hotel Aceh Archives - DestinAsian Indonesia https://destinasian.co.id/tags/hotel-aceh/ Majalah travel premium berbahasa Indonesia pertama Wed, 30 Dec 2020 12:05:24 +0000 en-US hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.6.2 Aceh, 10 Tahun Setelah Tsunami https://destinasian.co.id/aceh-10-tahun-setelah-tsunami/ https://destinasian.co.id/aceh-10-tahun-setelah-tsunami/#respond Wed, 24 Dec 2014 07:54:44 +0000 http://destinasian.co.id/?p=12296 Satu dekade berlalu pasca-tsunami, Aceh berbenah. Modernisasi mulai merangsek.

The post Aceh, 10 Tahun Setelah Tsunami appeared first on DestinAsian Indonesia.

]]>
Masjid Raya Baiturrahman yang menjadi saksi bisu tragedi tsunami 2004.

Oleh Fatris MF
Foto oleh Muhammad Fadli

Dari Meulaboh yang porak-poranda, saya menyisir ke Calang yang telah rata. Masih di pesisir barat Aceh, saya meneruskan perjalanan ke Lamno yang mirip baju lusuh yang terkoyak. Ada kalanya saya terperangkap dalam baku tembak TNI versus GAM di dusun-dusun pedalaman yang selamat dari amukan gelombang ganas. Hampir lima jam dari situ, barulah Banda Aceh, yang dulu bernama Kuta Raja, terlihat.

Sosoknya berantakan bagai kapal habis dihantam torpedo. Itu pemandangan 10 tahun silam, usai tsunami menerjang, ketika saya mengabdi sebagai pelansir makanan bagi pengungsi. “Inilah ujung kesengsaraan itu, nak!” kata Rosni Idham, penyair terkenal Aceh, ketika saya menginap di rumahnya di Meulaboh. Rumahnya, yang tidak begitu luas, dijadikan tempat penampungan pengungsi. Selain di rumah Rosni, saya menginap di tenda-tenda pengungsian bersama ribuan korban dengan sorot mata kosong akibat kehilangan harapan. Tidur saya dipenuhi mimpi buruk.

“Mimpi buruk, di sini, adalah kenyataan itu sendiri,” kata kawan saya, Beni Tan Mattee. Apa yang bisa diharapkan dari negeri yang tengah dicabik-cabik bencana, Nyak Ros? Apa yang harus saya perbuat di tengah kehancuran dan letupan senjata, Ben?

Namun, hanya tujuh bulan pascabencana, perang kontan berhenti. “Mungkin ini hikmah dari sebuah musibah,” kata Beni lagi yang saya temui beberapa tahun kemudian. Bumi Aceh dinyatakan damai. TNI dan TNA sepakat mengakhiri perseteruan sengit yang telah berlangsung puluhan tahun. Gelombang hitam lautan secara tidak langsung menciptakan perdamaian. Mata dunia tersedot ke Aceh. Bantuan tak habis-habisnya dipasok. Benar kata penyair Rosni Idham: “kesengsaraan tentu ada ujungnya, penderitaan tentu ada batasnya.” Satu dasawarsa setelah itu, saya mengunjungi tanah yang sama. Ada apa di sana kini?

Papan penunjuk arah evakuasi tsunami yang dipasang pasca tragedi.

Saya datang ke Aceh via jalur darat. Bus yang saya tumpangi melesat di jalan mulus, melewati Gunung Seulawah, melintasi Hutan Bireuen, menerobos Sigli. Daerah-daerah itu, 10 tahun lalu, masih dilingkari warna hitam pada peta militer. Namun kini nyaris sudah tidak ada lagi pos-pos jaga yang dikerumuni pria sangar berbaju loreng dengan senjata terkokang.

Memasuki Ibu Kota Serambi Mekah pada waktu pagi di hari libur bagaikan memasuki sebuah kota tanpa polusi. Jalan sepi. Tak ada kendaraan melintas, selain kendaraan yang saya tumpangi. Mobil saya makin pelan saat melewati taman-taman kota yang rimbun. Sebuah kanal (atau krueng dalam bahasa Aceh) menghubungkan Kuta Raja dengan wilayah lain. Orang-orang menyebutnya Krueng Raya.

Pagi baru saja dimulai. Angin bertiup pelan. Hasan Tiro tersenyum dalam baliho, mengangkat tangan ke arah saya yang melintas, dan berucap dalam diam: “Selamat datang di Nanggroe!” Bendera Partai Aceh berkibar di mana-mana. Simbol dari pergerakan masa lalu yang penuh luka itu begitu jemawa.

Bendera yang dulu saya temui di kampung-kampung sepi—yang hanya dihuni anak-anak, ibu-ibu, dan lelaki yang telah uzur—kini mewarnai seisi kota. Gambar partai lain dan wajah-wajah sisa Pemilu 2014 tidak kalah banyak, mengerubuti tiang-tiang, tembok-tembok, hingga persimpangan jalan.

Kopi, minuman favorit di Aceh. Ada banyak warung kopi seperti ini di Serambi Mekkah.

Matahari baru muncul, padahal sudah pukul tujuh. Memang, Tuhan memulai pagi lebih lambat di sini ketimbang Jakarta. Saya berkeliling kota. Jalan-jalan rapi, pepohonan hijau, taman kota dipenuhi orang-orang yang berolahraga. Kadang jarak satu taman dengan taman lainnya hanya 100 meter.

Menjelang siang, aroma kopi menguap dari kafe-kafe yang jumlahnya susah dihitung. Aroma kopi arabika dari pedalaman Gayo tersaji di meja-meja kafe di Banda Aceh. “Lebih dari seribu, mungkin dua ribu,” kata seorang penyeduh kopi tentang jumlah warung kopi. Aceh memang surga bagi pecandu kafein. Di pegunungan yang berlapis-lapis di Aceh Tengah, kopi arabika tumbuh subur. Di Indonesia, Dataran Tinggi Gayo di jantung Aceh merupakan salah satu penyuplai kopi arabika terbesar di dunia.

Saya mengelilingi Banda Aceh pada Minggu yang lengang, menyisir pantai-pantai berpasir putih dari Lhoknga, Lampuuk, Ulee Lheue, hingga pantai-pantai anonim. Orang-orang bersepeda mengisi hari libur, sementara beberapa mobil hijau “aparat” bergulir santai. Di tepi pantai, mobil-mobil berwarna suram itu terparkir; sebagian pemiliknya menyantap jajanan dan kelapa muda. Setiap kali melihat aparat di Aceh, ingatan saya selalu terlempar ke peristiwa satu dekade silam, ketika tentara bersiaga di setiap titik.

