konservasi Jakarta Archives - DestinAsian Indonesia https://destinasian.co.id/tags/konservasi-jakarta/ Majalah travel premium berbahasa Indonesia pertama Wed, 06 Jan 2021 03:22:54 +0000 en-US hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.6.2 Sekolah Seni Baru di Jakarta https://destinasian.co.id/sekolah-seni-baru-di-jakarta/ Wed, 30 Jan 2019 04:00:05 +0000 http://destinasian.co.id/?p=44990 Kurikulumnya menyiratkan koreksi terhadap kampus-kampus seni mapan.

The post Sekolah Seni Baru di Jakarta appeared first on DestinAsian Indonesia.

]]>
Zine koleksi Gerakan Seni Rupa Bogor di pameran Kota Edu, November 2018.

Oleh Wikana
Foto oleh Fransisca Angela

Kotak-kotak peti kemas yang pernah menghuni gudang di kawasan Pancoran ditumpuk begitu saja di lahan seluas separuh lapangan sepak bola. Terselip di antara rumah-rumah warga yang berpekarangan hijau di wilayah Jagakarsa, kubus-kubus logam itu tampak kontras sekaligus janggal.

Tapi Gudskul sepertinya memilih alamat yang tepat. Teronggok di perbatasan Jakarta dan Depok, sekolah seni partikelir ini berjarak dekat dari lima perguruan tinggi, termasuk Universitas Indonesia dan Universitas Pancasila. Tak lama usai diresmikan Oktober silam, tempat ini melesat jadi wadah kongko baru bagi warga indekos di sekitarnya.

Gudskul dibentuk oleh tiga kolektif seni: Ruang Rupa, Grafis Huru Hara, dan Serrum. Selama 18 tahun, ketiganya berpindah-pindah markas, bergerilya lewat beragam platform, jatuh bangun membesut berbagai kegiatan yang kesemuanya diikat oleh satu ideologi: kolaborasi. Sebelum ke Jagakarsa, mereka sempat bermukim di Gudang Sarinah Ekosistem.

Pendidikan barangkali fase puncak yang melembagakan semua pencapaian mereka. Para eksponennya, selain seniman profesional, rata-rata memiliki latar belakang pendidik, termasuk Ade Darmawan sang gembong Gudskul. Bersama Ruang Rupa, Ade meretas platform yang menyerap mahasiswa dari berbagai kampus di Jakarta: Jakarta 32˚C dan OK Video. Kedua platform ini kemudian menginisiasi kolektif baru, Serrum, yang dimotori oleh banyak mahasiswa seni rupa Universitas Negeri Jakarta.

Kiri-kanan: Puzzle kayu buatan kolektif Serrum; Studio Jakarta 32°C, forum jejaring mahasiswa.

“Pendidikan kita terlalu individual. Sangat Barat,” ujar Ade membuka obrolan tentang lembaga pendidikan yang baru diretasnya. Pengalamannya belajar di Yogyakarta hingga Belanda telah memperlihatkan betapa sekolah seni kerap terlampau sibuk mencetak calon seniman yang berkarya solo. “Kolaborasi tak diajarkan di sekolah seni,” tambahnya.

Gudskul beriktikad menjadi antitesis dari kondisi itu. Seperti tertulis pada lamannya, lembaga ini ingin menjadi ruang studi kolektif sekaligus ekosistem seni rupa kontemporer. Hampir seluruh materi yang diajarkannya terkait nilai-nilai kolektif dan kolaboratif, seperti kesetaraan, solidaritas, dan kebersamaan. “Malu menyapa, sulit berkarya,” begitu moto yang tertera pada spanduk di pintu masuk Gudskul.

Di tahun pertamanya, Gudskul memilih 16 orang dari sejumlah kolektif seni di penjuru Indonesia untuk mengikuti program pendidikan yang dirancang selama setahun penuh. Dari 16 orang itu, hanya tiga yang memiliki latar belakang seni. Sisanya anak-anak muda lintas disiplin dan komunitas.

Seluruh partisipan dipilih melalui proses seleksi. Mula-mulanya mereka diminta mengirimkan pengalaman kerja kolektif dan rencana proyek yang akan digarap bersama Gudskul. Lolos tahap pertama, mereka disaring lewat sesi wawancara. “Terutama dilihat keterbukaannya dalam menerima ideologi kolektif, dan sudah memutuskan akan terjun di medan seni ko temporer,” jelas Ade tentang kriteria seleksi.

Baca juga: 18 Ruang Seni Pilihan Lima Tokoh Seni50 Tahun Taman Ismail Marzuki5 Ruang Seni di Jakarta

Kiri-kanan: Reza Afisina, pengajar laboratorium Kolektif Seni Rupa; studio Grafis huru hara, salah satu kolektif di balik Gudskul.

