Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Proyek Ambisius Disney di Asia

Area Tomorrowland yang didesain berdasarkan film sci-fi Tomorrowland (2015) yang dibintangi George Clooney.

Oleh Gary Bowerman
Foto oleh Rony Zakaria

Beberapa stasiun menjelang Shanghai Disney Resort, kereta bawah tanah menyembul dari terowongan lalu membelah kawasan pinggiran Shanghai yang dihuni kantor-kantor perusahaan teknologi dan beberapa petak sawah. Jauh di hadapan terlihat samar-samar menara penyambutan Enchanted Storybook Castle, kastel Disney yang terbesar dan tertinggi di dunia. Sosoknya magis, walau udara sedikit tercemar oleh polusi yang melayang-layang di langit kota.

Di atas kertas, Disney Shanghai adalah gagasan bisnis yang jitu: taman rekreasi paling terkenal sejagat di kota paling padat di Tiongkok. Datang pada Juni 2016, empat bulan setelah taman ini diresmikan, saya mendapati animo publik yang luar biasa gempita. Puluhan ribu orang datang saban harinya. Kembang api pastinya tak cuma meletus di udara, tapi juga berpendar di mata para pemegang saham Disney.

Atraksi TRON Lightcycle Power Run yang merupakan salah satu atraksi paling populer di Disney Shanghai.

Tak sulit memang bagi publik untuk menyukai Disney Shanghai. Di lahan seluas 3,9 kilometer persegi, kira-kira 40 kali luas Dunia Fantasi di Jakarta, Disney Shanghai menampung enam zona tematik, termasuk Wishing Star Park seluas 50 hektare, serta distrik belanja dan makan bernama Disneytown. Di luar itu, ada Walt Disney Grand Theatre, sebuah hotel berdesain Art Nouveau, dan sebuah hotel bertema Toy Story.

Beberapa suguhannya tidak bisa ditemukan di tempat lain, atau setidaknya belum dipasang di tempat lain, umpamanya rollercoaster berkecepatan tinggi TRON Lightcycle Power Run, wahana bajak laut Treasure Cove, serta sarang dinosaurus Adventure Isle. Tentu saja, sebagaimana lazimnya, Disney Shanghai menyuguhkan parade jalanan: parade dengan rute terpanjang yang bergulir di Mickey Avenue, tempat terlaris untuk sesi swafoto bersama karakter-karakter Disney.

Parade Mickey Storybook Express yang menampilkan karakter-karakter dari film-film keluaran Disney.

Resor terbesar dan termahal dalam sejarah Disney ini dikerek dengan anggaran $5,5 miliar. Tapi yang menarik dicerna darinya bukan cuma ukurannya yang kolosal, atraksinya yang langka, atau biaya konstruksinya yang cukup untuk mendanai proyek kereta cepat Jakarta-Bandung. Di luar itu semua, Disney Shanghai sesungguhnya memperlihatkan betapa setiap bisnis yang dibuka di Tiongkok menuntut kerelaan untuk berkompromi dengan selera dan kaidah lokal.

Lihat misalnya struktur komisaris Disney Shanghai. Properti ini sejatinya berstatus perusahaan kongsi di mana 57 persen sahamnya dimiliki oleh Shendi Group, sebuah konsorsium berisi empat BUMN besar: Shanghai Media Group, hotelier Jin Jiang International, operator pusat perbelanjaan Bailian Group, serta pengembang properti Lujiazui Development Group. Secara naluriah, para taipan bukanlah rekan bisnis yang gampang akrab dengan Paman Sam.

Kerelaan berkompromi juga terlihat dalam cara Disney Shanghai mengemas atraksinya. Dalam siaran pers pembukaan resor, Disney berjanji menyuguhkan “tempat magis sejati yang secara autentik Disney dan secara distingtif Tiongkok.” Itikad itu memaksanya menyewa banyak konsultan dan pekerja kreatif lokal guna menciptakan hiburan yang berjenis kelamin hibrida: mimpi Amerika, tapi dengan cita rasa Tiongkok. Dan rumus yang mereka terapkan: “lokalisasi.”

