petualangan Jepang Archives - DestinAsian Indonesia https://destinasian.co.id/tags/petualangan-jepang/ Majalah travel premium berbahasa Indonesia pertama Mon, 18 Jan 2021 07:01:55 +0000 en-US hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.6.2 Sambut Tren Slow Travel, Kereta Wisata Bermunculan di Jepang https://destinasian.co.id/sambut-tren-slow-travel-kereta-wisata-bermunculan-di-jepang/ Mon, 18 Jan 2021 06:54:59 +0000 https://destinasian.co.id/?p=62195 Tiketnya luar biasa mahal, tapi penggemarnya berlimpah.

The post Sambut Tren Slow Travel, Kereta Wisata Bermunculan di Jepang appeared first on DestinAsian Indonesia.

]]>
Seven Stars in Kyushu, kereta wisata mewah yang diluncurkan pada 2013. (Foto: Seven Stars in Kyushu)

Di tengah gairah Jepang memproduksi kereta peluru Shinkansen, banyak orang merindukan slow travel. Dari kebutuhan nostalgia itulah kereta wisata bermunculan dalam satu dekade terakhir. Alih-alih mengutamakan kecepatan, sepur jenis ini menawarkan trip yang khidmat, di mana proses berpindah menjadi bagian integral dari aktivitas wisata. Penumpang bisa tidur dan makan di kereta, serta menyaksikan panorama dari gerbong transparan. Berikut tiga contoh kereta wisata yang beroperasi di Jepang: 

Interior Seven Stars in Kyushu, kereta yang menampung 14 kabin, restoran, dan bar. (Foto: Seven Stars in Kyushu)

Seven Stars in Kyushu
Dinamai “Seven Stars” karena kereta ini terdiri dari tujuh gerbong dan melayani rute ke tujuh prefektur di Pulau Kyushu. Tapi “Seven Stars” juga bisa melambangkan tarifnya yang setara hotel bintang tujuh. Paket wisata tersingkat berdurasi dua hari dibanderol mulai dari ¥300.000, sekitar Rp40 juta.

Seven Stars in Kyushu terpakir di stasiun. (Foto: Seven Stars in Kyushu)

Kereta yang beroperasi sejak 2013 ini menampung 14 kabin berlapis kayu, plus wagon berisi salon dan restoran yang meracik aneka hidangan lokal. Pihak operator sudah melansir jadwal baru untuk 2021. Di April misalnya, kereta akan melayani trip empat hari melintasi Fukuoka, Oita, Kumamoto, dan Miyazaki. cruisetrain-sevenstars.jp 

Gerbong observasi di Twilight Express Mizukaze, kereta yang diluncurkan pada 2017. (Foto: Twilight Express Mizukaze)

Twilight Express Mizukaze
Untuk menghadirkan kemewahan khas Jepang di gerbong-gerbongnya, pihak operator menyewa beragam konsultan, termasuk komponis musik Taro Hakase, perancang busana Tetsuo Fukuda, serta koki kondang Hajime Yoneda dan Kenichi Koyama.

Twilight Express Mizukaze melayani trayek ke lokasi populer seperti rute Kyoto, Osaka, dan Shinji. (Foto: Twilight Express Mizukaze)

Twilight Express Mizukaze, kereta yang diluncurkan pada 2017, terdiri dari 10 rangkaian gerbong. Selain kabin-kabin mewah, ada restoran dan ruang panorama di wagon depan dan belakang. Sepur berkapasitas 34 penumpang ini melayani trayek ke lokasi-lokasi populer seperti rute Kyoto, Osaka, dan Shinji, dengan tarif mulai dari Rp39 juta. twilightexpress-mizukaze.jp 

Wagon panorama di Shiki-Shima kreasi Ken Okuyama, desainer yang pernah disewa oleh Ferrari dan Porsche. (Foto: Shiki-Shima)

Shiki-Shima
Layaknya kereta wisata, Shiki-Shima dilengkapi kabin, restoran, serta gerbong transparan untuk melihat panorama. Namun, berbeda dari kereta wisata klasik, desainnya sarat sentuhan futuristik. Ken Okuyama, desainer yang pernah disewa oleh Ferrari dan Porsche, terlibat dalam proses perancangannya.

Shiki-Shima, kereta wisata yang diluncurkan pada 2017 oleh East Japan Railway Company. (Foto: Shiki-Shima)

Shiki-Shima (“artinya pulau empat musim”) diluncurkan pada 2017 oleh East Japan Railway Company, salah satu operator kereta terbesar di Jepang. Kereta ini berbasis di Tokyo dan melayani rute ke Tohoku dan Hokkaido, dengan tiket mulai dari ¥320.000, setara Rp45 juta. jreast.co.jp 

The post Sambut Tren Slow Travel, Kereta Wisata Bermunculan di Jepang appeared first on DestinAsian Indonesia.

]]>
Lewat Seni, Towada Mengerem Penurunan Populasi https://destinasian.co.id/melawan-penurunan-populasi-lewat-seni/ Wed, 20 Jun 2018 09:01:17 +0000 http://destinasian.co.id/?p=38944 Logikanya simpel: Jika warga bahagia, mereka sudi punya banyak anak.

The post Lewat Seni, Towada Mengerem Penurunan Populasi appeared first on DestinAsian Indonesia.

]]>
Dua turis cilik bermain di kaki patung Flower Horse buatan Choi Jeong Hwa di pelataran Towada Art Center.

Oleh Cristian Rahadiansyah
Foto oleh Fransisca Angela

Sesosok demit mengintip dari atap toilet umum. Sekujur tubuhnya laksana timah yang meleleh, sementara kepalanya melekat pada kaca dalam posisi terbalik. Saya tidak tahu apakah seniman Inges Idee berniat menebar horor atau tawa, tapi yang jelas patung buatannya membuat saya ingin lekas buang hajat.

Terpisah beberapa langkah dari hantu tukang intip itu, Yayoi Kusama mendirikan sebuah instalasi jenaka yang menyerupai area bermain Taman Kanak-Kanak. Isinya: seonggok labu kuning, tiga batang jamur tiram, seorang gadis yang tengah bermain dengan anjing-anjingnya. Khas Yayoi, semua objek itu ditaburi motif polkadot.

Mencermati ragam suguhannya, Towada Art Square adalah taman rekreasi yang mungkin diimpikan oleh banyak kota. Namun tempat ini sebenarnya tidak didesain semata untuk menghibur ataupun membuai mata. Di balik keindahannya, Towada Art Square memiliki peran vital sebagai siasat untuk bertahan hidup. Towada, kota kecil di utara Jepang, terus kehilangan penduduknya, dan melalui inovasi-inovasi kreatif ia berharap bisa mengatasinya.

Kiri-kanan: Unknown Mass, patung karya Inges Idee, diposisikan mengintip toilet umum; Nana dan Kenjiro, dua turis asal Kobe, sekitar 1.200 kilometer di selatan Towada.

Tiap kali saya mengutarakan rencana trip ke Towada, teman dan keluarga selalu memberi reaksi senada: “Di negara mana? Untuk apa ke sana?” Luput dari orbit turis, Towada memang kata yang masih asing di telinga banyak orang. Jangankan mengetahui lokasinya, mendengar namanya pun mungkin belum pernah.

Saya sendiri mengenalnya pertama kali lewat selembar foto. Awal 2017, seorang kenalan mengirimkan foto seekor kuda jingkrak dengan tubuh yang dilapisi aneka bunga. Usai menggali informasi lebih dalam, saya mendapati patung itu ternyata menyimpan kisah unik tentang perjuangan sebuah kota kecil dalam menjawab problem kependudukan. Sebuah problem yang sebenarnya juga melanda seantero Jepang, tapi selama ini tersembunyi dari mata turis.