Saban harinya, 16 orang itu digembleng dengan serangkaian modul yang disarikan dari pengalaman bertahun-tahun Ade dan kawan-kawan dalam menghidupkan kolektif. Modul Tinjauan Kolektif Seni Rupa, misalnya, menyoroti sejarah kolektif di Asia Tenggara. Sementara Laboratorium Kolektif Seni menelusuri berbagai proyek seni dan praktik artistik masa lalu, serta relevansinya bagi situasi terkini.

Proses belajar peserta bergulir di tengah ekosistem seni yang lengkap. Inilah yang membuat Gudskul berbeda dari banyak lembaga pendidikan lain. “Padepokan” ini memiliki kurator, penulis, manajer, peneliti, musisi, sutradara, arsitek, hingga koki dan perancang busana. Berkat kelengkapan itu, Gudskul membuka peluang bagi munculnya isu, wacana, hingga medium artistik yang beragam.

Yang juga berharga, para peserta bisa memanfaatkan jaringan yang sudah terbentang lapang lewat aneka inisiatif garapan eksponen Gudskul, misalnya Jakarta 32˚C, OK Video, Ruru Shop, Kurikulab, dan RRRec Fest. Peserta bisa mengeksplorasi arsip, video, suara, instalasi, grafis, hingga partisipasi warga. “Mereka harus jadi agen-agen seni di wilayahnya,” jelas Ade, “karena kami ingin merawat ekosistem, bukan hanya memproduksi seniman.”

Di luar program utamanya, Gudskul berikhtiar melibatkan publik yang lebih luas melalui serangkaian kursus, mulai dari fotografi hingga menulis cerpen, yang digelar malam hari. Program berbayar ini mengajak pesertanya mendalami materi yang relevan dengan situasi kontemporer. Peserta, misalnya, diajar mengasah kepekaan akan benda-benda di sekitarnya, lalu memberi makna baru lewat instalasi. Ada juga kelas Art Handling yang membeberkan solusi kreatif dalam menangani pameran, mulai dari pemasangan hingga pengemasan karya. “Kita ingin menguji ide kita. Apakah relevan dan memiliki aspek keberlanjutan,” ujar Ade tentang program berbayar Gudskul.

Kiri-kanan: Ade Darmawan, seniman yang juga penggawa lembaga edukasi Gudskul; instalasi karya Hou I-Ting, seniman asal Taiwan yang berjudul Self-Assembled Cities di pameran Kota Edu.

Kelahiran Gudskul merupakan bagian dari tren yang menggejala setidaknya sejak 2000 di Jakarta. Seni kontemporer di Ibu Kota memang tak hanya menggeliat di ruang-ruang formal seperti kampus, galeri, dan pusat kesenian. Alih-alih, proses penciptaan karya justru marak dilakukan oleh kolektif artis melalui kolaborasi dengan beragam kelompok masyarakat.

Selain Gudskul, Jakarta memiliki Milisifilem Collective, platform yang dibentuk pada 2017 oleh Forum Lenteng. Platform ini mendalami produksi visual dengan tema sosial dan budaya mutakhir, memakai pendekatan partisipatoris dan kolaboratif. Oktober silam, kelas angkatan ketiganya dimulai dengan peserta anak-anak muda dari beragam lembaga, termasuk dari luar Jawa. Di antara mereka ada Ahmad Humaidi dari Yayasan Pasirputih, Lombok, serta Syahrullah utusan Sindikat Sinema, Samarinda.

Dalam konteks yang lebih luas, kemunculan institusi semacam Gudskul dan Milisifilem sebenarnya juga menyiratkan koreksi terhadap lembaga-lembaga seni mapan di Jakarta, termasuk kampus seni dan dewan seni. Maklum, banyak lembaga di kota ini seperti mandek lantaran didominasi “birokrat seni” yang kurang memahami perkembangan wacana.

Menurut artis senior FX Harsono, banyak alumni sekolah seni formal kerap gagap saat memasuki wilayah seni kontemporer. “Bagaimana menjembatani riset untuk penciptaan karya misalnya, tak diajarkan di lembaga pendidikan seni,” ujar Harsono yang dulu berperan sentral dalam Gerakan Seni Rupa Baru. “Skena seni dunia berkembang demikian kompleks. Kegiatan penciptaan semua beralih kian kolaboratif, partisipatif, melibatkan banyak kajian.”

Gudskul mengedepankan pentingnya dialog yang kritis dan eksperimental, lewat proses pembelajaran yang berbasis pengalaman.