Mengunjungi area Garden of the Twelve Friends, kita akan menemukan 12 shio dalam zodiak Tiongkok bereinkarnasi dalam wujud karakter-karakter Disney atau Pixar. Untuk menyebut dua contoh: shio anjing menjadi Pluto, sementara kuda menjadi Maximus. Masih di Garden, pengunjung bisa menonton pentas yang menampilkan Donald Duck dan Chipmunks menaiki jiaozi (becak tandu), lalu berlatih tai chi dari seorang suhu. Berpindah ke parade jalanan, Disney Shanghai mendaulat Mulan sebagai bintang utamanya. Sementara di Walt Disney Grand Theatre, musikal The Lion King memakai narasi berbahasa Mandarin.

Kiri-kanan: petunjuk lokasi untuk bertemu dan berfoto bersama karakter Mickey Mouse; salah satu pengunjung
Disneyland bersandar dan berteduh sejenak dari teriknya udara Shanghai.

Disney Shanghai lahir dari perencanaan yang matang dan panjang. CEO Disney Bob Iger sudah memantau lahan resor sejak awal 1999, kemudian mengusulkan proposal Disney Shanghai pada 2006. Akan tetapi pemerintah kota Shanghai memutuskan menyimpan proyek tersebut guna menghindari gangguan terhadap World Expo 2010. Konstruksi Disney Shanghai, yang melibatkan 100.000 pekerja, baru dimulai pada 2011.

Iger melukiskan penundaan tersebut sebagai “ujian yang besar bagi ketekunan.” Tapi kesabarannya berbalas berkah yang tak terduga. Dalam satu dekade terakhir, perekonomian Tiongkok merekah pesat dan mengantarkan jutaan orang menyabet status kelas menengah. Orang-orang inilah yang memutar kencang roda pariwisata domestik. Bagi mereka, wisata telah menjadi kebutuhan, walau bentuknya semata liburan singkat dan trip akhir pekan di dalam negeri—dua aktivitas yang memberi sumbangan signfikan bagi penjualan tiket Disney Shanghai. Sekarang, sekitar 330 juta manusia kelas menengah hidup dalam radius tiga jam perjalanan dari Disney Shanghai.

Berkah lain yang juga disyukuri Disney dari penundaan proyeknya adalah kehadiran jaringan rel kereta cepat pada 2008. Jaraknya kini telah menembus 20.000 kilometer, dengan target 30.000 kilometer pada 2020. Proyek infrastruktur ini memungkinkan mobilitas antarkota yang lebih cepat, sekaligus menawarkan alternatif bagi moda pesawat yang selalu padat dan rawan telat akibat kesibukan di bandara-bandara utama. Di Shanghai, Stasiun Disney kini telah tercantum dalam jaringan metro. Turun dari gerbong, penumpang cukup berjalan sejenak untuk menjangkau gerbang resor, sebelum kemudian meniti bulevar lapang yang bersisian dengan danau di Wishing Star Park.

Di pertengahan Oktober, saya kembali berkunjung ke Disney Shanghai. Saya datang di Senin, tapi atmosfer tetap meriah. Beragam manusia berkeliaran: pasangan remaja yang romantis, kawanan mahasiswa, grup pensiunan, serta keluarga muda yang menuntun kakek nenek mereka.

Pemberhentian pertama bagi mayoritas pengunjung adalah World of Disney Store, toko yang menyewakan busana dan aksesori tokoh-tokoh fantasi. Gadis-gadis cilik umumnya menggemari gaun taffeta kuning Snow White, sementara wanita remaja cenderung memilih bando Minnie Mouse.

Kiri-kanan: Dua pengunjung cilik di depan air mancur bertema Mickey Mouse; pengunjung mengenakan atribut Disney.

Sebagian pengunjung datang dari provinsi- provinsi yang jauh. Minat pelancong domestik di RRT memang sedang bergeser. Awalnya hanya menyerbu objek-objek utama yang “direkomendasikan” oleh pemerintah, sebut saja Tembok Besar dan Forbidden City, banyak orang kini mulai melirik tempat-tempat yang lebih trendi, bergengsi, dan berkarakter internasional.