Patung Ghost dan Unknown Mass di Art Square, persis di seberang Towada Art Center.

Towada, bagian dari Prefektur Aomori, bersemayam di belahan utara Pulau Honshu. Dari Tokyo, saya menjangkaunya dengan menaiki Shinkansen. Layaknya mobil F1, kereta peluru ini melahap jarak 680 kilometer—setara jarak Medan-Pekanbaru—dalam durasi cuma tiga jam. Tatkala bertemu gunung, Shinkansen  tidak menghindar, melainkan menerobosnya. Kadang saya merasa takjub sekaligus takut dibuatnya.

Jumat malam—malam pertama saya di Towada—saya menyusuri pusat pertokoan Inaoicho di jantung kota. Jalanan gelap dan senyap. Lampu-lampu telah dipadamkan. Padahal ini baru pukul delapan malam. Ketika Tokyo masih riuh oleh jutaan manusia yang berseliweran mencari makan dan hiburan, Towada justru sudah meringkuk di balik selimut. Ini memang tipikal kota kecil Jepang di mana hari ditutup lebih cepat. Khas kota kecil pula, tim sepak bolanya belum berlaga di liga utama J League; sebagian besar hotelnya tidak memiliki situs reservasi berbahasa Inggris; dan mesin-mesin ATM setempat hanya melayani kartu debit keluaran bank lokal.

Kiri-kanan: Warga berlatih tarian Bon Odori di Art Station Towada; Towada Art Center, kompleks yang didesain oleh Ryue Nishizawa.

Hari kian larut dan perut saya kian keroncongan. Setelah lama berjalan, saya akhirnya menemukan satu tempat yang masih terjaga, restoran Tonton Tonkatsu. Duduk di kursi kayu, saya memesan sepiring kari katsu yang hadir dalam porsi jumbo. “Orang dari Studio Tonton [firma arsitektur di Indonesia] sudah empat kali datang ke sini,” ujar sang koki dengan bahasa Inggris yang terbata-bata, usai mengetahui saya berasal dari Indonesia. Restorannya sepi. Hanya ada dua tamu: saya dan fotografer saya. Belakangan saya sadar sang koki bekerja solo, merangkap sebagai pramusaji, pencuci piring, juga pemilik restoran. Wajahnya terpajang pada logo di muka bangunan. Rasanya seperti makan di restoran Mbok Berek dan dilayani langsung oleh Mbok Berek.

Di atas peta, Towada lebih luas dari Jakarta, tapi populasinya lebih sedikit dari kapasitas Gelora Bung Karno. Fakta ini sebenarnya terbilang lumrah untuk kota-kota sekunder di Jepang. Yang mengkhawatirkan, jumlah penduduknya terus melorot akibat eksodus kaum muda dan rendahnya tingkat kelahiran. Jika pada 2000 Towada dihuni 69.000 jiwa, jumlahnya kini 62.000 jiwa.

Bagi saya, yang lahir dan menetap di Jakarta, berkelana di sini bagaikan melonggarkan ikat pinggang: lega dan leluasa. Macet adalah kata yang tak dikenal. Antrean manusia pemandangan yang langka. Akan tetapi, bagi Towada, tren penyusutan populasi sejatinya menghadirkan ancaman yang serius. Tenaga kerja produktif menyusut, sementara ongkos perawatan manula membengkak. Bagaimana proyek-proyek kreatif bisa menjawab problem pelik itu?

City Library, perpustakaan umum yang dilansir pada 2015 dan dirancang oleh arsitek kondang Tadao Ando

Saya datang ke Towada di pertengahan Juli, saat matahari sedang semangat bersinar. Hampir saban hari suhu menembus 32 derajat. Celakanya, kota ini praktis hanya bisa dijelajahi dengan berjalan kaki. Taksi sangat jarang. Uber absen. Bus lewat hanya dua-tiga jam sekali.

Suatu siang, saya mengarungi sudut-sudut kota di bawah guyuran terik. Jika pada malam hari Towada terasa angker layaknya tempat Sadako bergentayangan, pada siang hari suasananya lebih menyerupai permukiman guyub tempat Nobita dibesarkan. Rumah-rumah di sini dicetak rendah hati dengan langgam yang senada. Semua orang berpenampilan sederhana. Di jalan-jalan, mayoritas mobil sepertinya berusia lebih dari 20 tahun.

Kiri-kanan: Air terjun Choshi Otake, salah satu objek wisata di luar pusat kota Towada; Mark in the Space, karya seni sekaligus sarana rehat buatan Liu Jianhua.

Salah satu bangunan di sini yang jauh dari kesan bersahaja adalah Civic Center Plaza (CCP). Tubuhnya seperti hanggar. Atapnya mirip detak jantung manusia pada monitor di rumah sakit. Bangunan ini menampung aula, ruang pamer, zona bermain anak, serta klub khusus manula. Istilah gampangnya: gedung serbaguna.

Di banyak kota, fasilitas semacam CCP terbilang jamak. Yang membuatnya jadi pergunjingan di sejumlah media desain adalah perancangnya: Kengo Kuma. Kengo, arsitek prolific asal Jepang, pernah menggarap proyek-proyek mercusuar semacam Suntory Museum of Art di Tokyo dan Besancon Art Center di Prancis. Cukup mengherankan bisa mendapati kreasinya di kota pelosok semacam Towada.

Love Forever, Singing in Towada, instalasi buatan Yayoi Kusama di Art Square.

Dalam catatan di situs pribadinya, Kengo berniat menjadikan CCP ruang bersama yang memudahkan warga beraktivitas. Dia menyebut konsepnya michi-no hiroba (“plaza of streets”). Di sini, warga bisa menggelar kelas menari, sesi yoga, juga kursus memasak. Semua ruangan bisa dipakai gratis. Pengguna hanya perlu membayar uang listrik dengan tarif diskon 50 persen.

CCP merupakan contoh inisiatif Towada untuk mengerem laju penurunan populasi. Fasilitas bernilai nyaris satu miliar yen ini didirikan untuk membuat warga kian nyaman dan kerasan. Harapannya, mereka sudi terus menetap, beranak-pinak, melahirkan komunitas yang langgeng. Harapan yang sederhana sebenarnya, tapi krusial untuk sebuah kota yang terancam problem kelangkaan manusia.

Kiri-kanan: Yoshitaka, pemilik toko camilan di Taman Oirase; Barayaki, masakan khas lokal yang terdiri dari irisan daging sapi dan bawang dengan saus kecap.

Turis asing sangat langka di Towada. Kota ini memang tak menawarkan magnet yang menggiurkan bagi pelancong. Aeon, mal satu-satunya, lebih mirip supermarket. Butik merek global raib sepenuhnya, sementara objek wisata andalannya hanyalah sebuah danau vulkanis yang berjarak sekitar 40 kilometer dari pusat kota.

Itu juga mungkin sebabnya banyak orang terkejut mendapati kehadiran saya di sini, barangkali sama terkejutnya dengan saya jika menemukan turis Jepang berlibur di, sebut saja, Ciamis. Suatu kali, seorang guru SMP memancarkan ekspresi terperanjat usai mengetahui saya berasal dari Indonesia. Di waktu yang lain, seorang pramusaji bertanya apakah saya warga Amerika. Barangkali dia mengira saya serdadu dari pangkalan militer di Misawa, kota tetangga di sisi timur.

Patung semut merah aTTA buatan Noboru Tsubaki di pelataran Towada Art Center.