Harsono pun mencetuskan inisiatif pendidikan seni. Bersama ruang seni Dialogue, dia menciptakan Exi(s)t pada 2012. Dari rahimnya lahir antara lain Natasha Tontey, Yaya Sung, serta Ratu Saraswati. Sosok-sosok muda ini kini rajin menggelar pameran di Indonesia dan Asia.

Exi(s)t menjalankan tugas inkubator. Dari ratusan artis muda yang mendaftar per angkatannya, Harsono menerima hanya tujuh hingga 10 orang yang memiliki konsep karya menarik dan pemahaman akan wacana kontemporer. Lewat pendampingan setahun, partisipan diajak untuk tak hanya berorientasi pada karya, tapi juga berdialog secara kritis seputar spektrum seni kontemporer. Di ujung kelas, kreasi mereka disajikan di Dialogue atau Galeri Nasional.

Meski telah digelar tujuh kali tanpa jeda, bagi Harsono, keberhasilan sekolah partikelir tidak bisa diukur secara instan. Proses pendidikan seni ini berdimensi jangka panjang. “Ini membangun generasi. Jadi minimal harus konsisten 10 tahun terus-menerus,” ujarnya.

Dipublikasikan perdana di majalah DestinAsian Indonesia edisi Januari/Maret 2019 (“Kutub Kolektif”).

The post Sekolah Seni Baru di Jakarta appeared first on DestinAsian Indonesia.

]]>
50 Tahun Taman Ismail Marzuki https://destinasian.co.id/50-tahun-taman-ismail-marzuki/ Fri, 02 Nov 2018 04:36:01 +0000 http://destinasian.co.id/?p=43582 Ada banyak kritik terhadap performanya, tapi belum ada terobosan untuk memperbaikinya

The post 50 Tahun Taman Ismail Marzuki appeared first on DestinAsian Indonesia.

]]>
Taman Ismail Marzuki
Teater Jakarta, gedung pementasan yang berkapasitas 1.240 orang di TIM.

Oleh Bambang Bujono
Foto oleh Rosa Panggabean

Apa yang telah kita tanamkan sebagai modal seni, modal kebudayaan, di kompleks Pusat Kesenian Jakarta ini,” ucap Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin dalam peresmian Taman Ismail Marzuki (TIM) pada 10 November 1968, “akan memberikan bunga dan buah-buah karya seni yang tak terhingga nilainya bagi kehidupan kultural kita di ibu kota di masa-masa yang akan datang,”

Tahun ini, 50 tahun setelah TIM berjalan dengan Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) sebagai kurator kegiatannya, benarkah ada “buah-buah karya seni yang tak terhingga nilainya bagi kehidupan kultural kita”? Pertanyaan itu tak mudah dijawab, terutama bila yang dimaksud dengan “kita” adalah kita semua. Seni, juga segala hal yang berkaitan dengan perasaan dan selera, tidak datang menyapa orang dengan keseragaman. Subjektivitas erat melekat pada seni, dan karena itu tiap individu menikmatinya dan menyikapinya secara berbeda: dari menolak sampai menerima, dari meninggalkannya hingga menyimpannya dalam hati.

Dalam sebuah diskusi pada awal 1970-an di kantor DKJ, seseorang bertanya: “Untuk apa DKJ mementaskan musik klasik yang tak dimengerti oleh abang-abang becak yang nongkrong di depan TIM?” Waktu itu becak masih legal beroperasi di Jakarta, dan sejauh yang saya ketahui, tak ada abang becak masuk TIM untuk menonton musik klasik, juga tak seorang pun anggota DKJ menawari abang becak untuk menonton musik klasik. Jawab pembicara, Arief Budiman, anggota DKJ: “Kenapa kita harus memaksa abang becak menikmati musik klasik?”

Taman Ismail Marzuki
Kiri-kanan: Para penari Wayang Orang Bharata, kelompok yang dibentuk oleh orang-orang yang dulu rutin mementaskan wayang di TIM; FX. Harsono, peserta pameran monumental Pasaraya Dunia Fantasi pada 1975 di TIM.

Demikianlah, sejauh pergelaran di TIM ada peminatnya, pergelaran itu merupakan “buah karya seni yang bernilai.” Itu pula sebabnya Ali Sadikin mempertahankan Jurusan Seni Tari di Lembaga Pendidikan Kesenian Jakarta (kini Institut Kesenian Jakarta), walau pernah suatu ketika yang mendaftar hanya satu orang. Biar saja, saya akan tetap menggaji dosen-dosennya, begitu kira-kira argumen Bang Ali, yang optimistis kelak jumlah pendaftar bertambah.

