan bertajuk Solidaritas Buat Bohemian. Jafin melukis kerumunan orang yang menengadahkan tangan di hadapan segepok uang. Katanya, karya ini menyindir para seniman yang sibuk berpameran demi meraup rupiah. Salah satu sosok yang dilukisnya adalah pria bermisai dan berkacamata, dengan sedikit noda gelap di wajah. “Itu bukan Mas Agung Kurniawan,” katanya sembari tertawa.

Baca Juga: Kisah Unik Keluarga Penyelamat Karya Seni

Nama lengkapnya Justian Jafin Wibisono. Nama panggungnya Jafin Rocx (JR). Dia masih berkuliah di jurusan Seni Lukis ISI. Masih muda memang, tapi tidak sepenuhnya hijau. Jafin adalah salah satu komet yang tengah melesat di jagat seni. Remaja berjerawat ini sudah dikontrak oleh seorang kolektor. Seluruh ongkos hidupnya ditanggung oleh sang maesenas. Jafin tak perlu pusing untuk membeli akrilik ataupun membayar sewa studio. Apa yang membuatnya bersinar?

Kiri-Kanan: Mural pelaku seni Yogyakarta di Kedai Kebun, restoran merangkap ruang seni alternatif; Seniman enigmatik Agung Kurniawan di Kedai Kebun.

Jafin bukanlah spesies langka. Karya-karyanya memakai resep lama, tapi dengan semangat baru. Mengusung pendekatan realisme sosial khas Yogya, Jafin menggarap tema-tema aktual, seperti dinamika kampus dan konflik agraria. Dalam proses itu, dia mengusung semangat oposisi. Semangat yang dulu menjadi napas GSRB. Dan semangat itu tidak kosong. Jafin adalah bagian dari tema-tema yang dilukisnya. Karyanya dilandasi atas penghayatan pada pengalaman, bukan pengamatan pada katalog balai lelang. Dia tak mau terjebak pada kitsch. “Tema yang paling berharga adalah pengalaman personal,” katanya. “Jika tidak mengalami, karya tidak memiliki kedalaman.”

Mungkin itu yang patut kita camkan saat mencerna RIP (Rest in Peace), karya yang melambungkan namanya. Lukisan bertarikh 2012 ini menyuarakan kepenatannya terhadap ISI—tentang kurikulum yang kedaluwarsa dan lemahnya penggodokan wacana. Pada bingkai RIP, Jafin menuliskan nama-nama dosennya. Di atas kanvas, dia menciptakan kolase kata-kata kecaman, umpamanya: “berhala pada alumni” dan “peternakan seni rupa.”

Baca Juga: Berkunjung ke Museum Fotografi Tertua di Dunia

RIP terlihat seperti luapan emosi mahasiswa yang terkekang—sebuah potret dari perasaan si pelukis sendiri. Sudah dua tahun Jafin mangkir dari proses perkuliahan. “Mulai semester enam saya menyadari betapa tertinggalnya materi kuliah.” RIP diminati banyak orang, termasuk dosennya sendiri, walau akhirnya Jafin melegonya ke seorang kolektor dengan harga Rp10 juta. Karya itu masih tergantung di dinding studionya, persis di seberang lemari buku berisi Biografi Jim Morrison dan Panduan Cara Cepat Belajar Membaca Alquran.

Kiri-Kanan: Bambang ‘Toko’ Witjaksono, dosen ISI sekaligus kurator ArtJog; Karya berjudul Keras Kepala dari Arya Pandjalu.

Saat saya datang, Jafin tengah bersiap tampil dalam sebuah pameran di Masriadi Art Foundation. Beberapa karyanya sudah dibungkus dan siap dikirim. Mikke Susanto, dosennya, bertindak sebagai kurator. Deddy Kusuma, kolektor kakap, bakal memberikan sambutan. Jafin menatap ajang di depannya dengan mata berbinar. Tangga untuk menjadi seniman yang diperhitungkan sudah terbentang. Tapi, sejauh mana pelukis muda ini bisa menjaga api idealisme di tengah guyuran uang?

Kata Jafin, “seni bisa berfungsi sebagai alat provokasi dan penyadaran.” Tapi keputusannya untuk meneken kontrak dengan kolektor bisa menggoyang keyakinan tersebut. Jafin kini berada di sistem yang memiliki tata dan tertib. Dia juga harus menghadapi hubungan tarik-ulur yang rentan memengaruhi praktik berkesenian. Pernah patronnya menyarankan agar lukisannya yang menampilkan celana dalam dihentikan. Pernah pula, lukisan tengkorak buatannya dikritik karena kurang elok.

Baca Juga: Bandara Yogya Rasa Galeri

“Bagi seniman, hanya ada dua pilihan,” ujar Putu Sutawijaya, perupa Bali yang berbasis di Yogya, tentang sistem patronase seni, “yakni menjadi kuda liar atau kuda peliharaan.” Kuda mana yang dipilih Jafin bakal menentukan sejauh mana dunia seni kontemporer Yogya akan melangkah. Jafin, juga rekan-rekannya yang tengah bersinar seperti Bayu Santoso dan Adit HereHere, bagaikan mikrokosmos dalam sebuah pertarungan alot di dunia seni kontemporer Yogya: idealisme versus pragmatisme.

Kiri-Kanan: Pelukis muda Justian Jafin di studionya di Dusun Geneng, Bantul; Patung karya I Made Arya Palguna.

PANDUAN
Penginapan
Salah satu hotel termewah di Yogyakarta, Hotel Tentrem menaungi 274 kamar yang dibalut marmer, serta restoran yang tersohor akan menu bebek panggangnya. Tak jauh dari kampus ISI, Cuniro Bantul menawarkan dua rumah bertubuh kayu dan bergaya tradisional Jawa. Bagi pencinta seni, Greenhost Hotel menaungi zona pameran di samping kolam renang.

Wisata Seni
Untuk melacak kantong-kantong seni, manfaatkan Yogyakarta Contemporary Art Map yang diterbitkan secara anual oleh Kedai Kebun, restoran merangkap ruang seni yang didirikan oleh seniman enigmatik Agung Kurniawan. Galeri megah yang didirikan Putu Sutawijaya, Sangkring Art Space, terletak di tepi sawah dan menyuguhkan pameran secara berkala. Galeri baru garapan Jumaldi Alfi dan Enin Supriyanto, SaRanG Building, menawarkan nuansa hijau yang atraktif. Atmosfer yang lebih hijau bisa dinikmati di padepokan maestro Djoko Pekik (Dusun Sembungan, Bantul). Saban tahun, Yogya menggelar ArtJog, bursa seni terbesar di Indonesia. Ajang yang digarap duet Heri Pemad dan Bambang Toko ini selalu mendatangkan banyak kolektor dunia dan memicu banyak ajang “tandingan” di seantero Yogya. Untuk melihat karya-karya segar, kunjungi Cemeti, tempat yang melambungkan pamor Yogya sebagai kutub seni kontemporer dunia.

Dipublikasikan perdana di majalah DestinAsian Indonesia edisi November/Desember 2015 (“Berharap Pada Jafin”)

The post Yogya Melawan Komoditisasi Seni appeared first on DestinAsian Indonesia.

]]>
https://destinasian.co.id/dinamika-dunia-seni-di-yogyakarta/feed/ 0