tempat wisata unik Prancis Archives - DestinAsian Indonesia https://destinasian.co.id/tags/tempat-wisata-unik-prancis/ Majalah travel premium berbahasa Indonesia pertama Tue, 05 Jan 2021 03:01:32 +0000 en-US hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.6.2 7 Daya Tarik Kota Le Havre https://destinasian.co.id/kreativitas-le-havre/ Mon, 30 Apr 2018 11:40:28 +0000 http://destinasian.co.id/?p=37072 Le Havre adalah nama yang asing di telinga, kecuali bagi pencinta desain.

The post 7 Daya Tarik Kota Le Havre appeared first on DestinAsian Indonesia.

]]>

Claude Monet membuat Le Havre terkenal di jagat seni, sementara Auguste Perret membuat kota di barat laut Prancis ini melegenda di dunia rancang bangun.

Monet menetap di sini pada 1845. Dia dikenal sebagai bapak impresionisme, dan nama aliran ini terilhami oleh selembar lukisan yang dibuatnya di Le Havre. Syahdan, suatu pagi pada 1872, Monet singgah di pesisir kota dan menuangkan panorama yang dilihatnya: dua perahu yang merayap pelan dan matahari yang mencakar-cakar birunya langit. Monet menamai karyanya Impression, Sunrise.

Melompat ke abad ke-20, Le Havre menjadi salah satu korban terparah Perang Dunia II. Guna membangun ulang kota ini, Prancis membentuk satgas yang dikepalai oleh Auguste Perret, arsitek yang juga pelopor aplikasi beton bertulang. Di bawah komandonya, Le Havre bertransformasi jadi semacam kompleks Lego yang tegap dan rapi. Mengenang megaproyek kolosal itu, UNESCO menobatkan Le Havre sebagai Situs Warisan Dunia.

Dipublikasikan perdana di majalah DestinAsian Indonesia edisi April/Juni 2018 (“Good to Go: Kota Kreatif”).

The post 7 Daya Tarik Kota Le Havre appeared first on DestinAsian Indonesia.

]]>
Di Normandy, Bencana Jadi Magnet Wisata https://destinasian.co.id/wisata-perang-di-normandy/ Thu, 07 Dec 2017 06:26:40 +0000 http://destinasian.co.id/?p=28942 Koyak akibat Perang Dunia II, Normandy menyulap jejak perang jadi mesin uang.

The post Di Normandy, Bencana Jadi Magnet Wisata appeared first on DestinAsian Indonesia.

]]>
Arromanches 360, bioskop yang memutar film dokumenter operasi pembebasan Eropa dari cengkeraman Nazi. (Foto: Maryvonne Desdoits/Tourism Normandy)

Oleh Cristian Rahadiansyah

Di Normandy, perang seakan belum benar-benar tuntas. Tank masih bertaburan di tepi jalan, meriam masih tertancap di bibir tebing, parasut pasukan terjun payung masih tersangkut di atap gereja—dan Anda diundang untuk menyaksikan semuanya.

Saya melawat Normandy akhir Maret silam, saat musim semi tengah menanti di ambang pintu. Angin dingin kerap berkesiur. Pohon-pohon masih telanjang tanpa daun. Suatu pagi, saya singgah di American Cemetery. Di area parkirnya, bus-bus berdatangan dan menumpahkan siswa dari penjuru Prancis. “Berkunjung ke sini adalah darmawisata yang populer,” ujar pemandu saya, Sophie, wanita kelahiran Normandy.

American Cemetery, kompleks berisi lebih dari 9.000 jenazah serdadu, terlihat sureal. Nisan-nisan putih berbaris begitu panjang dan rapi. Mayoritas berbentuk salib, beberapa bintang Daud. Sebuah tempat yang mudah memicu pilu, walau dalam kenyataannya ia lebih mirip wahana wisata. Di sela-sela pusara, puluhan siswa bercanda. Di antara mereka, belasan orang Tiongkok dan Korea berkeliaran, sesekali mengambil swafoto. Tak ada air mata yang menetes. Tak ada kuntum bunga yang diletakkan. Para pengunjung itu sedang pelesir. Pelesir yang janggal di kuburan.

Tank sisa perang dipajang di serambi Airborne Museum, satu dari 92 tempat wisata bertema Perang Dunia II di Normandy.