Peminat, penonton, dan kolektor merupakan sebagian prasarana pendukung kegiatan, termasuk pergelaran kesenian. Jawaban Ali Sadikin tentang jumlah mahasiswa seni tari mengingatkan kita bahwa peminat pergelaran kesenian tidak harus semata diukur dari sisi kuantitas. Kekuatan peminat juga tergantung pada kualitas, dan pada gilirannya kualitas akan memengaruhi kuantitas.

Upaya meningkatkan kualitas dan kuantitas menyiratkan perlunya promosi. Bukan hanya berbentuk reklame, melainkan juga pemberitaan dan penulisan ulasan. Di masa-masa awal TIM, jurnalis seni-budaya mendapat kartu TIM untuk menonton dengan gratis hampir semua pergelaran. Eloknya lagi, terutama di media massa utama kala itu, para redaktur seni-budaya adalah mereka yang mencintai kesenian dan menyadari peran TIM. Promosi yang disampaikan dengan bekal simpati, kemampuan yang mumpuni, dan kesadaran akan perlunya mengembangkan TIM, membuat pusat kesenian ini, katakanlah pada 10 tahun pertamanya, dirasa penting dan bermanfaat kehadirannya. Salah satu bukti: sejumlah daerah membentuk semacam pusat kesenian dan dewan kesenian masing-masing.

Waktu itu, pergelaran besar dan kecil mendapatkan publikasi yang lebih daripada memadai. Beberapa media mengangkat pergelaran di TIM sebagai laporan utama; beberapa menyediakan halaman sekali sepekan untuk tulisantulisan seni di TIM dan seni pada umumnya.

Taman Ismail Marzuki
Heri, pemeran karakter Semar dalam salah satu pertunjukan Wayang Orang Bharata di Senen, Jakarta.

Waktu itu pula, TIM dengan DKJ-nya bekerja dengan kreatif, tak sekadar menyuguhkan pergelaran. Gagasan-gagasan “baru” didiskusikan dan dilaksanakan, misalnya batas seni “serius” dan seni “hiburan” dibuka demi memberikan lebih banyak pilihan bagi masyarakat. Maka ada pertunjukan Srimulat di samping teater Rendra dan Putu Wijaya. Ada Lenong yang manggung di tempat Sardono W. Kusumo menggelar Dongeng dari Dirah. Ada pentas Koes Bersaudara dan Panbers di samping orkestra klasik dan musik kontemporer Slamet Abdul Sjukur. Juga ada pameran keramik pakai di tempat yang sama dengan pameran Gerakan Seni Rupa Baru.

Tapi waktu terus berjalan, ruang berubah, dan muncullah pendapat di kalangan para seniman, juga di masyarakat, bahwa pergelaran di TIM semakin kurang bermutu. Meminjam katakata kritikus Dan Suwaryono, pergelaran seni kala itu “membosankan, yang itu-itu juga.”

Lalu muncul jawaban yang mungkin benar namun tak sepenuhnya dipapar jelaskan guna menemukan solusi: itu semua akibat pemegang keputusan atas merah birunya TIM, Ali Sadikin, sudah habis masa jabatannya. Dia diganti sebelum sempat menjadikan TIM sebuah institusi yang mapan, bukan ad hoc, karena itu mudah dipermak. Dan visi penggantinya tidak lagi melihat TIM dan DKJ sebagai, meminjam pendapat Sardono W. Kusumo, tempat “tersalurnya energi kreatif dari berbagai lapis pendukung dan pelaku seni.” Seorang gubernur sesudah Ali Sadikin, dalam wawancara dengan saya selaku wartawan, dengan tegas menyatakan akan mengubah TIM menjadi semacam Taman Impian Jaya Ancol. Bukan ide yang buruk, namun itu berarti menghapus makna TIM.

Taman Ismail Marzuki
Kiri-kanan: Teater Besar Jakarta diresmikan pada 2010; patung Ismail Marzuki, komponis kelahiran Kwitang.

Suara sumbang soal mutu pergelaran di TIM tecermin salah satunya dari menurunnya liputan pergelaran di tempat ini. Media massa yang berangkat dari fakta dan data aktual bisa dikatakan sebagai cermin perubahan dan perkembangan masyarakat. Dengan mendapat hanya setengah perhatian dari media massa dibandingkan sebelumnya, TIM agaknya sudah tak seiring jalan dengan perkembangan zaman.

