Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Menyelam di Pulau yang ‘Hilang’

Pulau Sipadan steril dari resor komersial maupun hunian. Fungsinya kini lebih sebagai konservasi dan wisata diving. (Foto: Getty Images)

Oleh Trinity

Ingat Sipadan dan Ligitan? Dua pulau terluar Indonesia yang “diambil” Malaysia pada 2002? Keduanya terletak di Negara Bagian Sabah, tepatnya di sisi timur Pulau Borneo. Bagi yang pernah ke Derawan, Sipadan dan Ligitan terletak di utaranya.

Sengketa kepemilikan Sipadan dan Ligitan mencuat sejak 1967. Indonesia dan Malaysia mencantumkan kedua pulau tersebut dalam wilayah kedaulatannya masing-masing. Banyak media nasional menuduh Malaysia “mencuri” Sipadan dan Ligitan, walau sebenarnya status kepemilikan pulau diputuskan oleh Mahkamah Internasional atas asas “effective occupation.” Penjajah Malaysia, Inggris, telah menjadikan Sipadan dan Ligitan suaka burung dan memungut pajak telur penyu sejak 1930, serta membangun mercusuar pada 1960-an. Pertimbangan majelis lainnya didasarkan pengamatan kedua pulau itu sejak lama dikelola oleh Malaysia.

Sebuah kapal yang kerap mengantarkan para penyelam bersandar di Pulau Sipadan.

Terlepas dari konflik tanah, Sipadan berkembang menjadi destinasi diving, sementara Ligitan yang berada di sisi timurnya tidak dihuni maupun dijadikan situs diving karena jaraknya yang terlampau jauh. Saya mengunjungi Sipadan pada September 2014. Terlepas dari status kepemilikannya yang sempat menghebohkan, Sipadan tersohor sebagai salah satu destinasi selam terbaik di dunia. “Saya pernah melihat tempat lain seperti Sipadan, 45 tahun silam, tapi sekarang tidak lagi. Sipadan bagaikan karya seni yang tak ternoda,” ujar Jacques Cousteau, pria asal Prancis yang dijuluki “bapak diving dunia.” Membaca komentarnya yang penuh pujian, saya pun memasang ekspektasi tinggi.

Demi menjaga kelestarian alam, pada 2004 pemerintah Malaysia merelokasi semua resor yang berdiri di Sipadan. Akomodasi turis dipusatkan di Pulau Mabul, Pulau Kapalai, atau di Kota Semporna yang terletak di mainland Borneo. Kami menginap di Borneo Divers yang terletak di Mabul, sisi selatan Sipadan.

Pulau Sipadan dengan lautnya yang mengundang.

Begitu speedboat merapat ke dermaga, saya disambut oleh Freddy dan Emily—dua dive master (DM) Borneo Divers yang sudah dijadwalkan untuk memandu saya. Keduanya asli Sabah. Karakter wajahnya kontras dari orang Semenanjung Malaysia yang selama ini kita kenal. Freddy dan Emily berkulit lebih terang dan bermata sipit, mirip orang Dayak. Bahasanya pun berbeda dari logat Melayu. Belakangan saya sadar mengapa saya sering dikira orang Sabah, karena wajah saya memang mirip mereka. Tapi begitu saya buka mulut, mereka langsung tahu asal saya sebenarnya.

Dive center terletak di dermaga, sementara resornya berdiri di daratan Mabul dan terkoneksi oleh jembatan kayu yang sangat panjang. Perairan di pantai hanya sedalam paha orang dewasa, sehingga semua aktivitas laut dilakukan langsung dari dermaga. Pulau berpantai pasir putih ini dihuni oleh lebih dari 2.000 orang yang mayoritas berprofesi nelayan. Perkampungan terletak di belakang resor-resor yang mendominasi tepian pantai. Sebagian resor bahkan berdiri di atas laut.

Pembekalan sebelum diving dilakukan sangat serius guna meminimalisasi pengrusakan alam.