Normandy bersemayam di belahan barat laut Prancis, sekitar dua jam dari Paris. Kawasan ini tersohor akan keindahan lanskapnya. Pantai-pantainya membentang lapang. Interiornya ditaburi bukit hijau yang bergulung dan saling bergandengan tangan. Panorama elok itu jugalah yang dulu memikat banyak pelukis. Kita ingat, Monet menghasilkan banyak mahakaryanya di Normandy.

Akan tetapi, pada abad ke-20, keindahan itu ternoda. Perang berkecamuk. Normandy menjadi salah satu medan pertempuran terganas. Dari sinilah pada 1944 Sekutu memulai serangan besar-besaran terhadap Nazi. Bertolak dari selatan Inggris, pasukan koalisi itu menyeberangi English Channel, mendarat di pesisir Normandy, lalu secara keroyokan menyisir Eropa dari barat hingga akhirnya menusuk jantung kekuasaan Hitler di Jerman.

Jejak perang itulah yang hingga kini masih membekas. Berkelana di sini, kita senantiasa diingatkan akan peristiwa berdarah yang berlangsung 73 tahun silam itu. Banyak kota di Normandy berstatus “kota pahlawan.” Banyak pantainya masih menyandang kode buatan tentara, misalnya Omaha, Utah, dan Juno. Hampir tiap jengkal tanahnya menyimpan perih dan rintih, mengisahkan keganasan perang dan para pemuda yang tak pulang.

Kiri-Kanan: Kompleks makam American Cemetery; Atap gereja Sainte-Mère-Église memajang patung John Steele, pasukan penerjun payung dalam Operation Neptune.

Meninggalkan kuburan massal pasukan Amerika, saya bertamu ke Airborne Museum, salah satu atraksi wisata bertema perang. Kompleks megah ini didirikan guna mengenang satuan penerjun dalam Operation Neptune. Alkisah, pada malam buta 5 Juni 1944, mereka melompat dari pesawat dengan tugas utama “membuka jalan”: melumpuhkan meriam antipesawat dan radar musuh, lalu menandai titik aman bagi pendaratan ribuan penerjun yang diutus keesokan harinya.

Airborne Museum memamerkan antara lain truk GMC, jip Willys MB, serta pesawat Douglas C-47, lengkap dengan rekaman suara kokpitnya. Koleksinya impresif. Kita juga bisa menemukan seragam paratroopers, ransum mereka, serta aneka bedil dan bayonet. Tak perlu memahami Perang Dunia II untuk terpukau. Mengunjungi Airborne Museum dalam banyak hal serasa menghadiri ajang Big Boys’ Toys. “Museum ini dibangun bertahap,” kata pemandu. “Bagian yang terakhir diresmikan adalah Ronald Reagan Conference Center.”

Normandy kini mengoleksi setidaknya 92 situs, atraksi, dan wahana bertema Battle of Normandy. Mereka tersebar mulai dari pesisir hingga perbukitan di kawasan yang luasnya setara Jawa Tengah. Tiap aspek pertempuran diabadikan. Tiap episodenya dihidupkan. Kita bisa menemukan, misalnya, museum tank, museum puing bawah laut, serta museum radar. Kita juga bisa menyaksikan hanggar kapal, galeri foto perang, bahkan lomba tarik suara khusus tembang era 1940-an. Tak ada kota yang mengabadikan Perang Dunia II seserius dan selengkap Normandy.

Memorial di American Cemetery, kompleks berisi kuburan 9.385 tentara. (Foto: Tourism Normandy)

Barangkali terdengar janggal, tapi tragedi yang dulu memakan jutaan korban itu kini justru menghidupi banyak orang. Memori perang menghasilkan uang. Ada 20 operator yang kini menawarkan tur bertema perang. Kita bisa menyambangi bekas medan laga dengan menaiki sepeda, jip, bahkan andong. Seiring itu, lahir bisnis-bisnis turunan, misalnya jasa meletakkan karangan bunga bagi keluarga almarhum yang tak sempat nyekar.

Dalam neraca keuangan Normandy, tank dan kuburan sama pentingnya dengan Menara Eiffel atau Galeries Lafayette bagi Paris. Tempat ini merupakan teladan tentang cara memasarkan sungkawa sebagai magnet wisata. Apa yang bisa kita pelajari darinya?