“Dulu memang. Saya pakai rompi anti peluru, dengan AK -47 terkokang di tangan,” kata seorang perwira polisi, AKP Taupik. “Sekarang Aceh telah aman buat siapa saja. Saya bahkan tidak tahu di mana senjata saya simpan.” Saya pun minum air kelapa, memandang hamparan Pantai Lampuuk bersama ratusan keluarga.

Para warga lokal di Museum Tsunami di Meulaboh.

Di ujung sebuah jalan bekas hantaman tsunami, saya berhenti. Seorang bapak membawa keluarganya ke pantai untuk memancing. Aceh telah aman, kata Taupik berulang-ulang. Tetapi tidak untuk pejalan kaki di jalan raya. “Jalan raya begitu berbahaya sekarang, itu salah satu masalah kami,” kata seorang Polantas yang saya temui. Menyeberang jalan di pusat Kota Banda Aceh jauh lebih mengancam ketimbang menerabas belukar. Anda mesti bersabar menunggu jalanan sepi. Entah kenapa, tak satu pun pengendara sudi memberi kesempatan pejalan kaki menyeberang.

Di pusat kota, jalan mulus terbentang, dipenuhi mobil yang mengilap, sementara polisi lalu lintas bersorak dengan pengeras suara di tengah kota, mengajak orang-orang untuk memperhatikan keselamatan, tidak ugal-ugalan, mengenakan helm, mematuhi rambu. “Orang-orang di sini lebih banyak yang tidak mengetahui caranya berkendara,” ujar seorang anggota Polantas. “Mereka bisa saja terlihat mematuhi lampu merah, namun serempak tancap gas ketika angka di lampu masih menunjukkan angka empat.

Suara azan zuhur merambat dari menara Masjid Raya Baiturrahman. Saya mengikuti arah si empunya suara, menyeberang jalan dengan rasa was-was. Di depan masjid, sebuah plakat penembakan Köhler didirikan. Dia perwira Belanda yang tewas dibunuh ketika hendak menaklukkan Aceh pada akhir abad ke-19.

Masjid Baiturrahman dipenuhi orang yang duduk-duduk menghindari sengatan panas. Beberapa pelancong asal Malaysia berfoto-foto dengan latar menara yang mencucuk langit. Dengan serempak, mereka kemudian berkeliling kota dan menyatroni Museum Tsunami.

Zikir massal di Masjid Raya Baiturrahman.

Ketika senja, saya dan para wisatawan menyambangi pantai-pantai berpasir putih. Pada waktu malam, orang-orang akan tumpah-ruah di jalanan, menyerbu kafe-kafe. Orang Aceh banyak meluangkan waktu untuk menyeruput kopi. Warung-warung dipenuhi canda tawa. Tua dan muda, laki-laki dan perempuan, semua meringkuk di kafe. Beragam masakan siap dilahap. “Di Banda Aceh, hidup dimulai pada malam hari,” kata seorang pemilik kafe berseloroh.

Saya berkeliling, berpindah dari satu kafe ke kafe lain, dari satu cangkir kafein ke cangkir lainnya. Sekelompok pria mengajak kami bergabung, kemudian menyuguhi kami obrolan yang tanpa henti. “Dulu, kami mesti berada di rumah pukul delapan malam, tapi sekarang terserah,” kata Aldi. Jam di kafe telah menunjukkan pukul empat pagi. Jalan utama di depannya kosong. Hanya dengus dingin udara pagi yang sesekali melintas.

Mungkin benar kata Taupik, Aceh telah aman. Di hari berikutnya, saya duduk di sebuah kafe di dekat Masjid Baiturrahman. Dua orang pemuda tegap duduk di hadapan saya. Salah satunya Ahmad, staf sekretariat partai. “Beginilah,” kata Ahmad membuka perbincangan seputar perjuangan masyarakat Aceh yang belum rampung. Tapi, perjuangan yang mana lagi? “Apa artinya damai, bila banyak dari kami yang masih menganggur?” teman Ahmad memotong.

Dulu, Ahmad dan temannya tergabung dalam TNA (Teuntra Neugara Aceh, yang disebut Gerakan Aceh Merdeka oleh pemerintah). Ketika perjanjian damai tercipta, ribuan TNA turun gunung. Ahmad turut di dalamnya. “Pergilah ke desa-desa, kau akan tahu,” Ahmad tersenyum, kendati sorot matanya tajam menikam, entah hendak menyampaikan apa.

Puing-puing bangunan masih bisa ditemukan dengan mudah di Meulaboh.

Orang Aceh kerap sulit diterka. Mereka seperti tak rela memperlihatkan gejolak perasaannya kepada orang lain. Dulu, setelah tsunami melanda, tidak sekalipun saya melihat orang dengan tangan tengadah memohon batuan, sekalipun mereka jelas-jelas sudah berhari-hari puasa makanan yang layak. Barangkali inilah watak-kultural orang Aceh: superioritas yang tidak kenal ampun dari sebuah provinsi di ujung utara Sumatera dengan riwayat perang sipil yang panjang.

“Sumatera selalu rusuh,” kata Paul van’t Veer, penulis Belanda, setengah abad silam. JHR Köhler, seorang Mayor Jenderal Belanda, pernah menghimpun empat batalion tentara dari pulau Jawa demi menyerbu Aceh. Cita-cita Köhler sederhana: mendirikan benteng di muara sungai Aceh. Tapi dia tewas dalam mengejar ambisinya, persisnya saat hendak menguasai sebuah masjid yang semula dia anggap tempat sultan bertakhta.

Setelah itu, 13 ribu serdadu dikirim Belanda. Yang terjadi, 1.500 tewas dan 7.000-an luka parah, begitu tulis Paul dalam catatannya, De Atjeh-Oorlog (1969). Orang Aceh punya tatapan tajam, dan mungkin terlihat agak tertutup kepada orang asing. Puluhan tahun didera perang, warga Aceh kesulitan menghapus dendam. “Bagaimana bisa dengan mudah menghapuskan dendam dari anak-anak yang melihat orang tua mereka ditembaki, kakak perempuan mereka diperkosa?” kata Rozi di sebuah kafe. Saya diam, terhening, tapi warung kopi tetap riuh oleh obrolan. Segala perbincangan di Aceh memang disemai di warung kopi.

“Api dendam itu tidak akan sanggup dipadamkan oleh siapa pun, sampai kapan pun. Kecuali oleh si pendendam itu sendiri,” Tengku Bulqaini berkata tegas. Untuk memadamkan api dendam, Sang Tengku mendirikan Markaz Al Ishlah (terjemahan bebasnya: Pusat Perdamaian). Di pesantren inilah sejak 2002 dia menampung anak-anak yatim korban konflik berkepanjangan. “Tidak hanya anak yatim yang bapaknya seorang GAM , anak TNI dan POLRI pun kami terima untuk sekolah di sini,” ujar Tengku.