“Susah menjalankan bisnis. Kota ini sepi. Tak banyak yang bisa dinikmati,” keluh Komukai Mitsunori, pemilik restoran Garuda. Dia pernah bekerja di Indonesia. Restorannya, yang memakai logo Garuda Pancasila, menjual hidangan khas Nusantara seperti gado-gado dan sate. “Di Towada hanya ada manula,” timpal Yuki, istri Komukai, “sebab banyak anak muda lebih suka minggat ke kota besar setelah lulus kuliah.”

Salah satu pemuda yang minggat itu adalah anak mereka sendiri. Memegang gelar master di bidang arkeologi, putra tunggal Komukai dan Yuki itu gagal menemukan pekerjaan yang sesuai dengan latar pendidikannya. “Dia sempat bekerja di minimarket,” kenang Yuki. “Lalu suatu hari saya bilang kepadanya, ‘kami sudah habiskan banyak uang untuk biaya kuliah, jadi sekarang kamu harus cari uang sendiri’.”

Kiri-kanan: Fat House buatan Erwin Wurm di Art Square; Yoshida, salah seorang pegawai City Library.

Problem eksodus sebenarnya tidak hanya mendera Towada. Banyak kota kecil di Jepang kesulitan mempertahankan anak-anak mudanya dari godaan merantau. Kondisi itulah yang membuat kota-kota besar kelewat padat, sedangkan kota-kota kecil berangsur lengang. Greater Tokyo misalnya, terasa sesak lantaran didiami hampir sepertiga populasi negeri. Sementara di kawasan pelosok, sekolah-sekolah ditutup atau dimerger akibat kekurangan siswa.

Ketimpangan itu kemudian diperparah oleh angka kelahiran yang rendah—tragedi yang berlangsung di tingkat nasional, tapi lebih memukul kota kecil akibat gelombang urbanisasi. Merujuk hasil sensus terakhir, populasi Jepang telah menurun dari 128 juta jiwa pada 2010 menjadi 127 juta pada 2015. Jika tren ini berlanjut, Jepang hanya akan dihuni 88 juta manusia separuh abad lagi.

Desain City Library seperti hasil kawin silang antara bungker dan ryokan.

Tentu saja, Jepang tidak sendirian menghadapi bencana itu. PBB pernah mengumumkan puluhan negara yang mengalami prahara demografis serupa. Bulgaria misalnya, diprediksi kehilangan lebih dari separuh populasinya. Bedanya, Bulgaria bukan kekuatan yang penting dalam percaturan ekonomi global, sedangkan Jepang merupakan mitra dagang yang vital bagi banyak negara, termasuk Indonesia. Problem di sini bisa berimbas ke banyak tempat.

Bagi Towada, semua fakta itu terdengar lebih menakutkan. Kota ini tidak memiliki industri besar. Ia lebih dikenal sebagai penghasil yamaimo, sejenis ketela yang lazim disantap bersama mi atau nasi. Di mata kaum mudanya, Towada bukanlah tempat yang menjanjikan untuk membina karier. Pilihan profesi minim dan kesenangan hidup terbatas. Tapi justru karena itulah Towada berbenah. Didesak kondisi genting, Pemkot meluncurkan slogan baru “Exciting, Creative City,” lalu meluncurkan serangkaian proyek guna menyuntikkan gairah baru pada kotanya. “Salah satu alasan anak muda eksodus adalah absennya creative scene,” jelas Takahiro Motoshuku, staf Tourism & Industry Department of Towada City. “Isu inilah yang sekarang coba kami tanggulangi.”

Kiri-kanan: Area bermain anak di Civic Center Plaza; Penutup gorong-gorong dihiasi ukiran kuda, refleksi atas sejarah Towada sebagai sentra pengembangbiakan kuda.

Dalam kerangka itulah saya mencoba memahami inisiatif-inisiatif mahal yang diluncurkan oleh Towada, termasuk saat berkunjung ke City Library. Perpustakaan umum yang dilansir pada 2015 ini dirancang oleh arsitek masyhur Tadao Ando, seorang jauhari dalam memberi tafsir modern pada gaya spasial Jepang. Desain City Library mirip hasil kawin silang antara bungker dan ryokan. Tubuhnya berbahan beton, sementara ornamennya didominasi kayu.

Saat saya datang, sekelompok ibu sedang menggelar acara bedah buku anak. Di ruang baca utama, belasan remaja dan manula khidmat membaca di meja-meja panjang yang menyerupai area kerja coworking space. Tadao Ando mengusung konsep “educational plaza” untuk City Library. Dia berharap bibliotek ini tak sekadar menjadi wadah untuk memperluas wawasan, tapi juga medium untuk berbagi gagasan, kecuali mungkin bagi saya. Semua koleksi literatur tempat ini berbahasa Jepang. Mencoba mencari info, sang pustakawan tidak bisa berbahasa Inggris.

Interior kedai barayaki dilapisi ribuan kartu nama milik mantan tamunya.

Towada, sebagaimana banyak kota di Jepang, dihuni warga yang mayoritas tak lancar berbahasa Inggris. Tapi mereka senantiasa ramah. Semua orang selalu berusaha merespons setiap ucapan saya dengan tutur yang santun. Khas kota di Jepang pula, Towada mengidap kegandrungan pada vending machine, kaum prianya gemar mengenakan kemeja putih, komik dewasa berisi adegan-adegan absurd dijajakan bebas di toko kelontong. Berbeda dari kunjungan terakhir saya ke Jepang, sebagian komik vulgar ini sekarang dilengkapi bonus DVD yang tak kalah vulgar.

Jika ada satu hal yang membedakan Towada dari kota lainnya, jawabannya pastilah kuda. Berkelana ke sudut-sudut kota, saya kerap menemukan ornamen bertema kuda. Ada arca kuda di perempatan. Ada ukiran kuda pada penutup gorong-gorong. Ada juga emblem kuda pada dinding gedung. Konon, obsesi janggal ini terpaut dengan sejarah kota. Di masa lalu, Towada merupakan sentra pengembangbiakan kuda yang memasok kebutuhan pasukan kavaleri kekaisaran Jepang.

Kiri-kanan: Cause and Effect, karya yang dirangkai dari ribuan figur berbahan resin; Logo resmi Towada yang menampilkan kuda.

Di siang lainnya, saya menyusuri trotoar yang ditaburi tapal kuda menuju Towada Art Center (TAC), terobosan kreatif Towada yang paling marak diperbincangkan. Kompleks yang diresmikan pada 2008 ini menampung karyakarya buatan perupa tersohor. Yang lebih menghebohkan, semua koleksinya tidak dibeli di balai lelang, melainkan diorder langsung dari tiap seniman.

Menginjakkan kaki di lobi TAC, saya disambut oleh mural rangkaian pita buatan Jim Lambie. Usai membeli tiket, saya memasuki ruangan berisi patung seorang nenek setinggi empat meter. Figur gigantik buatan Ron Mueck ini terasa begitu bernyawa berkat detailnya yang “manusiawi.” Helai rambut, bercak kulit, juga keriput tubuhnya, tampak natural.

Twelve Level Bench, instalasi street furniture karya Maider López.

TAC mengoleksi total 38 benda seni buatan 33 seniman prominen. Mayoritas disebar di areagedung, sementara sisanya dibiarkan tumpah ke trotoar dan padang rumput Art Square di seberang jalan, termasuk dua instalasi yang saya singgung di awal tulisan. Hampir seluruh karya menonjolkan permainan bentuk yang menghibur secara instan, tanpa makna-makna yang menukik terlalu tajam.