Alasan lain dari menurunnya mutu pergelaran di TIM adalah dana yang terus berkurang nilainya seiring susutnya nilai tukar rupiah. Sementara itu, lembaga lain, misalnya media massa, menyesuaikan gaji karyawannya saat terjadi penurunan nilai rupiah. Di periode awal TIM berdiri, untuk pengerjaan sebuah baliho yang dipasang di depan gerbang TIM, seorang pelukis menerima imbalan, seingat saya, Rp20.000. Imbalan ini sekitar satu setengah kali gaji seorang redaktur media. Ketika media massa menyesuaikan gaji redakturnya karena menurunnya nilai rupiah, imbalan di TIM bergeming.

Pada pekan terakhir Desember 1990, TIM dan DKJ menyelenggarakan seminar sehari bertajuk “Pusat Kesenian: Posisi dan Masalahnya.” Salah seorang pembicara, Nirwan Dewanto, menarik kesimpulan TIM sudah ketinggalan zaman. Seniman, katanya lagi, kini bergerak leluasa dan tak butuh pusat kesenian. TIM dan DKJ mestinya menyadari masyarakat kesenian kini tak lagi homogen dan terkonsentrasi.

Taman Ismail Marzuki
Kiri-kanan: Aries Mukadi pada 1971 bergabung dengan Paguyuban Jaya Budaya, kelompok yang dulu rutin pentas di TIM; lobi Teater Jakarta.

Dua tahun kemudian, November 1992, TIM dan DKJ membuka seminar berjudul “Peranan Pusat Kesenian Jakarta Taman Ismail Marzuki Kini dan Masa Datang.” Sardono W. Kusumo, salah seorang pembicara, menyatakan performa TIM dan DKJ menurun. “Ketika seni berkembang pesat di dalam masyarakat, manajemen seni di dalam TIM malah menurun kualitasnya.” Tapi dia kemudian juga menyatakan, “Itu tidak berarti kita tak memerlukan sebuah pusat kesenian.” Sardono melihat TIM memiliki potensi yang tidak ada di institusi lain: ada tempat (TIM), ada tim kurator (DKJ), ada lembaga pendidikan (IKJ), dan ada lembaga pemikir (Akademi Jakarta). Simpulnya, pergelaran di TIM bisa sangat bermakna bila mencerminkan sinergi keempat lembaga itu, apalagi jika TIM dan DKJ bisa membangun jaringan dengan institusi seni lain.

Baik Nirwan maupun Sardono tak membeberkan detail solusi untuk TIM dan DKJ. Kedua lembaga ini pun tak terdengar menindaklanjuti pemikiran-pemikiran dari kedua seminar tersebut. Sebagaimana saya alami saat dua kali menjadi anggota DKJ, begitu dilantik, dewan ini hanya sibuk menyusun organisasi dan program, lupa menengok kembali apakah konsep TIM dan DKJ perlu dimodifikasi. Meninjau kembali konsep DKJ? Tunggu sampai penyusunan organisasi dan program selesai. Dan ternyata kesibukan menyusun program tak pernah tuntas hingga masa keanggotaan habis.

Memang, masih ada acara di TIM yang patut diikuti, misalnya Indonesian Dance Festival dan Festival Teater Jakarta. Sedangkan pameran besar seni lukis, yang kemudian menjadi Jakarta Biennale, kini diselenggarakan oleh Yayasan Jakarta Biennale, yang salah satu pendirinya adalah DKJ. Selebihnya, TIM hanya diramaikan oleh perayaan sekolah ini dan itu, bazar makanan dan busana, serta acara-acara lain yang jauh dari kesenian yang “serius.”

Taman Ismail Marzuki
Kiri-kanan: Putu Wijaya, dramawan senior yang pernah menulis naskah sekaligus menyutradarai banyak pentas teater di TIM, contohnya Aduh, Dor, dan Anu; Sardono W. Kusumo, koreografer yang mementaskan karya monumental Dongeng dari Dirah pada 1974 di TIM.

Sejak 2012, ketika Joko Widodo menjadi Gubernur Jakarta, TIM memang diperhatikan. Tempat ini direnovasi, proses yang masih berjalan hingga ulang tahun emas TIM. Yang tak tercium adanya “renovasi” justru di perangkat lunaknya, yakni konsep kesenian dan konsep dewan keseniannya. Padahal inilah zaman yang mengandung potensi besar untuk bergeraknya lembaga seperti TIM dan DKJ yang sudah bermodal pengalaman dan prasarana. Ketika di masyarakat terbentuk kolektor dan pasar seni rupa, komunitas-komunitas kesenian, serta galeri atau museum pribadi, ini semua seharusnya “memudahkan” TIM dan DKJ untuk mengambil peran yang bermakna dan perlu.