Dua peselancar lokal memburu ombak di Lhoknga, pantai yang sempat diterjang ombak tapi kini telah pulih.

Sudah hampir 10 tahun Aceh hidup tanpa perang. Usai Perjanjian Helsinki diteken, mereka bebas menentukan masa depan. Dan mereka dengan percaya diri pula memilih syariat Islam sebagai fondasi normatif. Perempuan mesti berpakaian dan berperilaku sesuai kaidah agama. Namun, di balik pakaian yang membungkus hampir seluruh bagian tubuh itu, perempuan-perempuan Aceh adalah biker yang andal, sopir yang lihai mengebut. Tidak ada larangan bagi perempuan berkendara, bersekolah, berolahraga di tempat keramaian, atau melenggak-lenggok di ruang publik.

Di hotel berbintang Hermes Palace, Banda Aceh, saya tenggelam dalam dentuman musik. Sebuah pergelaran busana tengah digelar. Puluhan remaja Negeri Serambi Mekah meliuk-liuk di panggung seraya memamerkan senyuman, dandanan, serta gaun. Ini kali pertama Indonesia Super Model masuk ke negeri dengan aturan syariat yang dianggap ketat. Bedanya, para pesertanya mengenakan pakaian yang menutupi tubuh hampir seluruhnya. Sebagian menggeraikan rambut yang panjang.

“Aturan syariat tidak membebani kita berkreasi, malah membuat kita makin tertantang,” kata Pasha tersenyum. Senyum yang aneh saya kira untuk seorang lelaki Aceh yang biasanya menatap dengan sorot menakutkan. Pasha bukan seorang mantan TNA, melainkan ahli tata rias yang populer di kalangan model lokal.

“Jangan memandang penerapan syariat Islam di Aceh sebagaimana memandang Islam di Timur Tengah. Jauh berbeda!” lagi-lagi Tengku Bulqaini memotong pertanyaan saya. “Kami bukan Wahabi. Aturan, syariat yang kami anut, juga melindungi pendatang, bahkan yang bukan muslim. Jadi, buat apa Anda takut ke Aceh?” tanya Sang Tengku retoris.

Bir memang tidak dijual bebas. Pakaian tanpa lengan dan celana pendek ketat tidak lazim. Tapi ini provinsi tanpa preman yang mengoleksi pantai menawan, teluk sepi berpasir putih, surga bawah laut yang damai, juga beragam masakan kaya bumbu dan racikan kopi sedap yang menguap ke jalan-jalan.

Bukankah semua itu jauh lebih menggoda ketimbang sebotol bir dan selembar hot pants? “Bayangkan, sebuah kota tanpa mal, tanpa bioskop,” Kapten Veronika Martha menggambarkan kegelisahannya selama ditugaskan di LANUD Iskandar Muda Banda Aceh. Kapten Angkatan Udara RI itu mungkin benar, seantero Aceh memang bukan kota yang tepat buat pecandu belanja, sebab memang tidak terdapat satu pun mal di sini.

Kiri-kanan: Dua wisatawan lokal di Pantai Lampuuk yang telah pulih usai diterjang tsunami; panorama Samudra Hindia dari Perbukitan Geurutee di pesisir barat Aceh.

Saya berkendara dari Banda Aceh ke Meulaboh, meniti jarak 250 kilometer. Jalan mulus terentang lebar. Dalam sejam berkendara, tak sampai 30 mobil yang saya temui. Jalan antarkota yang benar-benar sepi. Di tepi jalan, rumah-rumah bantuan untuk korban tsunami dibangun seragam, sebagian lowong dan ditumbuhi ilalang. Saya melewati Kampung Lamno di Kabupaten Aceh Jaya. Di Calang, daerah yang dulu hanya bisa dimasuki lewat jalur laut, saya berhenti, lalu menikmati tuna panggang sembari menatap laut yang dulu mengamuk.

Meulaboh saya masuki pada sore hari. Setelah 10 tahun, kota ini tidak lagi saya kenali. Lanskapnya berubah drastis. Tapi tidak di Ujong Kareung. Pelabuhan tempat saya pertama menjejakkan kaki di Aceh ini masih seperti sedia kala: markas Korem yang dulu habis dilamun ombak kini masih tak terurus; bangunan bekas stasiun radio Teuku Umar menghitam dan tinggal kerangka. Namun, selepas pelabuhan, pembangunan sedang digenjot keras di Aceh.

Syofyan, lelaki paruh baya, duduk termenung di atas becak motor. Ia menatap tepian Ujong Kareung. “Beginilah Meulaboh sekarang,” katanya. Matanya melirik ke barisan truk yang keluar-masuk mengangkat batu bara. Di pelabuhan yang tak begitu jauh dari tempat kami duduk, kapal-kapal bersiap mengangkut emas hitam ke daerah lain. Tapi, bagi banyak orang Aceh, pekerjaan masih sukar didapat. “Setelah LSM tidak ada, susah mencari pekerjaan,” kata Syofyan.

Mendung hitam menggantung di langit Meulaboh. Saya mencari Hendri, Nana, Icut, Siti, dan banyak lagi nama dalam ingatan saya. Sudah dewasakah mereka sekarang? Anak-anak yang dulu saya jaga di RS Cut Nyak Dien, yang telah kehilangan orang tua dan sanak famili, seperti apa nasibnya sekarang? Teman-teman saya yang selamat dari tsunami dulu, masihkan mereka di kota ini? Saya tidak lagi menjumpai mereka, kendati telah bertanya berulang kali. Siti?

Di Aceh hampir setiap perempuan bernama Siti, dan sebagian besar Siti telah ditinggalkan orangtuanya. “Siti yang mana?” seseorang malah balik bertanya. Rumah, tanah kelahiran, kampung tercinta, semua telah diacak. Semua telah ditempatkan ke lokasi baru yang berbeda dari posisi semula. Tsunami memang telah “mengubah” Aceh, walau tidak seluruhnya.

Hutan hijau di Aceh yang terancam penggundulan hutan masif.

Saya bertemu Retika di Meulaboh. Mantan penyiar radio Suara Teuku Umar itu membawa saya mengunjungi studionya yang teronggok di tubir laut dan telah porak-poranda dihantam tsunami. Kini yang tersisa hanya rangka bangunan. Dindingnya telah dijilat-jilat ombak karena laut terus mendesak ke daratan. Retika memandang masa lalu sambil menggendong anaknya. “Dulu ada dua bioskop yang beroperasi di Meulaboh,” kenang Retika. Anaknya tertidur lelap dalam pangkuan.