Satu karya yang menurut saya cukup menggigit dihadirkan oleh Takashi Kuribayashi. Bentuknya berupa dua ruangan kontras yang disandingkan secara vertikal. Ruangan bawah ditaburi mebel putih yang polos dan mencekam. Sementara ruangan atas menampung sebuah rawa becek yang berkabut dan teduh. Takashi, seniman sekaligus penyelam, memang piawai dalam membenturkan alam dari dimensi yang berbeda, dan lewat karyanya dia mengundang kita merenungkan realitas hidup.

Kiri-kanan: Kouki dan Nadoko, dua mahasiswa Universitas Kitasato; Dua tamu Towada Art Center menatap Standing Woman buatan Ron Mueck, pematung asal Australia.

Bagi Towada, sebuah kota kecil yang tidak memiliki bandara, TAC jelas sebuah eksperimen yang berani dan mahal. Kompleks ini menghabiskan dana 2,4 miliar yen, setara biaya pengamanan tujuh demonstrasi di Jakarta. Anggaran kolosal itu tak cuma dipakai untuk berbelanja karya, tapi juga membayar arsitek.

Di TAC, gedung menjadi bagian dari pengalaman estetis. Kompleks ini terdiri dari 16 balok putih yang sebagian dicetak transparan, kadang dibiarkan terbuka di banyak titik. Tujuannya melebur batas antara “dalam” dan “luar.” Ryue Nishizawa, sang arsitek, berniat menciptakan dialog antara arsitektur, seni, dan manusia— iktikad yang memang hanya dimungkinkan jika seluruh karya dipesan khusus. Berkat pendekatan itu pula, di TAC, proses mencerna karya berkesinambungan dengan proses menikmati desain bangunan.

Towada Art Center, kompleks yang diresmikan pada 2008 dan mengoleksi 38 benda seni buatan 33 seniman

“Menyadari mahalnya biaya proyek, sebagian orang awalnya melayangkan penolakan,” kenang Takahiro. “Tapi suara-suara protes itu perlahan reda. Target awal kami hanya 45.000 pengunjung per tahun. Tapi, di tahun pertamanya, TAC sukses menuai 170.000 pengunjung. Dampak ekonominya signifikan.”

Gaung yang ditiupkan TAC tak kalah signifikan. Kehadiran tempat ini cukup menggemparkan jagat seni Jepang. Towada tidak punya jejak dalam dunia seni, tidak pula memiliki akademi seni. Kitasato University, kampus satu-satunya di sini, dikhususkan untuk ilmu kedokteran hewan. Proyek TAC bisa dibilang memang tidak merefleksikan identitas kota, tapi lebih mewakili harapannya: membalik arus eksodus. “TAC didirikan bukan semata untuk memikat pengunjung, tapi juga pendatang,” kata Takahiro lagi. “Harapannya mereka akan menetap di sini, lalu membuka bisnis.”

Kiri-kanan: Interior Civic Center Plaza, gedung serbaguna yang dirancang oleh Kengo Kuma; Turis bersantai di tepi Danau Towada.

Tahun ini, genap satu dekade TAC beroperasi. Sebenarnya tak jelas betul sejauh mana dampaknya dalam mengerem laju penurunan populasi. Tapi Takahiro mencoba melihat sisi baiknya: pamor kota mulai terkerek. Melalui beragam ajang yang ditanggapnya, TAC mulai menempatkan Towada dalam sirkuit seni. Mei silam, Takashi Murakami datang untuk memberi ceramah. Beberapa bulan sebelumnya, Yutaka Oyama menggelar konser musik.

“Seni kontemporer adalah sesuatu yang baru di Towada. Saya tidak yakin warga setempat benar-benar memahaminya,” jelas Midori Mitamura, seniman yang pernah menggelar diskusi di TAC pada 2014. “Tapi setidaknya di kalangan seniman Towada kini mulai dikenal.” Bagi kota kecil yang ditulis samar di atas peta, “dikenal” mungkin sebuah pencapaian yang patut dibanggakan.

Danau Towada, objek wisata yang berjarak sekitar 40 kilometer dari pusat kota.

PANDUAN
Rute
Towada bisa dijangkau dari Tokyo menaiki Shinkansen Hayabusa (jreast.co.jp) dengan waktu tempuh sekitar tiga jam. Ada dua stasiun di dekat Towada: Shichinohe yang berjarak 25 menit dari pusat kota, serta Hachinohe yang lokasinya lebih jauh tapi menawarkan opsi bus yang lebih banyak. Agar lebih praktis berkelana di Jepang, Anda bisa membeli Japan Rail Pass (japanrailpass.net), semacam tiket terusan untuk kereta dan bus yang dioperasikan oleh perusahaan JR. Penerbangan langsung ke Tokyo dilayani salah satunya oleh Garuda Indonesia (garudaindonesia.com).

Penginapan
Towada belum memiliki hotel merek asing dan mayoritas hotel di sini belum memiliki situs reservasi berbahasa Inggris. Dua hotel yang berlokasi strategis di pusat kota ialah Route Inn (13-2 Inaoicho; 81-176/212-020; route-inn.co.jp; mulai dari Rp1.000.000) dan Super Hotel (17-43 Inaoicho; 81-176/239-300; superhoteljapan.com; mulai dari Rp500.000). Hoshino, merek premium lokal, mengelola Oirase Keiryu Hotel (231 Tochikubo, Oze; 81-50/3786-1144; oirase-keiryuu.jp; mulai dari Rp3.600.000).

Fasad gedung serbaguna Civic Center Plaza, bagian dari upaya Towada menyediakan ruang beraktivitas bagi warga.

Informasi
Tiga bangunan yang menarik dikunjungi adalah Civic Center Plaza (81-176/585-670), Towada Art Center (towadaartcenter.com), serta City Library (towada-lib.jp). Civic Center Plaza dan City Library didedikasikan bagi warga lokal, tapi Anda setidaknya bisa menikmati desainnya yang impresif. Saat berkunjung ke Towada Art Center, pilih jalur yang melewati pertokoan Inaoicho untuk menikmati beberapa instalasi bertema “street furniture.” Oirase dan Danau Towada, dua objek wisata andalan kota, berlokasi di sisi barat dan bisa dijangkau menaiki bus JR yang beroperasi tiga kali per hari. Untuk informasi lain seputar Towada, kunjungi situs resmi Pemkot Towada (city.towada.lg.jp).

Dipublikasikan perdana di majalah DestinAsian Indonesia edisi April/Juni 2018 (“Karsa Kota Kuda”).

The post Lewat Seni, Towada Mengerem Penurunan Populasi appeared first on DestinAsian Indonesia.

]]>
Berburu Karya Yayoi Kusama di 8 Kota https://destinasian.co.id/8-lokasi-karya-yayoi/ Mon, 07 May 2018 04:34:04 +0000 http://destinasian.co.id/?p=37238 Berikut 8 tempat alternatif yang memajang kreasi seniman Jepang tersebut.

The post Berburu Karya Yayoi Kusama di 8 Kota appeared first on DestinAsian Indonesia.

]]>

Oleh Cristian Rahadiansyah

Honolulu
Memajang labu polkadot karya Yayoi Kusama telah menjadi jurus andalan banyak properti untuk menciptakan gaung di media. Jika Gandaria City menempatkan Pumpkin di lobi, Ala Moana Center memasangnya persis di tengah taman.

Matsumoto
Yayoi lahir di kota ini pada 1929. Tak ingin dunia lupa sejarah itu, Matsumoto City Museum of Art menyewa sang seniman untuk menciptakan Visionary Flowers di muka museum dan melapisi sekujur badan bus museum dengan motif polkadot.