Di dalam KRL menuju TIM, dari Stasiun Pasar Minggu menuju Cikini, saya membayangkan muncul seseorang dengan gagasan untuk mengubah drastis TIM dan DKJ agar bermakna kembali seirama zaman. Contohnya seperti Ignasius Jonan yang berani dan bisa membenahi perkeretaapian Indonesia hingga lebih nyaman bagi publik. Atau, mengutip Nirwan Dewanto, “Pusat kesenian kini hanyalah benar-benar [tinggal] sebuah keterangan tempat.”

Dipublikasikan perdana di majalah DestinAsian Indonesia edisi Oktober/Desember 2018 (“Mencari Solusi”).

The post 50 Tahun Taman Ismail Marzuki appeared first on DestinAsian Indonesia.

]]>
Balada Kota Jakarta https://destinasian.co.id/balada-kota-jakarta/ Fri, 17 Jun 2016 10:17:44 +0000 http://destinasian.co.id/?p=20489 Dari mata street photographer, Jakarta adalah kekacauan yang humoris, sekaligus sebuah humor tentang kekacauan.

The post Balada Kota Jakarta appeared first on DestinAsian Indonesia.

]]>
Pekerja lapangan membongkar panggung usai sebuah festival di Monas.

Oleh Cristian Rahadiansyah

Rian Afriadi lahir di Tasikmalaya, menetap di kawasan satelit Jakarta, berpindah-pindah dari Tangerang, Bekasi, lalu ke Depok. Dia bagian dari megapolitan bernama Jabodetabek, akronim dari tempat-tempat yang dalam banyak kasus saling memuji dan mencibir, kadang dalam waktu yang bersamaan.

Bagi seorang street photographer yang memotret Jakarta, kompleksitas itu sebenarnya sebuah keuntungan. “Dengan menetap di luar Jakarta, saya bisa bertindak sebagai pengamat, bisa berjarak, bisa melihat hal-hal yang mungkin terasa normal bagi orang Jakarta, tapi sebenarnya menarik diabadikan,” ujar pria berusia 30 tahun ini.

Foto-fotonya di majalah ini dibuat sejak 2011 hingga 2016. Beberapa pernah dipamerkan di Singapura dan dimuat dalam bukunya, The New Sun. Rian memotret memakai Fujifilm X-E1, kamera mirrorless yang, menurutnya, “praktis dan tidak berisik.” Sebuah perangkat yang mumpuni bagi fotografer yang gemar membidik momen candid tanpa membuat subjeknya “sadar kamera.”

Apa yang menarik dari Jakarta bagi seorang street photographer? “Kota ini tidak logis,” jawab Rian, yang kini bekerja sebagai pegawai Kantor Pajak. Jakarta, katanya lagi, dipenuhi kekacauan, karena itulah selalu menyimpan sudut-sudut yang penuh cerita. Dia memberi contohnya: “Di jalan-jalan utama yang seharusnya aman, kita ternyata bertemu preman. Sebaliknya, di daerah yang rawan kejahatan, kita justru bisa menemukan pengalaman yang menyenangkan.”

Kiri-kanan: Graffiti ucapan Lebaran bergambar Yesus di Jalan Pramuka; seorang ibu berjalan melewati tembok bergambar mural di dekat Glodok.

Kacau memang kata yang akrab dengan Jakarta. Sebuah indeks yang disusun oleh Castrol menempatkan Jakarta sebagai kota dengan kemacetan terparah sejagat, tapi kendaraan bermotor di sini justru bertambah lebih dari 5.000 unit per harinya. Dua tahun lalu saja, jumlah kendaraan telah mencapai 17 juta unit, jauh melampaui populasi kota yang “hanya” 10 juta jiwa.

Tapi kekacauan tak membuat Jakarta kehilangan magnetnya. Kota yang dirintis hampir setengah milenium silam ini bak sebatang neon yang ajek memikat serangga. Survei kualitas hidup yang disusun oleh lembaga Mercer meletakkan Jakarta di peringkat 142, satu tingkat di atas Gaborone, Botswana. Namun, sehabis Lebaran kita senantiasa disuguhi berita tentang ribuan sanak-saudara dari desa yang merangsek Ibu Kota dengan alasan “mencari kehidupan yang lebih baik.”

Tentu saja, Jakarta tak melulu suram. Kota ini memiliki 170 mal, jalan-jalan lapang, dua bandara, pencakar langit tertinggi di Indonesia, dan kelak, sistem transportasi metro pertama di negeri ini. Jakarta adalah tempat gerutu dan tawa tergores pada wajah yang sama. Kota ini menawarkan malam-malam yang gemuruh, mempunyai gubernur yang tersohor akan ketegasannya, juga menjanjikan karier yang cemerlang. “Bulan telah pingsan di atas kota Jakarta, tapi tak seorang menatapnya!” tulis Rendra tentang sibuknya kota ini mengejar mimpi.