Kini tidak ada lagi satu pun bioskop yang “hidup” di Meulaboh. Setelah tsunami, justru penambangan emas yang makin menjadi, hingga sungai-sungai pun tercemar merkuri. Setelah nota perdamaian diparaf, pembabatan hutan berskala besar mulai tampak, kerusakan ekosistem mengemuka di mana-mana, lahan pertambangan dan perkebunan marak dibuka. “Bila selama konflik dulu dilakukan dengan sembunyi-sembunyi dan kecil-kecilan, sekarang malah terang-terangan,” kata Retno, anggota koalisi pemantau hutan dan satwa di Aceh.

Di jalan-jalan Meulaboh, truk-truk pengangkut batu bara berseliweran. Pembangunan memang kerap berbanding terbalik dengan konservasi. Tapi tak hanya sampai di situ. “Lihat, Aceh Jaya merupakan tempat populasi gajah terbesar di Indonesia, dan ribuan hektare lahan sawit akan dibentangkan di sana, di hutan di mana gajah-gajah itu hidup. “Pertanyaannya, mau dibawa ke mana itu gajah?” tanya Retno.

Di Meulaboh, sejak eksploitasi hutan masif dilakukan, banyak gajah berkalang tanah, mayoritas tanpa gading. Gajah merupakan satwa yang dilindungi, bersama orangutan, badak, dan harimau. Kata Retno, perdagangan satwa marak lagi belakangan ini. Aceh memiliki populasi orangutan terbesar di Sumatera. “Tapi itu dulu,” kata Retno lagi.

Perahu yang menyelamatkan 59 orang dari tsunami masih teronggok di atap rumah dan dijadikan monumen.

Dari Aceh Barat, saya kembali ke Banda Aceh yang panas. Di tengah kota yang gerah ini, kaum perempuan malah memakai pakaian serbatertutup, termasuk Winda Ulfa. Duta Aceh di Kontes Puteri Indonesia 2014 ini merupakan satu-satunya kontestan yang memakai kerudung. Saya menemuinya di sela-sela sesi pemotretan. Kami bersalaman. Dia lebih dulu mengulurkan tangan. “Saya sangat setuju dengan penerapan syariat. Gunanya mengurangi tindakan kriminal,” kata Winda. Kriminal? Bukankah Aceh kini telah aman?

Hijab, kerudung, kerap dipandang sebagai simbol ketaatan perempuan. Tapi citra itu sama sekali tidak mengusik Winda. “Berarti Anda belum tahu Aceh,” katanya sembari tersenyum dengan lirikan yang aneh. “Aceh ini fleksibel. Kami memahami orang yang berbeda agama, kami menghormatinya. Malah, di Jakarta, saya yang terdiskriminasi.”

Winda melanjutkan kisahnya. “Saya pernah ditanya putri-putri utusan provinsi lain di Jakarta. Mereka sangka Aceh hanya perang, hutan belukar tak beradab yang dihuni orang-orang keras kepala,” keluhnya sembari tertawa memamerkan barisan giginya yang putih.

“Saya ingin melanjutkan perjuangan Cut Nyak Dien. Saya ingin lebih dari Nyak Dien,” katanya seperti hendak menutup pembicaraan. Dia mengusap wajahnya, mencopot kerudungnya, menggerai rambutnya yang panjang. Tapi ia masih terus bercerita, dan terus bersikukuh agar saya paham tentang kehidupan damai di Aceh. Rosnidar, ibunya, yang sedari tadi hanya termangu di sudut studio foto memperhatikan anaknya tengah dipotret dengan bermacam gaya, kini membantu mengemasi pakaian Winda.

Roudhatul Jannah, seorang rapper di Banda Aceh, bagian dari potret kebebasan di tengah aturan syariat.

Saya meringsek jalan-jalan Kota Banda Aceh, meninggalkan Winda dan ibunya. Saya menuju PLTD Apung yang terletak di jantung kota. Tempat ini dipenuhi wisatawan yang mengantre menunggu jadwal sembahyang. Di Aceh, setiap waktu sembahyang tiba, semua kegiatan berhenti. Dua orang Korea tampak berpotret, berpose di atas kapal pembangkit listrik yang diangkut tsunami hingga ke tengah kota.

Akhir pekan datang lagi. Di Taman Sari, salah satu taman kota di Banda Aceh, saya duduk di tengah kerumunan, menghadap panggung yang dipenuhi alat musik. Azan asar berkumandang, bersaing dengan raungan knalpot. Matahari telah condong ke barat, tapi alat musik yang berjejal di atas panggung belum kunjung dimainkan. Beberapa Wilayatul Hisbah, kerap disebut WH atau polisi syariat, tampak berjaga-jaga dan sesekali menasihati sejumlah remaja. Di waktu salat, tidak boleh ada gangguan. Setelah salat selesai ditunaikan, seseorang menaiki panggung musik dan mengucapkan salam. Setelah itu, terdengar pembacaan Alquran.

“Ini acara apa?” tanya saya pada seorang perempuan. “Acara musik. Tapi, kita harus mendengarkan ayat suci dulu, biar tenang nanti menikmati konsernya,” jawabnya dengan mimik serius. Acara kini resmi dibuka oleh pejabat. “Apa pun jenis musiknya, akan kita dukung,” kata Illiza, Wakil Wali Kota Banda Aceh, melalui pengeras suara.

Sebuah kota berbasis Islam, yang pejabat terasnya seorang perempuan, tengah mengadakan konser hip hop. Tak berapa lama, tampil pemusik Amerika, Hip Hop Ambassador. Orang-orang bersorak, yang lain setengah histeris. Penonton yang didominasi para remaja bergoyang dalam kerumunan besar: gadis-gadis menari melenggang-lenggok dan para bujang memutar-mutar kedua tangan di atas kepala.

Senja datang begitu cepat. Langit telah merah saga di ufuk barat. Aroma kopi tercium lebih tajam dari kafe-kafe tepi jalan. Dari menara Masjid Raya Baiturrahman, suara azan datang mendayu-dayu. Saya “terjebak” sekarang: ke kafe menyeruput kopi, atau ke masjid untuk sembahyang?

PANDUAN
Rute
Penerbangan ke Banda Aceh dilayani Garuda Indonesia (garuda-indonesia.com), Sriwijaya Air (sriwijayaair.co.id), dan Lion Air (lionair.co.id), umumnya dengan satu kali transit di Medan. Dari Banda Aceh menuju kabupaten dan kota lainnya di Aceh, Anda bisa menyewa mobil. Hampir semua jalan yang menghubungkan Banda Aceh dengan daerah lain terhampar mulus dan lebar. Tapi perhatikan rambu bergambar sapi, peringatan akan kehadiran kawanan sapi yang kadang melintasi jalan.

Penginapan
Di Banda Aceh, hotel berbintang banyak tersedia, contohnya Hermes Palace Hotel (Jl. T. Panglima Nyak Makam; 0651/755-5888; hermespalacehotel.com; mulai dari Rp1.045.000), Hotel 61 (Jl. T. Panglima Polem 28; 0651/638-866; hotel61.co.id; mulai dari Rp600.000), dan The Pade Hotel (Jl. Soekarno Hatta 1; 0651/499-99; thepade.com; mulai dari Rp950.000).