Lisbon
Menyambut Expo ‘98, Ibu Kota Portugal ini mengerek sejumlah stasiun metro, salah satunya Oriente yang dihiasi instalasi dan mural kreasi 11 seniman dari lima benua. Pada dinding utara stasiun, Yayoi meramu mural berbahan ubin keramik.

Lille
Pada 2004, Lille menyandang status Ibu Kota Budaya Eropa. Merayakannya, kota ini menggelar sejumlah proyek guna membuat wajahnya lebih “berbudaya,” salah satunya dengan menempatkan Shangri-La Tulips di Esplanade Franҫois Mitterrand.

Jakarta
Pada 2016, Yayoi masuk daftar manusia berpengaruh versi Time. Setahun berselang, Jakarta melihat seberapa kuat pengaruh sang seniman di Museum Macan. Infinity Mirrored Room, instalasi dari Yayoi, diantre ribuan orang tiap pekannya.

Anyang
Kota ini, tulis Yayoi dalam anotasi patung Hello, Anyang with Love, “mirip negeri impian.” Karya ini dibuat untuk Anyang Public Art Project, pergelaran yang mengajak pesertanya menuangkan persepsi mereka atas kota Anyang.

Naoshima
Yayoi mulai menekuni open-air sculpture pada 1994, dan salah satu kreasi tersuksesnya terpasang di Naoshima, bagian dari proyek Benesse Art Site Naoshima. Pumpkin di sini agaknya disukai banyak orang berkat latarnya yang fotogenik.

California
Amerika punya jejak penting dalam karier Yayoi. Pada 1957, dia bermukim di sini, meracik Infinity Mirror Room pertama, dan memproduksi film Kusama’s Self-Obliteration. Salah satu warisannya, Hymn of Life: Tulips, terpajang di California.

Dipublikasikan perdana di majalah DestinAsian Indonesia edisi April/Juni 2018 (“Mencari Yayoi”).

The post Berburu Karya Yayoi Kusama di 8 Kota appeared first on DestinAsian Indonesia.

]]>
Wisata Kuliner di Yokohama https://destinasian.co.id/wisata-rasa-di-yokohama/ Wed, 28 Feb 2018 08:06:25 +0000 http://new.destinasian.co.id/?p=33743 Mencicipi aneka kuliner yang lahir di Yokohama, dari ramen hingga seafood doria.

The post Wisata Kuliner di Yokohama appeared first on DestinAsian Indonesia.

]]>

(Video Yokohama oleh Yokohama Convention & Visitors Bureau)

Teks oleh Cristian Rahadiansyah
Foto oleh Fransisca Angela

Ramen
Tidak jelas betul siapa sebenarnya pencipta ramen. Satu versi cerita mengklaim mi kuah Jepang ini ditemukan pada 1884 di Hakodate, kota di utara Jepang. Versi yang lain membantah cerita itu dengan mengatakan Hakodate cuma membuat prototipenya, sementara versi orisinal ramen baru ditemukan pada 1910 di distrik Asakusa di Tokyo.

Terlepas dari perdebatan itu, kelahiran ramen tak bisa dilepaskan dari peran Yokohama. Usai meresmikan pelabuhannya pada 1859, kota bandar ini melebarkan hubungan niaga antara Jepang dengan dunia Barat. Dalam proses itu, pekerja migran dari banyak negara tetangga berdatangan, termasuk Tiongkok, yang kemudian memicu kelahiran pecinan. Melalui merekalah Jepang mengenal mi, bahan utama ramen selain daging, kuah kaldu, serta umami, yakni rasa kelima setelah manis, asam, asin, dan pahit.

Peran Yokohama dalam perkembangan ramen tidak berhenti di situ. Jika dulu berjasa memperkenalkan mi Tiongkok kepada warga Jepang, kota ini kemudian memperkenalkan ramen kepada warga dunia. Pada 1994, Yokohama mendirikan Shin-Yokohama Raumen Museum di sisi utara kota. Layaknya “ramenpedia,” tempat ini membeberkan segala hal tentang ramen, mulai dari riwayatnya, evolusinya, penyebarannya, hingga pencapaiannya. Kita bisa mengetahui, misalnya, gerai ramen pertama di luar Jepang ternyata berdiri di New York pada 1975.

Bartender Yokohama Brewery, pabrik bir yang didirikan pada 1995.

Kini, hampir tiap daerah di Jepang memiliki versi ramennya masing-masing, dan Raumen Museum juga berniat membantu publik memahami (dan mencicipi) keragaman tersebut. Di lantai bawah museum terdapat sebuah pujasera berlantai dua yang dihuni sembilan kedai ramen dari sembilan daerah, mulai dari Miraku asal Hokkaido hingga Yuji yang dirintis di Brooklyn. Ruangan pujasera ini didesain menyerupai stasiun kereta di Tokyo pada 1958—tahun ditemukannya mi instan oleh Nissin. Satu hal yang mungkin menjadi pertanyaan Anda dari Raumen Museum adalah namanya. Kenapa “Raumen”? Kata staf museum, pilihan itu disebabkan keterpaksaan, sebab kata “ramen” sudah dipakai oleh museum lain.

Suguhan bir lokal yang menggoda.

Bir
Industri bir Jepang berutang banyak pada Yokohama. Kota inilah yang pertama kali melahirkan bir lokal modern pertama. Syahdan, tak lama setelah Yokohama merekah sebagai kota bandar internasional pada abad ke-19, sejumlah pengusaha bir asing datang untuk melebarkan sayap bisnisnya. Pada 1870, William Copeland, pria asal Amerika Serikat, mendirikan pabrik Spring Valley Brewery. Setahun sebelumnya, hadir Japan Brewery.

Berkat sejarah itu, menenggak bir Jepang kini menjadi pengalaman kuliner khas Yokohama. Menyusuri jalan-jalan kota, ada banyak kedai yang menjajakan bir lokal. Salah satu kedai terpopuler di sini adalah Yokohama Brewery, restoran mencakup pabrik bir yang didirikan pada 1995. Tawaran utamanya sesi tasting yang terdiri dari lima varian: bohemian pilsner, Dusseldorf alt, hefeweizen, American pale ale, serta Yokohama lager.

Pengunjung yang ramai mengantri di depan salah satu gerai ramen.

Tempat lain yang juga sukses menuai penggemar ialah Yokohama Bay Brewing, sebuah kedai bersahaja yang bersemayam di “beer district” Kannai. Di sini, selain menenggak aneka bir, kita bisa menggali info acara-acara bertema bir. Suzuki Shinya, pemilik Yokohama Bay Brewing, merupakan otak di balik ajang tahunan Japan Brewers Cup.

Sebagai “destinasi bir,” satu kekurangan Yokohama adalah harga birnya. Segelas Bay Weiss ukuran 284 mililiter dibanderol ¥600 (setara Rp72.000), sementara Dragon Sleeper dipatok ¥750 per botol. Untuk standar kota produsen bir, harga itu kelewat mahal. Di kota-kota Eropa Tengah misalnya, bir hanya dijajakan seharga €1 (Rp15.000) per botolnya.

Yoshoku
Sebagaimana Hotel Indonesia atau Raffles Singapore, Hotel New Grand sejatinya bukan sekadar penginapan, tapi juga saksi perjalanan sebuah negara. Hotel sepuh yang sarat cerita ini dilansir pada 1927. Tubuhnya pernah diguncang gempa besar dan perang akbar, sementara matrasnya pernah ditiduri selebriti sekaliber Babe Ruth dan Charlie Chaplin. Layaknya hotel bersejarah pula, New Grand meninggalkan jejak yang penting dalam khazanah kuliner. Dua menu legendaris Jepang ditemukan di dapurnya.