Kiri-kanan: Atraksi turis di Taman Fatahillah, kompleks Kota Tua; seorang peramal di Taman Suropati.

“Jakarta kadang bagikan sebuah dark humor,” simpul Rian. Salah satu fotonya menjelaskan maksudnya: seorang bapak yang menetap di area kumuh di kolong jembatan, tapi bertubuh tambun layaknya orang yang hobi menyantap hamburger. “Padahal saya membayangkan orang di tempat semacam itu bertubuh kurus karena miskin.”

Street photography kerap menyoroti ironi, alienasi, kontradiksi, kadang anarki dan segala lelucon yang menyertainya—seluruh hal-ihwal yang menjadi bagian lumrah dari kehidupan urban. Semua itu tak sulit ditemukan di Jakarta, spesimen sempurna dari kota Dunia Ketiga. Itu juga mungkin sebabnya Rian tak butuh perencanaan ketat saat memotret.

Konstruksi MRT di samping Patung Pemuda Membangun di bundaran Senayan.

Alih-alih, fotografer yang pernah mengikuti pelatihan di Pannafoto ini hanya perlu bergerak instingtif: berjalan, berhenti sejenak di satu titik, lalu berjalan kembali. Galibnya street photographer, dia menyukai foto hitamputih. “Kehadiran banyak warna kerap mengganggu komposisi,” jelas pria yang mengidolakan fotografer Lee Friedlander ini.

“Yang juga unik dari Jakarta adalah masih berlakunya norma,” sambung Rian. Menurutnya, banyak orang di kota ini tampil liberal, tapi di saat yang sama terkungkung norma. “Ada tarik ulur antara kebebasan dan aturan. Orang-orang lebih berani berekspresi, tapi kemudian menyadari adanya norma agama atau norma orang Timur.” Kesimpulan ini, barangkali, memang lebih mudah ditarik oleh orang yang melihat dari satelit.

Suasana car free day di Jalan M.H. Thamrin.

Dipublikasikan perdana di majalah DestinAsian Indonesia edisi Mei/Juni 2016 (“Balada Kota”)

The post Balada Kota Jakarta appeared first on DestinAsian Indonesia.

]]>
Bangkitnya Museum di Jakarta https://destinasian.co.id/bangkitnya-museum-di-jakarta/ Thu, 18 Jun 2015 08:13:19 +0000 http://destinasian.co.id/?p=14998 Empat museum partikelir mengubah wajah museum di Jakarta yang terkesan kusam.

The post Bangkitnya Museum di Jakarta appeared first on DestinAsian Indonesia.

]]>
Ciputra Museum dibangun untuk menghormati hidup Hendra Gunawan.

Oleh Wikana
Foto oleh Bismo Agung

Rumah Baru Pelukis Pejuang
“Mudah-mudahan saya bisa kelak menjadi salah satu kolektor yang cukup banyak dari lukisan bapak, sehingga suatu waktu dapat saya pamerkan atau dapat saya jadikan musium pribadi.” Surat balasan Ciputra kepada Hendra Gunawan yang diketik rapi 32 tahun silam itu menjadi salah satu manuskrip penting yang dipamerkan dalam pembukaan Ciputra Museum, sebuah museum yang terintegrasi dengan galeri, teater, mal, dan hotel.

Museum ini didedikasikan bagi seorang perintis seni rupa modern Indonesia. Warna-warna lukisan Hendra yang dinamis dan garis melengkung dalam sosok punakawan menjadi inspirasi desain ruang-ruang museum. Kita pun menemukan corak cerah dan dinding yang asimetris.

Di sini terpajang sembilan lukisan, 23 sketsa, serta surat-surat pribadi Hendra. Koleksinya menukik dan dalam. Selama 40 tahun Ciputra berburu karya pendiri Sanggar Pelukis Rakyat tersebut. Kini, tak mungkin bagi kita untuk mengenal Hendra tanpa mengunjungi Ciputra Museum. Kekayaan koleksi Hendra—yang setelah didata dan diverifikasi keasliannya mencapai 130 lukisan—membuat duet kurator Asmudjo Jono Irianto dan Aminuddin TH Siregar punya banyak amunisi untuk meracik tema kuratorial. Untuk acara pembukaan, keduanya memboyong sembilan lukisan terkuat dan 23 sketsa Hendra yang selama ini “dipingit.”