Disney Shanghai dibangun dalam skala yang disesuaikan dengan standar Tiongkok: gigantik. Jika ingin menikmati banyak wahana, tiap orang mesti berjalan jauh. Di depan tiap wahana terdapat lahan luas untuk berjaga-jaga jika pengunjung tumpah ruah. Waktu tunggu untuk mengakses atraksiatraksi populer sekitar 30-60 menit—cukup lama, tapi Disney setidaknya memberikan solusi guna mereduksi lelah. Tim cekatan berisi 10.000 “karakter Disney” bergerak efisiendan bersikap ramah untuk membantu pengunjung. Guna memecah kerumunan,pihak pengelola juga memanfaatkan sejumlah terobosan teknologi. Kita bisa memantau antrean melalui Disney App dan membeli karcis melalui WeChat, aplikasi komunikasi yang populer di Tiongkok.

Memasuki Pirates of the Caribbean: Battle for the Sunken Treasure, saya duduk di perahu kayu dan melakoni tur. Di samping saya duduk pasutri sepuh asal Provinsi Shandong,yang menjadikan Disney Shanghai penutup bagi ekspedisi panjang melintasi Nanjing, Hangzhou, dan Suzhou. Keduanya terkesima menikmati proyektor berteknologi tinggi dan rollercoaster air. Saat Kapten Jack Sparrow bertutur dalam bahasa Mandarin, sang bapak mengatakan betapa kehidupan di Tiongkok kini jauh lebih baik.

Kiri-kanan: Wahana Treasure Cove di mana pengunjung bisa bertemu karakter Kapten Jack Sparrow; mengarungi
danau dalam atraksi Explorer Canoes di Treasure Cove.

Berpindah ke wahana lain, saya bertemu seorang pemuda usia 20-an yang berlibur selama dua hari bersama pacarnya. Keduanya datang dari Xi’an dengan menaiki kereta ekspres anyar yang mampu melahap jarak 1.400 kilometer dalam waktu hanya enam jam. Sang perempuan berlari di samping parade Mickey’s Storybook Express, sementara sang pemuda sibuk memotret memakai GoPro. Tembang Let it Go dari film Frozen berkumandang di udara.

Ada banyak tempat makan di sini, dan hampir semuanya mengakomodasi selera lokal. Di kompleks Disneyland, saya menemukan sebuah rumah teh Tiongkok yang menghidangkan pork knuckle rebus berbentuk Mickey dan piza dengan irisan bebek Peking. Di sebelah Walt Disney Grand Theatre, ada restoran tersohor Wolfgang Puck Kitchen dan gerai perdana Cheesecake Factory di Tiongkok. Sementara di kompleks Disneytown, sebuah desa fotogenik berisi rumah-rumah shikumen khas Shanghai, kuliner lokal dijajakan oleh puluhan gerai, termasuk Crystal Jade, Toast Box, atau Hatsune. Bukan hanya restoran-restoran ternama itu yang laris diserbu. Di dekat stasiun metro Disney Shanghai, mereka yang berkocek cekak lebih memilih menambal perut dengan mi instan yang dijajakan toko-toko kelontong.

Sejauh ini, sihir Disney sukses membius banyak orang. Tapi tempat ini tak sepenuhnya bebas cela. Di masa-masa awal beroperasi, sejumlah media memberitakan antrean panjang dan perilaku buruk pengunjung, termasuk aksi saling dorong, baku pukul, hingga kencing sembarangan. Melihat fenomena itu, banyak warga Shanghai menerapkan strategi “wait-and-see” sebelum membeli tiket seharga RMB370 (sekitar Rp700.000) di hari kerja atau RMB499 khusus akhir pekan dan hari libur.

Kiri-kanan: Salah satu adegan dalam pentas teater yang mengangkat lakon Pirates of the Caribbean; wahana
Dumbo the Flying Elephant di kompleks Gardens of Imagination.

Sorotan media juga ditembakkan kepada para pejabat teras Disney. Dalam Goldman Sachs Communacopia Conference di September, CEO Disney Bob Iger mengklaim, “Disney Shanghai mencatatkan lebih banyak [pengunjung] dalam 100 hari pertamanya dibandingkan mayoritas taman Disney lain yang kami kelola.” Dia berbicara jujur, tapi tidak terbuka. Statistik resmi pengunjung tidak pernah diumumkan, hingga banyak analis menduga Disney sebenarnya tengah kesulitan menjual tiket. He Jianmin, Direktur Departemen Manajemen Pariwisata di Shanghai University of Finance & Economics, memperkirakan jumlah pengunjung cuma berkisar 20.000 orang per hari. Jika kalkulasinya akurat, maka Disney Shanghai tak akan mencapai target 15 juta pengunjung di tahun pertamanya. (Pada 16 Januari, Disney akhirnya melansir data pengunjung, yakni 28.000 orang per hari, dan angka ini tetap di bawah target.)