Kiri-kanan: Satu dari sembilan kedai di Shin-Yokohama Raumen Museum; seafood doria di Hotel New Grand.

Jika Raffles Singapore menciptakan koktail Singapore sling, New Grand menemukan seafood doria, yakni rice gratin legit yang disisipi udang dan kerang. Menu ini dirumuskan oleh Saly Weil, koki asal Swiss. Inovasi New Grand lainnya adalah spaghetti napolitan yang dibuat oleh Shigetada Irie, penerus Saly Weil. Idenya muncul pada Agustus 1945 ketika Jenderal MacArthur menjadikan New Grand markas besarnya sekaligus hunian bagi perwira Sekutu. Berniat menyajikan menu yang memuaskan para tuan berkulit pucat itu, Shigetada meracik spageti versinya sendiri dengan memakai bahan seadanya.

Dalam ensiklopedia kuliner Jepang, seafood doria dan spaghetti napolitan lazim dijuluki yoshoku, artinya hidangan lokal yang dipengaruhi tradisi Barat. (Dua menu lain yang masuk kategori ini adalah hambagu dan omurice.) Kedua hidangan itu sangat populer dan mudah ditemukan di banyak kota di Jepang, walau sensasi nostalgia terbaik hanya tersaji di The Cafe di lantai dasar New Grand.

Dipublikasikan perdana di majalah DestinAsian Indonesia edisi Januari/Maret 2018 (“Good To Go: Hidangan Pelabuhan”).

The post Wisata Kuliner di Yokohama appeared first on DestinAsian Indonesia.

]]>
Pramuwisata Melawan Usia https://destinasian.co.id/pramuwisata-melawan-usia/ Fri, 23 Feb 2018 08:42:16 +0000 http://destinasian.co.id/?p=33426 Supaya tidak pikun, banyak manula di Jepang mengisi waktu menjadi pemandu wisata.

The post Pramuwisata Melawan Usia appeared first on DestinAsian Indonesia.

]]>
Mendengarkan cerita dari buku panduan yang dipegang oleh Noboru Ichii.

Oleh Eka Nickmatulhuda

Tamu saya membatalkan janji karena kehujanan. Apakah kalian mau saya pandu hari ini?” tanya seorang kakek di sebuah stasiun di kota Nara, sekitar 150 kilometer dari Nagoya. Bingung meresponsnya, saya dan kedua adik saya hanya saling berpandangan. “Gratis!” ujar sang kakek lagi berupaya merayu.

Tawarannya menggiurkan sekaligus mencurigakan. Benarkah gratis? Sebagai perempuan backpacker, saya selalu berusaha waspada setiap waktu. Pada akhirnya, kami memutuskan menyambut tawarannya—dan kami tidak pernah menyesalinya. Pengalaman unik bersama pramuwisata dadakan ini tak cuma berkesan, tapi juga membuka mata tentang sisi lain pariwisata Jepang.

Usai kami mengangguk, sang kakek menyodorkan kartu namanya. Di situ tertulis nama organisasi Nara EGG (English Goodwill Guides), serta tentu saja nama sang kakek, Noboru Ichii. “Nama saya gampang diingat kok,” ujarnya. “Tiap kali kalian menggaruk, pasti ingat saya, Ichii…” Tak cuma gratis, pemandu ini juga pandai membuat pelesetan kocak. Permulaan yang bagus.

Oka Yoriko, salah satu pendiri Nara EGG, duduk di ruangan yang digunakan relawan untuk memberikan pengalaman berkimono dan mengikuti upacara minum teh tradisional.

Tur kami dimulai. Mula-mulanya kami diajak melawat gedung Naranicle untuk mengikuti upacara minum teh dan mencoba kimono. Kedua kegiatan ini, kata Ichii, juga ditawarkan sonder bayar, kecuali untuk penganan manis yang disajikan bersama matcha. Di lantai atas Naranicle, kami tiba di muka sebuah ruangan berdesain ryokan. Kami mengganti sepatu dengan bakiak geta, lalu memasuki sebuah ruangan berisi beberapa wanita yang mengingatkan kami pada Oshin.

Dalam ruangan beralaskan tatami, Ichii memperkenalkan kami pada sang tuan rumah, Oka Yoriko. Di sekeliling kami, beragam kimono dan hakama digantung berjejer pada dinding. “Semuanya sumbangan, dan kami hanya menjaga kondisinya, karena itulah kami tidak memungut bayaran,” jelas Yoriko. Pakaian-pakaian di sini, tambahnya, dikumpulkan dari tempat-tempat penyewaan yang sudah tutup.

Seorang relawan Nara EGG membereskan kimono dan hakama yang sempat dikenakan wisatawan.

Seorang relawan Nara EGG memakaikan kimono dengan cekatan.

Yoriko mendandani saya dan kedua adik saya, kemudian menjamu kami dalam upacara minum teh. Saat Yao Mayumi, rekan Yoriko, tengah mempersiapkan hidangan, kami mengikuti kursus kilat ritual tradisional Jepang tersebut, meliputi cara duduk, mengangkat dan memutar mangkuk teh, hingga membungkuk untuk menghormati tuan rumah dan sesama tamu. Upacara minum teh di Jepang lazimnya dilakukan hanya oleh kasta atas, karena itu etiketnya cukup kompleks.

Tempat penyewaan kimono mematok tarif setidaknya 3.500 yen (setara Rp450.000) untuk sehari pakai, sementara upacara minum teh antara 2.000-6.o00 yen per sesi. Bisa mendapatkan paket combo yang mencakup keduanya secara gratis merupakan pengalaman yang janggal di negara berbiaya hidup tinggi ini. Kenapa Nara EGG melakukannya? “Kami sangat senang melakukannya,” jawab Yoriko, salah seorang pendiri Nara EGG. “Kami senang bertemu orang-orang baru seperti kalian. Kami merasa hidup kami begitu berwarna dan menyenangkan.”

Seperti yang tertulis di blognya, kelompok Nara EGG dirintis pada 1993. Organisasi sukarelawan ini mewadahi kaum manula yang ingin mengisi waktu luang dengan menawarkan pengalaman budaya kepada turis. Untuk itu pula, mereka mempelajari bahasa Inggris, dan mereka terlihat menikmati berbicara dalam bahasa asing tersebut.

Menyiapkan matcha yang akan dihidangkan kepada wisatawan dalam rangkaian upacara minum teh tradisional Jepang.

Sesi minum teh rampung. Dalam dua menit, tangan-tangan para perempuan dengan sigap memereteli kimono dan pernak-pernik dari tubuh kami. Selanjutnya, kami kembali ke jalan. Di bawah siraman hujan, Ichii membawa kami mengarungi sudut-sudut kota. “Saya senang kalian mau berjalan kaki meski hujan,” katanya seraya melangkah tegap. “Biasanya wisatawan lain lebih suka naik bus dan mengeluh jalanan becek.”

Menurut Ichii, dari sekian ribu anggota kelompoknya, hanya kurang dari seratus orang yang aktif. Penyebabnya kondisi fisik yang terus merosot seiring pertambahan umur. Ichii sendiri hanya memandu turis dua kali per pekan. Selain menyukai kegiatan ini, sebagaimana Yoriko, dia didorong oleh alasan “kesehatan.” Di waktu mudanya, Ichii gemar menenggak sake selepas kerja. Kebiasaan itu, menurutnya, mewariskan penyakit di bagian dada dan kepalanya. “Kalau saya tidak ikut kegiatan [memandu] seperti ini, pasti saya akan cepat pikun dan tambah sakit,” jelasnya.