Wisata perang di Normandy berumur cukup panjang. Usai makam serdadu didirikan, museum mulai menjamur pada 1960-an. Sejak saat itu pula, keinginan mengenang perang beririsan dengan agenda mendulang devisa. Lagi pula, museum-museum di sini tak mungkin bertahan jika hanya mengandalkan kunjungan veteran dan siswa setempat.

Kiri-Kanan: Pesisir tempat pendaratan pasukan sekutu pada 1944; Koleksi pakaian dan kendaraan di Airborne Museum.

Pada 2015, menurut Edouard Valere, Head of Marketing Normandy Tourist Board, situs- situs perang di Normandy disatroni sekitar lima juta turis, dengan 44 persennya turis asing. Puncak kunjungan turis terjadi saat festival peringatan D-Day (istilah untuk Hari-H 6 Juni 1944 ketika pasukan Sekutu mendarat) digelar dan membuat banyak hotel panen tamu. “Sekitar 75 persen tamu kami berasal dari Amerika,” ujar manajer hotel Château La Chenevière. “Hotel kami berada di dekat American Cemetery, karena itu selalu penuh tiap kali peringatan perang digelar.”

Tentu saja, wisata perang bukan milik Normandy semata. Kecerdikan menyulap elegi menjadi gulali telah lama dipraktikkan di sejumlah negara. Di Kamboja misalnya, bekas kekejaman Khmer Merah telah diubah menjadi objek wisata yang mengundang simpati dan donasi. Sementara di Vietnam, cukup membayar sekitar Rp200.000, kita bisa menembus lorong-lorong bawah tanah peninggalan gerilyawan Viet Cong.

Jika Normandy kini terlihat lebih sukses dibandingkan tempat lain, penyebabnya barangkali kemasannya. Situs-situs perangnya tak cuma didesain rapi, tapi juga atraktif. Tiap dioramanya dicetak presisi layaknya patung lilin Madame Tussauds. Seluruh benda-benda warisan perang dirawat resik seperti baru keluar dari pabrik. Sesuai standar Eropa, tiap wahana di sini juga dilengkapi website resmi.

Bahkan bagi turis Jerman sekalipun, Normandy punya magnetnya tersendiri. Di sini terdapat tujuh kompleks makam prajurit leluhur mereka. Tahun lalu, Jerman, negara yang berada di pihak “musuh” dalam Perang Dunia II, merupakan penyumbang turis terbanyak keempat bagi Normandy. “Ketika memandu turis Jerman, kami menghindari kata Nazi, karena konotasinya negatif,” ujar David, salah seorang pemandu tur, tentang taktik simpatiknya. “Perang sudah rampung. Dalam upacara peringatan D-Day, veteran Jerman dan Amerika bahkan bersalaman. Saya rasa banyak orang dulu terlibat perang karena memang tidak ada pilihan.”

Turis melewati diorama yang mengisahkan perang pembebasan Eropa di Normandy. (Foto: Tourism Normandy)

Kunci sukses lain Normandy dalam menjala turis terletak pada “barang dagangannya.” Perang Dunia II, pertempuran global terakhir di muka bumi, mudah dicerna dan dipahami, karena itu lebih mudah dipasarkan. Kecuali mungkin laskar Neo-Nazi, mayoritas warga bumi sepakat memersepsikan perang akbar itu sebagai pertarungan antara kebaikan versus kejahatan. Kasusnya berbeda dari perang lain, misalnya Perang Irak, di mana opini publik terbelah soal motifnya, eksekusinya, bahkan tentang kejelasan siapa sebenarnya yang benar dan salah. Mudah dibayangkan peningnya sang kurator jika Museum Perang Irak didirikan.