Aktivitas
Selain berkeliling Kota Banda Aceh, mengunjungi Museum Tsunami, PLTD Apung, taman kota, dan pantai merupakan pilihan aktivitas yang menarik. Aceh juga cocok bagi pencinta kuliner dan kopi. Anda bisa mengunjungi sentra kopi arabika di Dataran Tinggi Gayo, sekitar tujuh jam berkendara dari Banda Aceh. Bila gemar menyelam dan snorkeling, kunjungi Pulau Weh dengan menaiki feri selama sejam.

Beberapa aset andalan pulau ini adalah Danau Aneuk Laot, Pantai Gapang, serta Tugu Nol Kilometer. Tur naik perahu ke Pulau Simeulue, tuan rumah festival selancar internasional 2013, juga layak dicoba. Untuk menjangkaunya dari Banda Aceh, Anda mesti ke Labuhan Haji selama delapan jam, lalu menaiki feri.

Dipublikasikan di majalah DestinAsian Indonesia edisi November/Desember 2014 (“Kopi Religi Tsunami”)

The post Aceh, 10 Tahun Setelah Tsunami appeared first on DestinAsian Indonesia.

]]>
https://destinasian.co.id/aceh-10-tahun-setelah-tsunami/feed/ 0
Mencicipi Emas Hitam Gayo https://destinasian.co.id/mencicipi-emas-hitam-gayo/ https://destinasian.co.id/mencicipi-emas-hitam-gayo/#respond Wed, 23 Oct 2013 21:23:07 +0000 http://destinasian.co.id/?p=5299 Selain kopi, adakah magnet wisata lain di Gayo?

The post Mencicipi Emas Hitam Gayo appeared first on DestinAsian Indonesia.

]]>
Danau Lut Tawar dengan latar belakang gunungnya yang indah.

Oleh Fatris MF
Foto oleh Yoppy Pieter

Dulu, saya memasuki Aceh dengan perasaan tak keruan melihat negeri ini porak-poranda diguncang gempa dan diterjang tsunami. Hanya ada puing, kesedihan, dan jasad yang berserakan. Dan bahkan di saat bencana, Aceh masih didera perang yang disebut operasi pemulihan keamanan; senjata masih meletus di sudut-sudut kampung. Hampir dua bulan lamanya saya menjadi relawan di Bumi Serambi Makah, dan semua catatan saya dipenuhi kisah sedih.

Sekarang, setelah delapan tahun, saya kembali datang. Kali ini bukan berstatus relawan, melainkan pelancong. Di terminal Bandara Sultan Iskandar Muda, saya disambut aroma kopi yang menguap dari kafe-kafe. Cuma inikah alasan saya kembali ke sini? Langkah telah tersorong, apa mau dikata. Saya menjadi turis di negeri yang baru berbahagia.

Kiri-kanan: Dataran tinggi Gayo memproduksi 50-60 ribu ton biji kopi arabika per tahun; kopi robusta yang lazim dikonsumsi masyarakat Gayo.

Saya mendarat di Gayo di waktu subuh dengan menumpang bus dari Banda Aceh, ibu kota provinsi yang terletak di lembah yang dikelilingi gunung-gunung tinggi. Tujuh jam lamanya bus membelah hutan kelam, mendaki lika-liku jalan yang mulus menuju pedalaman Nanggroe Aceh Darussalam—nama yang baru pada abad ke-20 disematkan untuk meliputi seantero bumi Aceh. Sebelumnya, nama ini digunakan terbatas untuk menandai wilayah Kuta Raja, ibu kota kerajaan lama, setidaknya demikian kata sejarawan ternama asal Prancis, Denys Lombard, dalam buku Kerajaan Aceh di zaman Iskandar Muda.

Berabad-abad sudah pesisir Aceh menjadi pusat pemberhentian sekaligus pusat perhatian, baik pesisir timur maupun pesisir baratnya. Dua wilayah pesisir ini selalu disinggung jika berbicara tentang kegemilangan Aceh di zaman perdagangan laut masih marak, di saat kota-kota pantai memainkan peran vital. Berjilid-jilid buku telah ditulis mengenai kedua wilayah pesisir ini. Pada 1345, Ibnu Battuta mendatangi dan memuja aroma pohon benzoin dan cengkihnya, serta kerajaan-kerajaannya yang perkasa dan kaya.

Sayangnya, sulit menemukan satu dokumentasi utuh mengenai wilayah pedalaman Aceh. Sebenarnya di abad ke-13 Marco Polo sempat berkunjung ke pedalaman Aceh, tepatnya ke Perlak, tapi ia mencatatnya dengan tergesa-gesa, penuh rasa takjub, sekaligus ketakutan akan para kanibal yang menyembah roh. Selama hampir setengah tahun berkelana di utara Sumatera ini, Marco Polo mencicipi anggur racikan penduduk lokal. Kopi belum sampai pada abad itu.

Komposisi sirih-pinang yang dikonsumsi di tanah Gayo.

Pedalaman Aceh telah lama luput dari perhatian, tidak saja oleh mata penjelajah asing dan pelancong etnografis, tapi juga oleh pemerhati pariwisata di zaman kita kini. Dengan sudut mata pun bahkan tak dilirik. Termasuk daratan tinggi Gayo.

Pedalaman Aceh berabad-abad juga steril dari kekuasaan politik para sultan pesisir. William Marsden, pelancong Inggris sekaligus penulis buku History of Sumatra, tentang fenomena ini menulis: kekuasaan ke arah pedalaman tidak akan lebih dari 50 mil. Padahal, daerah interior Aceh ini dalam sejarah punya peran ekonomi signifikan: menghasilkan berbagai komoditas penting bagi kota-kota kesultanan.

Tomé Pires, pengelana yang diutus Portugis, dalam Suma Oriental mencatat: “Adapun tanah pedalaman menghasilkan daging, beras, dan anggur yang dibuat dengan cara mereka, juga bahan makanan lain; ada lada, tapi tidak banyak.” Kekuasaan para sultan memasuki daerah pedalaman baru pada tahap kedua dalam sejarah kesultanan Aceh, demikian kata Denys Lombard lagi.

Danau Lut Tawar yang dilupakan wisatawan sejak meletusnya perang saudara.

Saya menyatroni Tanah Gayo, jantung daratan tinggi Aceh, persis seperti yang dikatakan sebuah sajak: “Pejalan yang melemparkan kompas dan mencabik-cabik peta!” Saya datang dengan meraba-raba, tanpa literatur yang memadai sebagai bekal mengenal daerah ini.