Freddy dan Emily membawa kami ke sebuah ruangan, selanjutnya memberikan sesi pembekalan, melakukan registrasi, serta mengecek lisensi selam dan log book (catatan penyelaman). Sorenya, kami melakukan check dive, persis di kolong dermaga. Setiap orang diminta memasang peralatan selam secara mandiri, termasuk mengangkat tabung. Di dalam laut, kedua DM terus memantau kemampuan kami dengan saksama. Selesai check dive, kami mencuci dan menjemur alat sendiri. Semua perlakuan ini terbilang langka di Indonesia di mana penyelam umumnya sangat dimanjakan oleh DM.

Pagi berikutnya, tepat pukul delapan, kami naik speedboat menuju Sipadan. Berbeda dari destinasi selam di Indonesia, Sipadan menerapkan sistem kuota. Per harinya maksimum hanya 120 orang yang diizinkan menyelam. Seperti visa, aplikasi izin selam ini mesti diajukan berbulan-bulan sebelumnya. Setiap kali hendak menyelam, kami harus mencatatkan nama, kebangsaan, dan nomor paspor sesuai dengan permit yang dikeluarkan.

Jika beruntung, penyelam bisa menemukan kawanan big-eye travelly di bawah laut Sipadan. (Foto: Getty Images)

Aktivitas laut pun dibatasi hanya dari pukul 8-16. Artinya, tidak ada night dive. Bayangkan, laut saja memberlakukan jam operasional! Regulasi ketat juga diterapkan di dalam laut. Penyelam dilarang mengenakan sarung tangan, mendaratkan kaki katak pada terumbu karang, dan menyentuh satwa laut. Jika melanggar, si pelaku akan diusir. Seminggu silam, seorang turis RRC mengalaminya.

Berhubung jam operasional lautnya sempit, turis disarankan tidak menyelam terlalu dalam, sehingga bisa menghindari waktu surface interval (jeda antar-diving) yang lama. Dengan perencanaan yang baik dari DM, kami bisa menyelam empat kali per hari dan kembali ke resor sebelum pukul 16.

Pemandangan mentari terbenam diambil dari Makbul.

Luas Sipadan hanya 12 hektare. Pulau berpasir putih ini didominasi oleh hutan berisi pepohonan jangkung dan rimbun. Manusia dilarang menetap, kecuali sekelompok tentara Malaysia. Pada 2000-an awal, citra Sipadan memburuk akibat beberapa kasus penculikan turis oleh gerombolan Abu Sayyaf asal Filipina. Bahkan, seminggu setelah saya membayar paket menyelam, penculikan kembali terjadi, sehingga travel warning pun diterbitkan sejumlah negara. Tak heran, saat saya datang, banyak pemuda berseragam militer dikerahkan menjaga Sipadan dan sekitarnya.

Sipadan digadang-gadang sebagai destinasi selam terbaik di dunia. Lautnya dihuni 3.000 spesies ikan dan ratusan spesies karang. Diversitas yang tinggi ini sangat menghibur mata. Saya bisa melihat keragaman yang memukau saat menyelam. Sipadan bukan untuk penyelam pemula, karena arusnya kencang dan sulit diprediksi, serta visibilitasnya kurang baik. Tapi karakter laut semacam inilah yang disukai banyak satwa pelagis. Beberapa hari menyelam, saya menemui banyak hiu dan penyu. Mereka tampak “ramah” dengan manusia. Saya dapat melihat dalam jarak sangat dekat.

Pantai berpasir putih dan air berwarna turkuois juga menjadi daya tarik tersendiri di Pulau Sipadan.

Situs penyelaman favorit saya adalah Barracuda Point. Sesuai namanya, tempat ini menawarkan schooling barakuda. Suatu waktu, saat berada di dasar laut, saya terkejut karena langit tiba-tiba berubah mendung. Setelah melihat ke atas kepala, rupanya terdapat kawanan barakuda yang menyerupai pusaran tornado! Ikan bertubuh perak dan bertaring ini memang tampak menakutkan, namun lagi-lagi mereka tidak merasa terganggu dengan manusia sehingga saya dapat berfoto bersama dalam jarak dekat.