Mudahnya mencerna Perang Dunia II saya temukan pula di Arromanches 360, bioskop dengan layar yang ditata melingkar. Bersama puluhan turis, saya menonton film dokumenter yang menuturkan operasi pembebasan Eropa dari cengkeraman Nazi (atau “Jerman” menurut pemandu lokal). Film dimulai dengan penampilan wajah Hitler yang dingin, disusul oleh cuplikan adegan pertempuran yang heroik. Suara desing peluru dan letusan bom terdengar silih berganti. Di ujung film, pasukan Jerman bergelimpangan di jalan, sementara rakyat Prancis bersorak-sorai merayakan kemenangan. Sebuah film laga yang berakhir bahagia. Perang besar yang memakan jutaan nyawa itu berhasil diringkas dalam 20 menit. “Tontonan yang menarik,” ujar Guy Hawthorne, pria asal Afrika Selatan, di toko suvenir Arromanches 360. Meski tidak memiliki ikatan sejarah dan emosional dengan Perang Dunia II, dia mengaku “terkesan pada kemampuan Normandy mengemas situs-situs perangnya bagi turis asing.”

Hari-hari pertama di Normandy, saya membayangkan wisata perang di sini hanya menarik bagi anak-anak jenderal, penggemar airsoft gun, atau penikmat film laga semacam Saving Private Ryan. Tapi Normandy rupanya berhasil membuat sejarah penuh darah bisa dikenang khalayak luas semudah mengunyah berondong.

Berlokasi di dekat American Cemetery, hotel Château La Chenevière senantiasa padat dalam peringatan D-Day. (Foto: Philippe Beuf/Tourism Normandy)

PANDUAN
Rute
Normandy berada di belahan barat laut Prancis. Dari Paris, kita bisa menjangkaunya dengan kereta selama dua jam menuju Caen, kota yang berada di dekat D-Day Landing Beaches, tempat pendaratan Sekutu pada 1944. Penerbangan ke Paris dilayani oleh banyak maskapai, salah satunya Air France (airfrance.com)

Penginapan
Situs perang tersebar di penjuru Normandy, dan hotel umumnya tersedia di dekat tiap situs tersebut. Di dekat Omaha Beach, La Sapinière (100 rue de la 2ème d’infanterie U.S, Saint-Laurent-sur-Mer; 33-2/3192-7172; la-sapiniere.fr; mulai dari Rp1.500.000) menawarkan pondok-pondok kayu dan sebuah restoran berdesain cantik. Sementara di dekat American Cemetery, hotel bintang lima Château  La Chenevière (14520 Port-en-Bessin; 33-2/3151-2525; lacheneviere.com; mulai dari Rp2.700.000) menempati rumah tua bertubuh batu dengan interior berdesain klasik.

Informasi
Normandy mengoleksi 92 situs, atraksi, dan wahana bertema perang, contohnya American Cemetery (abmc.gov); Airborne Museum (airborne-museum.org); serta Arromanches 360 (arromanches360.com). Setidaknya ada 20 operator yang menawarkan tur bertema perang, salah satunya Normandy Sightseeing Tours (normandy-sightseeing- tours.com). Momen terbaik untuk datang adalah saat Normandy menggelar D-Day Festival (ddayfestival.com). Informasi lain seputar wisata di Normandy bisa ditemukan di situs resmi Normandy Tourist Board (en.normandie-tourisme.fr).

Dipublikasikan perdana di majalah DestinAsian Indonesia edisi November-Desember (“Perang Devisa”).

The post Di Normandy, Bencana Jadi Magnet Wisata appeared first on DestinAsian Indonesia.

]]>
Mencari Monet di Normandy https://destinasian.co.id/mencari-monet-di-normandy/ Mon, 07 Aug 2017 08:56:23 +0000 http://destinasian.co.id/?p=25913 Wisata napak tilas sang pencetus impresionisme.

The post Mencari Monet di Normandy appeared first on DestinAsian Indonesia.

]]>
Oleh Cristian Rahadiansyah

Claude Monet telah lama pergi, tapi sosoknya terus menghantui: di kartu pos, di museum, di balai lelang, juga di Normandy, tanah yang menempanya jadi pelukis terbesar yang dilahirkan Prancis.

Saya mendarat di Normandy saat musim semi baru menampakkan sebagian wajahnya. Di Pantai Etretat, sisi utara Normandy, angin dingin berembus, menggerayangi tebing-tebing yang menjulang. Di kejauhan, bukit-bukit berbaris anggun, bergulung seperti ombak yang membeku. Saya membayangkan Monet di sini. Sewaktu kecil, dia kerap membolos dari sekolah demi menyusuri tebing dan pantai. Konon, memori masa kecil itu membekas panjang dan mengilhaminya saat berkarya.