Di daratan tinggi Gayo, angin hampir tiap hari berkesiur, membawa dingin yang membekap tulang. Kadang berembus keras menampar-nampar dinding dan atap rumah, seperti gedoran pintu di malam buta. Kabut putih selepas subuh turun ke lekuk-lekuk lembah, menjalar sampai ke jendela rumah-rumah panggung bertubuh kayu. Hutan seperti merambat ke tiang-tiang rumah. Rumah-rumah tradisional berdinding papan yang berserakan di kaki dan pinggang Bukit Barisan. Rumah-rumah yang seolah menyembul dari masa silam.

Tanah Gayo terdiri dari tiga kabupaten yang luas, salah satunya Kabupaten Aceh Tengah. Ibu kotanya, Takengon, sangat berbeda dari kota-kota yang membentang di pesisir Aceh yang ramai dan sibuk. Takengon bertengger lebih dari 1.200 meter di atas permukaan laut dan dihuni bangunan-bangunan berwarna muram. Mengelilinginya dengan kendaraan menghabiskan waktu kurang dari satu jam.

Seorang bocah berenang di Danau Lut Tawar.

Saya mendarat di Takengon ketika kabut menutupi jalan-jalan dan jendela bus kian buram. Pagi dimulai dengan lamban. Kota ini tidak menampakkan rutinitas yang padat. Pintu masuk hotel tempat saya menginap telah ditempeli label “dijual.” Ketika saya masuk, hanya satu kamar yang menampung tamu: kamar saya sendiri.

Takengon sedang dibalut kabut. Rumah-rumah menumpuk di sebuah cekungan dan hampir seluruhnya kompak menghadap ke sebuah danau di timur kota. Mereka menyebutnya Lut Tawar, laut yang tawar. Danau luas yang dikelilingi tebing-tebing hijau. Sebagian tebing itu setengah tandus dan berwarna abu-abu kecokelatan. Perpaduan warna cerah dan suram ini tampak menawan saat dipandang dari kejauhan.

Spanduk dan baliho kemeriahan Festival Danau Lut Tawar telah sobek oleh angin. Perlombaan perahu dayung, hingga tari didong yang sufistik, digelar bulan lalu. Lut Tawar bergairah ketika hari libur. Beberapa pengunjung dari daerah lain lazim berpelesir ke sini. Ketika hari libur, ada angkutan khusus untuk berwisata mengelilingi danau, menikmati keindahan airnya yang hijau dengan kabut yang berpendar di atasnya, dan pemandangan kebun kopi di sekeliling danau yang terlihat lebih menarik di musim panen.

Kiri-kanan: Lanskap kota Takengon, Ibu Kota Aceh Tengah; Sebuah masjid yang bertahan dari gempa pada Juli 2013, walau banyak retakan pada dindingnya.

Tepian danau ini sekarang hanya diisi oleh pemuda-pemuda yang kehilangan gairah atau kebingungan bagaimana mestinya mengisi petang, selain memancing ikan di samping keramba-keramba yang mulai menjamur. Sebuah perahu besar dengan mesin tempel berkarat tersandar di dermaga danau, seperti menunggu masa lapuk. “Ini untuk wisatawan asing mengelilingi danau, biasanya dulu digunakan,” kata Mahdi, pemuda yang kemudian membawa saya berkeliling Takengon.

Lut Tawar sepertinya tidak lagi masuk radar operator tur. Ia tertinggal begitu saja, atau mungkin sengaja ditinggalkan. Sampah berserakan di mana-mana. Pariwisata nyaris tidak menemukan bentuknya. Hotel-hotel sepi, resor absen. Padahal, Lut Tawar memiliki keindahan yang menjanjikan. Saya mencoba mengelilinginya dengan sampan kecil milik nelayan setempat. Perahu kecil ini bergoyang-goyang diayun riak danau.

Danau sunyi ini dikelilingi gundukan tanah yang ditanami pohon kopi. Ke mana pun mata diarahkan, pohon-pohon kopi tampak. Hanya sebagian kecil daratan yang ditanami padi. Wajar saja bila masyarakat setempat terpaksa membeli beras dari daerah lain. “Bayangkan, semua yang kami makan dan kami pakai, didatangkan dari daerah lain. Beras diangkut dari Banda Aceh, dan kelapa tidak satu pun tumbuh di sini. Bukankah itu menyedihkan?” kata Aman Tabrani sembari mengelus-elus kepala kuda.

Kiri-kanan: Anak kecil di Takengon dengan ayam peliharaannya; seorang pria Gayo, suku yang menghuni kawasan interior Aceh.

Takengon, kota kecil peninggalan pemerintah kolonial yang baru dibangun pada abad ke-20, memang menyimpan banyak cerita sedih. Daerah Gayo yang baru ditundukkan pada 1903 melalui pertempuran berdarah, diperkirakan telah kehilangan paling tidak seperempat dari lelakinya pada periode itu. Setiap tempat mempunyai sejumlah pahlawan yang mati sahid, juga kenangan pahit tentang rumah-rumah yang dibakar, ternak yang dibantai, dan hukuman-hukuman denda yang harus dibayar ketika serdadu-serdadu Belanda lewat. Inilah gambaran dari Anthony Reid dalam The Blood of the People.

Setelah Dataran Tinggi Gayo ditaklukkan, Takengon dibangun menjadi kota transit perdagangan, khususnya untuk komoditas kopi. Lumbung-lumbung kopi kolonial pertama didirikan di Takengon setelah seluruh dataran tinggi Aceh ditaklukkan. Barangkali Belanda melihat potensi Dataran Tinggi Gayo yang topografinya cocok untuk kopi. Siapa yang menyangka kalau tumbuhan asing dari Afrika itu kini telah menjadi komoditas tempat ribuan nyawa menggantungkan harapan. Indonesia merupakan satu dari empat negara utama penyuplai kopi arabika. Di Indonesia, dataran tinggi di tengah Aceh merupakan salah satu pemasok tersuburnya.

Dalam kisah emas hitam ini, jejak perlawanan terhadap pemerintah kolonial tetap tinggal di hati orang-orang Gayo, sekalipun negerinya telah ditaklukkan. Reid kembali mencatat, pada 1925, seorang propagandis di pegunungan Gayo berbicara tentang penghancuran kompeni Belanda di seluruh Aceh dan Sumatera, membebaskan orang-orang, dan menghapuskan pajak. Banyak orang Aceh menyambut seruan itu. Di bawah raja-rajanya sendiri, mereka hampir tidak pernah membayar pajak. Yang mereka bayar paling cukai atas ekspor-impor. Ketika pemerintah kolonial secara paksa menaklukkan dan menerapkan pajak yang tinggi, memaksa mereka menanam kopi, dan menjual hasilnya ke pengumpul utusan pemerintah dengan harga murah, otomatis warga memberontak. Tapi pemberontakan itu berkali-kali patah. Delapan tahun kemudian, Tanah Gayo kembali bergolak oleh perang suci yang juga gagal.