Tentu saja penting dicatat, Disney bukanlah pemain tunggal dalam bisnis taman rekreasi di Negeri Tirai Bambu. Banyak kota telah memiliki tamannya sendiri, atau setidaknya berniat membangunnya dalam waktu dekat. “Harimau yang perkasa sekalipun tak akan bisa bertahan menghadapi sekawanan serigala,” ujar miliarder Wang Jianlin dari Dalian Wanda Group di sebuah stasiun televisi nasional, Mei silam. Seakan mengumandangkan perang terhadap Disney, Wang Jianlin menyampaikan rencana ambisiusnya membuka taman rekreasi Wanda City di banyak daerah, termasuk di Provinsi Anhui yang berada tak jauh dari Shanghai. Di kesempatan yang lain, pemimpin “gerombolan serigala” ini bahkan mengutarakan niatnya melebarkan kekuasaan dengan berinvestasi $3,4 miliar di bidang retail dan hiburan di Prancis—sebuah agenda ekspansif yang diramalkan akan merongrong dominasi Disneyland Paris.

Atraksi Soaring Rapids di area Adventure Isle di Shanghai Disneyland.

Kendati demikian, untuk saat ini, Disney Shanghai masih bisa menaikkan dagu. Wang dan banyak taipan koleganya telah mengakuisisi sejumlah perusahaan hiburan asing, misalnya AMC Entertainment dan Legendary Entertainment, tapi taman-taman rekreasi buatan mereka belumlah mencapai tingkat kreativitas, servis, dan efektivitas manajemen yang setara dengan pesaing asal luar negeri.

Menatap masa depan, tantangan besar yang mesti dihadapi Disney Shanghai sejatinya tidak datang dari pengusaha lokal, melainkan merek-merek impor lain. Tahun ini, DreamWorks, pemilik hak waralaba Kung Fu Panda yang populer di Tiongkok, bersiap meluncurkan kompleks hiburan senilai $2,4 miliar di Shanghai. Pada 2019, Six Flags berniat melansir sebuah taman rekreasi di Provinsi Zhejiang. Agenda serupa diusung oleh Universal Studios yang berniat melebarkan sayapnya ke Beijing usai menancapkan kukunya di Osaka dan Singapura.

Perusahaan-perusahaan hiburan global agaknya merasa telah tiba waktunya menginvasi Tiongkok. Tapi, seperti yang terlihat pada target pengunjung Disney yang meleset, pemain asing juga menyadari membuka usaha di negeri ini tak semudah yang dibayangkan. Bisnis taman rekreasi di Tiongkok tak kalah mendebarkan dari sensasi menaiki rollercoaster.

PANDUAN
Rute

Penerbangan langsung ke Shanghai dilayani oleh Garuda indonesia (garuda-indonesia.com), sementara penerbangan dengan satu kali transit ditawarkan antara lain oleh Cathay Pacific (cathaypacific.com) via Hong Kong, China airlines (china-airlines.com) via Taipei, serta Singapore Airlines (singaporeair.com)  via Singapura. Shanghai Disney Resort bisa dijangkau dengan menaiki kereta Shanghai metro Line 11 (service.shmetro.com) dari Stasiun North Jiading, huaqiao, dan Anting.

Informasi
Di lahan 3,9 kilometer persegi, Shanghai Disney resort (shanghadisneyresort.com) menampung Disneyland, Disneytown, dan WishinStar Park. Daya tarik utamanya antara lain Walt Disney Grand Theatre, World of DisneyStore pertama di Asia, rollercoaster TRON Lightcycle Power Run, serta kastel Disney terbesar, Enchanted Storybook Castle. Shanghai Disney Resort juga mengoleksi dua hotel, yakni Shanghai Disneyland hotel dan Toy Story Hotel. harga tiket RMb370 (sekitar Rp700.000) per hari khusus hari kerja dan RMb499 khusus akhir pekan dan hari libur.

Dipublikasikan perdana di majalah DestinAsian Indonesia edisi Mei-Juni 2017 (“Mimpi Amerika, Rasa Tiongkok”)

Show CommentsClose Comments

Leave a comment

0.0/5