Normandy bersemayam di sisi barat laut Prancis, berbatasan dengan selat yang memisahkannya dari Inggris. Tanahnya subur. Tempat ini terkenal sebagai penghasil apel dan kuda. Lanskapnya yang elok dibelah Sungai Seine, jalur sibuk yang mengalirkan manusia dan barang ke Paris. Di masa lalu, satu kota bandar di Normandy bisa memiliki 40 gereja.

Kiri-kanan: Instalasi di Museum of Modern Art André Malraux (MuMa) di Le Havre; Instalasi di atas Pantai Etretat yang menampilkan Monet sedang melukis.

Di atas Pantai Etretat, sebuah instalasi menampilkan Monet sedang melukis. Tubuhnya dirangkai dari ranting. Kepalanya membelakangi pantai berbatu. Monet menghasilkan puluhan lukisan di sini, termasuk Etretat, Falaise et Porte d’Amont (1883) yang harganya kini ditaksir sekitar Rp30 miliar oleh Sotheby’s. Tak jauh dari pantai, lukisan itu terpampang di mouse pad yang dijajakan €6 per lembarnya oleh para pedagang jalanan.

Normandy menyuguhkan keindahan dan Monet menuangkannya ke atas kanvas. Keduanya tak terpisahkan. Bicara soal Monet mau tak mau harus menyinggung Normandy. Menjelajahi Normandy, kita pasti akan tersandung memori tentang Monet. Orang-orang masih mengenang: Monet menetap di sini, melukis di situ, merenung di sana. Monet bagi Normandy ibarat The Beatles bagi Liverpool: hantu masa silam yang terus bergentayangan.

Tapi kenapa Monet patut dikenang? Untuk mencari jawabannya, saya meninggalkan Etretat dan mengunjungi Le Havre, kota pertama yang ditinggali Monet di Normandy.

Turun dari bus, sebuah panel di trotoar menampilkan replika lukisan sang maestro: Impression, Sunrise. Monet menyuguhkan panorama laut yang dingin dan mencekam. Dua perahu merayap pelan di air tenang. Matahari pagi memerah seperti bola mata naga yang mencakar birunya langit.

Pelabuhan di Honfleur, kota di hilir Sungai Seine.

Dalam hikayat seni, Monet dikenal sebagai pemberontak, dan Impression, Sunrise merupakan aksi pemberontakannya yang termasyhur. Lukisan bertarikh 1872 ini menangkap kesan yang spontan, momen yang bergerak, cahaya yang berpendar. Bukan sesuatu yang istimewa saat ini. Tapi dulu, pendekatan semacam itu merupakan sebuah penghinaan terhadap pakem. Bagi lembaga-lembaga seni terpandang kala itu, lukisan mesti memuat detail yang jelas, garis yang tuntas, juga warna yang tegas. Dengan kata lain: seperti foto yang akurat, bukan footage yang “bergerak-gerak.”

Impression, Sunrise pun memicu perdebatan, juga perpecahan. Tatkala karya ini dipamerkan, sejumlah pengunjung berkelahi. Sebagian mencibirnya sebagai “lukisan setengah jadi.” Tapi dari karya ini pula sebuah mazhab baru terlahir. Terinspirasi judul lukisan, kritikus mencetuskan istilah “impresionisme” untuk mengelompokkan pendekatan Monet. Setelah itu, kanon seni pun ditulis kembali.

Meninggalkan Le Havre, bus membawa saya ke Honfleur, kota kecil di hilir Sungai Seine. Tempat ini juga merekam episode krusial dalam perjalanan Monet. Di sinilah Eugène Boudin, guru pertama Monet, dilahirkan. Dari beliau Monet mempelajari sebuah teknik penting yang kelak menjadi ciri khas penganut impresionisme: melukis di tempat terbuka (en plein air).

Kiri-kanan: Salah satu sudut Honfleur; St. Joseph’s Church, gereja modern yang dikerek pada 1951 di Le Havre.

Guna memahami hubungan guru dan murid itu, saya mengunjungi sebuah museum yang didedikasikan bagi Boudin. Untuk menjangkaunya, saya menyusuri gang berlapiskan batu, menyeberangi pelabuhan nelayan, melewati ruko-ruko renta yang menjulang langsing. Banyak bangunan sepuh di sini masih lestari. Honfleur, berbeda dari banyak kota di Normandy, memang selamat dari hujan bom semasa Perang Dunia II.