Mengolah bumbu dapur dengan peralatan tradisional.

Jika Takengon adalah pusat penampungan kopi, lalu di mana sentra-sentra penghasilnya? Jawabannya adalah kampung-kampung penghasil kopi yang tersebar di Dataran Tinggi Gayo.

Saya meninggalkan Takengon pada sore hari yang dingin. Kabut mulai merambat ke perkampungan. Kabut sepertinya tak pernah pergi dari sini. Mobil yang saya tumpangi kembali menikungi deretan gunung Bukit Barisan, menuju kampung-kampung produsen kopi yang terpencar di lereng dan lembah hijau yang berlapis-lapis. Kampung-kampung yang setiap hari menguapkan aroma kafein yang memanjakan hidung.

“Singgahlah, kalau hanya alasannya kopi. Kami masih punya kamar kosong buat tamu,” sapa seorang perempuan. Suaminya mengangguk, mempersilakan saya menginap di rumah mereka yang dikelilingi pokok-pokok kopi, sebagaimana rumah-rumah lainnya di sini yang terlihat samar di antara rimbun kebun kopi.

Rita, perempuan 30-an tahun itu, menyanggul rambutnya, menyerupai Cut Nyak Dien dalam film yang diperankan Christine Hakim, lalu mengenakan kerudung seadanya. Wanita di sini akan menatap lurus tanpa basa-basi pada lawan bicara. Angin kering menggoyang kerudung Rita. Terik matahari dan dinginnya cuaca membuat pipinya memerah. Sebelum petang merembang di ufuk, perempuan ini telah selesai mandi, memandikan anaknya, menanak nasi, memberi makan ternak, dan memoles pipinya dengan bedak seadanya.

Kiri-kanan: Empat bahan makan yang lazim dijumpai di dapur orang Gayo; metode tradisional menggoreng kopi di Gayo.

Setelah itu, Rita duduk santai di balai-balai rumah seraya menatap surya yang perlahan menyusut dan membiarkan sinarnya menerangi daun-daun kopi, sementara suaminya datang dengan pakaian penuh keringat dan bau matahari yang mengering di baju. Rita bergegas ke bagian belakang rumah, lalu kembali dengan bakul berisi kopi panas. Dua orang bocah datang menghampirinya dan bercerita tentang baju sekolah yang sobek, buku baru yang hendak dibeli, dan entah apa lagi. Kadang mereka berbicara dalam bahasa yang sulit saya pahami. Selain bahasa mereka yang berbeda dengan bahasa Aceh, dialek mereka lebih cenderung datar dibanding dengan orang Aceh yang naik-turun.

Ah, itu perkara mudah. Lihat, tak berapa lama lagi warna hijau pada kopi itu akan berubah menjadi merah,” katanya mengakhiri pembicaraan dengan anak-anaknya. Rita kembali masuk, lalu keluar membawa handuk untuk suaminya yang berbadan tegap. Petang kian rembang, tapi suara azan magrib tidak sampai, sebagaimana razia syariah yang tidak pernah diberlakukan di sini. Saya berjalan keluar, menuju desa lain dalam gelap dan samar, melewati jalan-jalan kecil penuh kabut pekat dan dedaunan kopi.

Di sebuah warung di Desa Wih Masin, saya singgah di satu siang. Warung kopi dan warga Gayo nyaris tak bisa dipisahkan. Warung kopi, seperti kafe dalam masyarakat Prancis, menjadi tempat lalu-lintas informasi, wadah kesetiakawanan sosial dipelihara dan wacana dikembangkan.

Anak-anak Takengon menghabiskan waktunya dengan bermain.

“Bagaimana rasa kopi di sini, Tengku?” saya bertanya pada seorang pria tua di kedai, penasaran dengan cita rasa kopi di tanah Gayo ini. “Coba saja, kau akan tahu jawabannya,” jawab Aman Noerdin yang kerap disapa Tengku. Di usia 80 tahun, sang Tengku telah mengalami periode pasang surut kopi sejak zaman kolonial. Dia hanya menjajaki dunia luar waktu naik haji. Selebihnya, hidupnya dihabiskan di Dataran Tinggi Gayo dengan memimpin pengajian serta bertanam kopi.

“Tapi saya sendiri tidak tahu rasanya seperti apa,” ujar Tengku lagi. Pemilik warung menghadiahi saya secangkir kopi panas untuk diseruput. Tak berapa lama, seorang perempuan paruh baya mengangkut sebakul kopi, kemudian menggoreng biji-biji kopi dengan tungku dan kayu bakar seadanya di pelataran  warung. “Inilah yang kami minum setiap hari,” sela pria tua lain. Tiap lelaki dewasa di Tanah Gayo dipanggil dengan sebutan “Aman”, disusul nama anak lelaki sulungnya. Metode sapaan yang persis sama berlaku untuk lelaki suku dewasa di Kepulauan Mentawai sana. “Kami tidak meminum kopi dari kebun sendiri,” tandas lelaki tua lainnya.

Mereka hidup di tengah ribuan hektare kebun kopi arabika, tanpa mengetahui rasa kopi itu. Di tanah yang menghasilkan 50-60 ribu ton biji kopi arabika per tahun, daerah penghasil kopi terbesar di Indonesia, yang kopi-kopinya diekspor hingga Eropa dan Amerika, penduduk aslinya justru tidak mengonsumsi kopi jenis ini. Mereka rupanya lebih menyukai robusta, jenis pohon kopi berdaun lebar dengan biji yang cenderung jauh lebih kecil dan kadang tumbuh liar di tebing dan lereng perbukitan. “Kami menghirupnya sembari tertawa,” sanggah lelaki tua lain di warung. Matahari beranjak ke barat, kilaunya kembali memercak di daun-daun kopi.

Kiri-kanan: Kuda yang dulunya menjadi kendaraan perang. Hal itulah yang membuat hewan ini dihormati hingga sekarang; tribune di gelanggang pacu kuda, ajang yang rutin digelar untuk memeringati hari kemerdekaan.

“Beginilah hari-hari yang kami lalui kalau tidak sedang masa panen; bermalas-malasan seperti kuda di bawah rumpun bambu sambil mengibas-ngibaskan ekor,” kata Tengku. Semua yang menyimak kontan tertawa. Hanya saya yang terdiam, belum mengerti sepenuhnya maksud analogi sang Tengku.

Masa panen berlangsung selama dua bulan, kemudian delapan bulan berikutnya para petani harus menunggu kopi kembali berbuah. “Nah, selama delapan bulan itu, orang Gayo tak ubahnya seperti kuda di bawah rumpun bambu: duduk, makan, tertawa, dan minum kopi,” jelas Tengku menawar kebingungan saya.