Rombongan jackfish juga hadir di Barracuda Point. Ribuan ekor berenang dalam formasi rapat hingga membentuk dinding perak yang menghalangi pandangan. Saya juga sempat bertemu bumphead parrotfish. Dibandingkan di Indonesia, ukurannya sangat tambun. Giginya yang tonggos terlihat sangat jelas.

Porcelain crab, salah satu satwa unik di perairan dangkal Makbul.

Puas melihat “jemaah” pelagis, saya menyelam di sekitar perairan Mabul dan Kapalai. Berhubung dekat dengan permukiman warga, ikan di sini minim. Tapi bukan berarti tak ada yang bisa dilihat. Tempat ini adalah surga bagi penggemar makhluk laut yang berukuran sangat kecil. Di bawah laut Kapalai teronggok rumah-rumahan kayu yang merupakan tempat penanaman terumbu karang.

Saya seperti sedang bertamu ke dunia SpongeBob. Siput laut (nudibranch) aneka warna menempel pada bangunan tersebut. Ikan jenis stonefish dan lionfish yang beracun juga banyak ditemukan. Saya juga sempat melihat spesies yang terbilang jarang, contohnya porcelain crab (kepiting kecil yang cangkangnya mirip porselen) dan glass shrimp (udang mungil bertubuh transparan).  Jenis bintang lautnya bervariasi dan langka, contohnya necklace starfish yang sangat indah. Satu-satunya kekurangan tempat ini adalah arus lautnya yang kencang, sehingga cukup melelahkan.

Ikan Giant bumphead parrotfish yang ukurannya lebih besar dibanding yang ada di perairan Indonesia.

Pada akhirnya, saya ikhlas Sipadan dimiliki oleh Malaysia, karena mereka mengelolanya dengan memperhatikan keutuhan ekologi. Alam bawah laut Sipadan menurut saya mirip Derawan 10 tahun silam. Kalau tidak dilestarikan dengan baik, nasibnya akan seperti Derawan sekarang. Indonesia memang kehilangan Sipadan, tapi para penyelam dunia masih bisa menikmatinya.

PANDUAN
Rute
Dari Jakarta, cara paling mudah menjangkau Sipadan adalah dengan terbang ke Tawau via Kuala Lumpur menggunakan AirAsia (airasia.com) atau Malaysia Airlines (malaysiaairlines.com). Opsi lainnya adalah terbang dengan AirAsia dari Jakarta ke Tawau via Kota Kinabalu, namun penerbangan di rute ini terbatas hanya tiga kali per pekan. Dari Tawau, Anda mesti naik mobil sejam ke Semporna, disusul speedboat ke Mabul.

Glass shrimp, udah dengan kulit tubuh transparan yang jamak di temui di bawah perairan Mabul dan Kapalai.

Penginapan
Atas alasan konservasi alam, Sipadan steril dari penginapan komersial. Turis hanya bisa menginap di pulau terdekat, contohnya Mabul dan Kapalai. Opsi akomodasi terbanyak, mulai dari kelas bujet hingga premium, terdapat di Mabul. Salah satu yang layak dicoba adalah Borneo Divers (Pulau Mabul, Sabah, Malaysia; 60-88/222-226; borneodivers.net; mulai dari Rp6.243.000, full-board), dive operator pelopor di Sipadan. Makanannya bervariasi dan enak, serta servisnya sangat memuaskan. Pembayaran bisa dilakukan memakai kartu kredit, namun uang tunai tetap diperlukan untuk tip bagi staf atau jajan di kampung. Penting diingat, Mabul dan Kapalai tidak memiliki ATM maupun gerai penukaran uang. ATM terakhir hanya terdapat di Semporna.

Tips
Merujuk peraturan pemerintah Malaysia, Sipadan hanya menerima penyelam yang memiliki lisensi advanced atau sudah membukukan minimum 20 kali penyelaman. Reservasi sebaiknya dilakukan jauh hari, karena Sipadan memberlakukan kuota 120 penyelam per hari. Penyelaman dapat dilakukan kapan saja sepanjang tahun, tapi periode terbaik adalah dari April hingga Desember.

Dipublikasikan perdana di majalah DestinAsian Indonesia edisi Maret/April 2015 (“Jiran Teladan”)

Show CommentsClose Comments

Leave a comment

0.0/5