Mengamati karya Boudin di museum, saya mendapati proses eksplorasi yang tekun dalam menangkap cahaya natural: mega mendung, semburat pagi, lembayung senja. Pengaruhnya terlihat gamblang pada Monet. Lukisan Port de Dieppe dari Boudin misalnya, mengadopsi palet dan goresan yang amat mirip dengan seri Etretat buatan Monet.

Yang juga menarik dicerna dari pengaruh Boudin adalah caranya memilih subjek. Di masa ketika seniman gemar mengabadikan figur kudus dalam Alkitab atau pembesar kerajaan—dengan kata lain subjek mitologis dan historis—Boudin justru menampilkan orang-orang biasa. Lagi-lagi, jejak ini juga membekas pada impresionisme. Monet dan koleganya kerap menampilkan adegan kese-harian yang remeh-temeh: orang-orang yang piknik, kelimun di jalan kota, wanita berpayung. Sejumlah pengamat bermufakat, impresionisme merupakan fondasi seni modern. “Aliran ini,” ujar Francesco Salvi, penulis buku The Impressionists, “tak cuma mengubah cara kehidupan digambarkan, tapi juga cara kehidupan dilihat.”

Kiri-kanan: Panel yang menampilkan lukisan bertema Etretat sekaligus memperkirakan dari sudut mana Monet melukisnya; Lukisan Rue Saint-Denis karya Monet yang terpajang di Rouen Museum of Fine Arts;

Saya kini meluncur ke Rouen, Ibu Kota Normandy. Dalam kepungan udara dingin, bus menyusuri jalan sempit yang penuh liku laksana ular di padang rumput. Di balik jendela, bukit-bukit berkelebat. Sesekali saya melewati kandang kuda, rumah-rumah batu milik para petani, juga kebun-kebun yang bersiap menyambut musim tanam. Normady kadang mengingatkan saya pada Yogyakarta: kawasan sederhana yang menumbuhkan kreativitas.

Menengok riwayatnya, tempat ini telah memikat seniman jauh sebelum Monet mengenal kuas. Pada awal abad ke-19, pelukis-pelukis Inggris penganut romantisme gemar melawat tempat ini. Konon katanya, pariwisata di Prancis sebenarnya dimulai di Normandy, dan sebagian turis pertamanya adalah seniman asal negeri tetangga itu.

Akan tetapi, berbeda dari Yogyakarta, Normandy tidaklah memiliki akademi seni yang bergengsi. Banyak seniman datang ke sini murni karena terbius oleh keindahannya dan kualitas cahayanya yang prima. “Karakter cahayanya putih dan lembut, berbeda dari kawasan selatan Prancis yang kuning dan keras,” jelas Sarah Fesolowicz, pendiri operator tur seni Normandy Melody.

Kiri-kanan: Meja makan di rumah Monet di Giverny; Plaza tengah Rouen Museum of Fine Arts.

Tiba di Rouen, saya langsung menyambangi Museum of Fine Arts, tempat dengan koleksi lukisan impresionis terlengkap setelah Musée d’Orsay di Paris. Di sini, hantu Monet tidak bergentayangan sendirian. Kita juga bisa menemukan banyak karya dari rekan sejawatnya seperti Pissarro dan Renoir.

Salah satu mahakarya Monet yang terpajang di Museum of Fine Arts menampilkan Katedral Notre-Dame. Sebuah lukisan yang menarik, karena Monet sebenarnya tidak menyukai bangunan. Dia juga orang yang religius. Fokusnya saat itu adalah pergeseran rona cahaya pada fasad gedung. Seperti terobsesi, Monet melukis katedral di banyak momen. Hingga akhirnya rampung, dia memproduksi 30 versi lukisan Notre-Dame dengan warna yang variatif. “Impresionisme bukan soal kejelasan garis dan subjek, melainkan sensasi dan impresi yang tercipta di mata kita sesuai kondisi cahaya natural saat itu,” ujar Sibille Wsevolojsky, pemandu museum.