Memanjatkan doa seraya memandang patung Buddha yang terdapat di kuil Todai-ji.

Dibimbing Ichii, yang sesekali batuk dan menepuk dadanya, kami memasuki Kuil Todai-ji, ikon kota Nara. Saat kami datang, sekeliling kuil tengah dipugar, dan Ichii memandang proyek itu dengan gusar. “Yang mereka pikirkan hanya uang. Mungkin nanti apa-apa harus bayar hanya untuk duduk di halaman kuil,” sungutnya. Pemandu berlisensi ini kemudian membuka tasnya dan mengeluarkan sebuah buku berisi kliping tentang Todai-ji. Dengan lancar, dia merapal kisah kuil yang sudah berulang kali direnovasi ini. Rasanya seperti mendengarkan sejarah langsung dari sumbernya.

Sejumlah siswa sekolah dasar memperhatikan bagian-bagian kuil Todai-ji, seraya mendengarkan penjelasan dari pramuwisata lokal.

Sejarah sang pemandu tak kalah menarik. Ichii pernah bekerja sebagai staf pemasaran sebuah perusahaan mesin pemotong rumput. Kliennya tersebar hingga Singapura dan Indonesia. “Saya berkunjung ke Indonesia pada awal 80-an, mungkin kalian belum lahir. Alamnya indah sekali dan orang-orangnya ramah, suka tersenyum seperti kalian.” Dia, pikir saya, pasti tidak pernah ke Jakarta di musim banjir.

Banyak kota besar menawarkan tur gratis, tapi pemandunya biasanya kaum remaja. Dibandingkan mereka, Ichii dan koleganya tak hanya berbeda dalam hal usia, tapi juga dalam hal motif. Melalui tur-tur jalan kaki dan upacara minum teh, Nara EGG sebenarnya sedang membantu kaum manula melawan dampak buruk peningkatan usia. Dan mereka bukan satu-satunya organisasi yang mengusung agenda tersebut. Menyambut Olimpiade Tokyo 2020, banyak manula dan pensiunan mengambil kursus bahasa asing agar kelak bisa terlibat sebagai pemandu.

Rusa-rusa yang menjadi ciri khas kota Nara, di kawasan kuil Todai-ji.

Kehadiran inisiatif-inisiatif tersebut tentunya tidak terlepas dari ketimpangan demografis yang diderita Jepang. Populasi manula di negeri ini kian gemuk. Sensus terakhir mencatat, 27,7 persen warga Jepang berusia lebih dari 65 tahun. Seiring itu, problem kesehatan pun meningkat, salah satunya demensia, terminologi ilmiah untuk penyakit pikun. Melalui kegiatan-kegiatan pro bono, kaum usia lanjut kini berjuang melawan tumpulnya ingatan.

Tur kami bersama Ichii berakhir di sore hari. Sang pemandu pamit pulang lantaran harus memasak makan malam. Sejak istrinya mangkat dua tahun lalu, Ichii memang mesti disiplin mengurus dirinya sendiri. Sebelum dia pergi, kami mengajaknya berswafoto. Memandang fotonya di layar telepon genggam milik adik saya, Ichii terkejut. “Astaga! Pantas saja kalian memanggil saya kakek.” Tiap kali menggaruk kepala, saya kini teringat namanya, juga lelucon-leluconnya.

Eka Nickmatulhuda
Fotografer yang berdomisili di Jakarta ini menempa ilmu fotografinya di Tempo, sebelum memutuskan menjadi freelance. Dia terutama tertarik pada tema-tema humaniora, budaya, dan isu-isu perempuan. Selain memotret, Eka sesekali menyambi sebagai guru yoga, mentor kelas fotografi, serta fixer untuk stasiun televisi dan kru film. nickmatulhuda.com.

 

The post Pramuwisata Melawan Usia appeared first on DestinAsian Indonesia.

]]>
Bangkitnya Pariwisata Tohoku https://destinasian.co.id/bangkitnya-pariwisata-tohoku/ Mon, 22 Feb 2016 05:36:33 +0000 http://destinasian.co.id/?p=19372 Ekspedisi menyisir Tohoku lima tahun usai bencana tsunami dahsyat.

The post Bangkitnya Pariwisata Tohoku appeared first on DestinAsian Indonesia.

]]>
Pelayan merapikan ornamen di pintu kedai.

Teks & foto oleh Reza Idris

Tohoku sudah aman. Sudah aman. Toshi, pemandu saya, terus mengulangi kata-katanya. Dia yakin badai sudah berlalu. Horor sudah lewat. Tohoku telah siap kembali menyambut turis.

Lima tahun silam, gempa hebat mengguncang tanah ini, lalu memicu tsunami yang menyapu ribuan rumah. Saat air mata masih berlinang, bencana susulan melanda: sebuah reaktor nuklir bocor dan memuntahkan radiasi. Ini tragedi alam terdahsyat dalam sejarah modern Jepang. Bank Dunia mencatatnya sebagai bencana termahal sejagat. Saya datang saat luka itu sudah mengering.

Dari Tokyo, kereta peluru membelah perbukitan, menembus perut gunung, hingga akhirnya mendarat di Tohoku. Saya disambut gunung-gunung bercaping salju. Angin sejuk berembus, mentari bersinar hangat.

Jalur Aspite Line yang dikawal dinding salju saban April.

Tohoku berada di utara Tokyo. Luasnya 67.000 kilometer persegi, kira-kira separuh Pulau Jawa. Kawasan ini menampung enam prefektur, semacam provinsi di Jepang. Lanskapnya didominasi bukit dan pantai. Musim di sini bergulir lebih lambat dibandingkan kawasan lain di Jepang. Saat Tokyo atau Kyoto sudah menikmati musim semi, sebagian Tohoku masih terkubur salju.

Saya memulai perjalanan dari Prefektur Fukushima, gerbang masuk Tohoku. Namanya sempat menghiasi tajuk media akibat tragedi nuklir. Ancaman radiasi memaksa pemerintah menutup sekitar 10 persen kawasan pesisir di sini, lalu menetapkannya sebagai zona terlarang. Kita seolah dihadapkan pada Chernobyl versi Asia.

Mengesampingkan area verboten itu, Fukushima sejatinya tempat yang sangat menawan. Ikon pariwisatanya adalah pohon sakura. Saya bergabung dengan rombongan asal Korea dan RRC, lalu mendaki bukit untuk menyaksikan pohon sakura paling terkenal di seantero Jepang—Takizakura.

Namanya berarti “air terjun.” Rantingnya memang menjurai menyerupai kucuran air terjun. Di sekitarnya, bunga nanohana kuning bermekaran layaknya dayang-dayang yang menemani seorang raja. Raja yang sudah sepuh. Takizakura berusia sekitar 1.000 tahun. Tubuhnya ditopang tiang-tiang kayu, membuatnya seperti kakek renta yang memakai tongkat. Entah sudah berapa gempa yang mengguncangnya, ia masih saja tumbuh subur, masih saja berpose di depan kamera turis. “Paling hanya beberapa batang yang rontok. Sisanya lihat, masih kuat bukan?” ujar Toshi.

Kiri-kanan: Takizakura, pohon sakura yang berusia sekitar 1.000 tahun; aktivitas menaiki becak tradisional di Prefektur Akita.

Tingginya 12 meter dengan bentangan sayap mencapai 20 meter. Pada 1922, pohon sakura tertua di Jepang ini dinobatkan sebagai Cagar Budaya oleh pemerintah. Hari ini, saat pohon sakura di Tokyo mulai menggugurkan daun-daunnya, Takizakura masih merekah. “Iklim dingin yang masih membasuh Tohoku adalah faktor utamanya,” kata Toshi seraya menunjuk kabut yang melayang di bukit.