Kiri-kanan: Karya-karya seni di Cemara 6 ditata lebih personal; lukisan berjudul ‘Pangeran Diponegoro Terluka’ karya Hendra Gunawan di Ciputra Museum.

Karya-karya itu mewakili periode awal seni rupa modern Indonesia: sebuah masa pencarian identitas keindonesian dalam seni rupa. Bersama Sudjojono, pendiri Persatuan Ahli Gambar Indonesia (Persagi) yang selalu dikelilingi pelukis muda, Hendra menemukan jalan baru seni rupa modern Indonesia yang berbeda dari periode sebelumnya yang didominasi Mooi Indie, aliran yang berkutat pada obyek gunung, nyiur, sawah, dan matahari. Hendra seolah merumuskan definisi baru “kepribumian.” Figur-figur orang ramai tengah berinteraksi dan perempuan muda yang berjejer mencari kutu mewakili semangat tersebut.

Salah satu lukisan terkuatnya yang dilekatkan pada dinding, yang kabarnya belum selesai, begitu indah: Pangeran Diponegoro Terluka. Lukisan berdimensi 204 x 495 sentimeter itu tampak begitu hidup, seakan berbicara lugas kepada pengunjung. Bagi pengunjung yang belum memahami kontribusi Hendra bagi sejarah seni rupa Indonesia, museum ini menyediakan ruang pembelajaran khusus. Sosok Hendra sebagai pelukis yang juga pejuang revolusi diperkenalkan secara tidak konvensional.

Ruangan ditata bernuansa penjara lengkap dengan sel tempat aktivis Poesat Tenaga Rakyat itu menghabiskan usia dari 1965 hingga 1978. Pada sebidang tembok, selembar proyektor menghidupkan kiprah pelukis “kiri” tersebut. Pada tembok lainnya, trajektori perjuangannya diurai lengkap. Museum ini juga memberikan ruang pada interpretasi baru sesuai perkembangan zaman. Sembilan karya Hendra ditafsirkan memakai teknologi canggih oleh seniman Adi Panuntun menjadi sebuah karya video mapping yang menggugah.

Ciputra Museum tak hanya menampilkan lukisan karya Hendra Gunawan.

Tapi Ciputra Museum tak cuma menengok masa silam. Sebuah pameran karya perupa kontemporer digelar di area galeri yang bersisian dengan museum. Karya Ade Darmawan, Arya Pandjalu, Angki Purbandono, Dolorosa Sinaga, Entang Wiharso, Ugo Untoro, hingga Heri Dono melambangkan pencapaian generasi baru dalam kaleidoskop seni rupa Indonesia.

Kedekatan Ciputra dan Hendra terjadi tak sengaja. Suatu waktu, Ciputra muda terkagum menatap lukisan Hendra di tembok rumah seorang rekannya. Dia pun meneguhkan hatinya untuk kelak mengoleksi karya-karya sang seniman jika telah memiliki cukup uang. Namun, Ciputra perlu menanti pertemuan dengan pelukis idolanya selama 10 tahun, karena Hendra mesti meringkuk di penjara Kebon Waru, Bandung.

Pertemuan akhirnya terwujud di Pasar Seni Ancol. Usai melihat puluhan galeri yang disatukan di sebuah tempat, Hendra, pendiri Akademi Seni Rupa Indonesia, tak bisa menyembunyikan rasa harunya. Matanya basah. Dia beringsut ke kaki pohon dan menangis sejadinya. Hendra masih ingat perjuangannya memikul lukisan keliling kampung.

Terkadang tak ada yang mau membukakan pintu baginya. “Pernah aku dikejar seekor anjing saat menawarkan lukisan,” kenang Hendra dalam sebuah tulisannya kepada Ciputra. Kini, hubungan simbiosis Ciputra dan Hendra terbangun apik. Bergaul dengan maesenas seperti Ciputra, Hendra bisa hidup layak dan terus berkarya. Di sisi yang lain, Ciputra bisa merasakan semangat hidup sang pelukis. “Saya berfantasi dengan lukisan Hendra,” ujar Ciputra suatu kali pada media. Di rumah pribadinya di kawasan Pondok Indah, lukisan Hendra dijejer di plafon yang didesain miring 30 derajat. Setiap pagi, Ciputra punya ritual khusus: membaca koran, lalu memandangi lukisan Hendra berjam-jam. Tahun lalu, di usia 83 tahun, sang taipan kawakan membuka museum dan mengajak publik berbagi hobinya. Ciputra World 1, Jl. Prof. DR. Satrio Kav.3-5, Kuningan; 021/2988-9889; ciputraartpreneur.com. >>

The post Bangkitnya Museum di Jakarta appeared first on DestinAsian Indonesia.

]]>