Menutup tur melacak Monet, saya mampir di tempat sang maestro menutup hidupnya: Giverny, desa mungil yang terletak di tepi Sungai Seine. Hanya ada satu jalan raya di sini: Rue Claude Monet. Rumah-rumah warga umumnya bertubuh batu dan beratapkan genting. Monet menetap di sini sejak 1883 hingga mengembuskan napas terakhirnya pada 1926.

Rumahnya cukup gedongan, sebab Monet memang membutuhkan hunian dengan banyak kamar untuk menampung kedelapan anaknya. Studionya megah. Dapurnya dilengkapi kulkas—simbol kemewahan saat itu. Sementara pekarangannya ditumbuhi begitu banyak bunga hingga Gustave Geffroy, penulis biografi Monet, menggambarkannya sebagai “kerajaan warna.”

Pengunjung menyaksikan lukisan di MuMa.

Ada banyak karya emas yang lahir di Giverny, misalnya The Artist’s Garden (1900), Water Lilies (1914), dan Grainstack (1891). Yang terakhir ini terjual dengan harga fantastis Rp1,1 triliun dalam sebuah ajang lelang di New York, persis empat bulan sebelum saya datang ke Normandy.

Monet memang mendapatkan banyak inspirasi di Giverny, sampai-sampai dia terus melukis meski bola matanya menderita katarak. Sayang, tak satu pun lukisannya yang tersisa di rumahnya. Tempat ini agaknya lebih memperkenalkan dimensi lain Monet: sebagai pria gemuk yang hobi makan, ayah berewokan yang disiplin (semua anaknya diwajibkan hadir tepat waktu di jam makan), dan tukang kebun yang telaten (“kebun saya adalah mahakarya saya yang paling cantik,” tulisnya suatu kali).

Berkat warisan Monet, Giverny berubah menjadi desa wisata. Sekitar 400.000 turis datang saban tahunnya. Usai disumbangkan oleh putra Monet, rumah Monet dikelola oleh French Academy of Fine Arts. “Ironis,” ujar Laura, pemandu di Giverny, “sebab dulu Academy of Fine Arts justru menolak keras karya-karya impresionis.” Mengenang Monet dalam banyak hal memang berarti mengenang pemberontakannya, keberaniannya, juga jalan penuh tikungan yang mesti dilewatinya—dan Normandy adalah tempat yang memastikan semua kenangan itu terus bertahan.

PANDUAN
Rute
Dari Paris, kita bisa menjangkau Normandy dengan berkendara atau menaiki kereta selama dua jam. Penerbangan ke Paris dilayani oleh banyak maskapai, salah satunya Air France (airfrance.com) via Singapura.

Penginapan
Di Honfluer, La Ferme Saint Simeon (20, Route Adolphe Marais; 33-2/ 3181-7800; fermesaintsi meon.fr; mulai dari Rp5.000.000) menempati pondok tua yang dulu kerap ditinggali banyak pelukis impresionis. Di Etretat, opsi menarik adalah Domaine Saint Clair (Chemin de Saint Clair; 33-2/3527- 0823; hoteletretat.com; mulai dari Rp3.400.000), rumah di bukit yang menatap pesisir. Di Le Havre, Novotel Le Havre Centre Gare (20 cours La Fayette; 33-2/3519 -2323; novotel.com; mulai dari Rp1.200.000) berada strategis di jantung kota.

Tur Seni
Kunjungi MuMa (muma-lehavre.fr) untuk melihat karya Monet dan rekan-rekannya seperti Pissarro dan Renoir. Museum lain yang mengisahkan Monet adalah Rouen Museum of Fine Arts (mbarouen.fr). Di Etretat, kita akan menemukan Les Jardins d’Etretat (etretatgarden.fr) taman yang dihiasi in-stalasi berwujud Monet tengah melukis. Dua tempat lain yang penting didatangi untuk mengenal Monet adalah Eugène Boudin Museum (musees-honfleur.fr) di Honfleur dan Rumah Monet (fondation-monet.com) di Giverny. Cara termudah untuk melakoni tur bertema Monet adalah dengan membeli paket The Impressionist Experience dari operator Normandy Melody (normandy-melody.com).

Dipublikasikan perdana di majalah DestinAsian Indonesia edisi Juli/Agustus 2017 (“Mencari Monet”).

The post Mencari Monet di Normandy appeared first on DestinAsian Indonesia.

]]>