“Dulu, kopilah yang membuat mereka (wisatawan) datang ke sini. Hanya itu,” kata Aman Faisal. Lelaki perantau ini sesungguhnya lebih tertarik menggunakan kopi sebagai bagian dari upaya memperkenalkan Tanah Gayo ke dunia luar. Berbekal cairan kafein pula, Aman yang satu ini berhasil menyembuhkan beberapa pecandu narkoba. “Kopi punya candu tersendiri,” ungkapnya, “setidaknya kopi bisa mengalihkan orang dari jenis candu yang lain.”

“Sejak operasi keamanan, tidak ada lagi wisatawan yang datang ke sini,” Aman Faisal menurunkan nada bicaranya. Lelaki Gayo paruh baya ini telah mudik dari perantauan. Perang saudara memang telah menghancurkan segalanya, pembangunan kota nyaris terhenti, dan ekonomi luluh-lantak, termasuk sektor pariwisata. Di masa mudanya, Aman Faisal adalah seorang pemandu turis asing. Sejak Aceh diberi status Daerah Operasi Militer, dia bermigrasi ke Jawa. “Saat itu, tidak sejengkal tanah pun yang aman di Aceh,” kenangnya.

Setelah negeri ini aman, tibalah saatnya memulai membenahi pariwisata. Tapi pariwisata yang mana? Gayo punya lembah dan rentetan gunung yang hijau dan dipenuhi kopi, ditambah kuda-kuda pacu dan danau biru yang memesona sekaligus merana.

Kuda pacu hasil kawin silang kuda Takengon dan Australia.

Orang Gayo memiliki tradisi berkuda. Penghormatan atas kuda masih kental terasa. Kenangan akan kuda-kuda yang dipacu mengingatkan masyarakat pada sejarah para pendahulu yang berperang mengusir kaum penjajah dari Sumatera. Kuda adalah mesin perang yang tangkas, di samping sebagai pengangkut karung-karung kopi. Kuda dan kopi adalah metafora setempat sebagai pengganti “sendok dan garpu.”

Kuda-kuda Gayo memang tergolong berpostur kecil, berbeda dari kuda-kuda yang didatangkan dari daerah lain, mulai dari kuda Padangpanjang asal Sumatera Barat hingga kuda Arab yang semampai. Setiap memperingati hari kemerdekaan, ratusan kuda dan joki ambil bagian di arena terbuka. Puluhan bahkan ratusan juta rupiah uang taruhan beredar di gelanggang pacuan. Ini momen yang ditunggu-tunggu saban tahunnya. Gelanggang pacu kuda dengan taruhan ratusan juta? Tidakkah itu menyalahi hukum syariah?

“Walau bagaimana pun, tradisi ini sudah lama,” kata Aman Tabrani. Dia berbicara tentang tradisi yang mendahului penerapan hukum syariah. Pun di Gayo, aturan syariah tidak begitu secara ketat diterapkan, berbeda dari kota-kota pesisir Aceh. Kendati begitu, kita tetap akan susah menemukan warung yang menjual bir atau arak, dan di sepanjang jalan sulit mendapati perempuan dengan rambut terurai. Gadis-gadis di sini lebih suka memakai celana jin sempit yang membalut hingga mata kaki. “Razia syariah tidak begitu diberlakukan di Gayo,” timpal Aman Tabrani.

Seekor kuda Takengon tengah merumput di tepian Lut Tawar.

Di pasar-pasar, sektor perdagangan diisi oleh orang-orang Minang. Masyarakat yang satu ini memang tersohor sebagai pedagang yang ulung sejak dulu. Orang Aceh juga ada yang berniaga, tapi orang Gayo umumnya menjauhi bidang ini, kecuali untuk berdagang hasil kebun. “Mereka lebih suka bertanam kopi atau menjadi PNS,” kata Sidi Tandun.

Saya datang ke Takengon disambut kabut, dan kini saya dilepasnya juga dengan kabut. Aroma kopi Gayo masih berbekas di hidung. Cita rasanya juga masih tersisa di lidah. Kopi Gayo yang terkenal, dengan kekentalan yang lebih ringan, keasaman seimbang, tetapi memiliki berbagai cita rasa, mulai dari rasa cokelat, tembakau, asap, tanah, hingga kayu. Penghasil kopi terbesar di negeri ini yang justru terpinggirkan.

PANDUAN
Rute
Dataran Tinggi Gayo terletak di tengah Provinsi Aceh. Takengon, salah satu kota di sini, berjarak sekitar 400 kilometer dari Banda Aceh dan dapat ditempuh se-lama tujuh jam ber-kendara. Salah satu operator yang melayani rute ini adalah Ayu Dika Tour (0813-7717-7647/0852-7040-6647; tiket  Rp100.000 satu arah). Mobil-mobilnya berangkat pada pagi dan malam hari. Penerbangan ke Banda Aceh dilayani antara lain oleh Garuda Indonesia (garuda-indonesia.com) dari Medan, serta Lion Air (lionair.co.id) dari Medan dan Jakarta.

Penginapan
Pariwisata di Gayo belum berkembang. Pilihan akomodasi sangat minim. Hotel bintang dua Renggali Hotel (Jl. Takengon Bintang No. 20; 0643/21144; doubles mulai dari Rp250.000) yang terletak di bibir Danau Lut Tawar menawarkan panorama terbaik, walau kondisi interiornya relatif memprihatinkan. Sekitar satu kilometer dari properti ini terdapat restoran terkenal yang menyediakan menu utama ikan bakar.

Aktivitas
Becak motor di Takengon bisa mengantarkan Anda berkeliling kota atau Danau Lut Tawar dengan tarif sekitar Rp250.000 per hari. Tiap Mei, pemerintah setempat mengadakan Festival Danau Lut Tawar yang menyuguhkan berbagai perlombaan, seperti pacu perahu, berkuda, hingga berbagai kesenian daerah. Obyek lain yang menarik adalah Gua Putri Pukes di Kampung Mendale, Kecamatan Kebayakan. Gua ini dipercaya sebagai tempat bersemayamnya sosok mitologis Putri Pukes yang cantik jelita. Ajang pacu kuda di Takengon diadakan dua kali per tahun, salah satunya di Agustus guna memperingati hari kemerdekaan RI. Untuk mengunjungi kampung-kampung penghasil kopi di perbukitan Gayo, sewa mobil di Takengon.

Diterbitkan pertama kali di majalah DestinAsian Indonesia edisi September/Oktober 2013.(Main Feature: “Filosofi Gayo”)

The post Mencicipi Emas Hitam Gayo appeared first on DestinAsian Indonesia.

]]>
https://destinasian.co.id/mencicipi-emas-hitam-gayo/feed/ 0