Dari pohon sakura sakral berusia satu milenium, saya berpindah ke Hanamiyama yang menawarkan taman bunga yang menghiasi bukit setinggi 200 meter. Awalnya perkebunan pribadi, taman ini berubah menjadi objek wisata populer sejak dibuka untuk publik 57 tahun silam. Dari kejauhan, ia terlihat seperti taman dari negeri dongeng. Shotaro Akiyama, fotografer kawakan Jepang, bahkan menjulukinya Shangri-La versi Fukushima.

Saya menjangkaunya dengan mendaki jalan setapak. Bunga-bunga bertaburan di sisi kiri, sementara lembah menganga di sisi kanan. Jalan tanah dan batu ini terus berkelok dan menanjak. Selang 30 menit, saya berhasil menggapai puncak bukit dan disambut pemandangan 360 derajat Fukushima dan pegunungan salju di kejauhan. Rasa lelah di perjalanan terbayar lunas.

Ekspedisi menyisir tepian Tohoku berlanjut ke Miyagi, prefektur yang mengalami kerusakan terparah akibat tsunami. Ikon tempat ini adalah Kastel Shiroishi, struktur megah yang didirikan pada abad ke-16. Awalnya dihuni klan penguasa Katakura, kastel ini sempat berubah fungsi menjadi markas militer ketika Perang Boshin pecah pada 1868.

Kastel Shiroishi yang berusia lebih dari lima abad.

Mengunjungi Kastel Shiroishi membawa imajinasi saya ke zaman kaum shogun. Usai melewati gerbang yang dipercantik ornamen naga, saya mendarat di sebuah halaman lapang yang dinaungi bangunan kayu. Meski usianya sudah lebih dari lima abad, kastel ini masih terlihat gagah. “Kami mengerahkan lebih dari 20 orang dalam proses revitalisasi. Masing-masing dengan keahliannya tersendiri,” ujar Kishiro, pemandu kastel.

Bertolak 187 kilometer ke Prefektur Iwate, udara dingin kian menggigit. Saya singgah di Hachimantai di sisi barat laut Iwate. Sebagian kawasannya berstatus taman nasional. Dari kaki bukit, minibus meraung-raung mendaki rute terjal. Selang 30 menit, pemandangan di balik jendela mulai berubah: dedaunan hijau dan cokelat bersalin menjadi salju putih. “Kita sekarang berada di ketinggian 1.200 meter,” ujar Toshi.

Mobil kemudian bertemu tembok es raksasa. Inilah jalur Aspite Line yang tersohor itu. Tiap Maret, 10 traktor dikerahkan guna menyingkirkan salju dan membuka jalan. Saljunya kemudian ditumpuk di kedua sisi jalan, hingga membentuk dinding putih sepanjang 27 kilometer layaknya sebuah koridor ajaib. Menyusurinya seperti memasuki wahana di taman rekreasi.

Hachimantai adalah destinasi ski yang populer, dan tempat ski terpopuler di sini adalah Appi, resor yang menawarkan 21 rute ski dengan lanskap bervariasi. Menjajal rute khusus amatir, saya terkesima dengan debit salju yang menumpuk di musim semi. “Kebanyakan slope menghadap utara, jadi tidak terkena sinar matahari secara langsung. Dari Desember hingga Mei, tamu bisa ski sepuasnya,” ujar staf resor. Hachimantai adalah satu dari segelintir tempat di dunia di mana kita bisa menikmati ski di musim semi.

Kiri-kanan: Memberi makan rubah adalah salah satu objek wisata populer di Prefektur Miyagi; baju zirah khas Jepang di Kastel Shiroishi.

Di hari terakhir, saya mencicipi kuliner tradisional wanko soba di kota kecil Morioka, sekitar 45 menit dari Hachimantai. Menu berbahan mi ini diciptakan 380 tahun silam oleh Nambu Toshinao, pemimpin klan Nambu. Di restoran Azumaya Soba, wanko soba disuguhkan dalam konsep sajian ala kerajaan.

Awalnya, tamu diberikan mangkuk-mangkuk mungil yang berisi soba dan tujuh lauk, antara lain tuna sashimi dan suwiran ayam. Usai semuanya tuntas disantap, kita tak perlu beranjak mengambil soba layaknya prasmanan konvensional, sebab para pelayan telah bersiaga di dekat meja. Cukup beri aba-aba, mereka akan menghampiri dengan membawa sekitar 20 mangkuk makanan.

Ritual makan di sini menganut prinsip “kenyang hingga tidak bisa bergerak.” Prinsip yang dipraktikkan lebih eksesif setiap Februari dan November saat Azumaya Soba menggelar turnamen wanko soba. Rekornya adalah 599 mangkuk untuk pria dan 499 untuk wanita.

Toshi agaknya tak berlebihan saat mengklaim badai sudah berlalu di Tohoku. Tempat ini memang belum sepenuhnya melupakan tsunami, dan rasanya tak ada yang bisa melupakan bencana memilukan itu. Tapi warganya setidaknya kini sudah kembali tersenyum. Alam cantik di sini agaknya tak akan membiarkan manusia larut dalam duka. Pohon sakura terus tumbuh, bunga-bunga terus merekah, dan salju kembali berjatuhan di lintasan ski.

PANDUAN
Rute

Tohoku berada di utara Tokyo dan bisa dijangkau menggunakan kereta peluru Shinkansen (jreast.co.jp/e) dalam waktu satu jam. Penerbangan ke Tokyo dilayani antara lain oleh Japan Airlines (jal.com) dan Garuda Indonesia (garuda-indonesia.com). Untuk menjelajahi Tohoku, Anda bisa menaiki bus atau kereta antarprefektur Expressway (e-nexco.co.jp).

Penginapan
Di Prefektur Fukushima, satu penginapan yang menarik dicoba adalah Surikamitei Ohtori (24-3 Nakanouchi, Iizakamachi; 81-24/5424-184; surikamiteiohtori.com; doubles mulai dari Rp2.012.000), properti yang menawarkan kamar bergaya kombinasi Eropa dan Jepang, serta fasilitas kolam air panas onsen. Di Iwate, Appi (Appikogen, Hachimantai; 81-19/5736-401; appi.co.jp; doubles mulai dari Rp1.628.000) adalah salah satu resor ski terpopuler di Tohoku.

Aktivitas
Tohoku menyajikan beragam aktivitas menarik. Di kota kecil Miharu, kita bisa melihat Takizakura, pohon sakura paling terkenal di Jepang. Tingginya 12 meter dan usianya sekitar satu milenium. Sementara di Hanamiyama, kita bisa mendaki bukit yang dibalut taman bunga. Suguhan atraktif tersaji di Hachimantai berupa jalan magis yang dipagari tembok es—fenomena yang berlangsung selama hanya 20 hari di pertengahan April. Setiap Oktober, Kastel Shiroishi menggelar teater yang mengisahkan Perang Boshin. Sedangkan di Februari dan November, Morioka menyelenggarakan festival makan wanko soba, kuliner yang diciptakan 380 tahun silam. Kunjungi situs Biro Pariwisata Tohoku (en.tohokukanko.jp) untuk menemukan paket tur di keenam prefektur di Tohoku.

Dipublikasikan perdana di majalah DestinAsian Indonesia edisi Januari/Februari 2016 (“Badai Sudah Berlalu”).

The post Bangkitnya Pariwisata Tohoku appeared first on DestinAsian Indonesia.

]]>